Wednesday, December 31, 2008

HAKIKAT HIJRAH

HAKIKAT HIJRAH
Kita sekarang masih dalam suasana tahun baru Islam, Muharram 1430 H. Setiap tahun baru islam memori kita akan dibawa mengingat peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Yaitu Nabi dan para sahabat melakukan hijrah dari Makkatal mukarramah menuju Madinatul Munawwarah. Hijrah ini di perintahkan Allah SWT. Kepada Nabi dan para sahabat setelah melihat kondisi kaum muslimin pada saat itu sangat memprihatinkan. Dimana kaum kuffar semakin gencar melakukan tindakan-tindakan yang orientasinya menaklukkan agama baru yang dibawa oleh Muhammad SAW. Kaum muslimin dicaci, dihina, dirampas hak-hak mereka, dikurung atau dipenjara yang kemudian disiksa dan dipakasa untuk kembali berpegang kepada agama nenek moyang, agama menyembah berhala.

Tidak hanya itu, kaum muslim yang tetap bersikukuh mempertahankan akidah islam dan tidak mau kembali kepada agama berhala akan diperlakukan tidak manusiawi dan dibunuh seperti yang dialami keluarga Amar bin Yasir RA. Kedua orang tua Amar diperlakukan tidak manusiawi yang akhirnya dibunuh karena mempertahankan iman yang telah tertambat erat dihati mereka berdua. Hal senada hampir juga dialami anak semata wayang, Amar RA. Untung saja beliau berhasil mengelabuhi kaum kafir quraisy dengan mengatakan kembali kepada agama nenek moyang. Padahal sebenarnya beliau menyembunyikan keimanan dihati dan masih berpegang kepada agama baru yang menjadi rahmatan lil-‘alamiin (Islam red.).

Hakikat Hijarah
Secara bahasa hijrah bisa kita artikan bergerak, pindah, emigrasi, atau eksodus. Berubah dari satu keadaan kepada keadaan lain, berjalan dari rumah ke kuliyah , atau melewati tangga-tangga imarah bisa dikatakan “proses hijrah”. Selanjutnya kita ingin tahu apa hakikat hijrah itu sebanarnya?. Imam Abu Zakariyah dalam syarhul Arbain Nawawi, mengatakan : “hijrah adalah meninggalkan segala larangan Allah SWT”. Yang juga berarati mengerjakan semua perintah-Nya. Dalam makna yang lebih luas, hijrah dipahami sebagai perubahan dari keadaan yang tidak atau kurang baik kepada keadaan yang lebih baik.

Pada asasnya, peristiwa hijrah tidak hanya dialami oleh Nabi SAW dan para sahabat. Akan tetapai pernah juga terjadi pada beberapa nabi sebelumnya. Nabi Ibrahim misalnya, diperintahkan oleh Allah SWT. Melakukan hijrah ke tempat lain. Sesuai yang tercantum dalam alquran; Maka luth membenarkan (keimanan)nya. Dan berkatalah Ibrahim: “sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang di perintahkan) Tuhanku (kepadaku).sesungguhnya dialah yang maha perkasa lagi maha bijaksana” .(al-ankabut : 26). Selain nabi Ibrahim AS. Nabi Musa juga melakukan hijrah ke Madyan setelah mendapat ancaman Fir’aun yang akan membunuh Beliau. Begitu juga dengan Nabi Nuh AS, Beliau dan para pengikut setianya hijrah dengan menaiki kapal .
Hijarah Nabi Muhammad SAW. bersama para sahabat dari Makkatal Mukarramah menuju Madinatil Munawwarah mengambarkan suatu perjuangan yang pantang menyerah atau mengaku kalah. Disamping ia menjadi garis pemisah anatara yang haq dan yang bathil, juga diibaratkan sebagai satu jembatan yang menghubungkan anatara dua tahap masa perjuangan Nabi SAW. Tahap pertama di Makkah selama 13 tahun dan kedua di Madinah selama 10 tahun.

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda;”laa hijrata ba’dal fathi”. Hadist ini pada dzohir nya mengindikasikan hijrah tidak berlaku lagi setelah Fathu Makkah. Tapi pada hakikatnya hijrah senantiasa terbuka dan dibutuhkan sampai hari kiamat. Dan hijrah yang dimaksudkan disini bukanlah kita mesti selalu berpindah dari satu tempat ketempat lain (emigrasi) atau semua satu warga negara harus pindah secara besar-besaran keluar negri (eksodus) seperti yang pernah dilakukan Nabi SAW dan para sahabat. Hijrah yang dituntut saat ini adalah perubahan dari keadaan yang kurang atau tidak baik kepada keadaan yang lebih baik.
Dalam konteks Islam hari ini kita mesti bisa menuangkan nilai-nilai hijrah di semua lini kehidupan kita. Sebagaimana manusia adalah organisme (makhluk Allah SWT) yang terus berkembang baik secara kualitatif atau kuantitatif, maka saatnya lah setiap individu berusaha berubah dari yang sebelumnya tidak atau kurang baik kepada keadaan yang lebih baik. Dan perubahan disini bukan hanya berlaku pada aspek-aspek kehidupan yang berorientasi ukhrawy, akan tetapi mesti bisa juga kita cipatakan pada aspek-aspek kehidupan yang orientasinya duniawy, selama praktek-praktek hijrah tidak kontradiktif dengan hukum Allah SWT.

Jika kita menoleh kebelakang sejenak (flash back). Keadaan wanita sebelum Islam sangat memperihatinkan. Pada peradaban Yunani kuno misalnya, wanita dipandang hina dan dijadikan qurban yang kemudian dipersembahkan sebagai cara pendekatan diri kepada tuhan-tuhan mereka. Pandangan seperti inilah yang kemudian diusung oleh Aristoteles dan kanti-kantinyo. Dalam peradaban Romawi, nasib wanita lebih memperihatinkan lagi. Wanita dilarang makan daging, tertawa, bahkan berbicara sekalipun. Wanita harus mengabdikan seluruh hidupnya kepada berhala dan mengurus suaminya. Beda lagi yang berlaku dalam peradaban persi. Wanita dalam pandangan mereka legal untuk diperjual belikan. Mereka juga melegalkan pernikahan dengan ibu kandung, anak kandung, bibi, dan saudara perempuan. Bagi wanita yang sedang mengalami menstruasi harus diasingkan dan bahkan di isolisi ke tempat terpencil dan dilarang bergaul sampai selesai masa haidh.
Islam datang membawa perubahan besar bagi kemashlahatan lil-alamiin.Harkat dan martabat manusia diangkat dengan tidak mendikotomi anatara laki-laki dan perempuan. Wanita tidak lagi dijadikan qurban yg dipersembahkan untuk berhala-berhala. Wanita tidak lagi di perlakukan layaknya barang yang legal diperjualbelikan. Inilah salah satu bentuk hijrah besar yang pernah terjadi didunia ini. Hijrah besar ini dipelopori oleh agama rahamatan lil-alamin, agama islam.

Hijrah, seperti yang kita pahami di atas adalah berubah kepada keadaan yang lebih baik. Dan tentunya makna ‘baik’ di sini adalah baik dalam pandangan Allah SWT. Yang berarti perubahan-perubahan yang kita realisasikan di lapangan tidak berseberangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Allah SWT. Atas dasar modernisme, libralisme dan idealisme terkadang manusia melakukan perubahan-perubahan yang keluar dari lingkaran hukum-Nya. Dan lebih para lagi satu golongan tertentu yang manganggap tidak ada hukum tuhan, yang ada hukum manusia sehingga mereka melakukan perubahan-perubhan yang kontradiktif dengan hukum Allah SWT. Mereka menganggap jilbab tidak pantas lagi di pakai oleh wanita saat ini. Jilbab dalam pandangan mereka hanya sebuah ekspresi lokal particular islam di arab. Atau ada juga yang menganggap bahwa sholat tidak wajib dilakukan karena bersandar kepada firman Allah :“sesungguhnya sholat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar”. Maka ketika seorang muslim menghindari perbuatan yang dilarang Allah, secara tidak langsung dia telah melakukan sholat. Ada lagi yang beranggapan bahwa sholat itu cukup dengan mengingat Allah SWT tanpa harus mempraktekkan sholat yang kita kenal sampai hari ini Perubahan-perubahan tersebut bukan dikatagorikan kedalam “hijrah” karena sangat kontradiktif dengan hukum Ilahi. Wallahu ‘alam bil-shawwab.