Friday, September 30, 2011

Kritik Terhadap Ta'wil Istawa Menjadi Istaula

BAGIAN PERTAMA: Konsep ta’wil dalam permasalahan Asma’ wa Sifat

Mengapa mereka menta’wil sifat Allah?
Allah subhanahu wa ta’la berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya:
Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat
(Asy-Syura: 11)
Pada Ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala menafikan penyerupaan Dzatnya Yang Maha Agung dengan makhluk-Nya. Allah melarang hamba-Nya untuk menyerupakan Dzat-Nya dengan makhluk-Nya. Namun jika kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, banyak kita dapati sifat-sifat Allah yang mana sifat tersebut juga ada pada makhluk-Nya. Contoh sifat tangan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
Artinya:
Allah berfirman: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".(Shad: 75)
Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa sifat tangan ada pada Diri-Nya subhanahu wa ta’ala. Kemudian muncul pertanyaan jika Allah memiliki tangan apakah itu berarti Allah seperti makhluk-Nya? Sedangkan pada ayat yang telah lalu, kita dilarang untuk meyakini penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Di sisi lain tidak mungkin ayat-ayat Al-Qur’an saling bertentangan. Kalau begitu pastilah ada makna tersembunyi dibalik sifat tangan yang dikabarkan pada ayat ini.
            Berangkat dari pemahaman ini, sebagian umat muslim mencoba menawarkan solusi bagi kemusykilan ini. Mereka membawa sebuah metode yang menurut mereka bisa menjaga umat Islam dari kesalahan aqidah terlebih dalam masalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Metode mereka adalah metode ta’wil, adapun kelompok ini sebut saja mu’awilah. Karena dalam pengertian bahasa Arab mu’awwil berarti orang yang melakukan ta’wil. 
Secara mendasar pengertian ta’wil adalah memaknai suatu kata dengan makna majas yang tersirat di dalamnya. Sebagai contoh ketika seseorang mengatakan, “Rini adalah bunga desa di kampung kita” maka orang yang mendengar ini langsung mengetahui bahwa bunga yang dimaksud adalah seorang wanita cantik bukan bunga sesungguhnya yang mekar di taman. Nah kaum mu’awilah meyakini bahwa sebagian besar sifat Allah yang memiliki kesamaan dengan makhluk-Nya menunjukkan kepada makna majas yang tersembunyi. Dan makna itulah yang seharusnya diyakini oleh umat muslim, bukan makna hakiki dari sifat tersebut.
Pada sifat tangan di atas, kelompok mu’awwilah menta’wilkannya kepada makna kekuatan dan kekuasaan. Hal ini karena jika seorang muslim meyakini tangan Allah dengan makna hakiki , dia akan rentan terjerumus kepada penyerupaan Allah terhadap makhluk-Nya. Maka cara yang selamat—menurut mereka—adalah ta’wil.   
            Tidak seluruh sifat Allah mereka ta’wilkan. Meraka hanya menta’wilkan sifat-sifat yang tidak pantas—menurut mereka—disandangkan kepada Rabb Jalla wa ‘Ala. Adapun sifat-sifat yang pantas disandangkan kepada Allah tidak mereka ta’wilkan. Mereka menyebut sifat-sifat ini dengan istilah sifat ma’ani, seluruhnya berjumlah tujuh yaitu; Ilmu, Qudrah, Iradah, Hayat, Kalam, Sama’, dan Bashar. Jika ada ayat atau hadits yang menyebutkan sifat selain ketujuh sifat tersebut maka sifat itu harus dita’wilkan.

Dari mana mereka memperoleh tujuh sifat ini?
            Golongan mu’awilah mengatakan bahwa sebelum Allah menciptakan makhluk-Nya pastilah Allah lebih mengetahui apa yang diciptakan dan bagaimana penciptaannya hal inilah yang menjadi bukti ilmu Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian ciptaan Allah tidak akan terwujud jika tidak ada kekuasaan, inilah bukti dari sifat qudrah. Beragamnya ciptaan Allah seperti ada yang indah, jelek, baik, jahat dan lain sebagainya menunjukkan bahwa Allah memiliki kehendak ketika menciptakannya inilah bukti yang menunjukkan sifat iradah. Ketiga sifat ini yaitu qudrah, iradah, dan ilmu tidak terdapat kecuali pada sesuatu yang hidup. Maka inilah bukti dari sifat hayat. Kemudian sesuatu yang hidup pasti berbicara, melihat, dan mendengar, maka inilah bukti dari sifat kalam, sama’ dan bashar. Kira-kira demikianlah mereka menetapkan tujuh sifat ini sebagai sifat ma’ani.

Kritik dan Sanggahan
Pertama, konsep ini adalah konsep akal untuk menetapkan suatu aqidah dan keyakinan. Apakah aqidah ditetapkan dengan akal? Seharusnya aqidah dibangun di atas dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah kemudian akal digunakan untuk memahami dan membenarkan, bukan untuk menetapkan. Karena tidak ada cara untuk menetapkan aqidah kecuali dengan wahyu.
Kedua, merujuk kepada akal beresiko menimbulkan perbedaan pendapat, karena akal manusia berda-beda satu sama lain. Buktinya adalah pada perkembangan golongan mu’awwilah sendiri. Semula mereka hanya menetapkan tujuh sifat, namun kemudian mereka menetapkan lagi sifat-sifat yang lainnya menjadi dua puluh yang saat ini dikenal dengan sifat dua puluh.  
Ketiga, ketika mereka menta’wilkan seharusnya mereka mendatangkan bukti. Karena kita mengetahui bahwa ta’wil ada dua macam yang boleh dilakukan dan yang dilarang. Ta’wil boleh dilakukan jika ada bukti yang benar, namun jika tidak ada bukti atau bukti tersebut tidak dapat diterima maka ta’wil tersebut tidak boleh dilakukan. Namun sebagian besar ta’wil golongan mu’awilah hanya dibangun di atas dugaan.
Keempat, mereka melakukan ta’wil dengan alasan agar terhindar dari penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Ketahuilah bahwa ta’wil tidak sepenuhnya menyelamatkan mereka dari tasybih(penyerupaan), mereka masih terjebak di dalam tasybih karena sifat-sifat yang mereka tetapkan juga merupakan sifat makhluk-Nya juga.
Kelima, jika mereka mengatakan “ tidak, kami tidak mengimaninya seperti itu. Kami  mengimani sifat-sifat yang kami tetapkan ini(sifat ma’ani) sesuai dengan Keagungan  dan Kebesaran Allah ‘azza wa jalla”. Kalau begitu mengapa anda tidak mengimani sifat-sifat lainnya sesuai dengan Keagungan  dan Kemuliaan Allah subhanahu wata’ala?
Keenam, menta’wilkan sifat-sifat Allah kepada makna majas yang dikandungnya tidak pernah diyakini oleh pendahulu kita dari kalangan sahabat dan ulama-ulama salaf. Berikut fatwa-fatwa dari para salaf tentang bagaimana mengimani sifat-sifat Allah:
1. Al- Walid ibn Muslim(195 H) rahimahullah mengatakan: Ketika  Auza’i(157 H), Malik(179 H), Sufyan Tsauri(161 H), Laits ibn Sa’ad(175 H) rahimahumullah ditanya tentang hadits-hadits tasybih mereka manjawab:
أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ
Artinya:
Yakinilah hadits-hadits tersebut sebagaimana adanya tanpa “kaifiyyah”[1].

2. Imam Abdul Aziz ibn Yahya Al-Kinani Asy-Syafi’i rahimahullah (240 H) mengatakan:
وَعَلَى الخَلْقِ جَمِيعاً أَنْ يُثْبِتُوا مَا أَثْبَتَ اللهُ، وَيَنْفُوا مَا نَفَى اللهُ، وَيُمْسِكُوا عَمَّا أَمْسَكَ اللهُ
Artinya:
Wajib bagi seluruh manusia untuk menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah, menafikan sifat-sifat yang dinafikan oleh Allah, serta bersikap diam terhadap apa yang tidak dikabarkan oleh Allah[2].
3. Imamul Haramain Abul Ma’ali Al-Juwaini(478 H) rahimahullah mengatakan:
مَا وَرَدَ الشَرْعُ بِإِطلَاقِهِ فِى أَسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ أَطْلَقْنَاهُ وَمَا مَنَعَ الشَرْعُ مِنْ إِِطْلَاقِهِ مَنَعنَاهُ وَمَا لَمْ يَرِد فِيهِ إِذْنٌ وَلَا مَنْعٌ لَمْ نَقْضِ فِيهِ بِتَحلِيلٍ وَلَا تَحْرِيمٍ فَإِنَّ الأَحْكَامَ الشَرْعِيَّةَ تُتَلَقَّى مِنْ مَوَارِدِ الشَرْعِ وَلَو قَضَيْنَا بِتَحْلِيلٍ أَو تَحْرِيمٍ لَكُنَّا مُثْبِتِينَ حُكْمًا بِغَيرِ الشَرْعِ
Artinya:
Kami menyatakan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang dinyatakan dalam syariat. Dan kami menafikan nama-nama dan sifat-sifat yang dilarang dalam syariat. Adapun yang tidak terdapat pembolehan maupun larangannya dalam syariat, maka kami tidak menentukannya. Karena segala hukum syariat diperoleh dari sumber-sumber hukum syariat, apabila kami menetapkan pembolehan atau pelarangannya sama halnya kami menetapkan hukum tanpa dalil syariat[3]. 
Kami cukupkan ketiga pernyataan ini dari pala ulama sebagai bukti aqidah yang mereka yakini. Kami bawakan pendapat mereka yang wafat sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah(728 H) rahimahullah agar tidak ada kerancuan bahwa pendapat ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah  saja. Juga menepis selentingan yang mengatakan Ibnu Taimiyyahlah yang pertama kali menggagas pendapat ini. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah adalah salah seorang ulama yang juga mengambil pendapat ini dari para salaf. 


BAGIAN KEDUA: Diskusi ta’wil Istawa menjadi Istaula.

Pengertian istiwa’
Kata istiwa’ adalah bentuk nominal dari kata kerja istawa. Secara garis besar kata istawa dalam Al-Qur’an ada dua macam; mutlak dan muqayyad.
Yang dimaksud mutlak adalah ketika kata tersebut berdiri sendiri, tidak terangkai dengan huruf-huruf lain setelahnya. Contohnya, firman Allah ta’ala:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَ<span>اسْتَوَى</span> آَتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

Artinya:
Dan setelah Musa cukup umur dan <span>sempurna</span> akalnya, Kami berikan ke- padanya Hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.(Al-Qashash: 14)
Pada ayat di atas kata istawa berdiri sendiri tanpa rangakaian dengan huruf lain. Maka kata istawa yang demikian memiliki arti “sempurna”.
Adapun yang dimaksud muqayyad adalah apabila kata istiwa dirangkai dengan huruf tertentu dalam bahasa Arab. Ada tiga huruf yang dirangkaikan ke dalam kata istawa; ila, ‘ala, dan waw yang bermakna bersama. Contohnya adalah sebagai berikut.

    Yang dirangkai dengan huruf ila, firman Allah ta’ala:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ <span>اسْتَوَى إِلَى</span> السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu kemudian Dia <span>menuju</span> ke langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah: 29)
Dengan ini maknanya adalah menuju suatu tempat yang tinggi yaitu langit. Insya Allah akan datang tafsir Imam Syafi’i rahimahullah tentang langit.

    Yang dirangkai dengan huruf ‘ala, firman Allah ta’ala dalam surah Al-Fath ayat 9:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ <span>فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ</span> يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا 
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan <span>tegak Lurus di atas pokoknya</span>; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Dengan ini, jika kata istawa dirangkai dengan huruf ‘ala maka maknanya adalah “berada di atas”.

    Yang dirangkai dengan huruf waw yang bermakna “bersama”, contohnya adalah kalimat dalam bahasa Arab berikut:

 اِستَوَى المَاءُ وَ الخَشَبَةُ
Air itu sejajar dengan kayu.
Maka jika kata istawa dirangkai dengan huruf waw yang berarti “bersama” maknanya adalah “sama, seimbang, atau sejajar”.

Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy[4]
Permasalahan ini termasuk di antara permasalahan yang paling sering diperdebatkan antara Ahlus Sunnah dan golongan mu’awwilah. Ahlus Sunnah mengimani sifat istiwa’  dengan maknanya sebagaimana yang dikabarkan Allah dalam Al-Qur’an sesuai dengan Kebesaran dan Keagungan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى  
Ar-Rahman  yang beristiwa’ di atas 'Arsy( Thaha:5)
            Sedangkan golongan mu’awwilah tidak, mereka mengatakan jika kita mengimani sifat ini sama halnya kita mengimani bahwa Allah sama dengan makhluk-Nya. Karena beristiwa’ di atas ‘arsy(singgasana) adalah sifat makhluk sebagaimana seorang raja yang beristiwa’ di atas singgasananya. Maka mereka mencari makna lain yang sesuai bagi Allah. Akhirnya mereka menemukan makna yang pas yaitu istaula(menguasai). Nah kalau yang ini pas, karena Allah adalah penguasa kalau hanya sekedar beristiwa’ saja banyak di antara makhluk-Nya yang melakukannya.

Kritik dan Sanggahan
Pertama: Para salaf tidak pernah memaknai istawa dalam ayat ini dengan makna istaula’. Berikut fatwa ulama dalam memahami ayat ini.
1. Imam Rabi’ah ibn Abi Abdirrahman(136 H)—beliau  adalah salah seorang guru Imam Malik—rahimahullah  ditanya tentang istiwa’ yang terdapat dalam ayat:
 الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Bagaimana Allah beristiwa’?
Beliau menjawab:
الكَيفُ مَجْهُولُ ، وَالاِسْتِوَاءُ غَيرُ مَعْقُولٍ ، وَيَجِبُ عَلَيَّ وَعَلَيْكُمْ الإِيْمَانُ بِذَلِكَ كُلِّهِ
Artinya:
Bagaimana Allah beristiwa’ tidak bisa diketahui, dan akal tidak dapat menalarnya, akan tetapi wajib bagi saya dan anda untuk mengimaninya[5].

2. Imam Malik ibn Anas rahimahullah juga ditanya dengan partanyaan serupa kemudian beliau menjawab:
الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى  كَمَا وَصَفَ نَفْسُهُ وَلَا يُقَالُ كَيفَ وَكَيْفَ عَنْهُ مَرْفُوعٌ وَ أَنْتَ رَجُلٌ سُوءٍ صَاحِبُ بِدْعَةٍ أَخْرِجُوهُ
Artinya:
Ar-Rahman beristiwa di atas Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan, tidak boleh mengatakan bagaimana(istiwa’-Nya) dan bagaimana Allah naik? Adapun anda adalah  seorang ahli bid’ah maka pergilah![6]

Dalam riwayat yang lain beliau mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ غَيرُ مَجُهولٍ وَالكَيفُ غَيرُ مَعْقُولٍ وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَمَا أَرَاكَ إِلَّا مُبْتَدِعًا
Istiwa’ Allah diketahui (maknanya),namun akal tidak dapat menalar bagaimana Allah beristiwa’, akan tetapi wajib bagi kita untuk mengimaninya. Adapun menanyakan bagaimana Allah beristiwa’ adalah perbuatan bid’ah, dan saya  yakin anda(yaitu orang yang bertanya) adalah ahli bid’ah[7].

3. Imam Auza’i  rahimahullah mengatakan:
كُنَّا وَالتَّابِعُونَ مُتَوَافِرُونَ نَقُولُ : إِنَّ اللَّهُ تَعَالَى فَوْق عَرْشِهِ وَنُؤْمِنُ بِمَا وَرَدَتْ بِهِ السُّنَّة مِنْ صِفَاتِهِ    
Artinya:
Kami dan para tabi’in lainnya mengatakan: Sesungguhnya Allah berada di atas Arsy’ dan kami mengimani seluruh sifat yang terdapat dalam sunnah[8].

4. Imam Sufyan ibn Uyaynah (198 H)—beliau adalah salah seorang guru Imam Syafi’i—rahimahullah mengatakan:
كُلُّ مَا وَصَفَ اللهُ تَعَالَى مِنْ نَفْسِهِ فِي كِتَابِهِ، تَفْسِيرُهُ تِلَاوَتُهُ وَالسُّكُوتُ عَنْهُ
Seluruh sifat Allah di dalam Kitab-Nya(Al-Qur’an), tafsirnya adalah membacanya dan tidak berkomentar tentangnya[9].

5. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
ثُمَّ مَعنَى قَولِهِ فِي الكِتَابِ: "مَنْ فِي السَّمَاءِ"(الملك:16) : مَنْ فَوقَ السَّمَاءِ عَلَى العَرْشِ، كَمَا قَالَ: "الرَّحْمَنُ عَلَى العَرشِ اسْتَوَى"(طه:5) وَكُلُّ مَا عَلَا فَهُوَ سَمَاءٌ وَالعَرْشُ أَعْلَى السَّمَاوَاتِ، فَهُوَ عَلَى العَرْشِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمَا أَخْبَرَ بِلَا كَيفٍ بَائِنٌ مِن خَلْقِهِ غَيْرُ مُمَاسٍّ مِنْ خَلْقِهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِي(الشورى:11)
Artinya:
Firman Allah: “Yang berada di langit”(Al-Mulk: 16) artinya adalah “Yang berada di atas Arsy” sebagaimana firman-Nya: Ar-Rahman beristiwa’ di atas ‘Arsy(Thaha: 5).
Karena segala sesuatu yang tinggi dinamakan langit, dan ‘Arsy berada di langit yang paling tinggi. Allah berada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan tanpa harus menanyakan bagaimana Dia beristiwa’. Allah jauh berbeda dari makhluk-Nya dan tidak serupa sedikitpun dengan mereka, karena Tidak ada yang serupa dengan-Nya(Asy-Syura: 11)[10]

6. Imam Baihaqi(458 H) rahimahullah mengatakan:
فَالمُتَقَدَّمُونَ مِن أَصْحَابِنَا—رضي الله عنهم—كَانُوا لَا يُفَسِّرُونَ وَلَا يَتَكَلَّمُونَ فِيهِ كَنَحْوِ مَذْهَبِهِمْ فِي أَمْثَالِ ذَلِكَ
Artinya:
Para pendahulu kami dari mazhab Syafi’i tidak menafsirkan (sifat-sifat Allah) dan tidak berpendapat sebagaimana mereka berpendapat di dalam mazhab[11].
Ketiga, ta’wil yang benar harus berdasarkan bukti yang benar. Kaum mu’awilah tidak memiliki bukti atau dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah bahwa makna istawa dalam ayat ini adalah istaula. Tidak ada ayat maupun hadits yang memberikan isyarat atau menjelaskan langsung bahwa makna Allah beristiwa di atas ‘Arsy berarti Allah menguasainya.
Keempat, satu-satunya bukti bagi mereka adalah dari sisi bahasa(etimologi). Jika anda menelusuri makna kata istawa dalam kamus-kamus referensi Bahasa Arab semisal Ash-Shahhah karya Al-Jauhari, Tajul ‘Urus karya Murtadha Az-Zabidi, atau Lisanul ‘Arab karya Ibnu Manzhur anda akan mendapati makna istaula(menguasai). Namun seluruh kamus-kamus tersebut menyebutkan pijakan yang sama yaitu sebuah Syair yang berbunyi:
قَدِ اسْتَوى بِشْرٌ على العِرَاق من غَيرِ سَيْفٍ ودَمٍ مُهْراقٍ
Artinya:
“Bisyr telah menguasai Iraq tanpa pedang dan pertumpahan darah”[12]
Namun siapakah pengarang Syair ini? Syair ini dinisbatkan kepada Al-Akhthal An-Nashrani. Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’I rahimahullah dalam Kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah mengatakan bahwa Al-Akhthal ini adalah seorang Arab yang beragama Nasrani[13]. Pertanyaannya bagaimana bisa kaum mu’awilah ini lebih memilih perkataan seorang Nasrani—yang aqidahnya jelas-jelas berbeda—sebagai dalil untuk pendapat mereka ketimbang fatwa-fatwa para Imam yang disepakati keilmuan serta keimamannya di mata umat Islam? Apakah seorang Nasrani lebih tahu tentang Allah ketimbang para ulama salaf? Jika seorang muslim memakai metode ini, yaitu belajar agamanya dari orang yang berbeda agama, jadi apa kira-kira agama ini?
Kelima: para ulama lughah(bahasa) telah sepakat bahwa istiwa’ dengan makna istaula(menguasai) hanya diungkapkan jika sebelumnya terjadi pertarungan atau perebutan kekuasaan hingga salah satu dari yang berkompetisi memenangkan pertarungan. Jika mereka masih bersikeras memaknai istawa dengan makna “menguasai” maka hal ini berarti harus ada pertarungan antara Allah dan ‘Arsy sampai Allah menguasai ‘Arsy, dan ini adalah pendapat yang batil, karena bertentangan dengan kaidah Bahasa Arab.
Keenam: apabila dikatakan: kami tidak berpendapat demikian. Istila’(penguasaan) Allah terhadap ‘Arsy tidak mutlak  harus ada pertarungan sebelumnya karena istila’ Allah adalah istila’ yang sesuai dengan Kebesaran dan Keagungan-Nya. Kalau begitu mengapa anda tidak mengatakan konsep ini dari awal? Mengapa anda tidak mengatakan Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy sesuai dengan Kebesaran dan Keagungan-Nya? Apa yang menghalangi anda mengatakan demikian, sehingga anda menta’wilnya terlebih dahulu?  Jika anda mengatakan konsep ini dari awal, kan anda tidak perlu repot-repot menta’wilnya, apalagi ta’wilnya belum tentu benar.
Ketujuh,  Allah beristiwa di atas ‘Arsy menunjukkan bahwa perbuatan-Nya ini khusus dilakukan terhadap makhluk-Nya ‘Arsy. Ta’wil istiwa’ menjadi istila’ menuntut seseorang untuk memperluas maknanya menjadi umum kepada seluruh makhluk karena Allah menguasai makhluk-makhluk lain selain ‘Arsy. Adapun istiwa’ Allah hanya mengabarkan bahwa Dia hanya  melakukannya terhadap ‘Arsy. Jika memang istiwa’ disini berarti “menguasai” tentulah Allah juga akan mengabarkan bahwa Allah beristiwa’ di atas makhluk-makhluk yang lain, tapi nyatanya kita tidak menjumpai yang demikian di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
ولو كان هذا كما ذكروه كان لا فرق بين العرش والأرض السابعة لأن الله تعالى قادر على كل شيء والأرض لله سبحانه قادر عليها وعلى الحشوش وعلى كل ما في العالم فلو كان الله مستويا على العرش بمعنى الاستيلاء وهو تعالى مستو على الأشياء كلها لكان مستويا على العرش وعلى الأرض وعلى السماء وعلى الحشوش والأقدار لأنه قادر على الأشياء مستول عليها وإذا كان قادرا على الأشياء كلها لم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول إن الله تعالى مستو على الحشوش والأخلية تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا لم يجز أن يكون الاستواء على العرش الاستيلاء الذي هو عام في الأشياء كلها ووجب أن يكون معنى الاستواء يختص بالعرش دون الأشياء كلها
Artinya:
Andaikata ini benar sebagaimana pendapat mereka(yaitu ta’wil istiwa’ menjadi istila’) maka tidak ada bedanya antara ‘Arsy dan lapisan bumi yang ketujuh. Karena Allah berkuasa atas segala sesuatu, bumi, pohon dan segala yang ada di alam. Jika memang makna Allah beristiwa di atas ‘Arsy adalah penguasaan-Nya terhadap ‘Arsy. Maka Allahpun juga beristiwa’ di atas bumi, langit, pohon, dan lainnya karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Akan tetapi seorang muslim tidak boleh meyakini Allah beristiwa’ di atas pohon dan yang lainnya, karena Allah suci dari sifat yang demikian. Maka dari itu tidak boleh bagi kita untuk memahami istiwa’ dengan istila’ karena istila’ bersifat umum terhadap seluruh makhluk sedangkan istiwa’ khusus hanya terhadap ‘Arsy[14].

DAFTAR PUSTAKA
Al-Asy’ari, Abul Hasan. 1993. Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah. Riyadh: Maktabah Muayyad.
Al-Baihaqi Imam. 2011. Al-Asma’ was Sifat. Beirut: Muassasah Risalah Nasyirun.
Al-Fairuz Abadi. 2005. Al-Qamus Al-Muhith. Beirut: Muassasah Risalah.
Al-Farran, Ahmad ibn Musthafa. 2006. Tafsir Imam Asy-Syafi’i, jam’an wa tahqiqan wa dirasatan. Riyadh: Dar Tadmuriyyah.
Al-Jauhari. Ash-Shahhah fil Lughah. www.alwarraq.com
Al-Kinani, Abdul Aziz ibn Yahya. 2008. Al-Haidah wal I’tizar fir Raddi ‘ala man Qaala bi Khalqil Qur’an. Madinah: Maktabatul Ulum wal Hikam.
An-Nawawi, Yahya ibn Syaraf. 2009. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj. Beirut: Dar Ma’rifah.
Ar-Ruhaili, Ibrahim ibn Amir. 2009. Diktat Mata Kuliah Tauhid Asma’ wa Sifat. Madinah: Khidmatut Thalib.

  








  




[1]  Diriwayatkan oleh Imam Ibn Batthah(387 H) dalam Ibanah(2571), Imam Baihaqi(458 H) dalam Sunan(4838) dan Asma’ wa Sifat(1060).
Hadits-hadits tasyhbih yang dimaksud adalah hadits-hadits yang mengabarkan sifat Allah yang seakan-akan serupa dengan makhluknya. Dalam Kitab Asma’ wa Sifat, bab tentang sifat turun-Nya Allah, Imam Baihaqi membawakan atsar tabi’in ini untuk menjelaskan bagaimana mengimani sifat turun-Nya Allah ke langit dunia. Atsar ini juga berlaku bagi sifat Allah lainnya yang dirasa seakan –akan di dalamnya ada penyerupaan.
    Kaifiyyah adalah mencari tau detail sifat Allah dengan menanyakan “bagaimana?” dan hal ini dilarang Firman Allah ta’ala:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا <span>وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ</span>
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan <span>(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui</span>." Al-A’raf: 33

[2]  Al-Haidah wal I’tidzar fir Raddi ‘ala Man Qaala Bikhalqil-Qur’an, hal 46.

[3]  Dinukilkan oleh Imam Nawawi dalam Minhaj, hal 275.

[4]  Kata istiwa’ seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti semayam atau bersemayam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bersemayam memiliki arti duduk, berada, dan terpatri. Makna-makna ini kembali kepada konteks kalimat yang ada. Jika kami menerjemahkan istiwa’ Allah dengan bersemayam berdasarkan makna-makna yang ada sama halnya kami menta’wilkan sifat Allah yang mana kami mengingkarinya dalam tulisan ini. Oleh karena itu kami lebih memilih untuk tidak menerjemahkannya akan tetapi menjelaskan makna yang diinginkan dari ayat ini. 

[5]  Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat, hal: 514

[6]  Ibid

[7]  Ibid

[8]  Ibid

[9]  Ibid

[10] Tafsir Imam Syafi’i jam’an wa tahqiqan wa dirasatan, hal: 1063. Tafsir ayat ini dinukilkan dari Manaqib Imam Syafi’i karya Imam Al Baihaqi.

[11]  Asma’ wa Sifat, karya Imam Baihaqi, hal: 513

[12]  Ash-Shahhah, 1/341

[13]  Lihat Bidayah wan Nihayah, 9/290

[14]  Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, hal: 98

Sumber: http://komunitaskasyfsyubhat.blogspot.com/2011/06/istawa-jadi-istawla.html

Thursday, September 29, 2011

Ruqyah yang Boleh

Ruqyah yang dibolehkan adalah ruqyah syari', sesuai dengan ketentuan agama. Namun ada catatan pembolehannya, hal ini berdasarkan kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-Asqani, yang mempersyaratkan 3 hal pokok:

1. Menggunakan kalamullah (ayat-ayat Al Qur'an) atau dengan Asmaul Husna atau dengan dengan sifat-sifat Allah SWT atau dengan doa-doa yang diajarkan oleh Rasululah SAW.
2. Menggunakan bahasa Arab, atau dengan bahasa selain bahasa Arab yang dapat dipahami maknanya.
3. Meyakini bahwa ruqyah tersebut tidak mampu menyembuhkan dengan sendirinya, akan tetapi dengan kekuasaan Allah SWT.
Allah SWT lah yang sejatinya menyembuhkan orang yang sedang menderita suatu penyakit.

Di samping itu ada hal penting lagi yang juga harus diperhatikan bahwa ruqyah akan bekerja secara efektif bila orang yang sakit dan orang yang megobati sama-sama memiliki keyakinan yang kuat kepada Allah SWT, bertawakal kepada-Nya, serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Al Qur'an adalah penmyembuh bagi penyakit dan rahmat bagi orang yang beriman.




An-Nawawi dalam Shahih Muslim mengatakan, satu pujian jika seseorang yang meruqyah tidak menggunakan kalimat-kalimat kekufuran, meruqyah dengan kalimat-kalimat asing, meruqyah dengan selain bahasa Arab atau sesuatu yang tidak diketahui maknanya.
Sebab semua itu tercela, karena kemungkinan maknaya adalah kekufuran, mendekati kekufuran atau makruh.

Tetapi meruqyah dengan ayat-ayat Al Qur'an dan zikir-zikir yang diketahui tidak dilarang, bahkan sunnah.
Dasarnya adalah ketika keluarga 'Amr bin Hazam bertanya kepada Rasulullah SAW dan Beliau menjawab,
"Aku lihat tidak mengapa. Barang siapa diantara kalian yang mampu mmemberikan manfaat kepada saudaranya, maka lakukanlah."

Monday, September 26, 2011

Meluruskan Kedustaan Sejarah Wahhabi Versi ‘Syaikh’ Idahram (bagian 1)



Mengawali kedustaan-kedustaannya, saudara Idahram kembali mendasarkan “fakta-fakta” (pada hal.  65) kepada sejarawan kafir (?) yang bernama, Vladimir Borisovich Lotsky. Maka kami ingatkan kembali, bahwa menempuh segala cara seperti ini bukanlah cara yang dibenarkan dalam Islam. Ajaran Islam menuntun kita untuk berhati-hati dalam menerima berita, tidak begitu saja mempercayai dan menyebarkan setiap berita yang kita dengar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Al-Imam Muslim rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas dalam muqaddimah Shahihnya,

“Kabar yang berasal dari orang fasik itu jatuh, tidak boleh diterima. Dan persaksian seorang yang tidak adil (yaitu tidak beriman dan bertakwa) tertolak.” [1]

Bahkan lebih parah lagi, yang menunjukkan buku Sejarah Berdarah ini sangat tidak ilmiah, adalah penukilan ucapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah bukan dari kitab-kitab beliau secara langsung, tapi dari orang yang sangat terkenal memusuhi beliau dan tidak segan berdusta demi untuk menjatuhkan beliau, yaitu Ahmad Zaini Dahlan. Perhatikan ucapan Ahmad Zaini Dahlan yang dia sandarkan –secara dusta tanpa menyertakan bukti ilmiah sedikitpun- kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah seperti yang dikutip oleh saudara Idahram,

“Siapa saja yang masuk ke dalam dakwah kami, maka dia memiliki hak dan kewajiban sama dengan kami, dan siapa saja yang tidak masuk (ke dalam dakwah kami) bersama kami, maka dia kafir, halal nyawa dan hartanya.” (Sejarah Berdarah..., hal. 68)

سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

“Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nur: 16)

Wahai saudara Idahram, apakah memang berdusta ringan di sisimu, sehingga dengan mudahnya engkau terima dan engkau sebarkan setiap kabar yang sampai kepadamu tanpa melakukan klarifikasi?

Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كَفَا بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seorang dianggap pendusta, jika dia menceritakan setiap yang dia dengarkan.” (HR. Al-Imam Muslim)[2]

Pembaca yang budiman, benarkah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum muslimin yang tidak mengikuti dakwah beliau?

Tuduhan ini sebenarnya bukan hal baru, di masa beliau hidup, para tokoh kesyirikan atau bid’ah yang terusik dengan dakwah tauhid dan sunnah yang beliau serukan berusaha terus mempertahankan kesyirikan dan bid’ah mereka di tengah-tengah masyarakat, tanpa peduli walaupun harus berdusta atas nama beliau agar masyarakat tidak mengikuti seruan beliau. Maka beliau pun tidak tinggal diam, beliau membantah tuduhan dusta tersebut.

Beliau berkata,

“Orang yang mengatakan bahwa Ibnu Abdil Wahhab berkata, ‘SIAPA YANG TIDAK MASUK DALAM KETAATAN (DAKWAH)KU MAKA DIA KAFIR’,

maka kami katakan, subhanahallah ini adalah kedustaan yang besar, bahkan kami bersaksi kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati kami, bahwa siapa saja yang mentauhidkan Allah dan berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya, maka dia adalah seorang muslim, kapan dan di mana pun dia berada.

KAMI HANYALAH MENGKAFIRKAN ORANG YANG MENYEKUTUKAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA DALAM ILAHIYYAH SETELAH JELAS BAGINYA HUJJAH ATAS BATILNYA KESYIRIKAN.”[3]

Beliau juga berkata,

“Adapun kedustaan dan fitnah, adalah seperti ucapan mereka bahwa kami mengkafirkan semuanya, kami mewajibkan hijrah kepada kami bagi orang yang mampu menampakkan agama di daerahnya, kami mengkafirkan siapa yang tidak mengkafirkan dan tidak ikut berperang dan masih banyak lagi kedustaan mereka,

KAMI TEGASKAN INI SEMUA ADALAH DUSTA DAN FITNAH, YANG MEREKA INGINKAN HANYALAH MENGHALANGI MANUSIA DARI DAKWAH KEPADA AGAMA ALLAH DAN RASULNYA YANG KAMI SERUKAN.”[4]

Buku Ahmad Zaini Dahlan yang dijadikan referensi oleh saudara Idahram, sebenarnya dari awal sampai akhir telah dibantah oleh ulama besar ahli hadits asal India, Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawani rahimahullah dalam sebuah kitab yang beliau beri judul, “Shiyanatul Insan ‘an Waswasati Syaikh Dahlan”, yang artinya, “Penjagaan Terhadap Manusia dari Bisikan-bisikan Ahmad Zaini Dahlan” yang diberikan kata pengantar oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah wa ghafara lahu dari Mesir, pada salah satu cetakannya. Kesimpulan dari bantahan beliau kepada Dahlan,

“BAHWA SEMUA TUDUHAN DAHLAN HANYALAH KEDUSTAAN TANPA DIRAGUKAN LAGI, HAL INI DAPAT DIKETAHUI BAGI MEREKA YANG MEMILIKI SECUIL IMAN, ILMU DAN AKAL.”[5]

Karena terlalu banyak dusta Ahmad Zaini Dahlan, sampai-sampai Syaikh Mas’ud An-Nadwi rahimahullah (juga ulama India, bukan ulama Saudi) berkata, “Adapun Ahmad Zaini Dahlan (1204 H/1886 M), maka seakan-akan dia mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memusuhi jamaah ini, dan sungguh dia telah melemparkan tuduhan-tuduhan ini berulang kali.”[6]

Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawi rahimahullah memaparkan hasil pertemuan langsung dan penelitian beliau terhadap kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan murid-muridnya. Beliau berkata,

“Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikut-pengikutnya tidak pernah sekalipun mengkafirkan seorang muslim. Mereka juga tidak pernah berkeyakinan bahwa kaum muslimin hanya mereka saja sedangkan yang berbeda dengan mereka semuanya musyrik.

Mereka juga tidak pernah menhalalkan pembunuhan terhadap Ahlus Sunnah dan menawan wanita-wanita mereka. Sungguh aku telah berjumpa dengan lebih dari satu ulama pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, aku juga telah banyak menelaah buku-buku mereka, aku tidak menemukan adanya penyimpangan-penyimpangan ini lebih pada sumbernya maupun pengaruhnya. Ini semua hanyalah fitnah dan dusta.”[7]

وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar.” (QS.  An-Nur: 11)[8]

Untuk lebih jelasnya, bagaimana kedustaan dan pemutarbalikan fakta sejarah yang dilakukan saudara Idahram demi untuk mencitrakan keburukan terhadap dakwah tauhid dan sunnah yang diserukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, maka Insya Allah Ta’ala akan kami paparkan bukti-bukti ilmiah secara lebih terperinci dalam pembahasan berikut:

1. Penyerangan Terhadap Karbala

Karbala adalah salah satu kota yang dihuni oleh orang-orang Syi’ah. Mereka mengklaim di sana terdapat kuburan Al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Bukan hanya itu, mereka anggap Karbala adalah kota suci mereka, selain Makkah dan Madinah. Kuburan Al-Husain radhiallahu ‘anhu pun mereka sembah, mereka memohon kepadanya dan berhaji ke kuburannya. Bahkan mereka meyakini, shalat tidak sah selain di atas tanah Karbala.

Inilah fakta kesyirikan dan bid’ah yang dilakukan kaum Syi’ah, namun dalam bukunya tersebut, penyimpangan ini didiamkan saja oleh saudara Idahram. Padahal wajib bagi kaum muslimin untuk mengubah kemunkaran dengan kekuatan jika mampu. Jika tidak, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga dengan lisan, maka minimalnya benci dengan hati. Bukan malah mendiamkan dan menyetujui kesyirikan tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَان

“Barangsiapa yang melihat suatu kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika dia tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu juga maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Al-Imam Muslim)[9]

Karena kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah sehingga banyak orang terdahulu, termasuk ulama dari empat mazhab, menganggap Syi’ah bukan termasuk kaum muslimin, apalagi mau dianggap mazhab yang sah dalam Islam –seperti klaim saudara Idahram (pada hal. 208)-.

Sebab syarat utama menjadi muslim adalah memurnikan penyembahan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai konsekuensi syahadat Laa Ilaaha Illallah. Sedangkan orang-orang Syi’ah, disamping menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka juga menyembah Al-Husain dan imam mereka, di samping berhaji ke baitullah, mereka juga berhaji ke kuburan Al-Husain di Karbala.

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata,

وما أبالي صليت خلف الجهمي والرافضي٬ أم صليت خلف اليهود والنصارى لا يسلم عليهم٬ ولا يعادون٬ ولا يناكحون٬ ولا يشهدون٬ ولا تؤكل ذبائحهم

“Bagiku sama saja, sholat di belakang seorang Jahmi[10] dan Rafidhi[11] ataupun di belakang Yahudi dan Nasrani.[12] Tidak boleh memberikan salam kepada mereka, tidak boleh dijenguk ketika sakit, tidak boleh dinikahkan (dengan seorang muslim), tidak disaksikan jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihan mereka.”[13]

Namun yang menjadi masalah adalah pengkhiatan ilmiah yang dilakukan saudara Idahram terhadap kisah peperangan pasukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan orang-orang Syi’ah di Karbala. Idahram menceritakan peperangan Karbala (pada hal. 70-77) tanpa sedikitpun menyebutkan sebab terjadinya peperangan tersebut, sehingga terkesan pasukan beliau menyerang duluan dan tanpa sebab, dan seperti biasa, saudara Idahram juga menyandarkan fakta sejarahnya kepada sejarawan kafir (?) yang bernama Charles Allen (pada hal. 71).

Padahal, penyerangan di Karbala hanyalah serangan balasan setelah orang-orang Syi’ah Karbala melakukan penyerangan terhadap para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Mari kita lihat rangkaian kejadian sebelum penyerangan Karbala.

Saudara Idahram berkata,

“Pada bulan Dzul Qa’dah tahun 1216 H/1809 M, putra tertua Abd Al-Aziz yang bernama Saud ibnu Saud menyerang Karbala bersama 12.000 pasukannya.” (Sejarah Berdarah..., hal. 71)

Sangat disayangkan, saudara Idahram menafikan rangkaian kejadian sebelumnya yang menjadi sebab penyerangan tersebut. Apakah karena memang dia tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu demi untuk menjatuhkan dakwah tauhid dan sunnah?! Yang pasti, para ahli sejarah menceritakan rangkaian kejadian tersebut sebagai berikut,[14]

Pada tahun 1213 H/1798 M, Gubernur Baghdad, Sulaiman Basya dan wakilnya Ali Basya menyiapkan pasukan untuk menyerang Ahsaa dan banyak pasukan ini berasal dari kabilah Al-Jaza’il. Mereka adalah kaum Syi’ah Karbala, penyembah kuburan Al-Husain radhiallahu ‘anhu. Pasukan ini dipimpin oleh Ali Basya. Mereka mengepung benteng penduduk Ahsaa selama berhari-hari namun pada akhirnya gagal tanpa meraih kemenangan sedikit pun. Mereka lalu memutuskan untuk pulang ke Baghdad.

Ketika mereka dalam perjalanan pulang, barulah pasukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dari Dir’iyyah sampai ke Ahsaa yang dipimpin oleh Al-Imam Su’ud rahimahullah. Beliau pun mengejar pasukan Ali Basya untuk membalas kezaliman mereka terhadap penduduk Ahsaa. Beliau berhasil mengejar mereka hingga terjadi pertempuran yang sengit antara dua pasukan, sampai pada akhirnya Ali Basya memohon perdamaian dan diterima oleh Al-Imam Su’ud rahimahullah.

Pada tahun 1214 H/1799 M, kabilah Al-Jaza’il, kaum Syi’ah Karbala mengkhianati perjanjian damai itu. Mereka membunuh ratusan pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dekat kota Najaf. Maka Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad rahimahumallah, pemimpin Saudi Arabia ketika itu, meminta pertanggungjawaban Gubernur Baghdad atas pengkhianatan terhadap perjanjian yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah, namun diyah (denda pembunuhan) ini tidak diindahkan oleh Baghdad maupun Karbala, sampai hampir dua tahun lamanya.

Barulah pada tahun 1216 H/1801 M, pasukan Saudi yang dipimping oleh Al-Imam Su’ud rahimahullah menyerang Karbala sebagai hukuman dan pembalasan (qishas) terhadap pembunuhan yang mereka lakukan, sekaligus menghancurkan dan meratakan kuburan Al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma yang mereka jadikan berhala. Inilah sesungguhnya hakikat peperangan Karbala.

2. Pertempuran di Hijaz (Makkah, Madinah, Thaif dan sekitarnya)

Seperti biasa, rujukan saudara Idahram dalam memaparkan “fakta-fakta” sejarahnya adalah buku Ahmad Zaini Dahlan, seorang yang terkenal sangat memusuhi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan tidak segan berdusta semi untuk menghalangi tersebarnya dakwah beliau.

Dalam memaparkan kisah pertempuran di Thaif (hal. 77-81) saudara Idahram dengan keji menuduh seorang ulama yang mulia, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pasukannya membunuh kaum muslimin tanpa terkecuali orang tua, wanita dan anak-anak di pangkuan ibunya.

سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ

“Maha Suci Engkau (Ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nur: 16)

Sayang sekali, baik Ahmad Zaini Dahlan yang dijadikan rujukan maupun Idahram sendiri, tidak sedikit pun bisa mendatangkan bukti atas tuduhan keji lagi dusta tersebut. Karena itu Al-Imam Al-Muhaddits Muhammad Basyir As-Sahsawani rahimahullah berkata,

“JAWABAN TERHADAP TUDUHAN-TUDUHAN INI, SEMUANYA DUSTA YANG KEJI, MAKA JANGANLAH ENGKAU TERTIPU AKAN BANYAKNYA KEKEJIAN MEREKA.” [15]

Pembaca yang budiman, mari kita lihat jalannya sejarah “penaklukan” Hijaz lebih utuh, bukan hanya sekedar penggalan-penggalan cerita seperti yang dikutip saudara Idahram. Berikut ini akan kami paparkan rangkaian kejadian yang sebenarnya:[16]

Pergesekan antara Dir’iyyah dan Makkah terjadi karena adanya kepentingan penguasa Makkah yang terusik di Najd. Sikap permusuhan penguasa Makkah ini berujung pada pelarangan naik haji oleh Asy-Syarif Manshur bin Sa’id (penguasa Makkah) terhadap seluruh pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Pengganti beliau, saudaranya Asy-Syarif Mas’ud juga tidak mengubah kebijakan yang zalim ini. Akan tetapi pada tahun 1183 H/1769 M, pasukan kecil Saudi di Najd berhasil menahan orang-orang Hijaz yang ketika itu dipimpin oleh Asy-Syarif Manshur. Ketika mereka dibawa ke Dir’iyyah, Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad rahimahumallah memuliakan dan membebaskan mereka tanpa ada denda sedikit pun, sehingga karena kebaikan ini para pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah diberi izin untuk berhaji.

Bahkan pada tahun 1185 H/1771 M, penguasa Makkah ketika itu, Asy-Syarif Ahmad bin Said meminta kepada penguasa Dir’iyyah agar mengirim untuk mereka seorang ulama, sehingga dapat menjelaskan kepada ulama Hijaz hakikat dakwah yang diserukan Dir’iyyah.

Dikirimlah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Al-Hushain rahimahullah dengan membawa surat dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad rahimahumallah kepada Syarif Makkah dan inilah usaha pertama untuk berdakwah kepada ulama, penguasa dan penduduk Hijaz.

Namun sayang, hubungan yang baik antara Dir’iyyah dan Hijaz tidak berlangsung lama. Hal itu karena As-Syarif Ahmad dilengserkan dari kekuasannya oleh saudaranya sendiri, Asy-Syarif Surur bin Musa’id, yang kemudian menggantikan posisinya. Pada zamannya, Dir’iyyah harus kembali meminta izin untuk menunaikan ibadah haji, walaupun pada akhirnya diizinkan, namun dengan syarat harus membayar pajak.

Maka pada tahun 1197 H/1782 M, jama’ah haji Dir’iyyah memasuki kota Makkah setelah pemimpin Dir’iyyah membayar mahal kepada Asy-Syarif Surur. Lalu pada tahun 1202 H/1787 M,  Asy-Syarif Surur meninggal dan digantikan saudaranya Asy-Syarif Ghalib bin Musa’id. Awalnya Asy-Syarif Ghalib kelihatan ingin memperbaiki hubungan dengan Dir’iyyah, namun ia pada akhirnya tidak bisa menerima prinsip-prinsip dakwah Dir’iyyah seperti dilakukan saudaranya terdahulu, Asy-Syarif Ahmad, yang tidak pernah mempermasalahkan prinsip-prinsip dakwah tersebut. Sampai akhirnya, Asy-Syarif Ghalib kembali melarang jama’ah haji Dir’iyyah untuk memasuki kota Makkah.

Pada tahun 1205 H/1789 M, Asy-Syarif Ghalib menyiapkan pasukan tempur berkekuatan 10.000 tentara untuk memerangi Dir’iyyah yang dipimpin oleh saudaranya Asy-Syarif Abdul Aziz bin Musa’id. Dalam perjalanan ke Dir’iyyah mereka sampai ke daerah As-Sir, lalu mengepung benteng istana Bassam selama 4 bulan lamanya.

Setelah itu, pada bulan Ramadhan/Mei di tahun yang sama, mereka mengepung daerah Asy-Syu’ara’ selama sebulan lamanya, pengepungan ini pun dengan tambahan pasukan Hijaz yang dipimpin langsung oleh Asy-Syarif Ghalib. Dua daerah yang diserang ini tetap bertahan, sampai akhirnya pasukan Hijaz kembali ke Hijaz karena musim haji semakin dekat, tanpa membawa kemenangan secara utuh.

Pada tahun 1210 H/1795 M, Asy-Syarif Ghalib kembali menyiapkan pasukan besar yang dipimpin oleh Asy-Syarif Fuhaid untuk menyerang Dir’iyyah. Maka terjadilah perang besar di dataran tinggi Najd, ketika pasukan Hijaz menyerang kabilah Qahthan yang tinggal di sana. Pertempuran pertama dimenangkan oleh pasukan Hijaz dengan meninggalkan korban yang tidak sedikit pada kabilah Qahthan, sehingga Asy-Syarif pun mengirim pasukan pada pertempuran kedua yang dipimpin oleh Asy-Syarif Nashir bin Yahya.

Pada pertempuran kedua ini barulah Dir’iyyah berhasil mengirim pasukan bantuan kepada kabilah Qahthan untuk membela diri dari serangan pasukan Hijaz. Pada akhirnya pasukan Hijaz mengalami kekalahan besar dalam pertempuran ini.

Sayang sekali, penguasa Hijaz belum puas dengan kezalimannya. Pada bulan Syawwal tahun 1212 H/1798 M, dia memanfaatkan kesibukkan Dir’iyyah di utara dengan mengirim pasukan besar untuk menyerang kabilah-kabilah yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di daerah Raniyyah, Baisyah dan Turbah di kota Al-Khurmah. Mulanya pasukan Hijaz telah berhasil mengalahkan kabilah-kabilah ini, namun setelah Dir’iyyah mengirimkan pasukan bantuan, pasukan Asy-Syarif pun bisa dikalahkan, sehingga kabilah-kabilah tersebut selamat dari permusnahan.

Setelah kekalahan ini, barulah Asy-Syarif memohon perdamaian kepada Dir’iyyah dan diterima dengan baik oleh penguasa Dir’iyyah. Di antara kesepakatannya, mengizinkan jamaah haji Dir’iyyah untuk menunaikan haji selama enam tahun dan membagi kekuasaan terhadap kabilah-kabilah. Pada tahun 1217 H/1802 M, terjadi perpecahan internal Hijaz diakibatkan kezaliman Asy-Syarif, sehingga sebagian kabilah yang ada di bawah kekuasaan Asy-Syarif memisahkan diri dan ingin bergabung dengan Dir’iyyah. Termasuk salah seorang menteri Asy-Syarif bernama Utsman bin Abdur Rahman Al-Mudhayafi juga memisahkan diri dan mendirikan pusat pemerintahannya di Al-Ubaylaa, yang terletak antara Turbah dan Thaif. Inilah akar peperangan Thaif.

Ketika Utsman bin Abdur Rahman Al-Mudhayafi memisahkan diri dari Asy-Syarif, bergabunglah kabilah-kabilah lain yang juga tidak puas dengan kepemimpinan Asy-Syarif Ghalib. Kabilah-kabilah tersebut berasal dari Thaif dan sekitarnya, sehingga Asy-Syarif Ghalib pun menyerang Thaif, namun mereka berhasil mempertahankan diri sehingga Asy-Syarif kembali ke Makkah. Melihat keadaan ini, maka Dir’iyyah mengangkat Utsman bin Abdur Rahman Al-Mudhayafi sebagai gubernur Thaif untuk mempertahankan Thaif.

Dari sinilah kemudian penguasa Dir’iyyah, Al-Imam Su’ud rahimahullah baru benar-benar menyiapkan pembalasan untuk Asy-Syarif Ghalib pada tahun 1217 H/1803 M. Mendengar rencana ini, Asy-Syarif Ghalib memohon bantuan kepada Daulah Utsmaniyyah di Turki namun tidak ada jawaban sedikitpun atas permohonannya.[17]

Bahkan Asy-Syarif memaksa jamaah haji untuk membantu mereka berperang melawan Dir’iyyah. Sehingga Al-Imam Su’ud rahimahullah menunggu sampai berakhir musim haji dan jamaah haji kembali ke negeri mereka masing-masing.

Tentang permohonan Asy-Syarif kepada Daulah Utsmaniyyah yang tidak ditanggapi, diakui juga oleh Ahmad Zaini Dahlan. Dia berkata,

“Pemimpin kami Asy-Syarif Ghalib mengirim kabar kepada daulah tertinggi (di Turki) tentang Al-Wahhabiyyah, beliau juga mengirim As-Sayyid Muhsin bin Abdullah Al-Hamud dan As-Sayyid Husain, mufti Malikiyyah, tetapi daulah Utsmaniyyah tidak mempedulikan permohonan ini.”[18]

Ketika Asy-Syarif merasa tidak mungkin bisa melawan Dir’iyyah, ia pun melarikan diri dari Makkah ke Jeddah. Kekuasaan Makkah pun berpindah kepada saudaranya, Asy-Syarif Abdul Mu’in Musa’id.

Pada akhirnya Asy-Syarif Abdul Mu’in mengumumkan bahwa Makkah tunduk kepada Dir’iyyah dan menyatakan kesiapan untuk menyerahkan Hijaz kepada Dir’iyyah dengan syarat beliau tetap sebagai penguasa Makkah. Al-Imam Su’ud rahimahullah pun menerimanya pada bulan Muharram tahun 1218 H/1803 M.

Beliau dan pasukannya lalu memasuki Makkah tanpa peperangan, lalu dibacakan jaminan keamanan dari beliau kepada penduduk Makkah. Berikut naskah surat jaminan keamanan tersebut.

“Dari Su’ud bin Abdul Aziz kepada seluruh penduduk Makkah, ulama, pembesar dan para qadhi, salam sejahtera kepada siapa saja yang mengikuti petunjuk. Kalian adalah tetangga dan penduduk Al-Haram yang aman. Sesungguhnya kami hanyalah mengajak kalian kepada agama Allah dan RasulNya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ ۚ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apa pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran: 64)

Maka kalian ada dalam perjanian Allah, dan perjanjian Amirul Muslimin Su’ud bin Abdul Aziz dan pemimpin kalian, Abdul Mu’in bin Musa’id, maka tetaplah mendengar dan taat kepadanya selama ia taat kepada Allah. Wassalam.”[19]

Setelah itu Al-Imam Su’ud rahimahullah memerintahkan penduduk Makkah untuk mempelajari dan mengamalkan dakwah perbaikan yang beliau serukan, barulah beliau menghancurkan kubah-kubah dan simbol-simbol kesyirikan yang dibangun di atas kuburan-kuburan. Lalu beliau meninggalkan Makkah, kembali ke Dir’iyyah.

Masih pada tahun 1218 H/1803 M, Asy-Syarif Ghalib kembali memasuki Makkah tanpa perlawanan, namun setelah itu ia melanggar perjanjian damai yang telah disepakati saudaranya Abdul Mu’in dengan menyerang Thaif yang dikuasai oleh Utsman Al-Mudhayafi dan pengikutnya. Inilah akar peperangan Thaif kedua.

Ketika berita penyerangan ini sampai ke Dir’iyyah, maka Al-Imam Su’ud bin Abdul Aziz rahimahullah menyiapkan pasukan besar dan membangun benteng di lembah Fathimah sampai selesai pada tahun 1220 H/1805 M. Dari sana beliau menyerang Jeddah yang menjadi basis pasukan Asy-Syarif Ghalib, lalu mengepung Makkah, sampai akhirnya Asy-Syarif Ghalib kembali memohon perdamaian dengan syarat dia tetap sebagai gubernur Makkah. Permohonannya pun diterima sehingga akhirnya daerah Hijaz (Thaif, Makkah, Madinah dan sekitarnya) berada di bawah kepemimpinan Saudi.

3. Penaklukan Kota Uyainah

Kedustaan yang sangat keji tanpa sedikit pun disertai dengan bukti-bukti ilmiah kembali dihembuskan oleh saudara Idahram. Dia menuduh, pada tahun 1163 H Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memerintahkan untuk menghancurkan kota Uyainah dan melarang pembangunannya kembali selama 200 tahun karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengirimkan jutaan belalang untuk meluluhlantakkan kota tersebut (pada hal. 88-89). Lalu pada catatan kaki nomor 28, Idahram mengklaim, sumber berita ini dari kitab Unwan Al-Majd jilid 1 h. 23.

Tampak di sini, saudara Idahram berusaha mengelabui kaum muslimin dengan memanfaatkan keawaman dan ketidakmampuan mereka untuk menelusuri sumber sejarah yang diklaim oleh Idahram. Tidak ada sedikit pun kisah tersebut pada halaman yang disebutkan.

Entah dari mana dia mendapatkan berita bohong ini? Lalu kami mencoba mencarinya pada kisah-kisah kejadian tahun 1163 H sebagaimana yang diinfokan oleh saudara Idahram, bahwa kisah itu terjadi pada tahun tersebut (pada hal. 87), juga tidak ada satu pun fakta sejarah sebagaimana tuduhan Idahram.

Silakan pembaca yang budiman melihat langsung ke kitab Unwan Al-Majd, cetakan ke-4 tahun 1982, seperti cetakan yang dijadikan rujukan oleh Idahram, yang dicetak oleh percetakan Darat Al-Malik Abdul Aziz Riyadh. Silakan lihat pada jilid 1 hal. 23 seperti klaim saudara Idahram. Lihat juga kisah yang terjadi pada tahun 1163 pada jilid 1 hal. 60-62, pembaca tidak akan mendapati kisah yang diceritakan oleh Idahram tersebut.

وَالَّذِي تَوَلَّىٰ كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam peyiaran berita bohong itu baginya adzab yang besar.” (QS. An-Nuur: 11)[20]

4. Lagi, Tuduhan Dusta Idahram terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah Atas Pembunuhan Utsman bin Mu’ammar

Saudara Idahram kembali melemparkan tuduhan dusta terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahwa beliau telah membunuh pemimpin Uyainah yang bernama Utsman bin Mu’ammar (pada hal. 89-90).

Pada catatan kaki nomor 29, saudara Idahram kembali mengklaim bahwa sumber sejarah tersebut dari sebuah kitab yang berjudul Tarikh Najd, hal. 97, karya Ibnu Ghannam rahimahullah. Entah cetakan mana dan tahun berapa yang dimiliki oleh Idahram, sebab setelah kami melihat langsung pada sumber yang disebutkan Idahram, yaitu kitab Tarikh Najd, hal. 97, cetakan Darus Syuruq tahun 1994 M, sama sekali tidak terdapat kisah tersebut.

Lalu kami mencoba mencari pada halaman lain tentang kisah pembunuhan Utsman bin Mu’ammar dan kami dapati, tidaklah seperti tuduhan Idahram. Bahkan yang sebenarnya, Utsman bin Mu’ammar telah bergabung bersama pasukan Dir’iyyah dalam peperangan melawan Dahham bin Dawwas, penguasa Riyadh[21] yang berkhianat pada tahun 1159 H-1160 H, di mana Dahham bin Dawwas dan pasukannya dari Riyadh membunuh penduduk Manfuhah yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Pasukan Dir’iyyah dengan dibantu Utsman bin Mu’ammar pun mengadakan perlawanan kepada Dahham bin Dawwas, sehingga pecah pertempuran antara Dir’iyyah dan Riyadh dengan kekalahan pada pihak Riyadh, namun Dahham berhasil meloloskan diri.[22]

Setelah pertempuran ini, Utsman bin Mu’ammar melakukan pengkhianatan dengan melakukan persekongkolan bersama penguasa Tsarmada, Ibrahim bin Sulaiman dan penguasa Riyadh yang lari, Dahham bin Dawwas. Mereka berencana jahat terhadap Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan mengatur strategi bagi Dahham agar berpura-pura sudah mengikuti dakwah tauhid yang diserukan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan datang ke Uyainah bersama Ibrahim bin Sulaiman. Maka, Utsman bin Mu’ammar pun mengundang Syaikh untuk datang ke Uyainah.

Namun Syaikh dapat merasakan aroma pengkhianatan Utsman bin Mu’ammar, hingga beliau tidak mau memenuhi undangan Utsman. Namun Utsman kembali berjanji setia kepada Dir’iyyah, sehingga pengkhianatannya dimaafkan. Justru ketika itu, penduduk Uyainah sendiri yang marah atas pengkhianatan pemimpin mereka.[23]

Sayangnya, pada tahun 1163 H, Utsman bin Mu’ammar kembali berkhianat. Hal ini dilaporkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah oleh penduduk Uyainah sendiri. Mereka datang kepada Syaikh mengeluhkan kekhawatiran mereka atas kelicikan Utsman bin Mu’ammar.

Maka Syaikh pun mengambil janji dari mereka untuk memerangi siapa saja yang memusuhi dakwah kepada tauhid, walaupun pemimpin mereka sendiri. Ibnu Mu’ammar pun ketakutan, hingga ia meminta pertolongan Ibrahim bin Sulaiman, pemimpin Tsarmada untuk memerangi rakyatnya sendiri.

Mengetahui hal tersebut, dua orang penduduk Uyainah yang bernama Hamd bin Rasyid dan Ibrahim bin Zaid pun membunuh Ibnu Mu’ammar ketika selesai sholat jum’at pada bulan Rajab tahun 1163 H. Ketika itu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah masih berada di Dir’iyyah. Bagaimana bisa dituduh membunuh Ibnu Mu’ammar!?

Dalam kisah ini pun tidak ada tuduhan bahwa Ibnu Mu’ammar dibunuh karena dia telah musyrik dan kafir seperti tuduhan Idahram,[24] tapi karena pengkhianatannya kepada penduduk Uyainah, sehingga yang membunuhnya adalah penduduknya sendiri. Silakan lihat kisah yang sebenarnya pada kitab Tarikh Najd, hal. 103.

Footnote:
[1] Shahih Muslim, 1/6
[2] HR. Al-Imam Muslim no. 7 dari Hafsh bin ‘Ashim radhiallahu ‘anhu
[3] Majmu’ Muallafah Asy-Syaikh, 5/60, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 220.
[4] Majmu’ Muallafah Asy-Syaikh, 3/11, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 221.
[5] Shiyanatul Insan, hal. 485, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 226.
[6] Muhammad bin Abdul Wahhab Muslihun Mazlumun wa Muftara ‘Alaihi, hal. 204.
[7] Shiyanatul Insan,  hal. 486, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 226.
[8] Ayat yang mulia ini semoga menjadi peringatan kepada penulis, penerbit, penjual dan penganjur buku Sejarah Berdarah yang penuh dengan kedustaan, hadaahumullah.
[9] HR. Al-Imam Muslim no. 186 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu.
[10] Jahmi adalah orang Jahmiyyah, kelompok sesat yang berpendapat Al-Qur’an adalah makhluk dan masih banyak kesesatan lain.
[11] Rafidhi adalah Syi’ah Rafidhah, dari kata rafdh yang artinya menolak, dinamakan demikian karena mereka menolak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar, dalam hal ini mereka menyelisihi Ali bin Abi Thalib sendiri dan seluruh sahabat yang sepakat atas kekhilafahan Syaikhain radhiallahu ‘anhuma.
[12] Artinya Al-Imam Bukhari rahimahullah menganggap Jahmiyah dan Rafidhah sama dengan Yahudi dan Nasrani, tidak boleh sholat di belakangnya.
[13] Al-Asma’ was Shifaat, Abu Bakar Ahmad bin Husain Al-Baihaqi, 1/616, no. 561.
[14] Fakta-fakta sejarah ini diungkap oleh gabungan peneliti sejarah yang menulis sebuah ensiklopedi sejarah Jazirah Arab dan sedunia (khususnya sejarah Arab Saudi) yang berjudul, ‘Mausu’ah Muqotil Min Ash-Shohro’. Para peneliti yang terlibat dalam penyusunan ensiklopedi sejarah ini adalah Prof. Dr. Ibrahim Al-Qurasyi Utsman, Prof. Dr. Ahmad Abdul Baqi Al-‘Ayyath, Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Dr. Ibrahim Hamd Al-Qa’id, Dr. Ibrahim Shalih Ad-Dausari, dan lain-lain. Ensiklopedi ini murni membahas sejarah tanpa memberikan penilaian, baik pujian dan celaan terhadap para pelaku sejarah tersebut. Untuk membaca ensiklopedi ini, bisa melalui website resminya http://www.moqatel.com
[15] Shiyanatul Insan, hal. 498.
[16] Kami ringkas dari website resmi Ensiklopedi Sejarah Muqotil Min Ash-Shohro, karya ilmiah kumpulan peneliti sejarah.
[17] Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, apakah Hijaz masih berada di bawah penguasaan Daulah Utsmaniyyah atau berdiri sendiri dengan Asy-Syarif sebagai pemimpinnya? Ataukah memang Daulah Utsmaniyyah di masa itu sudah begitu lemah hingga penguasaannya terhadap Hijaz hanya tinggal nama? Yang pasti, penguasaan Saudi atas Hijaz akibat ulah penguasa Hijaz sendiri yang menyerang Dir’iyyah. Itu pun dia lakukan beberapa kali baru kemudian Dir’iyyah melakukan pembalasan setelah para Syarif tidak menaati perjanjian damai. Terlebih di masa Syarif, Hijaz penuh dengan kesyirikan dan penyembahan terhadap kuburan, maka sungguh tidak pantas dua kota suci umat Islam dibiarkan begitu saja tanpa dibersihkan dari kesyirikan dan bid’ah. Dan yang patut dicatat, pengusaan Saudi atas Hijaz bukanlah memberontak dan memisahkan diri dari Daulah Utsmaniyyah, sehingga tidak terdapat satu pun data ilmiah berupa pernyataan resmi memisahkan diri dari Daulah Utsmaniyyah yang dikeluarkan oleh pemerintah Saudi.
[18] Khulasatul Kalam fi Umara Al-Bait Al-Haram, Ahmad Zaini Dahlan, hal. 266, sebagaimana dalam Ensiklopedi Sejarah Muqotil Min Ash-Shohro, dalam website resminya.
[19] Jaminan keamanan kepada penduduk Makkah, pemerintah dan ulamanya ini sekaligus bantahan terhadap tuduhan dusta saudara Idahram atas pembunuhan ulama di Makkah yang tidak sepaham (pada hal. 96). Kejadian ini juga sebagai bantahan terhadap tuduhan membunuh ulama yang tidak sepaham –yang tidak terbukti- di negeri-negeri lainnya, karena kenyataannya ketika menguasai Makkah, penguasa Saudi memberikan jaminan keamanan kepada ulama. Bagaimana bisa dituduh membunuh ulama?!
[20] Kembali kami ingatkan, ayat yang mulia ini semoga menjadi peringatan kepada penulis, penerbit, penjual dan penganjur buku Sejarah Berdarah yang penuh dengan kedustaan ini, hadaahumullah.
[21] Kisah ini sekaligus bantahan saudara Idahram atas tuduhannya dalam penyerangan kota Riyadh (pada hal. 93-94), hakikat penyerangan tersebut hanyalah pembalasan terhadap pengkhianatan penduduk Riyadh yang dipimpin oleh Dahham bi Dawwas dalam menyerang dan membunuh penduduk Manfuhah.
[22] Lihat Tarikh Najd, hal. 96-98.
[23] Ibid, hal. 100
[24] Saudara Idahram mengklaim info ini dia dapatkan dari kitab Tarikh Najd hal. 97, setelah kami melihat langsung pada sumber yang dimaksud kisah tersebut tidak ada. Memang ada kisah tersebut pada hal. 103, namun tanpa ada tuduhan musyrik dan kafir kepada Ibnu Mu’ammar.

Ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafizhahullah dalam buku “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan” penerbit TooBagus cet. kedua.  Bantahan terhadap buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syaikh Idahram hadahullah.

Dicopy dari catatan facebook Al-Akh Rizky Al-Magetany

Friday, September 16, 2011

Empat Golongan Yang Tidak Layak Memiliki Ilmu

Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu yang menyebutkan macam-macam orang yang mempunyai ilmu namun mereka tidak layak untuk memilikinya. Mereka ada empat golongan.

Golongan pertama: yang tidak dapat dipercaya memegang amanah ilmu. Yaitu, orang yang diberi karunia kecerdasan dan hafalan, tapi ia tidak dikaruniai kebersihan hati. Akhirnya ia menjadikan ilmu -yang merupakan alat agama— sebagai alat dunia. Ia mencari dunia dengan ilmu itu. Ia memfungsikan komoditi perdagangan akhirat menjadi alat dagang dunia. Orang seperti ini tidak amanah terhadap ilmu yang ; dimilikinya. Allah subhanahu wata'ala sekali-kali tidak menjadikannya imam bagi ilmu itu. Sebab, orang yang amanah adalah orang yang tidak punya tujuan dan keinginan pribadi selain mengikuti serta mendapatkan kebenaran, sehingga ia tidak memburu kekuasaan dan dunia dengannya. Orang yang telah menjadikan komoditi akhirat sebagai alat dagang dunia telah mengkhianati Allah subhanahu wata'ala, mengkhianati hamba-hamba-Nya, dan mengkhianati agama-Nya. Oleh sebab itu, Imam Ali mengungkapkan orang pertama ini dengan "orang yang tidak amanah atas ilmu."


Perkataan Ali radhiallau anhu selanjutnya, 'ia mengedepankan ilmu -yang merupakan karunia Allah Subhanahu wata'ala- atas kitab-Nya, dan menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba-Nya dengan nikmat-nikmat-Nya'. Ini adalah karakter pengkhianat tersebut. Apabila dikaruniai nikmat, ia sombong di depan manusia. Apabila menguasai ilmu, ia mengedepankan ilmu itu atas Kitabullah dan menjadikannya pegangan. Ini adalah sikap banyak orang yang telah menguasai suatu ilmu. Mereka merasa cukup dengan ilmu itu, mengutamakannya dan menjadikan Kitabullah sebagai pengikut ilmunya. Ini bukanlah sikap para ulama. Karena orang yang benar-benar alim akan mengedepankan Kitabullah atas segala hal yang lain, dan menjadikannya patokan keputusan hukum dan timbangan atas segala hal, sebagaimana Allah SWT telah menjadikan Al-Qur’an sebagai imam. Jadi, orang yang mengedepankan Al-Qur’an itu adalah orang yang mendapat petunjuk dan berbahagia, sedang yang mengutamakan sesuatu yang lain atasnya adalah orang yang sesat dan celaka. Ini adalah ihwal dan sikap orang yang menyibukkan diri dengan sesuatu selain Kitabullah, merasa cukup dengannya, dan mengedepankannya serta mengakhirkan Al-Qur'an.

Golongan kedua: orang yang tunduk, tapi hatinya belum mantap. Pengetahuannya terhadap ilmu itu lemah, tapi dia patuh kepada para ulama. Ini adalah keadaan para pengikut kebenaran, yaitu orang-orang yang taklid. Orang-orang ini, meski berada di jalan keselamatan, bukanlah para penyeru (dai) kepada agama. Mereka hanyalah pada posisi serdadu biasa, bukan panglima dan jenderal.

Perkataan Ali radhiallahu anhu, keraguan tertanam di hatinya begitu menjumpai isu meragukan, karena ilmunya lemah dan pengetahuannya minim. Apabila hatinya dilanda keraguan sekecil apa pun, maka ia goyah. Berbeda dengan orang yang kokoh dalam ilmunya. Apabila ia diterpa badai keraguan sekuat hempasan gelombang laut, keyakinannya tidak berubah dan tidak muncul kebimbangan dalam hatinya. Sebab, ia telah kokoh dalam ilmu sehingga keraguan tidak mempermainkannya. Bahkan, apabila keraguan datang, penjagaan 'bala tentara' ilmu mampu menolaknya.

Keraguan itu datang melanda hati dan menghalangi tersingkapnya kebenaran. Selama hati telah tersentuh dengan hakikat ilmu, maka keraguan tidak akan berpengaruh padanya. Bahkan, dengan mengusirnya dan mengetahui kebatilannya, hati bertambah kuat dan keyakinan makin teguh. Sebaliknya jika hakikat ilmu tentang kebenaran belum menyentuh hati, maka sekali muncul keraguan maka ia akan goyah. Syukur bila cepat disadari. Bila tidak, maka ye ang berikutnya akan beruntun susul-menyusul menimpa hati sehingga orang tersebut akhirnya menjadi orang yang peragu dan bimbang.

Hati dilanda oleh dua macam tentara kebatilan yaitu syahwat dan syubhat (keraguan). Setiap hati yang menerima dan menyambutnya akan merekamnya hingga penuh. Pengaruhnya menjalar sampai ke lisan dan organ-organ tubuhnya. Apabila yang merasuki hati adalah syubhat-syubhat batil, maka meledaklah keraguan melalui lisannya. Sehingga, orang yang bodoh menyangka bahwa hal itu karena ilmunya luas. Padahal, itu terjadi akibat dari dia tidak berilmu dan tidak punya keyakinan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata kepadaku -ketika aku terlalu banyak mengemukakan syubhat dan bantahan-bantahan orang, "Janganlah engkau memenuhi hatimu dengan bantahan dan syubhat seperti bunga karang yang selalu menerima dan penuh dengan benda asing, sehingga akhirnya engkau hanya menyebarkan syubhat-syubhat itu. Tapi, jadikanlah hatimu itu seperti kaca bening. Syubhat boleh lewat di luarnya, tapi tidak berdiam di sana. Ia dapat melihat syubhat itu dengan kejernihannya, dan menolaknya dengan kepadatannya. Jika tidak begitu, dan engkau menghirup semua syubhat yang menimpa hatimu, maka hatimu itu akan menjadi tempat bersemayamnya syubhat-syubhat." Wasiat ini amat bermanfaat bagiku dalam menolak syubhat.

Syubhat dinamai demikian karena mengandung ketidakjelasan kebenaran dengan kebatilan. Syubhat membungkus jasad kebatilan dengan baju kebenaran. Sementara itu, kebanyakan manusia melihat kepada kulit penampilan luar yang baik. Maka, orang yang melihat syubhat itu akan melihat baju yang dikenakannya sehingga beranggapan bahwa ia itu benar. Tapi, ulama -orang yang berilmu dan mempunyai keyakinan teguh—tidak terpedaya dengan hal itu. Pandangannya menembus ke batin syubhat dan apa yang di balik bajunya sehingga hakikatnya terungkap di matanya. Permisalan untuk ini adalah dirham (uang perak) palsu. Orang yang tidak mengerti tentang logam mulia akan tertipu karena melihat lapisan peraknya. Tapi orang yang paham dan jeli, pandangannya melampaui kulit luar sehingga ia dapat mengetahui kepalsuannya. Nah, ucapan yang indah dan fasih bagi syubhat adalah seperti lapisan perak bagi dirham palsu. Dan, makna ucapan itu sendiri seperti perunggu yang dibungkus dengan perak itu tadi.

Kalau orang yang berakal dan cerdas memperhatikan dan merenungkan hal ini, ia melihat kebanyakan manusia menerima mazhab dan pendapat dengan suatu lafal dan menolaknya bila diungkapkan dengan lafal lain. Dalam berbagai buku, aku temukan hal seperti ini yang sangat banyak. Betapa banyak kebenaran ditolak orang karena dijelek-jelekkan dengan bungkusan baju kata-kata yang keji.

Dalam hal semacam ini, para imam Ahli Sunnah, di antaranya Imam Ahmad, menyatakan, "Kami tidak menghilangkan salah satu dari sifat Allah subhanahu wata’ala dikarenakan sebuah kekejian yang dibuat suatu pihak." Contohnya, orang-orang Jahmiyyah menamakan pemberian sifat-sifat kesempurnaan untuk Allah subhanahu wata’ala yang berupa hayat, 'Urn, kalam, soma', bashar dan Iain-lain yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan sendiri sebagai tasybih dan tajsim[1], dan menyebut orang yang memberikan sifat itu dengan nama mujassim[2].. Akibat penyebutan yang keji ini, orang-orang yang berpikiran pendek dan pemahamannya dangkal akan menjauhi dan tidak menerima pemberian sifat kesempurnaan kepada Allah subhanahu wata’ala.

Semua penganut suatu kepercayaan atau aliran membungkus aliran dan pendapat mereka dengan lafal-lafal terbaik semampu mereka; dan membungkus pendapat orang yang berseberangan dengan lafal-lafal yang paling buruk. Orang yang dikaruniai oleh Allah subhanahu wata’ala pemahaman yang dalam mampu mengungkap hakikat kebenaran dan kebatilan di balik lafal-lafal itu. Ia tidak terpedaya dengan lafal.

Maka, apabila Anda ingin mengetahui hakikat sebenarnya dari suatu makna, apakah ia hak atau batil, lepaskan ia dari baju lafalnya dan bersihkan hatimu dari kecenderungan dan kebencian, lalu pikirkanlah dengan dalam dan adil. Jangan seperti orang yang menimbang pendapat para sahabatnya dengan sepenuh hatinya. Tapi, giliran ia menimbang pendapat lawan ia seperti memandang kepada percikan api. Karena, orang yang menimbang dengan hati permusuhan akan melihat kebaikan sebagai sesuatu yang buruk, dan orang yang menimbang dengan hati cinta sebaliknya. Hanyalah orang yang Allah subahanhu wata’ala kehendaki dan ridhai untuk menerima kebenaran yang akan selamat dari aib ini. Ada yang berkata,


"Pandangan ridha mampu menutupi setiap cacat
sebagaimana pandangan benci selalu menampakkan keburukan."

Yang lain berkata,
"Mereka memandang dengan pandangan permusuhan
seandainya dengan pandangan ridha pasti mereka menganggap baik sesuatu yang buruk."

Kalau ini berkaitan dengan penglihatan mata kasat yang menjangkau hal-hal kongkrit yang tidak dilebih-lebihkan, apalagi pandangan mata hati yang menjangkau makna-makna abstrak yang biasanya mudah terkena penyakit pengingkaran. Hanya kepada Allah subhanahu wata’ala kita meminta bimbingan untuk mengetahui dan menerima kebenaran dan menolak kebatilan serta tidak terpedaya dengannya.

Perkataan Ali radhiallahu anhu, begitu menjumpai syubhat, merupakan bukti kelemahan akal dan makrifat orang tersebut, karena dia dapat terpengaruh dan terombang-ambing oleh hal-hal sepele dan kecil. Berbeda dengan orang yang berakal jernih dan teguh, hal-hal kecil tidak dapat mengguncang dan mempermainkannya. Pada awalnya, kebatilan mengejutkan, namun bila hatinya tegar, ia mengusirnya mundur ke belakang.

Allah subhanahu wata’ala mencintai orang yang mempunyai ilmu dan tidak tergesa-gesa. Ia tidak bertindak hingga ia mengetahui dan meyakini apa yang sedang melandanya. Ia tidak terburu-buru mengeluarkan keputusan atau melakukan tindakan sebelum benar-benar mengetahuinya dengan dalam. Ingat, tergesa-gesa adalah dari setan. Maka, orang yang tegar berhadapan dengan guncangan karena hal-hal kecil, ia menghadapi urusannya dengan ilmunya dan ketegasan. Sedangkan, orang yang tidak tegar akan menghadapinya dengan tergesa-gesa dan kacau, akibatnya adalah penyesalan. Orang yang pertama berujung pada keberuntungannya.

Hanya saja orang pertama menghadapi sebuah kekurangan juga. Tapi, selama kekurangan itu diiringi dengan keteguhan dan ketegasan, ia akan selamat darinya. Yaitu, lolosnya godaan tersebut masuk ke dalam hatinya. Tidak ada yang dikhawatirkan dari sikap teguh selain bahaya ini. Akan tetapi, bila dibarengi dengan keteguhan dan ketegasan, maka tidak ada masalah yang timbul. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. berdoa seperti diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa'i,


"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, kemantapan dalam urusanku dan keteguhan dalam kebenaran."


Dua kata ini (tsabat dan 'azimah) adalah inti keberuntungan. Seseorang tidak mendapat celaka dan masalah kecuali karena mengabaikan keduanya atau salah satunya. Seseorang tidak menemui masalah melainkan sebab tergesa-gesa, kacau, dan mudah dipermainkan oleh hal-hal permukaan kecil; atau karena menyepelekan dan menyia-nyiakan kesempatan yang datang. Apabila telah ada kemantapan (tsabat), lalu ada juga keteguhan ('azimah), seseorang tersebut benar-benar beruntung. Wallahu waliyyut taufiq.

Golongan ketiga: orang yang keinginannya mencari kesenangan. la tunduk kepada dorongan nafsu di manapun berada. la tidak dapat memperoleh derajat pewaris para nabi, karena ilmu tidak diraih melainkan dengan meninggalkan kesenangan dan menceraikan kemalasan. Imam Muslim berkata dalam shahihnya bahwa Yahya bin Abi Katsir berkata, "Ilmu tidak didapatkan dengan bersantai-santai."

Ibrahim al-Harby berkata, "Para cendekiawan seluruh umat sepakat bahwa kesenangan tidak dapat diraih dengan kesenangan. Orang yang memilih santai, maka sesuatu yang nikmat akan terlepas darinya."

Jadi, tidak mungkin orang yang mementingkan kenikmatan dan kesenangannya akan mendapat derajat sebagai pewaris para nabi.
"Tinggalkanlah menulis karena engkau bukan ahlinya walaupun engkau hitamkan wajahmu dengan tinta."

Ini karena ilmu adalah aktivitas dan pekerjaan hati. Selama hati tidak mengkonsentrasikan dirinya terhadap aktivitasnya, ia tidak dapat meraihnya. Dan hati hanya punya satu arah kiblat. Kalau ia mengarahkan hatinya ke kesenangan dan nafsu syahwat, ia berpaling dari ilmu. Orang yang tidak memenangkan kenikmatan dan keinginan untuk meraih ilmu, tidak akan pernah memperoleh ilmu itu. Apabila keinginan terhadap kenikmatan ilmu telah menguasai seluruh indera dan raganya, ada harapan ia akan termasuk golongan para ulama.

Kenikmatan ilmu adalah kenikmatan akal dan ruhani, seperti kenikmatan yang dirasakan para malaikat. Sedang nikmatnya karena makan, minum, nikah adalah kenikmatan hewani. Manusia sama dengan hewan dalam masalah itu. Adapun nikmatnya kejahatan, kezaliman, dan kerusakan adalah kenikmatan setan. Para pelakunya sama dengan iblis dan tentara-tentaranya. Seluruh kenikmatan lenyap dengan berpisahnya ruh dari badan, kecuali nikmatnya ilmu dan iman. Kenikmatan ini justru tambah sempurna setelah perpisahan ruh dan badan itu, karena badan dan hal-hal yang dulu menyibukkannya mengurangi, menyedikitkan, dan menghalangi kenikmatannya. Apabila ruh telah terpisah dari badan, ia mencapai kenikmatan utuh dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh yang ia kerjakan. Maka, orang yang mencari kenikmatan yang paling besar dan mengutamakan kenikmatan yang abadi berada di jalan ilmu dan iman yang menjadi inti sempurnanya kebahagiaan manusia.

Juga, kenikmatan-kenikmatan hewani itu cepat hilang. Apabila telah habis, akan diganti dengan perasaan murung dan sedih. Bukankah orang yang ditimpa musibah seperti itu perlu mengobatinya dengan hal yang sebanding untuk mengusir rasa sakitnya? Mungkin pengobatan itu menyakitkannya dan ia benci, namun ia harus menanggungnya untuk mengobati kesedihannya. Jauh sekali ini dengan kenikmatan ilmu, iman, cinta kepada Allah, dan merasa nikmat dengan zikir. Inilah kenikmatan dan kelezatan hakiki itu.

Golongan keempat: orang yang seluruh keinginannya tercurah pada mengumpulkan, mengembangkan, dan menyimpan harta. Kesenangan dan kenikmatannya ada pada hal-hal tersebut. Ia menghabiskan usia untuk semua itu. Ia tidak melihat adanya sesuatu yang lebih nikmat daripada yang ia senangi itu. Alangkah jauhnya ia dari derajat orang-orang berilmu.

Keempat golongan ini bukanlah termasuk dai-dai agama, atau para pemuka ulama, bukan pula para pencari ilmu. Sebagian dari mereka yang kelihatannya mempunyai ilmu, hanyalah orang-orang yang berpura-pura menjadi ulama, mengklaim diri mereka berilmu tapi sebenarnya tidak punya apa-apa. Bahaya dari orang-orang ini adalah cobaan bagi setiap orang yang lengah. Manusia akan meniru-niru mereka karena menyangka mereka benar-benar berilmu dengan berkata, "Kami tidaklah lebih baik dari mereka dan kami tidak mengutamakan diri kami atas mereka." Jadilah mereka rujukan orang-orang lengah tersebut. Oleh karena itulah, seorang sahabat menyindir mereka dengan ucapannya, "Berhati-hatilah terhadap bahaya orang alim yang berakhlak bejat dan ahli ibadah yang bodoh, karena bahaya mereka berdua adalah cobaan bagi setiap orang yang lengah."

Perkataan Ali radhiallahu anhu, hewan ternak lebih mirip dengan mereka, penyamaan ini diambil dari firman-Nya, "Mereka seperti hewan ternak. Bahkan, mereka lebih buruk lagi." Dalam ayat ini, Allah SWT bukan hanya menyerupakan mereka dengan hewan ternak, melainkan menyatakan mereka lebih sesat.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menyerupakan mereka dengan hewan ternak karena keinginan mereka hanya memburu dunia.

Allah Subhanahu wata’ala menyerupakan orang-orang bodoh dan sesat terkadang dengan (1) hewan ternak, (2) dengan keledai —ini adalah perumpamaan bagi orang yang mempelajari ilmu tapi tidak memahaminya dan tidak mengamalkannya, ia seperti keledai yang membawa buku—, (3) dan terkadang dengan anjing - ini adalah bagi yang meninggalkan ilmu dan tenggelam dalam nafsu syahwat.


____________________
Catatan Kaki:
[1] Tasybih adalah menyamaka Allah dengan makhluk, Tajsim adalah menganggap Allah mempunya tubuh seperti manusia.
[2] Mujassim adalah orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai tubuh seperti manusia.

Sumber: Mukhtasar MIFTAH DAAR AS-SA'ADAH oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (judul terjemahan: Kunci Kebahagiaan),hal. 266 - 271, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka Akbar, 2004.


Wednesday, September 14, 2011

Macam Ruqyah

Berdasarkan pada hadits dari postingan sebelumnya, maka para ulama mengklasifikasikan ruqyah menjadi 2 macam.

1. Ruqyah Syari'.
Yaitu ruqyah yang pada prakteknya menggunakan jampi-jampi berdasarkan al Qur'an dan doa-doa sesuai ajaran Rasulullah SAW, baik untuk tujuan penjagaan diri atau untuk orang lain dari pengaruh jahat pandangan mata, kerasukan, pengaruh sihir, gangguan kejiwaan, berbagai penyakit fisik dan lain sebagainya.

2. Ruqyah Syirki.
Yaitu ruqyah yang ada unsur syirik di dalamnya sehingga pada prakteknya dilarang oleh agama.

Tuesday, September 13, 2011

Dalil Tentang Ruqyah

Dalam Islam, tauhid adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar lagi.Artinya, bila seseorang telah meyakini bahwa Allah SWT sebagai Tuhan dan Dialah pada hakekatnya yang menyembuhkan segala jenis penyakit yang dialami oleh semua makhluk.

Agar kita memiliki gambaran yang lebih jelas tentang ruqyah, berikut ini beberapa hadits yang berkaitan dengan ruqyah.

1. Dari Abdullah bin Mas'ud r.a bahwa beliau berkata, aku mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya segala ruqyah, tamimah dan tiwalah adalah syirik."

Tamimah yang dimaksud di sini adalah menggantungkan sesuatu atau jimat dan tergantung padanya. Sementara tiwalah adalah guna-guna yang dipakai seseorang untuk menjadikan orang lain menjadi tertarik kepadanya.

2. Dari 'Auf bin Malik al-Asyja'i r.a bahwa beliau berkata,
"Dahulu kami meruqyah di masa Jahiliyah. Lalu kami bertanya," Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu tentang hal itu?"
Beliau menjawab," Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik."
(HR. Muslim).

3. Dari Jabir bin Abdillah r.a bahwa beliau berkata,
"Rasululah SAW melarang dari segala ruqyah. lalu keluarga 'Amr bin Hazm datang kepada Rasululah SAW. Mereka berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu memiliki ruqyah yang kami pakai untuk meruqyah yang kami pakai untuk meruqyah karena kalajengking. Tetapi engkau telah melarang dari semua ruqyah. Mereka lalu menunjukkan ruqyah itu kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda,
"TIdak mengapa barang siapa di antara kalian yang mampu memberi kemanfaatan bagi saudaranya, maka hendaknya lakukanlah."

4. Dari 'Ubadah bin ash-Shamit r.a.
"Di masa Jahiliyah dulu, aku meruqyah karena kalajengking dan 'ain. Tatkala aku masuk Islam, aku memberitahukan kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasululah SAW bersabda,
"Perlihatkan ruqyah itu kepadaku." Lalu aku menunjukkan kepada beliau. Beliau pun bersabda,
"Pakailah untuk meruqyah karena tidak mengapa menggunakannya."

5. Dari Syifa binti Abdullah r.a.
Dahulu dia meruqyah di masa Jahiliyah. Setelah kedatangan Islam, maka dia berkata,
"Aku tidak meruqyah hingga aku meminta izin kepada Rasululah SAW. Lalu dia pun pergi menemui dan meminta izin kepada beliau. Rasululah SAW bersabda,
"Silahkan engkau meruqyah selama tidak mengandung perbuatan syirik."

Dari semua hadits di atas menunjukkan bahwa asal mula seluruh ruqyah adalah dilarang, karena di masa jahiliyah, mereka meruqyah dengan ruqyah-ruqyah syirik dan tidak bisa dipahami maknanya. Mereka meyakini bahwa ruqyah itu berpengaruh dengan sendirinya.

Namun setelah mereka menunjukkan perihal ruqyah yang dilakukan, ternyata tidak semua jenis ruqyah itu dilarang dalam Islam, dan sebaliknya tidak semua ruqyah diperbolehkan.
Lalu ruqyah yang dilarang dan yang boleh itu yang bagaimana, nantikan pada postingan selanjutnya.

Sunday, September 11, 2011

Pengertian Ruqyah

Pada dasarnya ruqyah sama seperti doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT agar Allah berkenan memberikan kesembuhan penyakit, baik fisik maupun batin. Karena arti ruqyah sendiri secara bahasa adalah bacaan atau mantra.

Akan tetapi doa-doa untuk penyembuhan tersebut tidak boleh sembarangan melainkan yang sesuai dengan syariat Islam, yakni bacaan yang terdiri dari ayat Al Qur'an, Asmaul Husna serta doa-doa yang dicontohkan Nabi SAW berdasarkan hadits yang shahih.




Sehingga jika ada orang yang menyebut ruqyah namun prakteknya menyimpang, tentu bertentangan dengan ruqyah yang diperbolehkan oleh Nabi SAW.
Sebab di jaman sekarang ini begitu marak praktek yang mengaku-ngaku pengobatan ala Islam padahal kenyataannya kontradiksi dengan apa yang pernah diajarkan Nabi. Tujuan mereka hanya untuk meraup uang saja.

Ngerinya lagi, bila ruqyah yang dilakukan itu mengandung kesyirikan, seperti menyandarkan diri kepada selain Allah SWT, pemujaan kepada jin atau setan, meyakini kesembuhan dari benda-benada tertentu dan sebagainya.

Alasan inilah yang membuat Rasulullah SAW pernah melarang para sahabat untuk melakukan ruqyah, karena ruqyah kala itu lebih kental dengan nuansa syiriknya, padahal Islam datang untuk mengenyahkan segala bentuk kesyirikan.