BAGIAN PERTAMA: Konsep ta’wil dalam permasalahan Asma’ wa Sifat
Mengapa mereka menta’wil sifat Allah?
Allah subhanahu wa ta’la berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya:
Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat
(Asy-Syura: 11)
Pada Ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala menafikan penyerupaan Dzatnya Yang Maha Agung dengan makhluk-Nya. Allah melarang hamba-Nya untuk menyerupakan Dzat-Nya dengan makhluk-Nya. Namun jika kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, banyak kita dapati sifat-sifat Allah yang mana sifat tersebut juga ada pada makhluk-Nya. Contoh sifat tangan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
Artinya:
Allah berfirman: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".(Shad: 75)
Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa sifat tangan ada pada Diri-Nya subhanahu wa ta’ala. Kemudian muncul pertanyaan jika Allah memiliki tangan apakah itu berarti Allah seperti makhluk-Nya? Sedangkan pada ayat yang telah lalu, kita dilarang untuk meyakini penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Di sisi lain tidak mungkin ayat-ayat Al-Qur’an saling bertentangan. Kalau begitu pastilah ada makna tersembunyi dibalik sifat tangan yang dikabarkan pada ayat ini.
Berangkat dari pemahaman ini, sebagian umat muslim mencoba menawarkan solusi bagi kemusykilan ini. Mereka membawa sebuah metode yang menurut mereka bisa menjaga umat Islam dari kesalahan aqidah terlebih dalam masalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Metode mereka adalah metode ta’wil, adapun kelompok ini sebut saja mu’awilah. Karena dalam pengertian bahasa Arab mu’awwil berarti orang yang melakukan ta’wil.
Secara mendasar pengertian ta’wil adalah memaknai suatu kata dengan makna majas yang tersirat di dalamnya. Sebagai contoh ketika seseorang mengatakan, “Rini adalah bunga desa di kampung kita” maka orang yang mendengar ini langsung mengetahui bahwa bunga yang dimaksud adalah seorang wanita cantik bukan bunga sesungguhnya yang mekar di taman. Nah kaum mu’awilah meyakini bahwa sebagian besar sifat Allah yang memiliki kesamaan dengan makhluk-Nya menunjukkan kepada makna majas yang tersembunyi. Dan makna itulah yang seharusnya diyakini oleh umat muslim, bukan makna hakiki dari sifat tersebut.
Pada sifat tangan di atas, kelompok mu’awwilah menta’wilkannya kepada makna kekuatan dan kekuasaan. Hal ini karena jika seorang muslim meyakini tangan Allah dengan makna hakiki , dia akan rentan terjerumus kepada penyerupaan Allah terhadap makhluk-Nya. Maka cara yang selamat—menurut mereka—adalah ta’wil.
Tidak seluruh sifat Allah mereka ta’wilkan. Meraka hanya menta’wilkan sifat-sifat yang tidak pantas—menurut mereka—disandangkan kepada Rabb Jalla wa ‘Ala. Adapun sifat-sifat yang pantas disandangkan kepada Allah tidak mereka ta’wilkan. Mereka menyebut sifat-sifat ini dengan istilah sifat ma’ani, seluruhnya berjumlah tujuh yaitu; Ilmu, Qudrah, Iradah, Hayat, Kalam, Sama’, dan Bashar. Jika ada ayat atau hadits yang menyebutkan sifat selain ketujuh sifat tersebut maka sifat itu harus dita’wilkan.
Dari mana mereka memperoleh tujuh sifat ini?
Golongan mu’awilah mengatakan bahwa sebelum Allah menciptakan makhluk-Nya pastilah Allah lebih mengetahui apa yang diciptakan dan bagaimana penciptaannya hal inilah yang menjadi bukti ilmu Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian ciptaan Allah tidak akan terwujud jika tidak ada kekuasaan, inilah bukti dari sifat qudrah. Beragamnya ciptaan Allah seperti ada yang indah, jelek, baik, jahat dan lain sebagainya menunjukkan bahwa Allah memiliki kehendak ketika menciptakannya inilah bukti yang menunjukkan sifat iradah. Ketiga sifat ini yaitu qudrah, iradah, dan ilmu tidak terdapat kecuali pada sesuatu yang hidup. Maka inilah bukti dari sifat hayat. Kemudian sesuatu yang hidup pasti berbicara, melihat, dan mendengar, maka inilah bukti dari sifat kalam, sama’ dan bashar. Kira-kira demikianlah mereka menetapkan tujuh sifat ini sebagai sifat ma’ani.
Kritik dan Sanggahan
Pertama, konsep ini adalah konsep akal untuk menetapkan suatu aqidah dan keyakinan. Apakah aqidah ditetapkan dengan akal? Seharusnya aqidah dibangun di atas dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah kemudian akal digunakan untuk memahami dan membenarkan, bukan untuk menetapkan. Karena tidak ada cara untuk menetapkan aqidah kecuali dengan wahyu.
Kedua, merujuk kepada akal beresiko menimbulkan perbedaan pendapat, karena akal manusia berda-beda satu sama lain. Buktinya adalah pada perkembangan golongan mu’awwilah sendiri. Semula mereka hanya menetapkan tujuh sifat, namun kemudian mereka menetapkan lagi sifat-sifat yang lainnya menjadi dua puluh yang saat ini dikenal dengan sifat dua puluh.
Ketiga, ketika mereka menta’wilkan seharusnya mereka mendatangkan bukti. Karena kita mengetahui bahwa ta’wil ada dua macam yang boleh dilakukan dan yang dilarang. Ta’wil boleh dilakukan jika ada bukti yang benar, namun jika tidak ada bukti atau bukti tersebut tidak dapat diterima maka ta’wil tersebut tidak boleh dilakukan. Namun sebagian besar ta’wil golongan mu’awilah hanya dibangun di atas dugaan.
Keempat, mereka melakukan ta’wil dengan alasan agar terhindar dari penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Ketahuilah bahwa ta’wil tidak sepenuhnya menyelamatkan mereka dari tasybih(penyerupaan), mereka masih terjebak di dalam tasybih karena sifat-sifat yang mereka tetapkan juga merupakan sifat makhluk-Nya juga.
Kelima, jika mereka mengatakan “ tidak, kami tidak mengimaninya seperti itu. Kami mengimani sifat-sifat yang kami tetapkan ini(sifat ma’ani) sesuai dengan Keagungan dan Kebesaran Allah ‘azza wa jalla”. Kalau begitu mengapa anda tidak mengimani sifat-sifat lainnya sesuai dengan Keagungan dan Kemuliaan Allah subhanahu wata’ala?
Keenam, menta’wilkan sifat-sifat Allah kepada makna majas yang dikandungnya tidak pernah diyakini oleh pendahulu kita dari kalangan sahabat dan ulama-ulama salaf. Berikut fatwa-fatwa dari para salaf tentang bagaimana mengimani sifat-sifat Allah:
1. Al- Walid ibn Muslim(195 H) rahimahullah mengatakan: Ketika Auza’i(157 H), Malik(179 H), Sufyan Tsauri(161 H), Laits ibn Sa’ad(175 H) rahimahumullah ditanya tentang hadits-hadits tasybih mereka manjawab:
أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ
Artinya:
Yakinilah hadits-hadits tersebut sebagaimana adanya tanpa “kaifiyyah”[1].
2. Imam Abdul Aziz ibn Yahya Al-Kinani Asy-Syafi’i rahimahullah (240 H) mengatakan:
وَعَلَى الخَلْقِ جَمِيعاً أَنْ يُثْبِتُوا مَا أَثْبَتَ اللهُ، وَيَنْفُوا مَا نَفَى اللهُ، وَيُمْسِكُوا عَمَّا أَمْسَكَ اللهُ
Artinya:
Wajib bagi seluruh manusia untuk menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah, menafikan sifat-sifat yang dinafikan oleh Allah, serta bersikap diam terhadap apa yang tidak dikabarkan oleh Allah[2].
3. Imamul Haramain Abul Ma’ali Al-Juwaini(478 H) rahimahullah mengatakan:
مَا وَرَدَ الشَرْعُ بِإِطلَاقِهِ فِى أَسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ أَطْلَقْنَاهُ وَمَا مَنَعَ الشَرْعُ مِنْ إِِطْلَاقِهِ مَنَعنَاهُ وَمَا لَمْ يَرِد فِيهِ إِذْنٌ وَلَا مَنْعٌ لَمْ نَقْضِ فِيهِ بِتَحلِيلٍ وَلَا تَحْرِيمٍ فَإِنَّ الأَحْكَامَ الشَرْعِيَّةَ تُتَلَقَّى مِنْ مَوَارِدِ الشَرْعِ وَلَو قَضَيْنَا بِتَحْلِيلٍ أَو تَحْرِيمٍ لَكُنَّا مُثْبِتِينَ حُكْمًا بِغَيرِ الشَرْعِ
Artinya:
Kami menyatakan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang dinyatakan dalam syariat. Dan kami menafikan nama-nama dan sifat-sifat yang dilarang dalam syariat. Adapun yang tidak terdapat pembolehan maupun larangannya dalam syariat, maka kami tidak menentukannya. Karena segala hukum syariat diperoleh dari sumber-sumber hukum syariat, apabila kami menetapkan pembolehan atau pelarangannya sama halnya kami menetapkan hukum tanpa dalil syariat[3].
Kami cukupkan ketiga pernyataan ini dari pala ulama sebagai bukti aqidah yang mereka yakini. Kami bawakan pendapat mereka yang wafat sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah(728 H) rahimahullah agar tidak ada kerancuan bahwa pendapat ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah saja. Juga menepis selentingan yang mengatakan Ibnu Taimiyyahlah yang pertama kali menggagas pendapat ini. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah adalah salah seorang ulama yang juga mengambil pendapat ini dari para salaf.
BAGIAN KEDUA: Diskusi ta’wil Istawa menjadi Istaula.
Pengertian istiwa’
Kata istiwa’ adalah bentuk nominal dari kata kerja istawa. Secara garis besar kata istawa dalam Al-Qur’an ada dua macam; mutlak dan muqayyad.
Yang dimaksud mutlak adalah ketika kata tersebut berdiri sendiri, tidak terangkai dengan huruf-huruf lain setelahnya. Contohnya, firman Allah ta’ala:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَ<span>اسْتَوَى</span> آَتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
Dan setelah Musa cukup umur dan <span>sempurna</span> akalnya, Kami berikan ke- padanya Hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.(Al-Qashash: 14)
Pada ayat di atas kata istawa berdiri sendiri tanpa rangakaian dengan huruf lain. Maka kata istawa yang demikian memiliki arti “sempurna”.
Adapun yang dimaksud muqayyad adalah apabila kata istiwa dirangkai dengan huruf tertentu dalam bahasa Arab. Ada tiga huruf yang dirangkaikan ke dalam kata istawa; ila, ‘ala, dan waw yang bermakna bersama. Contohnya adalah sebagai berikut.
Yang dirangkai dengan huruf ila, firman Allah ta’ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ <span>اسْتَوَى إِلَى</span> السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu kemudian Dia <span>menuju</span> ke langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah: 29)
Dengan ini maknanya adalah menuju suatu tempat yang tinggi yaitu langit. Insya Allah akan datang tafsir Imam Syafi’i rahimahullah tentang langit.
Yang dirangkai dengan huruf ‘ala, firman Allah ta’ala dalam surah Al-Fath ayat 9:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ <span>فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ</span> يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan <span>tegak Lurus di atas pokoknya</span>; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Dengan ini, jika kata istawa dirangkai dengan huruf ‘ala maka maknanya adalah “berada di atas”.
Yang dirangkai dengan huruf waw yang bermakna “bersama”, contohnya adalah kalimat dalam bahasa Arab berikut:
اِستَوَى المَاءُ وَ الخَشَبَةُ
Air itu sejajar dengan kayu.
Maka jika kata istawa dirangkai dengan huruf waw yang berarti “bersama” maknanya adalah “sama, seimbang, atau sejajar”.
Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy[4]
Permasalahan ini termasuk di antara permasalahan yang paling sering diperdebatkan antara Ahlus Sunnah dan golongan mu’awwilah. Ahlus Sunnah mengimani sifat istiwa’ dengan maknanya sebagaimana yang dikabarkan Allah dalam Al-Qur’an sesuai dengan Kebesaran dan Keagungan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Ar-Rahman yang beristiwa’ di atas 'Arsy( Thaha:5)
Sedangkan golongan mu’awwilah tidak, mereka mengatakan jika kita mengimani sifat ini sama halnya kita mengimani bahwa Allah sama dengan makhluk-Nya. Karena beristiwa’ di atas ‘arsy(singgasana) adalah sifat makhluk sebagaimana seorang raja yang beristiwa’ di atas singgasananya. Maka mereka mencari makna lain yang sesuai bagi Allah. Akhirnya mereka menemukan makna yang pas yaitu istaula(menguasai). Nah kalau yang ini pas, karena Allah adalah penguasa kalau hanya sekedar beristiwa’ saja banyak di antara makhluk-Nya yang melakukannya.
Kritik dan Sanggahan
Pertama: Para salaf tidak pernah memaknai istawa dalam ayat ini dengan makna istaula’. Berikut fatwa ulama dalam memahami ayat ini.
1. Imam Rabi’ah ibn Abi Abdirrahman(136 H)—beliau adalah salah seorang guru Imam Malik—rahimahullah ditanya tentang istiwa’ yang terdapat dalam ayat:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Bagaimana Allah beristiwa’?
Beliau menjawab:
الكَيفُ مَجْهُولُ ، وَالاِسْتِوَاءُ غَيرُ مَعْقُولٍ ، وَيَجِبُ عَلَيَّ وَعَلَيْكُمْ الإِيْمَانُ بِذَلِكَ كُلِّهِ
Artinya:
Bagaimana Allah beristiwa’ tidak bisa diketahui, dan akal tidak dapat menalarnya, akan tetapi wajib bagi saya dan anda untuk mengimaninya[5].
2. Imam Malik ibn Anas rahimahullah juga ditanya dengan partanyaan serupa kemudian beliau menjawab:
الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى كَمَا وَصَفَ نَفْسُهُ وَلَا يُقَالُ كَيفَ وَكَيْفَ عَنْهُ مَرْفُوعٌ وَ أَنْتَ رَجُلٌ سُوءٍ صَاحِبُ بِدْعَةٍ أَخْرِجُوهُ
Artinya:
Ar-Rahman beristiwa di atas Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan, tidak boleh mengatakan bagaimana(istiwa’-Nya) dan bagaimana Allah naik? Adapun anda adalah seorang ahli bid’ah maka pergilah![6]
Dalam riwayat yang lain beliau mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ غَيرُ مَجُهولٍ وَالكَيفُ غَيرُ مَعْقُولٍ وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَمَا أَرَاكَ إِلَّا مُبْتَدِعًا
Istiwa’ Allah diketahui (maknanya),namun akal tidak dapat menalar bagaimana Allah beristiwa’, akan tetapi wajib bagi kita untuk mengimaninya. Adapun menanyakan bagaimana Allah beristiwa’ adalah perbuatan bid’ah, dan saya yakin anda(yaitu orang yang bertanya) adalah ahli bid’ah[7].
3. Imam Auza’i rahimahullah mengatakan:
كُنَّا وَالتَّابِعُونَ مُتَوَافِرُونَ نَقُولُ : إِنَّ اللَّهُ تَعَالَى فَوْق عَرْشِهِ وَنُؤْمِنُ بِمَا وَرَدَتْ بِهِ السُّنَّة مِنْ صِفَاتِهِ
Artinya:
Kami dan para tabi’in lainnya mengatakan: Sesungguhnya Allah berada di atas Arsy’ dan kami mengimani seluruh sifat yang terdapat dalam sunnah[8].
4. Imam Sufyan ibn Uyaynah (198 H)—beliau adalah salah seorang guru Imam Syafi’i—rahimahullah mengatakan:
كُلُّ مَا وَصَفَ اللهُ تَعَالَى مِنْ نَفْسِهِ فِي كِتَابِهِ، تَفْسِيرُهُ تِلَاوَتُهُ وَالسُّكُوتُ عَنْهُ
Seluruh sifat Allah di dalam Kitab-Nya(Al-Qur’an), tafsirnya adalah membacanya dan tidak berkomentar tentangnya[9].
5. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
ثُمَّ مَعنَى قَولِهِ فِي الكِتَابِ: "مَنْ فِي السَّمَاءِ"(الملك:16) : مَنْ فَوقَ السَّمَاءِ عَلَى العَرْشِ، كَمَا قَالَ: "الرَّحْمَنُ عَلَى العَرشِ اسْتَوَى"(طه:5) وَكُلُّ مَا عَلَا فَهُوَ سَمَاءٌ وَالعَرْشُ أَعْلَى السَّمَاوَاتِ، فَهُوَ عَلَى العَرْشِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمَا أَخْبَرَ بِلَا كَيفٍ بَائِنٌ مِن خَلْقِهِ غَيْرُ مُمَاسٍّ مِنْ خَلْقِهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِي(الشورى:11)
Artinya:
Firman Allah: “Yang berada di langit”(Al-Mulk: 16) artinya adalah “Yang berada di atas Arsy” sebagaimana firman-Nya: Ar-Rahman beristiwa’ di atas ‘Arsy(Thaha: 5).
Karena segala sesuatu yang tinggi dinamakan langit, dan ‘Arsy berada di langit yang paling tinggi. Allah berada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan tanpa harus menanyakan bagaimana Dia beristiwa’. Allah jauh berbeda dari makhluk-Nya dan tidak serupa sedikitpun dengan mereka, karena Tidak ada yang serupa dengan-Nya(Asy-Syura: 11)[10]
6. Imam Baihaqi(458 H) rahimahullah mengatakan:
فَالمُتَقَدَّمُونَ مِن أَصْحَابِنَا—رضي الله عنهم—كَانُوا لَا يُفَسِّرُونَ وَلَا يَتَكَلَّمُونَ فِيهِ كَنَحْوِ مَذْهَبِهِمْ فِي أَمْثَالِ ذَلِكَ
Artinya:
Para pendahulu kami dari mazhab Syafi’i tidak menafsirkan (sifat-sifat Allah) dan tidak berpendapat sebagaimana mereka berpendapat di dalam mazhab[11].
Ketiga, ta’wil yang benar harus berdasarkan bukti yang benar. Kaum mu’awilah tidak memiliki bukti atau dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah bahwa makna istawa dalam ayat ini adalah istaula. Tidak ada ayat maupun hadits yang memberikan isyarat atau menjelaskan langsung bahwa makna Allah beristiwa di atas ‘Arsy berarti Allah menguasainya.
Keempat, satu-satunya bukti bagi mereka adalah dari sisi bahasa(etimologi). Jika anda menelusuri makna kata istawa dalam kamus-kamus referensi Bahasa Arab semisal Ash-Shahhah karya Al-Jauhari, Tajul ‘Urus karya Murtadha Az-Zabidi, atau Lisanul ‘Arab karya Ibnu Manzhur anda akan mendapati makna istaula(menguasai). Namun seluruh kamus-kamus tersebut menyebutkan pijakan yang sama yaitu sebuah Syair yang berbunyi:
قَدِ اسْتَوى بِشْرٌ على العِرَاق من غَيرِ سَيْفٍ ودَمٍ مُهْراقٍ
Artinya:
“Bisyr telah menguasai Iraq tanpa pedang dan pertumpahan darah”[12]
Namun siapakah pengarang Syair ini? Syair ini dinisbatkan kepada Al-Akhthal An-Nashrani. Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’I rahimahullah dalam Kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah mengatakan bahwa Al-Akhthal ini adalah seorang Arab yang beragama Nasrani[13]. Pertanyaannya bagaimana bisa kaum mu’awilah ini lebih memilih perkataan seorang Nasrani—yang aqidahnya jelas-jelas berbeda—sebagai dalil untuk pendapat mereka ketimbang fatwa-fatwa para Imam yang disepakati keilmuan serta keimamannya di mata umat Islam? Apakah seorang Nasrani lebih tahu tentang Allah ketimbang para ulama salaf? Jika seorang muslim memakai metode ini, yaitu belajar agamanya dari orang yang berbeda agama, jadi apa kira-kira agama ini?
Kelima: para ulama lughah(bahasa) telah sepakat bahwa istiwa’ dengan makna istaula(menguasai) hanya diungkapkan jika sebelumnya terjadi pertarungan atau perebutan kekuasaan hingga salah satu dari yang berkompetisi memenangkan pertarungan. Jika mereka masih bersikeras memaknai istawa dengan makna “menguasai” maka hal ini berarti harus ada pertarungan antara Allah dan ‘Arsy sampai Allah menguasai ‘Arsy, dan ini adalah pendapat yang batil, karena bertentangan dengan kaidah Bahasa Arab.
Keenam: apabila dikatakan: kami tidak berpendapat demikian. Istila’(penguasaan) Allah terhadap ‘Arsy tidak mutlak harus ada pertarungan sebelumnya karena istila’ Allah adalah istila’ yang sesuai dengan Kebesaran dan Keagungan-Nya. Kalau begitu mengapa anda tidak mengatakan konsep ini dari awal? Mengapa anda tidak mengatakan Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy sesuai dengan Kebesaran dan Keagungan-Nya? Apa yang menghalangi anda mengatakan demikian, sehingga anda menta’wilnya terlebih dahulu? Jika anda mengatakan konsep ini dari awal, kan anda tidak perlu repot-repot menta’wilnya, apalagi ta’wilnya belum tentu benar.
Ketujuh, Allah beristiwa di atas ‘Arsy menunjukkan bahwa perbuatan-Nya ini khusus dilakukan terhadap makhluk-Nya ‘Arsy. Ta’wil istiwa’ menjadi istila’ menuntut seseorang untuk memperluas maknanya menjadi umum kepada seluruh makhluk karena Allah menguasai makhluk-makhluk lain selain ‘Arsy. Adapun istiwa’ Allah hanya mengabarkan bahwa Dia hanya melakukannya terhadap ‘Arsy. Jika memang istiwa’ disini berarti “menguasai” tentulah Allah juga akan mengabarkan bahwa Allah beristiwa’ di atas makhluk-makhluk yang lain, tapi nyatanya kita tidak menjumpai yang demikian di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
ولو كان هذا كما ذكروه كان لا فرق بين العرش والأرض السابعة لأن الله تعالى قادر على كل شيء والأرض لله سبحانه قادر عليها وعلى الحشوش وعلى كل ما في العالم فلو كان الله مستويا على العرش بمعنى الاستيلاء وهو تعالى مستو على الأشياء كلها لكان مستويا على العرش وعلى الأرض وعلى السماء وعلى الحشوش والأقدار لأنه قادر على الأشياء مستول عليها وإذا كان قادرا على الأشياء كلها لم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول إن الله تعالى مستو على الحشوش والأخلية تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا لم يجز أن يكون الاستواء على العرش الاستيلاء الذي هو عام في الأشياء كلها ووجب أن يكون معنى الاستواء يختص بالعرش دون الأشياء كلها
Artinya:
Andaikata ini benar sebagaimana pendapat mereka(yaitu ta’wil istiwa’ menjadi istila’) maka tidak ada bedanya antara ‘Arsy dan lapisan bumi yang ketujuh. Karena Allah berkuasa atas segala sesuatu, bumi, pohon dan segala yang ada di alam. Jika memang makna Allah beristiwa di atas ‘Arsy adalah penguasaan-Nya terhadap ‘Arsy. Maka Allahpun juga beristiwa’ di atas bumi, langit, pohon, dan lainnya karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Akan tetapi seorang muslim tidak boleh meyakini Allah beristiwa’ di atas pohon dan yang lainnya, karena Allah suci dari sifat yang demikian. Maka dari itu tidak boleh bagi kita untuk memahami istiwa’ dengan istila’ karena istila’ bersifat umum terhadap seluruh makhluk sedangkan istiwa’ khusus hanya terhadap ‘Arsy[14].
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asy’ari, Abul Hasan. 1993. Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah. Riyadh: Maktabah Muayyad.
Al-Baihaqi Imam. 2011. Al-Asma’ was Sifat. Beirut: Muassasah Risalah Nasyirun.
Al-Fairuz Abadi. 2005. Al-Qamus Al-Muhith. Beirut: Muassasah Risalah.
Al-Farran, Ahmad ibn Musthafa. 2006. Tafsir Imam Asy-Syafi’i, jam’an wa tahqiqan wa dirasatan. Riyadh: Dar Tadmuriyyah.
Al-Jauhari. Ash-Shahhah fil Lughah. www.alwarraq.com
Al-Kinani, Abdul Aziz ibn Yahya. 2008. Al-Haidah wal I’tizar fir Raddi ‘ala man Qaala bi Khalqil Qur’an. Madinah: Maktabatul Ulum wal Hikam.
An-Nawawi, Yahya ibn Syaraf. 2009. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj. Beirut: Dar Ma’rifah.
Ar-Ruhaili, Ibrahim ibn Amir. 2009. Diktat Mata Kuliah Tauhid Asma’ wa Sifat. Madinah: Khidmatut Thalib.
[1] Diriwayatkan oleh Imam Ibn Batthah(387 H) dalam Ibanah(2571), Imam Baihaqi(458 H) dalam Sunan(4838) dan Asma’ wa Sifat(1060).
Hadits-hadits tasyhbih yang dimaksud adalah hadits-hadits yang mengabarkan sifat Allah yang seakan-akan serupa dengan makhluknya. Dalam Kitab Asma’ wa Sifat, bab tentang sifat turun-Nya Allah, Imam Baihaqi membawakan atsar tabi’in ini untuk menjelaskan bagaimana mengimani sifat turun-Nya Allah ke langit dunia. Atsar ini juga berlaku bagi sifat Allah lainnya yang dirasa seakan –akan di dalamnya ada penyerupaan.
Kaifiyyah adalah mencari tau detail sifat Allah dengan menanyakan “bagaimana?” dan hal ini dilarang Firman Allah ta’ala:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا <span>وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ</span>
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan <span>(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui</span>." Al-A’raf: 33
[2] Al-Haidah wal I’tidzar fir Raddi ‘ala Man Qaala Bikhalqil-Qur’an, hal 46.
[3] Dinukilkan oleh Imam Nawawi dalam Minhaj, hal 275.
[4] Kata istiwa’ seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti semayam atau bersemayam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bersemayam memiliki arti duduk, berada, dan terpatri. Makna-makna ini kembali kepada konteks kalimat yang ada. Jika kami menerjemahkan istiwa’ Allah dengan bersemayam berdasarkan makna-makna yang ada sama halnya kami menta’wilkan sifat Allah yang mana kami mengingkarinya dalam tulisan ini. Oleh karena itu kami lebih memilih untuk tidak menerjemahkannya akan tetapi menjelaskan makna yang diinginkan dari ayat ini.
[5] Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat, hal: 514
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Tafsir Imam Syafi’i jam’an wa tahqiqan wa dirasatan, hal: 1063. Tafsir ayat ini dinukilkan dari Manaqib Imam Syafi’i karya Imam Al Baihaqi.
[11] Asma’ wa Sifat, karya Imam Baihaqi, hal: 513
[12] Ash-Shahhah, 1/341
[13] Lihat Bidayah wan Nihayah, 9/290
[14] Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, hal: 98
Sumber: http://komunitaskasyfsyubhat.blogspot.com/2011/06/istawa-jadi-istawla.html