Tulisan ini bukan maksud ingin memuji-muji Presiden Mesir terpilih yang baru Muhammad Mursi. Tapi sekadar ingin sedikitnya mengambil teladan dari Muhammad Mursi.
Mursi memang beda.
Hari-hari pertamanya setelah diumumkan kemenangannya secara resmi sebagai Presiden, Beliau tidak melupakan tetangga-tetangganya dan membuka lebar pintu rumahnya untuk bersapa ramah tamah bertahniah mengucapkan selamat. Bahkan setelah diketahui kemenangannya melalui penghitungan cepat timsesnya Beliau langsung turun ke maidan Tahrir.
Mursi memang beda.
Di mata rakyat kini, bagi seorang Presiden, istana kepresidenan menjadi sebuah istana yang keramat dan sakral serta istimewa untuk seorang Presiden. Istana yang pintu-pintunya seakan tertutup untuk rakyat. Yang jendela-jendelanya tak mampu ditembus oleh rintihan payahnya hidup rakyat. Bahkan ketika satu saja pintunya terbuka, rakyat pun masih tetap diberikan syarat dan ketentuan berlaku dan terbuka hanya di open house tahunan.
Mursi memang beda.
Bukan tidak disediakan istana kepresidenan untuknya. Tapi Beliau lebih senang memilih untuk tidak tinggal di istana kepresidenan dan tetap tinggal di rumah kontrakannya semasa menjabat sebagai ketua partai hurriyah wal ‘adalah, yang pintunya tidak jauh dari tetangganya dan rakyatnya. Beliau senang rakyatnya dengan mudah mengetuk pintunya meski hanya sekadar ingin curhat tentang anak dan istri mereka. Dan sampai saat ini belum ada kabar apakah Beliau tetap akan tinggal di rumah kontrakannya atau akan tinggal di istana kepresidenan.
Mursi memang beda.
Bukan ingin menyusahkan pengawalnya untuk selalu terjaga sepanjang jalan menuju masjid di setiap waktu shalatnya. Tapi hanya sekadar ingin taat menjalani ibadah sebagai hamba Allah swt.
Setelah resmi menjadi seorang Presiden pun, Beliau tetap ngotot ingin melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Bahkan dalam sebuah surat kabar Mesir dikabarkan Beliau selalu didapati sebagai imam ketika shalat di masjid. Bukan karena Beliau Presiden lalu orang segan lantas Beliau diminta menjadi imam. Tapi bahkan memang Beliau telah hafal al-Qur’an. Mungkin ini salah satunya sebab Beliau masih tetap tinggal di rumah kontrakannya; ingin tetap bertatap muka dengan rakyatnya dan bersama-sama taat sebagai seorang hamba. Akhirnya, penjagaan dari pengawalnya pun Beliau minta untuk tidak terlalu ketat.
Mursi memang beda.
Bukan karena tidak senang ada pengawal pribadi sebagai seorang Presiden. Tapi karena keyakinan yang kuat bahwa Allah swt lah sebaik-baiknya penjaga. Pengawal kepresidenan yang menurutnya berlebih dan mengganggu kebebasan rakyatnya pun diminta untuk dikurangi personelnya. Seperti pada saat Beliau hendak melangsungkan shalat Jum’at di masjid al-Azhar. Dengan paswalpres yang tidak terlalu banyak personelnya hampir dan bahkan tidak mengganggu lalu lintas yang menyebabkan kemacetan hanya sebab iring-iringan Presiden pada umumnya. Lintasan jalan pada lokasi kunjungan yang sangat dekat dan satu arah dengan pasar tidak di tutup sama sekali. Bus dan angkutan umum masih tetap berlalu lalang di sekitar lokasi kunjungan Presiden. Bahkan pasar yang sangat dekat dan satu arah dengan lintasan lokasi kunjungan masih tetap aktif. Persis sama sekali seperti tidak ada kunjungan Presiden yang biasanya jalanan mendadak sepi karena ditutup. Kejadian seperti itu pun di ulangi ketika Mohammad Mursi hendak mengikrarkan sumpah di Mahkamah Konstitusi Agung.
Mursi memang beda.
Keyakinannya bahwa Allah swt lah sebaik-baik penjaganya, dibuktikan lagi dengan aksinya di panggung maidan Tahrir saat menyampaikan pidato dan sumpah Presiden di hadapan rakyatnya secara langsung. Sumpah dan teriakan lantang untuk rakyatnya bahwa ia tidak takut kecuali kepada Allah swt membuat seluruh rakyat tak mampu lagi membendung air mata mereka. Maidan Tahrir pun bukan hanya dipenuhi ratusan juta rakyatnya tapi juga dibanjiri dengan air mata haru dan bangga dari rakyatnya.
Mursi memang beda.
Bukan hanya sesosok Beliau saja yang bisa diteladani. Anggota keluarganya pun ia berikan teladan yang sangat baik.
Ibunda Najlaa, istri Mohammad Mursi yang begitu anggun dan bersahaja dengan jilbab lebarnya yang teramat sederhana, enggan untuk diberikan gelar Ibu Negara. Ia lebih suka dipanggil Ummu Ahmad. Panggilan yang disandarkan kepada putra pertamanya Ahmad Mohammad Mursi. Ia berpendapat bahwa tidak ada yang namanya ibu negara yang ada adalah pelayan negara.
Ahmad Muhammad Mursi, putra pertama Muhammad Mursi. Baginya, kemenangan orang tuanya sebagai Presiden adalah hal yang wajar dan merupakan karunia Allah swt yang diberikan kepada orang tuanya. Dan itu tidak akan mengubah pola kehidupan atau profesinya yang kini sebagai seorang dokter. Ia akan tetap menjalani hidupnya dan berusaha belajar hidup lebih baik dan mandiri tanpa terpengaruh oleh jabatan ayahnya. Dan bahkan salah satu putra Mohammad Mursi yang lain melayangkan surat kepadanya untuk menyampaikan bahwa dirinya akan menaati ayahnya sebagai seorang Presiden jika ayahnya menaati Allah swt dan memperhatikan hak-hak rakyatnya dan akan menentang ayahnya sebagai seorang Presiden jika menentang Allah swt dan tidak memenuhi hak-hak rakyatnya.
Semoga kita bisa mengambil teladan dari Presiden Muhammad Mursi;
Bahwa ketaqwaan kepada Allah adalah segalanya dalam hidup.
Bahwa tidak ada yang harus ditakuti kecuali Allah semata.
Bahwa kesederhanaan keharusan bagi seorang pemimpin.
Bahwa bukan aib bila seorang pemimpin hidup sehari-hari berbaur dengan rakyat atau bawahannya.
Bahwa semestinya tidak ada sekat antara pemimpin dan rakyatnya.
Dan banyak dari teladan yang bisa diambil dari sepak terjang Muhammad Mursi.
Allah a’lam.
sumber