Tasawuf Dan Ilmu Pengetahuan
Yang kami maksudkan hubungan tasawuf dengan ilmu pengetahuan agama, bukanlah kebenaran atau kekeliruan Ilmu Tasawuf itu sendiri, tetapi apakah benar atau keliru untuk makrifat kepada Allah melalui jalan tasawuf.
Ada beberapa teori atau aliran menuju makrifat kepada Allah, antara lain : aliran Al-Mutakallimin (ahli logika dan rasio), aliran Al-Batiniah (mengikuti petunjuk imam yang maksum), aliran Al-Falasifah (ahli filsafat, ahli logika dan ahli berhujjah, berdalil), aliran As-Sufiyah (Al-Hawaasul Hadrat, ahli musyahadat dan mukasyafah). Masing-masing golongan atau aliran itu mengatakan bahwa jalan golongan atau aliran merekalah yang benar.
Untuk membahas masalah ini, kami mengemukakan pendapat, pemikiran, Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali. Kami mengikuti pendapat dan pemikiran Al-Ghazali, karena beliau telah memasuki, meneliti setiap aliran itu secara ilmiah dan secara amaliah dalam waktu bertahun-tahun yang cukup lama. Beliau meneliti dan mengarungi setiap aliran itu dalam waktu yang lama dan tidak mengenal lelah, sehingga beliau mengatakan:
"Semua kegelapan harus aku tembus, semua kerumitan harus aku hadapi dan aku senantiasa menyelidiki benar-benar setiap akidah dan setiap golongan, aku berusaha sekeras-kerasnya untuk mengungkapkan semua rahasia mazhab/golongan/aliran pada masing- masingnya, agar aku dapat membedakan mana yang benar dan mana yang palsu, mana yang mengikuti sunnah dan mana pula yang bid'ah (tidak mengikuti sunnah)”.
Penegasan beliau selanjutnya dalam menjelaskan ketekunan beliau menyelidiki, membahas dan meneliti setiap golongan atau aliran itu sebagai berikut,
"Tidak aku tinggalkan seorang ahli kebatinan, kecuali telah aku ketahui tentang kebatinannya. Tidak aku tinggalkan seorangpun dari ahli zahir, kecuali setelah aku ketahui kezahirannya. Tidak seorang pun aku tinggalkan dari ahli filsafat, sebelum aku pahami maksud dari filsafatnya. Tidak seorang pun aku tinggalkan dari ahli teologi Ilmu Kalam, kecuali aku berusaha sekerasnya untuk mempelajari ilmu teologinya dan cara berdebatnya sampai sedalam-dalamnya. Tidak seorangpun aku tinggalkan dari ahli sufi, kecuali aku selidiki segala rahasia yang ada pada tasawufnya. Tidak seorang pun aku tinggalkan ahli ibadat, kecuali harus kucari hasil yang diperoleh dari ibadatnya itu. Tidak seorang pun aku tinggalkan dari ahli zindiq (seorang ahli agama yang kafir tapi pura-pura beriman), kecuali setelah aku selidiki dirinya agar aku waspada terhadap sebab-sebab penyelewengan dan kezindiqannya".
Imam Al-Ghazali sebagai seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, sebagai seorang teolog, sebagai seorang filosof dan sebagai seorang sufi yang masyhur dan konsekwen, dalam menekuni ajaran dan mengamalkan kesufiannya. Ia adalah seorang manusia yang mempunyai bakat, mempunyai kelebihan, sebagai karunia Allah SWT. Ad-Diebury memberikan komentar tentang imam Al-Ghazali sebagai berikut,
Artinya : Sesungguhnya pemuda ini (imam Al-Ghazali) telah dianugerahi kecerdasan akal yang luar biasa dan kekuatan daya hayal yang tidak mau terikat dengan ikatan apapun yang akan membelenggunya.
Imam Al-Ghazali memiliki latar belakang pendidikan yang amat kuat, baik di kota Khurasan, di kota Jurjan maupun di kota Naisabur, membuat dia menjadi orang yang ahli dalam bahasa Arab dan Persia dalam berbagai ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Kalam (teologi Islam), Fikih (hukum Islam), Tasawuf, Filsafat dan Akhlak.
Di kota Khurasan dan kota Jurjan, dia belajar dengan guru-guru yang merupakan pakar dalam bidang ilmunya. Di kota Naisabur dia memasuki madrasah Nizamiah yang dipimpin oleh ulama besar, imam Al-Haramain Al-Juwaini salah seorang tokoh aliran Asy'ariyah.
Melalui imam Al-Haramain ini Al-Ghazali memperdalam Ilmu Ushul Fikih, Ilmu Mantik dan Ilmu Kalam.
Karena dinilai berbakat dan berpotensi, Al-Ghazali diangkat menjadi asistennya dan sering dipercaya untuk menggantikan beliau di beberapa acara pengajian ataupun diskusi, manakala gurunya berhalangan. Setelah gurunya imam Al-Haramain wafat (1085) Al-Ghazali pindah ke kota Mu'askar, memenuhi undangan Perdana Menteri Nizamul Mulk pendiri madrasah Nizamiyah. Mu'askar pada waktu itu adalah tempat pemukiman perdana menteri, pembesar-pembesar kerajaan, para ulama dan intelektual terkemuka. Di Mu'askar secara rutin diadakan pertemuan-pertemuan ilmiah di Istana Nizamul Mulk dan melalui forum inilah Al-Ghazali menampakkan kecerdasan dan kemahirannya dalam segala bidang ilmu, sehingga namanya menjadi masyhur dan sebagai puncaknya dia diangkat oleh Perdana Menteri sebagai guru besar madrasah Nizamiyah di Bagdad.
Dengan kedudukan dan kemasyhuran ini, duniawiyah imam Al-Ghazali menjadi makmur, dengan uang yang cukup banyak. Keadaan yang demikian ini tidak berlangsung lama, sebab setelah lima tahun (1090 - 1095) memangku jabatan itu, dia mengundurkan diri. Mengapa Al-Ghazali mengundurkan diri dari kehidupan yang begitu mewah, kepada kehidupan sederhana dan apa adanya. Inilah yang perlu dikaji.
Pada diri Al-Ghazali timbul dua keraguan. Keraguan pertama, dari sekian banyak golongan atau aliran yang ada pada waktu itu, manakah golongan atau aliran yang benar, sebab masing-masing mereka mengaku bahwa merekalah yang benar. Keraguan kedua, yang manakah jalan yang benar yang harus ditempuh sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh masing-masing golongan atau aliran itu.
Keraguan ini timbul, terutama sekali setelah mempelajari Ilmu Kalam, karena dalam pembahasan Ilmu Kalam itu beliau mengetahui ada beberapa aliran yang kontradiksi antara satu dengan yang lain. Untuk meletakkan dasar yang kuat dalam penyelidikannya, Al-Ghazali meletakkan batasan-batasan untuk mencari kebenaran itu dan mengadakan studi yang secermat-cermatnya pada setiap golongan dan aliran tersebut.
Kesimpulan dari penelitian Al-Ghazali, ialah bahwa aliran Ilmu Kalam, sebagian besar dari pembahasannya adalah untuk menjawab serangan-serangan dari lawannya, sehingga ia tidak kunjung sampai kepada sasaran. Banyak sekali pembahasan dari Ilmu Kalam itu yang kontradiksi, karena memang didasarkan kepada dalil-dalil atau argumentasi yang kurang kuat.
Pada aliran filsafat, beliau temukan masalah kepalsuan, pemutarbalikan fakta dan khayalan-khayalan, sehingga ada tiga macam pendapat ahli filsafat yang harus dikafirkan, yaitu
pertama, alam ini qadim. Al-Ghazali berpendapat kalau alam ini qadim, maka ada yang qadim selain Allah SWT. Qadim adalah sesuatu yang sudah ada sejak azali, yang berwujud tanpa sebab. Ini berarti mengingkari Allah sebagai pencipta, dan ini sama dengan kufur.
Kedua, Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Al-Ghazali mengatakan pendapat ini akan menyesatkan umat Islam, karena pendapat ini membawa kepada pengingkaran sifat Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam, sampai kepada perincian yang sekecil-kecilnya. Tidak ada satupun yang luput dari pengetahuan Allah SWT.
Ketiga, pendapat filosof tentang abadinya roh dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Pendapat ini bertentangan dengan ayat Al Qur'an dan karenanya tidak dapat diterima. (Ensiklopedia Islam 1994, 2 : 26-27)
Selanjutnya Al-Ghazali menetapkan bahwa akal manusia tanpa petunjuk/bimbingan wahyu dari Allah tidak akan mampu mengetahui alam ghaib, alam metafisika, apalagi untuk makrifat kepada Allah SWT.
Setelah semua aliran dan golongan itu dimasuki, diteliti dan diketahui, terdapat padanya kelemahan dan kekeliruan. Akhirnya imam Al-Ghazali menekuni ajaran dan amal tasawuf dan mempelajari jalan yang ditempuh oleh mereka. Setelah berkhalwat, beramal, berzikir dan berpikir lebih dari sepuluh tahun dengan riyadlah dan mujahadah yang sungguh-sungguh dan terus menerus, akhirnya sirnalah semua keraguan itu, setelah Al-Ghazali memperoleh Nur Uluhiyah, cahaya ketuhanan yang dipancarkan oleh Allah ke dalam hatinya, dan dia berpendapat dan meyakini dengan haqqul yakin, bahwa ajaran dan amal serta jalan yang ditempuh oleh golongan sufi adalah yang benar.
Namun demikian tarikat sufiyah ini tidak akan berhasil sempurna, bila ditekuni ilmunya saja. Ilmu tarikat Sufiyah ini yang dibutuhkan tidak banyak, yaitu mengetahui dasar-dasar pokok syariat dan hakikat yang fardhu 'ain. Yang lebih menentukan sampainya seseorang kepada Nur Uluhiyah, sehingga seseorang itu musyahadah dan makrifah terletak pada pengamalan yang sungguh-sungguh, riadlah dan mujahadah yang terus menerus dibawah bimbingan Syekh Mursyid.
Selain daripada itu berkhalwat dalam waktu yang panjang atau dalam waktu yang pendek, sangat menentukan proses keberhasilan itu. Dengan demikian ilmu menempuh jalan Sufiyah tidak sulit untuk dimengerti, sebab semuanya jelas berdasarkan ilmiah dengan dalil-dalil yang terang. Tetapi yang sulit dan tidak semua orang sanggup menjalankannya adalah mengamalkan jalan tarikat Sufiyah itu.
Sulit dan berat itu disebabkan tidak sepenuhnya orang tersebut berserah diri kepada Allah dan ikhlas beramal. Oleh sebab itulah imam Al-Ghazali menegaskan keberhasilan seseorang sufi tergantung kepada taslim (berserah diri), dan kepada keikhlasan seseorang dalam beramal.
Asumsi Al-Ghazali, kebanyakan orang tidak berhasil karena mereka membisu, buta dan tuli serta tidak memperhatikan firman-firman Allah yang berkenaan dengan kunci ikhlas ini.
Firman Allah SWT,
Artinya : Sesungguhnya hanya milik Allah sajalah agama yang murni (ikhlas) itu. (Q.S. Az Zumar 39 : 3).
Firman Allah SWT :
Artinya : Padahal tidaklah mereka disuruh, kecuali menyembah Allah dengan memurnikan/mengikhlaskan ketaatan semata-mata hanya kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus. (Q.S. Al Bayyinah 98 : 5).
Firman Allah SWT,
Artinya : Maka serulah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu semata-mata hanya untuknya. (Q.S. Al Mu'min 40 : 14).
Hanya satu wasiat utama beliau yang selalu diulang-ulanginya menjelang beliau menghembuskan nafas penghabisan, "Hendaklah kamu senantiasa berbuat ikhlas".
Berdasarkan ilmu dan amal yang haqqul yakin inilah, maka setelah beliau kembali ke kota Tus di Khurasan, kota kelahirannya, dia mendirikan alkah atau sekolah khusus untuk calon sufi yang diasuhnya, sampai dia wafat tahun 505 Hijriah atau 1111 Miladiyah.
Adapun tulisan-tulisan beliau yang menjelaskan kelemahan dan kekeliruan aliran Ilmu Kalam dan yang lain-lain, termaktub dalam buku beliau "Al Munqiz Minadalal" (Penyelamat dari Kesesatan). Tentang kelemahan dan kekeliruan filsafat, termaktub dalam buku beliau “Maqaasid Al-Falasifah" (Tujuan para Filosof) dan buku "Tahaafut Al-Falasifah" (Kekacauan para Filosof). Tulisan beliau tentang Fikih dan Tasawuf adalah "Ihya Ulumuddin" yang amat populer dan menjadi buku referensi utama dalam Ilmu Tasawuf dan juga Ilmu Fikih.
Melengkapi penelitian dan kesimpulan yang ditempuh oleh Al-Ghazali dalam Ilmu Tasawuf, penulis kemukakan pendapat imam Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi,
Artinya : Mazhab kita ini (Ilmu Tasawuf) terikat oleh Al Qur'an dan As Sunnah. Siapa saja yang belum atau tidak belajar Al Qur'an dan Al Hadis, serta tidak pula pernah duduk belajar (menjadi murid) dengan Ulama (Mursyid), maka orang itu tidak boleh mengikuti kegiatan tarikat ini. (Al Qusyayri :430).
Dari uraian dan penjelasan tersebut, nyata bahwa jalan yang ditempuh oleh para sufi adalah jalan yang benar, didasarkan kepada dalil yang kuat dan ilmiah, sesuai dengan ilmu pengetahuan agama.