KEMERDEKAAN adalah suatu anugerah dari Allah swt. Begitu dilahirkan di dunia, telah melekat pada diri setiap manusia hak untuk hidup bebas. Manusia bebas untuk menentukan jalan hidupnya, untuk memilih cara dan gaya menjalani kehidupan lengkap dengan ketentuan dan konsekuensinya. Manusia dipersilakan untuk mengembangkan diri dan potensinya dengan landasan kemerdekaan itu
Tetapi dalam sejarah yang dipopulerkan selama ini, ummat Islam Indonesia sempat mengenyam pengalaman pahit selama tiga setengah abad. Masa itu disebut sebagai masa kolonial lantaran bumi ummat Islam di nusantara diaku sebagai milik para pendatang --yang non-muslim. Pengakuan itu jelas tidak sah, tetapi mereka menegakkannya dengan segala daya dan kekuatan, yang ternyata tidak bisa diatasi oleh kaum muslimin.
Betapa pedihnya kehidupan pada saat itu. Kita tidak mempunyai kesempatan untuk membangun dan mendayagunakan kemampuan. Gerak dan kreativitas dibatasi. Kita hidup di bawah bayang-bayang dan ancaman. Kaum penjajah itu telah menindas bukan saja secara fisik dan harta benda, tapi juga secara moral dan spiritual.
Secara fisik para pendahulu kita mendapat penyiksaan mulai dari yang ringan sampai yang paling berat. Para pejuang telah mereka perlakukan ibarat budak di Eropa, bahkan lebih kejam lagi. Kaum pribumi yang dianggap lebih bodoh dan lemah itu telah ditipu dan dipaksa untuk menyerah bulat-bulat, lalu dijadikan bulan-bulanan.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah, mereka telah membawa lari harta kekayaan negeri ini sekuat alat pengangkutnya. Kekayaan itulah yang mereka gunakan sebagai modal untuk memodernisasi negeri dan menyejahterakan rakyat mereka sendiri.
Secara moral dan spiritual, kaum muslimin khususnya, mendapatkan tekanan yang tidak kalah beratnya. Para juru dakwah, kiai dan ulama mendapatkan perlakuan yang tidak terhormat. Bahkan kelompok ini termasuk dalam kelompok yang paling dicurigai dan dicap 'ekstremis' yang tidak boleh ada di muka bumi. Sebab mereka memang yang paling anti penindasan dan ketidakadilan. Dari para pemuka agama itu pula tumbuh semangat yang tak pernah padam pada rakyat jelata untuk terus menentang segala pentuk perampasan hak asasi. Musuh utama kaum penjajah itulah yang telah mendidik rakyat awam tentang hak-hak pribadinya, lewat sentuhan dan pendekatan agama.
Islam dan kemerdekaan
Islam tidak mengenal penjajahan. Ajaran-ajaran Islam justru menunjung tinggi persamaan hak dan kebebasan (kemerdekaan). Islam menegakkan tinggi-tinggi akhlak yang mulia dengan sikap saling menghargai antar sesama. Menjajah atau (bersedia) dijajah atau diperbudak, sama-sama tidak dibenarkan oleh Islam.
Dalam pergaulan masyarakat antar bangsa, Islam tidak mengenal penindasan dan diskriminasi. Hadirnya bangsa-bangsa di dunia yang beragam adalah untuk saling membantu, tolong-menolong dan saling memberi ta'aruf (berkenalan) sebagaimana ditetapkan oleh Allah swt:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS Al-Hujurat: 13)
Bahkan, satu hal yang tidak dapat diragukan lagi ialah bahwa Islam --dengan prinsip kemerdekaan itu-- telah meninggikan peradaban dunia dan meluaskan khazanah ilmu pengetahuan. Ilmu Islam telah pula menerangi bangsa-bangsa yang mau menerima ajaran-ajarannya, dari perbatasan negeri Cina di sebelah timur hingga Andalusia (Spanyol) di Barat. Pada waktu itu, penduduk di belahan Eropa pada umumnya mengirimkan siswa-siswanya untuk belajar pusat-pusat ilmu di Kordoba maupun Baghdad. Mereka mempelajari bahasa Arab, kemudian menerjemahkan berbagai buku ilmu pengetahuan ke dalam bahasa mereka.
Islam tidak membenarkan ummatnya pelit dalam memberikan sumbangan ilmu pengetahuan kepada masyarakat dunia. Tidak seperti halnya dengan Barat sekarang, yang dikenal sangat hati-hati (baca: pelit) untuk mentrasfer ilmu pengetahuan yang telah mereka kembangkan, khawatir akan menggeser dominasi mereka.
Kehadiran Islam memang untuk memberi rahmat bagi seluruh alam, bukan untuk kepentingan suatu golongan atau kelompok tertentu semata. Kaum muslimin sangat mematuhi undang-undang ad-Din yang sangat berwibawa, yang dalam hal ilmu ini diwakili oleh salah satu sabwa Rasulullah saw:
"Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu ketika ditanya, maka di hari kiamat ia akan dikekang dengan tali kekang dari api neraka." (HR. Jama'ah, Ahmad, dan Abu Hurairah)
Syukur nikmat
Angin kemerdekaan yang telah kita nikmati sekarang menuntut kita untuk pandai-pandai mensyukurinya. Wujud kesyukuran itu, di samping bekerja keras untuk membenahi infra struktur fisik maupun non-fisik, juga menegakkan nilai-nilai kebenaran.
Tugas yang terakhir inilah yang dirasakan cukup berat, di tengah era kompetisi seperti saat ini. Karena itulah Islam dan kebenaran ajarannya sudah sangat layak untuk ditegakkan. Nilai-nilai ajarannya sudah saatnya dibumikan di alam yang sudah bebas ini. Bila tidak, maka penjajahan dalam bentuknya yang lain, dengan jumlahnya yang lebih banyak akan kembali mencengkeram negeri ini.
Para penjajah secara fisik boleh pergi, akan tetapi ideologi mereka kini perlahan-lahan telah merembas masuk ke dalam tata nilai kehidupan bermasyarakat. Gejala-gejala itu sudah kita rasakan dari sekarang.
Musuh dan para penjajah tidak akan pernah berhenti melakukan penyerangan, sebelum kita benar-benar telah menjadi miliknya, dikuasainya. Allah swt berfirman:
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi, dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah." (QS. Al-Anfal: 60)
Dalam bahasa Al-Qur'an, kewaspadaan diseluruskan dengan syukur. Barangsiapa yang tidak bersyukur terhadap anugerah yang telah Allah berikan, dengan tidak meningkatkan kewaspadaan dan keberhati-hatian, maka Allah akan menggantinya dengan adzab yang sangat pedih:
"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.'" (QS. Ibrahim: 7)
Peringatan Allah ini mengandung pelajaran yang sangat mendalam. Agar manusia tidak terlena setelah memperoleh salah satu bentuk kenikmatan. Termasuk dalam hal ini, nikmat hidup di alam kemerdekaan. Sebab, jangan-jangan, secara tidak sadar kita sedang menyerahkan diri kepada bentuk penjajahan yang lebih canggih, yakni perbudakan halus manusia oleh manusia. Buktinya, kita lebih suka menghambakan diri kepada kepentingan dunia ketimbang mematuhi peringatan-peringatan Allah menyangkut kehidupan dunia ini. Kita beranggapan bahwa agama adalah urusan akhirat, sedangkan yang kita hadapi adalah kenyataan dunia yang penuh liku dan keruwetan. Kita lupa, bahwa agama, atau aturan Allah itu diturunkan, justru untuk mengatur hidup kita selama masih berada di dunia. Setelah urusan dunia selesai, kiamat datang, aturan agama tidak ada gunanya lagi. Pola pikir seperti ini adalah salah satu hasil penjajahan aqidah yang telanjur merasuk ke relung hati kita.
Kita masih mempunyai kesempatan untuk memperbaikinya. Agar kehidupan masa depan generasi yang kita tinggalkan, tidak tumbuh menjadi generasi yang mudah diperbudak apapun juga. Sebab sungguh sangat malang negeri ini, bila generasi yang hidup di dalamnya adalah mereka yang hidupnya mudah diperbudak. Kita berlindung kepada Allah dari hadirnya generasi yang seperti ini.