Pada tanggal 17 Agustus 2008, Indonesia memperingati kemerdekaannya yang ke-63. Seperti biasa, berbagai acara seremonial kebangsaan digelar. Mulai tingkat RT sampai tingkat negara. Berbagai pendapat dan komentar telah diluncurkan di berbagai media massa tentang makna kemerdekaan. Umumnya, para kritikus menyatakan, bahwa secara fisik, Indonesia memang telah merdeka, namun ditinjau dari nilai hakikat kemerdekaan, maka tujuan kemerdekaan itu sendiri masih jauh dari harapan
Enam puluh tiga tahun lalu telah digariskan tujuan kemerdekaan kita, sebagaimana bisa kita simak dalam Pembukaan UUD 1945.
Yakni, untuk membentuk pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Kita bisa menilai, alangkah jauhnya tujuan kemerdekaan itu dari kehidupan kita sekarang. Kita menyaksikan, begitu lemahnya kemampuan pemerintah RI untuk melindungi bangsa dan tumpah darah NKRI. Jutaan warga Indonesia tidak mendapatkan perlindungan yang layak di luar negeri. Puluhan trilyun rupiah hasil lautan kita dijarah kapal-kapal asing. Sumber daya alam kita makin menipis, tanpa memberikan dampak yang berarti bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Kesejahteraan umum untuk kebanyakan rakyat kita, kini terasa semakin menjauh. Kemiskinan begitu merajalela. Kesulitan hidup ada dimana-mana. Angka kemiskinan 39 juta yang dikeluarkan pemerintah sulit untuk dipercaya. Entah standar apa yang digunakan sampai ketemu angka seperti itu. Jumlah buruh tani dan keluarganya saja sudah lebih dari 20 juta jiwa. Betapa pilunya di negeri yang dikaruniai dengan kekayaan alam yang melimpah ruah ini, justru kita menyaksikan rakyat kita antre untuk mendapatkan minyak tanah, minyak goreng, beras murah, dan sebagainya.
Tugas mencerdaskan kehidupan bangsa juga bisa kita pertanyakan sekeras-kerasnya. Biaya pendidikan semakin melambung. Untuk Fakultas Kedokteran di kampus-kampus negeri, mahasiswa diwajibkan membayar puluhan juta.
Jika melalui jalur khusus bisa berkisar pada angka ratusan juta rupiah. Pendidikan semakin mahal. Kita memang menyaksikan sejumlah prestasi besar di dunia olimpiade fisika, matematika, Biologi, dan sebagainya, tetapi itu diraih oleh beberapa gelintir pelajar.
Apakah kita sudah berperan dalam melaksanakan ketertiban dunia? Tentu saja, dalam beberapa hal, kita sudah melakukan hal itu. Tetapi, secara umum, harus kita akui, bahwa kewibawaan kita sebagai sebuah bangsa yang dihuni 230 juta jiwa lebih, dengan komposisi Muslim sekitar 87 persennya, masih belum dipandang sebelah mata oleh negara-negara lain. Singapura saja yang begitu kecil, sama sekali tidak menampakkan keseganan terhadap Indonesia.
Mengapa bangsa kita menjadi lemah dan tidak berdaya? Mengapa kita menjadi lemah? Sebabnya jelas, karena kita tidak mampu mensyukuri nikmat yang diberikan Allah. Dalam pembukaan UUD 1945 yang sebenarnya merupakan naskah Piagam Jakarta telah disebutkan dengan jelas, bahwa kemerdekaan Indonesia terjadi ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.” Jika kita menyadari bahwa kemerdekaan adalah rahmat Allah, maka seharusnya kita memanfaatkan dan mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang diridhai oleh Allah.
Seharusnya kita mensyukuri kemerdekaan ini dengan menjadikan ajaran-ajaran Allah SWT sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; bukan menjadikan hawa nafsu dan aturan-aturan kolonial sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Allah SWT telah menjanjikan, bahwa: “Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al-A’raf:96).
Beberapa ayat al-Quran al-Karim memberikan penjelasan tentang kehancuran suatu bangsa. Penjelasan al-Quran ini sangatlah penting untuk menjadi pelajaran, khususnya bagi kaum Muslimin di Indonesia, agar mereka tidak mengulang kembali tindakan-tindakan yang dilakukan oleh umat terdahulu, yang dengan sombongnya menentang Allah dan para Rasul-Nya. Bahkan sebagian mereka dengan terang-terangan menantang agar azab Allah diturunkan atas mereka. Ketika mereka sudah durhaka dan lupa kepada Allah, maka Allah membiarkan kaum yang durhaka itu untuk mengumbar hasa nafsu mereka, dan kemudian Allah menghancurkan mereka dengan azab-Nya.
Allah SWT berfirman: ”Maka apabila mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba sekonyong-konyong), maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (QS al-An’am:44).”
”Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS al-Isra’:16)
Sebelum kemerdekaan, banyak ulama dan pejuang Islam telah berusaha keras menjelaskan kepada seluruh bangsa Indonesia, khususnya kepada para pemuka negeri ini yang beragama Islam, bahwa Islam patut dijadikan sebagai dasar negara Indonesia merdeka nanti. Sebab, Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, nabi terakhir untuk seluruh manusia. Tetapi, banyak para tokoh waktu itu yang menolak untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia, meskipun mereka beragama Islam. Berbagai perdebatan dalam berbagai forum sudah dilakukan untuk menentukan apa dasar bagi negara yang akan merdeka nantinya.
Pada tahun 1922, tokoh dan pendiri Al-Irsyad, Syekh Ahmad Surkati, misalnya, pernah berdebat dengan para tokoh komunis yang tergabung dalam Syarekat Islam Merah. Tema debatnya ialah: "Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islam kah atau Komunisme?"
Al-Irsyad diwakili oleh Syekh Ahmad Surkati, Umar Sulaiman Naji dan Abdullah Badjerei, sedang SI Merah diwakili Semaun, Hasan, dan Sanusi. Tentu saja, perdebatan itu tidak mencapai titik temu. Pada tahun 1940-an, juga sudah terjadi polemik antara Soekarno dengan A. Hasan serta Natsir tentang kedudukan agama dalam negara.
Soekarno melontarkan gagasannya soal hubungan agama dan negara di Majalah “Pandji Islam” nomor 12 dan 13 tahun 1940. Ia menulis sebuah artikel berjudul “Memudakan Islam”. Dalam tulisannya, Soekarno mendukung sekularisasi yang dijalankan Kemal Attaturk di Turki. Dengan sekularisasi tersebut, menurut Soekarno, Turki telah melakukan apa yang telah dilakukan negara-negara Barat.
Di negara-negara seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, Jerman, dan lain-lain, urusan agama diserahkan kepada individu pemeluknya; agama menjadi urusan pribadi, dan tidak dijadikan sebagai urusan negara, tidak dijadikan sebagai agama resmi negara. A. Hassan – pendiri Persatuan Islam -- mengritik keras pandangan Soekarno tentang sekularisme. Di Majalah yang sama ia menulis artikel berjudul “Membudakkan Pengertian Islam”. Hassan menyebut logika Soekarno sebagai “logika otak lumpur”.
A. Hassan menegaskan: “Ir. Soekarno tidak mengerti, bahwa Eropa memisahkan agama Kristen dari Staat (negara), tidak lain karena di dalam agama Kristen tidak ada ajaran (konsep) tentang pemerintah. Dari jaman Nabi Isa hingga sekarang ini belum pernah terdengar bahwa suatu negara menjalankan hukum agama Kristen.”
Soal penyalahgunaan Islam oleh negara, menurut A. Hassan, hal yang sama bisa terjadi pada paham yang lain, seperti paham kebangsaan yang dianut oleh Soekarno. “Apabila suatu negara atau kerajaan telah menjadikan Islam sebagai perabot (alat) sehingga ia menjadi penghambat kemajuan dan hilang pengaruhnya, maka siapakah yang bersalah? Negara atau Agama? Kalau di suatu tempat (paham) kebangsaan dijadikan untuk memecah belah, maukah saudara Ir. (Soekarno) membuang dan menyingkirkan (paham) kebangsaan dengan alasan yang sama,” kata A. Hassan.
“Saudara Ir. (Soekarno) rupanya tidak atau belum mengetahuinya, bahwa bencana dunia yang sebegini banyak datangnya justru dari negara yang tidak menggunakan agama sebagai hukum positif. Kalau negara diurus secara atau menurut agama, niscaya selamatlah dunia dari segala bencana,” tulis A. Hassan.
Perdebatan itu akhirnya masuk ke dalam sidang-sidang BPUPKI. Setelah diterimanya rumusan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, sidang-sidang BPUPKI berikutnya masih diwarnai dengan perdebatan sengit seputar kedudukan Islam dalam negara Indonesia. Dalam rapat tanggal 15 Juli 1945, tokoh NU, KH Masjkur mengusulkan agar rumusan ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan rumusan ”Agama resmi bagi Republik Indonesia ialah agama Islam.”
Melengkapi buku Risalah Sidang BPUPKI yang diterbitkan oleh Setneg, RM. A.B. Kusuma – dosen Fakultas Hukum UI -- melahirkan bukunya yang berjudul ”Lahirnya Undang-undang Dasar 1945” (2004). Buku ini memuat catatan-catatan sidang BPUPKI dan PPKI yang sebagiannya belum termuat dalam buku Risalah Sidang BPUPKI terbitan Setneg. Disebutkan, bahwa pada tanggal 16 Juli 1945 ditetapkan Rancangan ketiga UUD 1945 yang antara lain memuat pasal-pasal sebagai berikut:
”Presiden ialah orang Indonesia asli, yang beragama Islam.” (pasal 6, ayat 1), ”Negara berdasar atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” (pasal 29 ayat 1).
Tetapi, sejarah kemudian mencatat, bahwa semua rumusan itu akhirnya berubah pada 18 Agustus 1945. Semangat kemerdekaan menekan keinginan tokoh-tokoh Islam dalam PPKI untuk mempertahankan rumusan lama dalam Piagam Jakarta, dan menginginkan negara ini dapat segera mengisi kemerdekaannya. Para tokoh Islam kemudian berupaya melanjutkan perjuangan untuk mewujudkan aspirasi Islam secara konstitusional melalui jalur Konstituante tahun 1955-1959.
Meskipun gagal mencapai hasil 100 persen, lahirlah kemudian Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menegaskan, bahwa Piagam Jakarta adalah menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945. Dekrit ini, sebagaimana pernah kita bahas dalam CAP sebelumnya, cukup memberikan peluang besar bagi umat Islam untuk mewujudkan aspirasinya dalam berbagai bidang kehidupan.
Kini, umat Islam Indonesia perlu mensyukuri hasil perjuangan para pendahulunya. Tidaklah patut mengesampingkan hasil-hasil perjuangan mereka. Tidaklah etis melupakan jasa-jasa mereka, dan menganggap seolah-olah di Indonesia ini belum pernah ada ulama atau pejuang Islam yang berusaha keras menegakkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Tidaklah benar jika dikatakan, bahwa ide menegakkan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan baru muncul belakangan ini, yang dibawa oleh tokoh-tokoh pergerakan Islam tertentu.
Sebagai umat Islam sepatutnya kita menghargai perjuangan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, Pangeran Diponegoro, Syekh Yusuf Maqassari, Imam Nawawi al-Bantani, Kyai Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Ahmad Surkati, A. Hassan, Moh. Natsir, Hamka, Imam Zarkasyi, dan sebagainya. Mereka-mereka telah menorehkan jasa-jasa besar dalam perjuangan Islam di Indonesia ini. Adalah tugas kita sekarang, sebagai generasi pelanjut mereka, berjuang lebih keras, melanjutkan perjuangan mereka, agar cita-cita Islam dapat benar-benar tegak di bumi Indonesia.
Para pendahulu kita dahulu adalah orang-orang yang memiliki kualitas ilmu yang tinggi dan sekaligus pejuang-pejuang yang gigih dalam menyebarkan Islam. Mereka senantiasa menyebarkan dakwah melalui jalur keilmuan untuk mendidik masyarakat agar mengenal ajaran-ajaran Islam dengan baik. Mereka sangat tekun dan sabar dalam membimbing masyarakat melalui ponsok-pondok pesantren dan sekolah-sekolah yang mereka dirikan sehingga dari situ lahirlah ulama-ulama dan dai-dai yang kemudian menyebarkan Islam ke berbagai penjuru tanah air.
Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita untuk meneruskan perjuangan para pendahulu kita. Amin.