Sunday, June 17, 2012

Pengakuan Keislaman Cheng Ho

Majalah sekelas National Geographic dengan tegas menyatakan Cheng Ho adalah seorang Tionghoa muslim. Tentu saja pernyataan tadi berangkat dari dukungan data, bukan sekadar legenda.

National Geographic Society memiliki reputasi sebagai organisasi ilmiah dan nirlaba yang terlibat dalam lebih dari 8.000 eksplorasi dan penelitian sejak 1888. Namun, di Indonesia, keislaman Cheng Ho masih saja jadi kontroversi, baik di komunitas Tionghoa maupun Islam. Keislaman Cheng Ho seakan diterima dengan setengah hati.

Lihat saja, tak seorang pun Tionghoa Muslim diajak duduk dalam Panitia 600 Tahun Cheng Ho. Juga dari sekian banyak acara yang dirancang, yang bernuansa Islam cuma lomba nasyid dan salah satu seminar. Sama sekali tidak menonjol dibanding acara-acara tersebut, cuma sekadarnya saja, semacam tempelan. Yang lebih dahsyat, sepucuk surat pembaca menceriterakan tentang penggusuran makam-makam tua Tionghoa muslim (Liem Wa Tiong, Oei Kiem Liang, Ang Tjin Kien, Tan Dinar Nio, Henry Tan, dan lain-lain).

Semula makam-makam itu ada di bagian belakang Sam Po Kong. Surat pembaca itu juga mengeluhkan diturunkannya papan kaligrafi ”Me Zheng Lan Yin” (terjemahan bebasnya: Merenungkan dan mengamalkan ajaran Al Quran). Papan itu diturunkan setelah kunjungan Imam Besar Masjid Beijing ke Sam Po Kong. Dalam kunjungan tersebut, sang ulama China menyatakan bahwa kaligrafi tersebut menegaskan keislaman Cheng Ho.

Dua Kutub

Bagaimana pula dengan masyarakat Islam Indonesia? Sampai saat ini tidak pernah jelas diakui peran Tionghoa Muslim dalam proses masuknya Islam ke Nusantara. Sejak dulu yang diajarkan dalam buku-buku sejarah sekolah adalah teori Arab dan India/Gujarat.

Buku yang mengangkat peran Tionghoa dalam Islamisasi Nusantara bahkan dilarang beredar dengan alasan potensial mengganggu stabilitas nasional. Akibatnya, jangankan diakui berperan dalam Islamisasi Nusantara, bahkan kehadiran Tionghoa Muslim dalam shalat Jumat sampai saat ini pun masih ada yang menganggap aneh. Islam dan Tionghoa dianggap dua kutub yang berseberangan.

Tentu saja gambaran tadi adalah gambaran hitam-putih. Bersyukurlah kita masih ada wilayah abu-abu. Lie Pek Tho, Ketua Yayasan Kelenteng Thay Kak Sie yang juga Ketua Panitia 600 tahun Cheng Ho, dalam sebuah wawancara tanpa basa-basi mengatakan: “Beliau (Cheng Ho -red) orang Islam. Pengikutnya juga sebagian besar Islam. Maka beliau juga menyebarkan agama Islam”.

Demikian pula di pihak Islam, Habib Luthfi bin Ali Yahya, Ketua MUI Jawa Tengah, tidak saja menyebut Cheng Ho. Beliau bahkan bisa menyebutkan nama-nama ulama Tionghoa (banyak di antaranya yang menggunakan nama muslim) yang dikatakannya mempunyai andil dalam perkembangan Islam di Nusantara. Karena kekaburan (atau pengaburan) sejarah, bahkan di antara Tionghoa muslim sendiri nama-nama dan peran mereka terasa asing.

Mazhab Hanafi

Tionghoa masuk ke Indonesia secara bergelombang. Sebelum Cheng Ho, sisa-sisa laskar Mongol Kubilai Khan (Dinasti Yuan) yang kalah melawan Raden Wijaya sudah menetap di wilayah Majapahit (1293). Mereka ikut mendukung kejayaan Majapahit melalui alih pengetahuan tentang mesiu, maritim, dan perdagangan.

Dalam buku kumpulan surat kepada putrinya, Indira Gandhi, Glimpses of World History, Jawaharlal Nehru mengatakan, “Sesungguhnya ekspedisi Tiongkok akhirnya menjadikan kemaharajaan Majapahit di Jawa lebih kuat. Ini disebabkan karena orang Tionghoa mendatangkan senjata api ke Jawa. Dan agaknya dengan senjata api inilah datang kemenangan berturut-turut bagi Majapahit.” Laskar Mongol direkrut dari berbagai daerah: Hokkian, Kiangsi dan Hukuang.

Sekitar seratus tahun kemudian, armada Laksamana Cheng Ho yang diutus oleh Kaisar Yong Le (Dinasti Ming) singgah di berbagai tempat di Nusantara. Di kota-kota pantai ini Cheng Ho membentuk komunitas Islam pertama di Nusantara, antara lain Palembang, Sambas dan Jawa. Artinya, pada awal abad XV, Tionghoa muslim yang bermazhab Hanafi sudah ada di Nusantara. Mereka kebanyakan orang Yunnan yang hijrah ke Nusantara pada akhir abad XIV, dan sisa-sisa laskar Mongol yang menghuni wilayah Majapahit.

Sebuah teori mengatakan, akibat perubahan kebijakan luar negeri Dinasti Ming, hubungan antara pusat Hanafi di Campa dengan Nusantara akhirnya terputus. Banyak Tionghoa muslim yang berpindah kepercayaan. Masjid-masjid Tionghoa selanjutnya banyak yang berubah menjadi kelenteng. Kemudian Sunan Ampel (Bong Swie Ho) mengambil prakarsa melakukan proses Jawanisasi. Dia meninggalkan komunitas Tionghoa muslim di Bangil dan hijrah ke Ampel bersama orang-orang Jawa yang baru diislamkannya. Dengan kepemimpinannya yang sangat kuat, Bong Swie Ho membentuk masyarakat Islam Jawa di pesisir utara Jawa dan pulau Madura. Inilah cikal bakal masyarakat Islam di Jawa.

Kekalahan Sunan Prawoto (Muk Ming) dari Demak dalam perebutan pengaruh dengan Arya Penangsang dari Jipang berakibat kepada hancurnya seluruh kota dan keraton Demak. Sisa-sisa pasukan Demak yang melarikan diri ke Semarang dihancurkan. Demikian pula galangan kapal Semarang dan banyak orang-orang Tionghoa non Islam di Semarang. Peristiwa ini menjadikan sebagian besar masyarakat Tionghoa di Semarang marah dan tidak bersimpati kepada pasukan Jipang. Inilah awal dari surutnya masyarakat Tionghoa muslim di Semarang. Mereka akhirnya berangsur-angsur kembali kepada agama dan kepercayaan Konghucu dan Tao.

Gelombang-gelombang imigran China yang masuk ke Nusantara kemudian tidak lagi didominasi orang-orang Tionghoa muslim. Mereka datang, misalnya karena kebutuhan penjajah Belanda untuk menambang timah di Bangka. Ditambah dengan politik devide et impera penjajah Belanda, semuanya tadi menimbulkan kesan terbentangnya jarak antara Islam dan China. Orang-orang Tionghoa makin dianggap asing di Nusantara lengkap dengan segala stereotype negatifnya. Peran Tionghoa muslim dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, sebagaimana dibuktikan dari cerita-cerita rakyat, berbagai dokumen maupun peninggalan sejarah, termasuk ke dalamnya makam-makam kuno Tionghoa muslim, kemudian menjadi buram.

Lebih-lebih setelah Orde Baru memerintah dengan kebijakan pembaurannya yang mendua. Sepanjang berlabel Tionghoa, tempatnya adalah di sudut-sudut gelap dalam kehidupan bangsa. Tetapi di lain pihak, beberapa orang Tionghoa yang pengusaha besar dilimpahi dengan berbagai fasilitas.

Balanced Society

Bersyukurlah kita ketika tiba era reformasi dengan segala iklim keterbukaannya. Tidak ada lagi suasana represif. Kekuasaan pemerintah diimbangi dengan peran pengusaha swasta serta kontrol sosial masyarakat. Tiga unsur yang dibutuhkan dalam konsep masyarakat modern yang seimbang. Walaupun lagi-lagi harus menjadi tumbal dalam kerusuhan Mei 1998, masyarakat Tionghoa mengalami imbas akibat iklim keterbukaan era reformasi. Hak-hak sipilnya dipulihkan, bebas mengekspresikan adat-istiadatnya kembali.

Dalam suasana demikian, merayakan 600 tahun pelayaran Cheng Ho menjadi sangat mungkin. Sam Po Kong, petilasan Cheng Ho, dipugar dalam skala megah. Diselenggarakan berbagai acara selama seminggu. Dan jauh sebelumnya, lampion merah bertengger di jalan-jalan utama kota Semarang. Sebuah hal yang mimpi pun tak akan terjadi di era semua yang berlabel Tionghoa adalah tabu.

Pertanyaannya: sudah memadaikah semuanya itu? Rasanya belum. Nilai Cheng Ho jauh melewati sekadar petilasannya yang jadi objek wisata, dan peringatannya masuk dalam kalender wisata. Menyedot tamu dari dalam dan luar negeri, serta menyedot isi kocek mereka. Bila sekadar demikian, berarti menghapus peran Cheng Ho, yang telah memicu kota-kota bandar di Nusantara menjadi metropolis. Juga bermakna mengabaikan sifat dan sikap yang dimiliknya: entrepreneurship, risk taker, inovatif, leadership, toleran, universal, loyal kepada atasan, namun sekaligus dalam kebesaran kekuasaannya mampu mengakui kekerdilannya di hadapan Allah SWT. Mencintai Allah, dan karenanya menyebarkan imannya kepada semua orang. Tidak berlebihan bila dikatakan, Cheng Ho adalah manusia yang seimbang dunia dan akhirat.

Trust

Menerima dan mengakui Cheng Ho seutuhnya bermakna mengakui keislamannya. mengakui peran para ulama Tionghoa dalam proses masuknya Islam ke Nusantara. Dan ini akan memberi sumbangan luar biasa dalam bingkai keindonesiaan yang baru. Menjungkirbalikkan teori Arab dan lndia/Gujarat tentang proses masuknya Islam ke Nusantara. Mendekatkan orang Tionghoa dengan saudara-saudaranya sebangsa. Mengurangi kesenjangan psikologis yang selama ini ada.

Menerima dan menghayati nilai-nilai Cheng Ho seutuhnya akan menyumbang pemupukan modal sosial masyarakat. Bahkan pengakuan yang berangkat dari kejujuran dan keterbukaan akan meningkatkan kepercayaan dunia internasional. Peningkatan trust akan memicu kerja sama, networking, dan kemajuan bagi dunia usaha kita.

Masyarakat yang cenderung trusted akan lebih mudah mendatangkan modal dan investasi karena pembeli dan investor terlindung dari dampak kecurangan yang dilakukan pihak lawan. Selain itu, masyarakat yang trusted mendorong keyakinan dan kepastian berusaha, serta kemudahan merekrut tenaga-tenaga profesional.

Memperingati 600 tahun pelayaran Cheng Ho bisa saja sekadar hura-hura sejenak, dengan gaung hitungan minggu kemudian lenyap. Tetapi bisa juga menjadi titik balik untuk sesuatu yang jauh lebih strategis. Pilihannya ada pada kita semua.


Oleh: AM Adhy Trisnanto
Tionghoa Muslim & Praktisi Komunikasi Pemasaran.

Sumber: Suara Merdeka