Haramnya Berjual-Beli Barang-Barang Yang Buruk Dan Kotor
Pembaca budiman,
Rubrik Hadits pada edisi ini, kami angkat dari kitab Taisir al ‘Allam Syarhu ‘Umdati al Ahkam, Bab Tahrimi Bai’i al Khaba-its, karya asy Syaikh al ‘Allamah Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Bassam, Tash-hih dan Takhrij Muhammad bin al Mijqan, Penerbit Daar al Mughni li an Nasyri wa at Tawzi’, KSA, Riyadh, Cetakan I, Tahun 1421 H/ 2000 M. Pada hadits nomor 264, halaman 671-677. (Dan pada sebagian cetakan lain, bernomor 265). Dengan beberapa tambahan penjelasan yang diperlukan. (Redaksi)
_______________________________________________
Di antara sifat-sifat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tercantum pada kitab-kitab terdahulu, dan lewat lisan para nabi –‘alaihimush shalatu was salam-, yaitu beliau menghalalkan yang baik, dan mengharamkan yang buruk dan kotor.[1]
Dan ini berlaku umum pada seluruh makanan, minuman, pakaian, adat-istiadat dan lain-lainnya.
Demikian ini juga merupakan sebuah kaidah agung, memiliki fungsi memelihara segala hal yang baik, dan meniadakan yang buruk. Sebagaimana kaidah ini juga merupakan standar pengqiyasan (tolak ukur) yang benar terhadap hal lainnya. Sehingga, kaidah ini merupakan kesempurnaan syariat (Islam), sekaligus salah satu unsur abadinya syariat Islam.
Perhatikanlah hadits di bawah berikut. Pasti akan engkau dapatkan, hal-hal yang diharamkan di dalam hadits ini terbatas jumlahnya, sebagai isyarat kepada hal-hal lainnya yang dapat merusak agama, tubuh, dan akal. Sehingga, penyebutan beberapa hal ini merupakan peringatan dan mewakili yang sejenis dan semacamnya. Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أََنَّـهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ عَامَ الْـفَتْحِ وَهُوَ بِمَـكَّةَ: ((إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَـيْعَ الْـخَمْرِ وَالْـمَيْـتَةِ وَالْـخِنْـزِيْرِ وَالأَصْـنَامِ))، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ شُحُوْمَ الْمَـيْـتَةِ؟ فَإِنَّـهَا يُطْلَى بِهَا السُّـفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُـلُوْدُ وَيَسْـتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: ((لاَ، هُوَ حَرَامٌ))، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: ((قَاتَلَ اللهُ الْـيَهُوْدَ! إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُوْمَهَا جَمَلُوْهُ، ثُمَّ بَاعُوْهُ فَأَكَلُوْا ثَمَنَهُ))
"Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhuma, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah n bersabda pada tahun Fathu (Makkah), dan ia berada di Makkah, “Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual-beli khamr (minuman keras, segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan berhala,” lalu dikatakan (kepada beliau),"Wahai, Rasulullah. Bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai? (Karena) sesungguhnya lemak bangkai (dapat digunakan) untuk melapisi (mengecat) perahu, menyamak kulit, dan digunakan orang-orang untuk lampu-lampu pelita (mereka)?” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Tidak, (jual- beli) itu adalah haram,” kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika itu,"Semoga Allah memerangi Yahudi! Sesungguhnya Allah, tatkala mengharamkan atas mereka lemak bangkai, mereka mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu memakan harganya.”[2]
PENJELASAN KOSA KATA HADITS
1. (عَامَ الْـفَتْحِ): adalah Fathu (penaklukan) Makkah, pada tahun ke-8 Hijriyah pada bulan Ramadhan.
2. (حَرَّمَ) : dengan pengembalian dhamir (kata ganti) kepada satu orang, sebagai bentuk etika kepada Allah Yang Maha Tinggi KeagunganNya dan Maha Satu KemulianNya.
3. (الْـمَيْـتَة) : dengan harakat fat-hah di atas huruf mim, yaitu hewan yang mati begitu saja, atau hewan yang disembelih, tetapi menyembelihnya tidak sesuai syariat.
4. (الأَصْـنَام) : bentuk tunggalnya (singular) : (صَنَمٌ), yaitu berhala yang terbuat dari batu atau pohon atau yang lainnya, dengan bentuk tertentu, untuk disembah.
5. (أَرَأَيْتَ شُحُوْمَ الْمَـيْـتَةِ؟) : maksudnya, beritahukan kepadaku tentang hukum menjual lemak bangkai, apakah hal ini halal dengan sebab banyak manfaatnya?
6. (يَسْـتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ) : yaitu, mereka menggunakan lemak bangkai untuk penerangan tatkala mereka menjadikannya pada lampu-lampu pelita.
7. (هُوَ حَرَامٌ) : “Ia haram”, kata ganti ini kembalinya kepada “berjual-beli”.
8. (قَاتَلَ اللهُ الْـيَهُوْدَ!) : maksudnya, semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi, disebabkan perbuatan licik dan bathil yang telah mereka lakukan. Sebagaimana pada sabdanya ini terdapat peringatan atas keharaman berjual-beli hal-hal ini.
9. (جَمَلُوْهُ) : dengan harakat fat-hah pada huruf jim, dan mim tanpa tasydid. Yaitu, mencairkannya. Dan makna (الجَمِيْل), yaitu lemak cair.
MAKNA GLOBAL HADITS
Syariat Islam yang mulia ini datang dengan membawa segala kemaslahatan bagi umat manusia, serta membawa peringatan dari segala yang membahayakan akal, tubuh dan agama. Sehingga, syariat Islam membolehkan semua yang baik -yaitu sebagian besar makhluk Allah yang telah Dia ciptakan untuk manusia di bumi ini- dan mengharamkan hal-hal yang buruk.
Di antara sekian macam hal buruk yang telah diharamkan, ada empat hal yang dijelaskan dalam hadits di atas. Setiap macamnya menunjukkan dan mewakili hal buruk lainnya yang semisal.
Maka, al khamr, yaitu segala sesuatu yang dapat memabukkan dan menutup akal, merupakan sumber keburukan. Dengan mengkonsumsinya, seseorang kehilangan nikmat akal yang telah Allah muliakan dengannya. Sehingga, seorang yang sedang mabuk akan melakukan dosa-dosa besar. Ia akan menebarkan permusuhan sesama kaum Muslimin. Khamr ini pun menghalanginya dari seluruh kebaikan, dan dari berdzikir kepada Allah.
Kemudian Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan hal berikutnya, yaitu al maitah (bangkai). Yaitu hewan yang biasanya tidak mati, melainkan dengan sebab penyakit atau bakteri mikroba. Atau juga dengan sebab tertahannya darah hewan tersebut, yang menyebabkan kematian. Maka, mengkonsumsinya mendatangkan resiko yang sangat besar bagi tubuh dan membinasakan kesehatan. Belum lagi, bangkai itu menjijikkan, berbau busuk dan najis. Setiap jiwa pasti tidak menyukainya [3]. Seandainya bangkai itu tetap dimakan, walaupun dengan tidak suka dan dengan berhati-hati, ia tetap penyakit (bagi yang memakannya) di atas penyakit, dan musibah di atas musibah.
Yang berikutnya, Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan hewan yang paling buruk, paling tidak disukai dan paling menjijikkan, yaitu babi. Babi adalah hewan yang mengandung berbagai macam penyakit dan bakteri. Hampir-hampir panasnya api tidak dapat membunuh dan mematikannya. Maka, bahayanya sangat besar dan kerusakannya sangat banyak. Di samping itu, babi ini pun merupakan hewan yang jorok dan najis.
Yang terakhir, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan sesuatu yang bahayanya jauh lebih besar (dari yang sebelumnya), kerusakannya pun sangat besar, yaitu berhala. Berhala merupakan sumber kesesatan dan kesyirikan manusia. Dengannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala dimusuhi, dipersekutukan dalam ibadah dan hak-hakNya. Maka, berhala adalah sumber kesesatan dan kesyirikan.
Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab, melainkan untuk memerangi sesembahan (selain Allah) ini, serta untuk menyelamatkan manusia dari keburukannya. Betapa banyak manusia yang terfitnah (terpedaya) dengannya! Betapa banyak umat yang sesat karenanya! Dan betapa banyak manusia masuk ke dalam neraka disebabkan olehnya.
Maka, empat hal ini adalah hal-hal buruk dan merusak akal, tubuh dan agama. Empat hal ini sebagai contoh agar manusia menjauhi semua yang buruk. Dan hal ini tidaklah diharamkan, melainkan untuk melindungi akal, tubuh, dan agama dari apa yang dapat merusaknya. Sehingga menjauhi hal-hal ini merupakan tindakan preventif dari segala yang merusak.
FAIDAH HADITS
1. Haramnya berjual beli khamr, membuatnya, segala sesuatu yang membantu terjadinya, meminumnya dan berobat dengannya. Dan termasuk dalam makna khamr, yaitu segala sesuatu yang dapat memabukkan, baik berupa benda cair ataupun padat. Terbuat dari apapun. Sama saja, terbuat dari anggur, kurma, ataupun gandum. Termasuk pula ke dalamnya ganja, opium, rokok, marijuana, dan yang sejenisnya. Seluruhnya adalah buruk dan haram.
2. Seluruh hal-hal tadi diharamkan karena mengandung kerusakan dan bahaya yang besar terhadap akal, tubuh, harta, dan akibat-akibat buruk lainnya berupa permusuhan, tindak kriminalitas, dan mara bahaya lainnya yang tidak tersembunyi lagi.
3. Haramnya bangkai, baik dagingnya, lemaknya, darahnya, urat-uratnya, dan segala sesuatu yang masuk kepadanya kehidupan dari bagian-bagian tubuhnya. Semua itu diharamkan, karena keberadaan sesuatu yang membahayakan tubuh. Selain itu, bangkai itu juga buruk, menjijikkan dan najis. Bangkai itu kotor dan tidak disukai. Dengan sebab inilah, juga dengan sebab tidak ada manfaat padanya, maka diharamkan memperjual-belikannya, kecuali bangkai hewan yang dijelaskan kehalalannya oleh syari’at seperti bangkai binatang laut dan bangkai belalang.
4. Jumhur ulama (mayoritas ulama) mengecualikan dari keharaman tadi, rambut dan bulunya. Karena keduanya tidak berhubungan dengannya. Maksudnya, tidak termasuk ke dalamnya kehidupan. Sehingga, keduanya tidak termasuk yang kotor.
Adapun kulitnya, hukumnya najis jika belum disamak. Namun, jika sudah disamak dengan baik, dan sudah dihilangkan segala sisa buruk yang menempel padanya, hukumnya halal dan suci, menurut mayoritas ulama. Dan sebagian ulama (lain) membatasi penggunaannya untuk hal-hal yang kering saja. Namun, pendapat yang pertama adalah pendapat yang lebih utama (untuk dibenarkan), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
((يُـطَـهِّـرُهَا الْـمَاءُ وَالْـقَرَظُ))
"Kulit itu dapat disucikan oleh air dan al Qarazh".[4]
5. Haramnya berjual-beli hewan babi. Haram pula memakannya, menyentuhnya dan mendekatinya. Karena babi adalah hewan yang buruk dan kotor, yang terdapat padanya kerusakan murni, tidak ada maslahatnya sama sekali. Bahaya darinya yang menimpa tubuh dan akal sangatlah besar. Karena babi dapat meracuni tubuh dengan segala penyakit yang terkandung padanya. Mengakibatkan orang yang mengkonsumsinya memiliki sifat buruk pula seperti babi. Ini merupakan kenyataan yang telah terjadi, dan telah kita saksikan pada orang-orang yang terbiasa mengkonsumsinya. Mereka juga dikenal dengan frigiditas (sifat dingin).
6. Haramnya berjual-beli berhala. Dikarenakan dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat besar bagi akal dan agama. Terlebih lagi jika berhala ini dijadikan sebagai sesembahan dan menyebarkannya dalam rangka membangkang kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
Dan termasuk dalam kategori berhala adalah salib, yang merupakan syi’ar orang-orang Nashrani. Juga patung-patung para tokoh dan pembesar, jula gambar-gambar yang terdapat pada majalah-majalah, koran-koran dan lainnya. Terlebih lagi gambar-gambar porno yang terpampang vulgar, merupakan fitnah (besar) bagi para pemuda, dan merangsang nafsu birahi mereka.
Termasuk pula, film-film sinema. Dan terlebih lagi film-film porno yang vulgar dan menjijikkan, menunjukkan kefajiran tidak adanya rasa malu sama sekali (para pelakunya).
Semua ini merupakan keburukan dan kerusakan, yang sama sekali tidak ada kebaikan dan kemaslahatannya. Namun, demikianlah, (kini) manusia sudah terbiasa dengan kemungkaran. Bahkan, seakan-akan sudah menjadi hal yang ma’ruf (baik, lumrah dan tidak bermasalah). Allahul Musta’an.
7. Meninggalkan (menolak) kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Terlebih lagi, jika kerusakan tersebut ternyata lebih kuat daripada kemaslahatannya.
(Dari kaidah ini), sesungguhnya kemaslahatan yang terdapat pada lemak bangkai tetap tidak dapat membuatnya boleh untuk diperjual-belikan dan bermu’amalah dengannya. Oleh karena itu, tatkala para sahabat menyebutkan beberapa faidahnya, dengan harapan membuatnya boleh untuk diperjual- belikan dan bermu’amalah dengannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap menjawab : لاَ، هُوَ حَرَامٌ (Tidak; jual- beli itu adalah haram).
8. Menggunakan sesuatu yang najis dengan cara yang tidak melampaui batas (tidak menularkannya pada yang lain) adalah boleh (tidak bermasalah), karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang hal itu kepada para sahabat, tatkala mereka memberitahukan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan dhamir (kata ganti) pada sabdanya: (هُوَ حَرَامٌ), kembali kepada jual-beli, bukan kepada penggunaan.
9. Sesungguhnya hiilah (berusaha mencari-cari pembenaran dengan cara licik dan menipu pada sesuatu yang telah diharamkan Allah) adalah, sebab datangnya murka dan laknat Allah. Karena orang yang melakukan sesuatu, dan ia sudah mengetahui keharaman sesuatu tersebut lebih ringan (dosanya), daripada orang yang melakukan sesuatu yang haram tersebut dengan sengaja berusaha mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya.
Karena orang yang pertama, ia mengakui telah berbuat dosa dan melampaui batasan-batasan Allah, dan masih bisa diharapkan darinya untuk bertaubat dan memohon ampun kepada Allah. Sedangkan orang yang kedua, ia berusaha menipu Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan usahanya dalam mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya akan terus membuatnya berperilaku demikian, sehingga ia sulit untuk bertaubat. Bahkan ia pun terhalangi dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
10. Sesungguhnya mencari-cari pembenaran dengan cara yang licik dan menipu pada sesuatu yang telah diharamkan Allah adalah kebiasaan orang-orang Yahudi.
11. Cintanya orang-orang Yahudi terhadap harta dan materi sudah lama (sejak dahulu). Hal inilah yang membuat mereka sampai melakukan hiilah, membatalkan perjanjian-perjanjian, dan terbiasa melakukan hal-hal yang haram. Mereka begitu terus-menerus bergelimang dalam kesesatan. Semoga Allah memporakporandakan mereka.
Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan haramnya hal-hal dalam hadits ini, mereka menyebutkan beberapa manfaat lemak bangkai yang terbiasa mereka pergunakan, dengan harapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengecualikannya dari hal-hal yang diharamkan dalam hadits. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, jangan kalian berjual-beli dengannya, karena berjual-beli dengannya haram, manfaat-manfaat (yang disebutkan) tidak membuatnya menjadi halal. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang mereka untuk menggunakannya saja, sebagaimana yang telah mereka sebutkan.
Kemudian, salah satu sempurnanya bentuk kasih-sayang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan nasihatnya kepada umatnya, beliau memperingatkan umatnya, agar jangan terjerumus ke dalam apa-apa yang dilakukan orang-orang Yahudi, berupa menghalalkan hal-hal yang haram dengan melakukan hiilah yang hina dan terungkap. Hal ini, agar umatnya tidak terkena laknat dan murka Allah Subhanahu wa Ta'ala . Lalu akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan agar Allah melaknat orang-orang Yahudi, agar umatnya memahami betapa besar dosa yang telah dilakukan orang-orang Yahudi ini.
Nabi juga menerangkan kepada umatnya, yaitu tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala mengaharamkan atas orang-orang Yahudi lemak bangkai, justru mereka menyengaja –dengan maksud untuk menipu Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kecintaan mereka terhadap harta dan materi- mencairkan lemak tersebut yang telah diharamkan kepada mereka untuk dimakan. Kemudian mereka pun menjualnya, dan akhirnya memakan harganya (hasil penjualannya). Mereka mengira, perbuatannya itu bukan perbuatan maksiat. Mereka mengira, bahwa mereka tidak memakan lemak bangkai itu secara langsung. Mereka mengira, yang mereka makan adalah harganya!
Inilah substansi bermain-main dengan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan inilah substansi meremehkan hukum-hukum dan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan sungguh, hal ini telah menimpa kita (sebagian kaum Muslimin), berupa hiilah dan menipu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini sebagai bukti kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((لَتَرْكَبُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَـبْلَكُمْ، حَذْوَ الْـقُذَّةِ بِالْـقُذَّةِ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوْهُ))
"Pasti kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian, sedikit demi sedikit, sampai-sampai jika mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, kalian akan memasukinya (pula)". [5]
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala perlindungan dan hidayahNya. Memperlihatkan kepada kita yang haq adalah haq, serta memberikan rizki kepada kita untuk mengikutinya. Dan memperlihatkan kepada kita yang bathil adalah bathil, serta memberikan rizki kepada kita untuk menjuhinya.
12. Haramnya hiilah, ia tidak merubah hakikat sesuatu, walaupun sesuatu tersebut dinamakan bukan dengan namanya, ataupun dihilangkan sebagian sifatnya.
13. Sesungguhnya syariat ini datang dengan membawa seluruh kebaikan, dan memperingatkan dari segala hal yang di dalamnya terdapat keburukan, atau pun keburukannya lebih besar dari kebaikannya.
14. Sesungguhnya hal-hal yang diharamkan di dalam hadits ini sebagai contoh yang mewakili hal-hal lainnya yang semisal dengannya. Yang bahayanya kembali kepada agama, akal, tubuh, kebiasaan dan akhlak. Sehingga, seolah-olah hadits ini dibawakan untuk menjelaskan segala macam yang kotor dan buruk.[6]
Maraji’ & Mashadir :
1. Al Quran dan terjemahnya, Cetatkan Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
2. Shahih al Bukhari, al Bukhari (194-256 H), tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.
3. Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin Hajjaaj al Qusyairi an Naisaburi (204-261 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
4. Sunan Abi Dawud, Abu Daud Sulaiman bin al Asy’ats as Sijistani (202-275 H), tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.
5. Sunan an Nasaa-i (al Mujtaba), Abu an Nasaa-i, 215-303 H, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Maktab al Mathbu’at, Halab, Cet. II, Th. 1406 H/1986M.
6. Musnad al Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy Syaibani (164-241 H), Mu’assasah Qurthubah, Mesir.
7. An Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar, Ibnu al Atsir, 544-606 H, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut-Libanon, Cet. I, Th. 1422 H/ 2001 M.
8. Shahih Sunan Abi Daud, al Albani, 1332-1420 H, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
9. Shahih Sunan an Nasaa-i, al Albani, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
10. Shahih al Jami’ ash Shaghir, al Albani, al Maktab al Islami.
11.As Silsilah ash Shahihah, al Albani, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. [al A’raaf/ 7 : 157].
[2]. HR al Bukhari, 2/779 no. 2121; Muslim, 3/1207 no. 1581; dan lain-lain.
[3]. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". [al Hujuraat/ 49 : 12].
[4]. HR Abu Dawud, 4/66 no. 4126; an Nasaa-i, 7/174 no. 4248; Ahmad, 6/333 no. 26876; dan lain-lain dari hadits Maimunah Radhiyallahu 'anha, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih Sunan an Nasaa-i, Shahih al Jami’ (5234), as Sisilah ash Shahihah (5/194).
Al Qarazh adalah daun dari sejenis pohon berduri yang biasa dipakai oleh orang-orang Arab untuk menyamak kulit. Lihat keterangan ini pada footnote kitab Taisir al ‘Allam Syarhu ‘Umdati al Ahkam, halaman 675.
[5]. HR al Bukhari, 3/1274 no. 3269; Muslim, 4/2054 no. 2669; dan lain-lain, dari hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu dengan sedikit perbedaan lafazh.
Makna (الْـقُذَّة), yaitu bulu yang biasanya diletakkan di belakang anak panah yang dipanahkan.
Lihat keterangan ini pada footnote kitab Taisir al ‘Allam Syarhu ‘Umdati al Ahkam, halaman 677. Dan lihat pula kitab an Nihayah fii Gharib al Hadits wa al Atsar, 2/427.
[6]. Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Bassam berkata,"Dari makna inilah judul bab diambil, dan telah kami jadikan pada muqaddimah penjelasan hadits ini." Lihat pada footnote kitab Taisir al ‘Allam Syarhu ‘Umdati al Ahkam, halaman 677.
Rubrik Hadits pada edisi ini, kami angkat dari kitab Taisir al ‘Allam Syarhu ‘Umdati al Ahkam, Bab Tahrimi Bai’i al Khaba-its, karya asy Syaikh al ‘Allamah Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Bassam, Tash-hih dan Takhrij Muhammad bin al Mijqan, Penerbit Daar al Mughni li an Nasyri wa at Tawzi’, KSA, Riyadh, Cetakan I, Tahun 1421 H/ 2000 M. Pada hadits nomor 264, halaman 671-677. (Dan pada sebagian cetakan lain, bernomor 265). Dengan beberapa tambahan penjelasan yang diperlukan. (Redaksi)
_______________________________________________
Di antara sifat-sifat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tercantum pada kitab-kitab terdahulu, dan lewat lisan para nabi –‘alaihimush shalatu was salam-, yaitu beliau menghalalkan yang baik, dan mengharamkan yang buruk dan kotor.[1]
Dan ini berlaku umum pada seluruh makanan, minuman, pakaian, adat-istiadat dan lain-lainnya.
Demikian ini juga merupakan sebuah kaidah agung, memiliki fungsi memelihara segala hal yang baik, dan meniadakan yang buruk. Sebagaimana kaidah ini juga merupakan standar pengqiyasan (tolak ukur) yang benar terhadap hal lainnya. Sehingga, kaidah ini merupakan kesempurnaan syariat (Islam), sekaligus salah satu unsur abadinya syariat Islam.
Perhatikanlah hadits di bawah berikut. Pasti akan engkau dapatkan, hal-hal yang diharamkan di dalam hadits ini terbatas jumlahnya, sebagai isyarat kepada hal-hal lainnya yang dapat merusak agama, tubuh, dan akal. Sehingga, penyebutan beberapa hal ini merupakan peringatan dan mewakili yang sejenis dan semacamnya. Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أََنَّـهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ عَامَ الْـفَتْحِ وَهُوَ بِمَـكَّةَ: ((إِنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَـيْعَ الْـخَمْرِ وَالْـمَيْـتَةِ وَالْـخِنْـزِيْرِ وَالأَصْـنَامِ))، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ شُحُوْمَ الْمَـيْـتَةِ؟ فَإِنَّـهَا يُطْلَى بِهَا السُّـفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُـلُوْدُ وَيَسْـتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: ((لاَ، هُوَ حَرَامٌ))، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: ((قَاتَلَ اللهُ الْـيَهُوْدَ! إِنَّ اللهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُوْمَهَا جَمَلُوْهُ، ثُمَّ بَاعُوْهُ فَأَكَلُوْا ثَمَنَهُ))
"Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhuma, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah n bersabda pada tahun Fathu (Makkah), dan ia berada di Makkah, “Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual-beli khamr (minuman keras, segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan berhala,” lalu dikatakan (kepada beliau),"Wahai, Rasulullah. Bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai? (Karena) sesungguhnya lemak bangkai (dapat digunakan) untuk melapisi (mengecat) perahu, menyamak kulit, dan digunakan orang-orang untuk lampu-lampu pelita (mereka)?” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Tidak, (jual- beli) itu adalah haram,” kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika itu,"Semoga Allah memerangi Yahudi! Sesungguhnya Allah, tatkala mengharamkan atas mereka lemak bangkai, mereka mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu memakan harganya.”[2]
PENJELASAN KOSA KATA HADITS
1. (عَامَ الْـفَتْحِ): adalah Fathu (penaklukan) Makkah, pada tahun ke-8 Hijriyah pada bulan Ramadhan.
2. (حَرَّمَ) : dengan pengembalian dhamir (kata ganti) kepada satu orang, sebagai bentuk etika kepada Allah Yang Maha Tinggi KeagunganNya dan Maha Satu KemulianNya.
3. (الْـمَيْـتَة) : dengan harakat fat-hah di atas huruf mim, yaitu hewan yang mati begitu saja, atau hewan yang disembelih, tetapi menyembelihnya tidak sesuai syariat.
4. (الأَصْـنَام) : bentuk tunggalnya (singular) : (صَنَمٌ), yaitu berhala yang terbuat dari batu atau pohon atau yang lainnya, dengan bentuk tertentu, untuk disembah.
5. (أَرَأَيْتَ شُحُوْمَ الْمَـيْـتَةِ؟) : maksudnya, beritahukan kepadaku tentang hukum menjual lemak bangkai, apakah hal ini halal dengan sebab banyak manfaatnya?
6. (يَسْـتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ) : yaitu, mereka menggunakan lemak bangkai untuk penerangan tatkala mereka menjadikannya pada lampu-lampu pelita.
7. (هُوَ حَرَامٌ) : “Ia haram”, kata ganti ini kembalinya kepada “berjual-beli”.
8. (قَاتَلَ اللهُ الْـيَهُوْدَ!) : maksudnya, semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi, disebabkan perbuatan licik dan bathil yang telah mereka lakukan. Sebagaimana pada sabdanya ini terdapat peringatan atas keharaman berjual-beli hal-hal ini.
9. (جَمَلُوْهُ) : dengan harakat fat-hah pada huruf jim, dan mim tanpa tasydid. Yaitu, mencairkannya. Dan makna (الجَمِيْل), yaitu lemak cair.
MAKNA GLOBAL HADITS
Syariat Islam yang mulia ini datang dengan membawa segala kemaslahatan bagi umat manusia, serta membawa peringatan dari segala yang membahayakan akal, tubuh dan agama. Sehingga, syariat Islam membolehkan semua yang baik -yaitu sebagian besar makhluk Allah yang telah Dia ciptakan untuk manusia di bumi ini- dan mengharamkan hal-hal yang buruk.
Di antara sekian macam hal buruk yang telah diharamkan, ada empat hal yang dijelaskan dalam hadits di atas. Setiap macamnya menunjukkan dan mewakili hal buruk lainnya yang semisal.
Maka, al khamr, yaitu segala sesuatu yang dapat memabukkan dan menutup akal, merupakan sumber keburukan. Dengan mengkonsumsinya, seseorang kehilangan nikmat akal yang telah Allah muliakan dengannya. Sehingga, seorang yang sedang mabuk akan melakukan dosa-dosa besar. Ia akan menebarkan permusuhan sesama kaum Muslimin. Khamr ini pun menghalanginya dari seluruh kebaikan, dan dari berdzikir kepada Allah.
Kemudian Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan hal berikutnya, yaitu al maitah (bangkai). Yaitu hewan yang biasanya tidak mati, melainkan dengan sebab penyakit atau bakteri mikroba. Atau juga dengan sebab tertahannya darah hewan tersebut, yang menyebabkan kematian. Maka, mengkonsumsinya mendatangkan resiko yang sangat besar bagi tubuh dan membinasakan kesehatan. Belum lagi, bangkai itu menjijikkan, berbau busuk dan najis. Setiap jiwa pasti tidak menyukainya [3]. Seandainya bangkai itu tetap dimakan, walaupun dengan tidak suka dan dengan berhati-hati, ia tetap penyakit (bagi yang memakannya) di atas penyakit, dan musibah di atas musibah.
Yang berikutnya, Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan hewan yang paling buruk, paling tidak disukai dan paling menjijikkan, yaitu babi. Babi adalah hewan yang mengandung berbagai macam penyakit dan bakteri. Hampir-hampir panasnya api tidak dapat membunuh dan mematikannya. Maka, bahayanya sangat besar dan kerusakannya sangat banyak. Di samping itu, babi ini pun merupakan hewan yang jorok dan najis.
Yang terakhir, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan sesuatu yang bahayanya jauh lebih besar (dari yang sebelumnya), kerusakannya pun sangat besar, yaitu berhala. Berhala merupakan sumber kesesatan dan kesyirikan manusia. Dengannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala dimusuhi, dipersekutukan dalam ibadah dan hak-hakNya. Maka, berhala adalah sumber kesesatan dan kesyirikan.
Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab, melainkan untuk memerangi sesembahan (selain Allah) ini, serta untuk menyelamatkan manusia dari keburukannya. Betapa banyak manusia yang terfitnah (terpedaya) dengannya! Betapa banyak umat yang sesat karenanya! Dan betapa banyak manusia masuk ke dalam neraka disebabkan olehnya.
Maka, empat hal ini adalah hal-hal buruk dan merusak akal, tubuh dan agama. Empat hal ini sebagai contoh agar manusia menjauhi semua yang buruk. Dan hal ini tidaklah diharamkan, melainkan untuk melindungi akal, tubuh, dan agama dari apa yang dapat merusaknya. Sehingga menjauhi hal-hal ini merupakan tindakan preventif dari segala yang merusak.
FAIDAH HADITS
1. Haramnya berjual beli khamr, membuatnya, segala sesuatu yang membantu terjadinya, meminumnya dan berobat dengannya. Dan termasuk dalam makna khamr, yaitu segala sesuatu yang dapat memabukkan, baik berupa benda cair ataupun padat. Terbuat dari apapun. Sama saja, terbuat dari anggur, kurma, ataupun gandum. Termasuk pula ke dalamnya ganja, opium, rokok, marijuana, dan yang sejenisnya. Seluruhnya adalah buruk dan haram.
2. Seluruh hal-hal tadi diharamkan karena mengandung kerusakan dan bahaya yang besar terhadap akal, tubuh, harta, dan akibat-akibat buruk lainnya berupa permusuhan, tindak kriminalitas, dan mara bahaya lainnya yang tidak tersembunyi lagi.
3. Haramnya bangkai, baik dagingnya, lemaknya, darahnya, urat-uratnya, dan segala sesuatu yang masuk kepadanya kehidupan dari bagian-bagian tubuhnya. Semua itu diharamkan, karena keberadaan sesuatu yang membahayakan tubuh. Selain itu, bangkai itu juga buruk, menjijikkan dan najis. Bangkai itu kotor dan tidak disukai. Dengan sebab inilah, juga dengan sebab tidak ada manfaat padanya, maka diharamkan memperjual-belikannya, kecuali bangkai hewan yang dijelaskan kehalalannya oleh syari’at seperti bangkai binatang laut dan bangkai belalang.
4. Jumhur ulama (mayoritas ulama) mengecualikan dari keharaman tadi, rambut dan bulunya. Karena keduanya tidak berhubungan dengannya. Maksudnya, tidak termasuk ke dalamnya kehidupan. Sehingga, keduanya tidak termasuk yang kotor.
Adapun kulitnya, hukumnya najis jika belum disamak. Namun, jika sudah disamak dengan baik, dan sudah dihilangkan segala sisa buruk yang menempel padanya, hukumnya halal dan suci, menurut mayoritas ulama. Dan sebagian ulama (lain) membatasi penggunaannya untuk hal-hal yang kering saja. Namun, pendapat yang pertama adalah pendapat yang lebih utama (untuk dibenarkan), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
((يُـطَـهِّـرُهَا الْـمَاءُ وَالْـقَرَظُ))
"Kulit itu dapat disucikan oleh air dan al Qarazh".[4]
5. Haramnya berjual-beli hewan babi. Haram pula memakannya, menyentuhnya dan mendekatinya. Karena babi adalah hewan yang buruk dan kotor, yang terdapat padanya kerusakan murni, tidak ada maslahatnya sama sekali. Bahaya darinya yang menimpa tubuh dan akal sangatlah besar. Karena babi dapat meracuni tubuh dengan segala penyakit yang terkandung padanya. Mengakibatkan orang yang mengkonsumsinya memiliki sifat buruk pula seperti babi. Ini merupakan kenyataan yang telah terjadi, dan telah kita saksikan pada orang-orang yang terbiasa mengkonsumsinya. Mereka juga dikenal dengan frigiditas (sifat dingin).
6. Haramnya berjual-beli berhala. Dikarenakan dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat besar bagi akal dan agama. Terlebih lagi jika berhala ini dijadikan sebagai sesembahan dan menyebarkannya dalam rangka membangkang kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala
Dan termasuk dalam kategori berhala adalah salib, yang merupakan syi’ar orang-orang Nashrani. Juga patung-patung para tokoh dan pembesar, jula gambar-gambar yang terdapat pada majalah-majalah, koran-koran dan lainnya. Terlebih lagi gambar-gambar porno yang terpampang vulgar, merupakan fitnah (besar) bagi para pemuda, dan merangsang nafsu birahi mereka.
Termasuk pula, film-film sinema. Dan terlebih lagi film-film porno yang vulgar dan menjijikkan, menunjukkan kefajiran tidak adanya rasa malu sama sekali (para pelakunya).
Semua ini merupakan keburukan dan kerusakan, yang sama sekali tidak ada kebaikan dan kemaslahatannya. Namun, demikianlah, (kini) manusia sudah terbiasa dengan kemungkaran. Bahkan, seakan-akan sudah menjadi hal yang ma’ruf (baik, lumrah dan tidak bermasalah). Allahul Musta’an.
7. Meninggalkan (menolak) kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Terlebih lagi, jika kerusakan tersebut ternyata lebih kuat daripada kemaslahatannya.
(Dari kaidah ini), sesungguhnya kemaslahatan yang terdapat pada lemak bangkai tetap tidak dapat membuatnya boleh untuk diperjual-belikan dan bermu’amalah dengannya. Oleh karena itu, tatkala para sahabat menyebutkan beberapa faidahnya, dengan harapan membuatnya boleh untuk diperjual- belikan dan bermu’amalah dengannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap menjawab : لاَ، هُوَ حَرَامٌ (Tidak; jual- beli itu adalah haram).
8. Menggunakan sesuatu yang najis dengan cara yang tidak melampaui batas (tidak menularkannya pada yang lain) adalah boleh (tidak bermasalah), karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang hal itu kepada para sahabat, tatkala mereka memberitahukan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan dhamir (kata ganti) pada sabdanya: (هُوَ حَرَامٌ), kembali kepada jual-beli, bukan kepada penggunaan.
9. Sesungguhnya hiilah (berusaha mencari-cari pembenaran dengan cara licik dan menipu pada sesuatu yang telah diharamkan Allah) adalah, sebab datangnya murka dan laknat Allah. Karena orang yang melakukan sesuatu, dan ia sudah mengetahui keharaman sesuatu tersebut lebih ringan (dosanya), daripada orang yang melakukan sesuatu yang haram tersebut dengan sengaja berusaha mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya.
Karena orang yang pertama, ia mengakui telah berbuat dosa dan melampaui batasan-batasan Allah, dan masih bisa diharapkan darinya untuk bertaubat dan memohon ampun kepada Allah. Sedangkan orang yang kedua, ia berusaha menipu Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan usahanya dalam mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya akan terus membuatnya berperilaku demikian, sehingga ia sulit untuk bertaubat. Bahkan ia pun terhalangi dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
10. Sesungguhnya mencari-cari pembenaran dengan cara yang licik dan menipu pada sesuatu yang telah diharamkan Allah adalah kebiasaan orang-orang Yahudi.
11. Cintanya orang-orang Yahudi terhadap harta dan materi sudah lama (sejak dahulu). Hal inilah yang membuat mereka sampai melakukan hiilah, membatalkan perjanjian-perjanjian, dan terbiasa melakukan hal-hal yang haram. Mereka begitu terus-menerus bergelimang dalam kesesatan. Semoga Allah memporakporandakan mereka.
Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan haramnya hal-hal dalam hadits ini, mereka menyebutkan beberapa manfaat lemak bangkai yang terbiasa mereka pergunakan, dengan harapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengecualikannya dari hal-hal yang diharamkan dalam hadits. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, jangan kalian berjual-beli dengannya, karena berjual-beli dengannya haram, manfaat-manfaat (yang disebutkan) tidak membuatnya menjadi halal. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang mereka untuk menggunakannya saja, sebagaimana yang telah mereka sebutkan.
Kemudian, salah satu sempurnanya bentuk kasih-sayang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan nasihatnya kepada umatnya, beliau memperingatkan umatnya, agar jangan terjerumus ke dalam apa-apa yang dilakukan orang-orang Yahudi, berupa menghalalkan hal-hal yang haram dengan melakukan hiilah yang hina dan terungkap. Hal ini, agar umatnya tidak terkena laknat dan murka Allah Subhanahu wa Ta'ala . Lalu akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan agar Allah melaknat orang-orang Yahudi, agar umatnya memahami betapa besar dosa yang telah dilakukan orang-orang Yahudi ini.
Nabi juga menerangkan kepada umatnya, yaitu tatkala Allah Subhanahu wa Ta'ala mengaharamkan atas orang-orang Yahudi lemak bangkai, justru mereka menyengaja –dengan maksud untuk menipu Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kecintaan mereka terhadap harta dan materi- mencairkan lemak tersebut yang telah diharamkan kepada mereka untuk dimakan. Kemudian mereka pun menjualnya, dan akhirnya memakan harganya (hasil penjualannya). Mereka mengira, perbuatannya itu bukan perbuatan maksiat. Mereka mengira, bahwa mereka tidak memakan lemak bangkai itu secara langsung. Mereka mengira, yang mereka makan adalah harganya!
Inilah substansi bermain-main dengan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan inilah substansi meremehkan hukum-hukum dan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan sungguh, hal ini telah menimpa kita (sebagian kaum Muslimin), berupa hiilah dan menipu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini sebagai bukti kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
((لَتَرْكَبُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَـبْلَكُمْ، حَذْوَ الْـقُذَّةِ بِالْـقُذَّةِ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمُوْهُ))
"Pasti kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian, sedikit demi sedikit, sampai-sampai jika mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, kalian akan memasukinya (pula)". [5]
Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala perlindungan dan hidayahNya. Memperlihatkan kepada kita yang haq adalah haq, serta memberikan rizki kepada kita untuk mengikutinya. Dan memperlihatkan kepada kita yang bathil adalah bathil, serta memberikan rizki kepada kita untuk menjuhinya.
12. Haramnya hiilah, ia tidak merubah hakikat sesuatu, walaupun sesuatu tersebut dinamakan bukan dengan namanya, ataupun dihilangkan sebagian sifatnya.
13. Sesungguhnya syariat ini datang dengan membawa seluruh kebaikan, dan memperingatkan dari segala hal yang di dalamnya terdapat keburukan, atau pun keburukannya lebih besar dari kebaikannya.
14. Sesungguhnya hal-hal yang diharamkan di dalam hadits ini sebagai contoh yang mewakili hal-hal lainnya yang semisal dengannya. Yang bahayanya kembali kepada agama, akal, tubuh, kebiasaan dan akhlak. Sehingga, seolah-olah hadits ini dibawakan untuk menjelaskan segala macam yang kotor dan buruk.[6]
Maraji’ & Mashadir :
1. Al Quran dan terjemahnya, Cetatkan Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.
2. Shahih al Bukhari, al Bukhari (194-256 H), tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.
3. Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin Hajjaaj al Qusyairi an Naisaburi (204-261 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
4. Sunan Abi Dawud, Abu Daud Sulaiman bin al Asy’ats as Sijistani (202-275 H), tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.
5. Sunan an Nasaa-i (al Mujtaba), Abu an Nasaa-i, 215-303 H, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Maktab al Mathbu’at, Halab, Cet. II, Th. 1406 H/1986M.
6. Musnad al Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy Syaibani (164-241 H), Mu’assasah Qurthubah, Mesir.
7. An Nihayah fi Gharib al Hadits wa al Atsar, Ibnu al Atsir, 544-606 H, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut-Libanon, Cet. I, Th. 1422 H/ 2001 M.
8. Shahih Sunan Abi Daud, al Albani, 1332-1420 H, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
9. Shahih Sunan an Nasaa-i, al Albani, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
10. Shahih al Jami’ ash Shaghir, al Albani, al Maktab al Islami.
11.As Silsilah ash Shahihah, al Albani, Maktabah al Ma’arif, Riyadh.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. [al A’raaf/ 7 : 157].
[2]. HR al Bukhari, 2/779 no. 2121; Muslim, 3/1207 no. 1581; dan lain-lain.
[3]. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". [al Hujuraat/ 49 : 12].
[4]. HR Abu Dawud, 4/66 no. 4126; an Nasaa-i, 7/174 no. 4248; Ahmad, 6/333 no. 26876; dan lain-lain dari hadits Maimunah Radhiyallahu 'anha, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih Sunan an Nasaa-i, Shahih al Jami’ (5234), as Sisilah ash Shahihah (5/194).
Al Qarazh adalah daun dari sejenis pohon berduri yang biasa dipakai oleh orang-orang Arab untuk menyamak kulit. Lihat keterangan ini pada footnote kitab Taisir al ‘Allam Syarhu ‘Umdati al Ahkam, halaman 675.
[5]. HR al Bukhari, 3/1274 no. 3269; Muslim, 4/2054 no. 2669; dan lain-lain, dari hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu dengan sedikit perbedaan lafazh.
Makna (الْـقُذَّة), yaitu bulu yang biasanya diletakkan di belakang anak panah yang dipanahkan.
Lihat keterangan ini pada footnote kitab Taisir al ‘Allam Syarhu ‘Umdati al Ahkam, halaman 677. Dan lihat pula kitab an Nihayah fii Gharib al Hadits wa al Atsar, 2/427.
[6]. Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Alu Bassam berkata,"Dari makna inilah judul bab diambil, dan telah kami jadikan pada muqaddimah penjelasan hadits ini." Lihat pada footnote kitab Taisir al ‘Allam Syarhu ‘Umdati al Ahkam, halaman 677.
almanhaj.or.id