Wednesday, November 3, 2010

JUAL BELI DENGAN SISTEM ANGSURAN

Jual Beli Dengan Sistem Angsuran


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Jika seseorang memiliki suatu barang, seperti misalnya, roti, gula,minyak atau binatang ternak, yang nilainya mencapai 100 riyal, dan dia bermaksud untuk menjualnya secara tidak tunai dengan harga 130 riyal misalnya, sampai batas waktu tertentu, yang biasa dijalankan adalah satu tahun, dan hal itu telah berlangsung selama satu atau dua tahun tetapi tidak juga melunasinya. Apakah ada kesalahan dalam praktek jual beli tersebut? Demikian juga jika orang yang membeli secara tidak tunai itu membelinya dari gudang atau toko, dan pemiliknya telah menghitungnya berikut keuntungannya, apakah dia boleh menjual barang-barang tersebut di warungnya setelah dihitung dan dia terima ataukah dia harus menyuplainya ke toko lain?

Jawaban
Diperbolehkan bagi seseorang menjual makanan atau yang lainnya secara tidak tunai dengan batas waktu tertentu, meskipun dia menaikkan harganya dari harga waktu menjualnya sampai pada batas waktu tertentu. Bagi orang yang berhutang untuk segera melunasi hutangnya saat jatuh tempo. Hal itu berdasarkan pada firman Allah Ta'ala.

"Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Rabbnya" [Al-Baqarah : 283]

Dan juga didasarkan pada apa yang ditegaskan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dimana beliau bersabda.

من أخذ أموال الناس يريد أداءها أدى الله عنه ومن أخذ أموال الناس يريد اتلافها أتلفه الله

"Barangsiapa meminjam harta orang lain dan dia hendak melunasinya, maka Allah akan melunasinya untuknya. Dan barangsiapa meminjam harta orang lain dengan maksud akan melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkannya" [1]

Dan jika seseorang membeli barang dagangan dari gudang atau toko misalnya, dan pemiliknya telah menghitungnya berikut keuntungannya, maka tidak diperbolehkan bagi pembeli untuk menjualnya di tokonya hanya karena telah dihitung keuntungannya dan hal itu tidak bisa dianggap sebagai penguasaan barang. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Ahmad rahimahullah, dari Hakim bin Hizam, bahwasanya dia bercerita, aku pernah bertanya : "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, saya membeli barang dagangan, lalu apa yang dihalalkan bagiku darinya dan apa pula yang diharamkan?" Beliau menjawab:

أذا اشتريت شيئا فلا تبعه حتى تقبضه

"Jika engkau membeli sesuatu, maka janganlah engkau menjualnya kembali sampai kamu menerimanya" [2]

Dan juga berdasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual barang yang dibeli sehingga para pedagang itu membawanya ke rumah mereka [3]

Serta didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Jabir Radhiyallahu 'anhu bahwasanya dia pernah bercerita, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

أذا ابتتعت طعا ما فلا تبعه حتى تستو فيه

"Jika engkau membeli makanan, maka janganlah engkau menjualnya sehingga engkau menerimanya dengan sempurna" [4]

Sedangkan dalam riwayat oleh Muslim disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

من ابتا ع طعا ما فلا يبعه حتى يكتاله

"Barangsiapa membeli makanan maka hendaklah dia tidak menjualnya sehingga dia menakarnya" [5]

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.


[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-4 dari Fatwa no. 1528. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_______
Footnote
[1]. HR Ahmad II/361, 417, Al-Bukhari di dalam kitab Ash-Shahih III/82, dan di dalam kitab At-Taariikh Al-Kabiir I/371 nomor 1181, Ibnu Majah II/806 nomor 2411 sebagiannya, Al-Baihaqi V/354, Al-Baghawi VIII/202 nomor 2146
[2]. HR Ahmad III/402, An-Nasa'i VII/286 nomor. 4601, Ad-Daruquthni III/9, Abdurrazzaq VIII/39 nomor. 14214, Ath-Thabrani III/196 no. 3107 dan 3108, Ibnu Hibban XI/358 nomor. 4983, Ibnu Jarud II/182-183 no. 602, Ath-Thahawi di dalam kitab Syarhu Ma'aani Al-Aatsaar IV/41, Ath-Thayalisi hal. 187 no. 1318, Al-Baihaqi V/313
[3]. HR Ahmad V/191, Abu Dawud III/765 no. 3499, Ad-Daruquthni III/12 dan 13, Ibnu Hibban XI/360 nomor. 4984, Al-Hakim II/40, Ath-Thabrani V/113 dan 114 no. 4781-4783, dan Al-Baihaqi V/314
[4]. HR Ahmad III/327 dan 392, Muslim III/162 nomor. 1529, Ibnu Hibban XI/353 no. 4978, Ath-Thahawi di dalam kitab Syarhul Ma'aani IV/38, Al-Baihaqi V/312.
[5]. HR Muslim III/1160 nomor. 1525 (31)

almanhaj.or.id