Ahlul Bid’ah Alergi Terhadap Hadits
Sebagian kaum muslimin, khususnya kaum mu’tazilah dan pada rasionalis atau orang-orang yang terpengaruh dengan mereka, menolak berita-berita hadits yang (menurut anggapan mereka) tidak masuk akal. Mereka menganggap hadist-hadist tersebut hanya akan membuat orang lari dari Islam.
Sebagian kaum muslimin, khususnya kaum mu’tazilah dan pada rasionalis atau orang-orang yang terpengaruh dengan mereka, menolak berita-berita hadits yang (menurut anggapan mereka) tidak masuk akal. Mereka menganggap hadist-hadist tersebut hanya akan membuat orang lari dari Islam.
Ketika mereka mendengarkan hadits-hadits tentang diangkatnya Nabi Isa Alaihis Salam dalam keadaan hidup, akan turunnya beliau pada akhir zaman, berita tentang Dajjal (yang sudah ada wujudnya dalam keadaan terbelenggu) atau tentang Ya’juj dan Ma’juj yang terus menerus berupaya untuk keluar dari benteng yang dibuat oleh Dzulqarnain dan lain-lainnya, mereka benar-benar gelisah, panas dadanya seraya berkata, “Untuk apa hadits-hadits seperti ini disampaikan, akan menjadikan manusia semakin jauh dari Islam”. Mereka mengucapkan ucapan olok-olok celaan dan berbagai macam ucapan penolakan terhadap hadits-hadits tersebut. Keadaan mereka ini persis seperti yang dikatakan oleh ulama’ tentang Ahlil Bid’ah:
Berkata Ahmad Ibnu Sinan Al-Qathan, “Tidak ada seseorang ahlul bid’ah pun kecuali pasti akan membenci ahlul hadits. Dan tidaklah seseorang mengadakan kebid’ahan kecuali akan dicabut manisnya hadits dari hatinya”(Diriwayatkan oleh Imam Abu Utsman Ash Shabuni dalam Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, hal 300)
Berkata Abu Nashr Ibnu Sallam Al-Faqih, “Tidak ada yang paling berat atas kelompok sesat, dan tidak pula yang paling dibenci oleh mereka, melainkan mendengar hadits dan periwayatan hadits dengan sanadnya.”(Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, hal 302)
Orang Mukmin Mendapatkan Faedah dari Hadits
Sungguh kalau saja di hati mereka ada keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya mereka tidak akan bersikap sinis dengan hadits. Orang-orang yang beriman akan semakin beriman dengan berita-berita hadits tersebut. Mereka akan semakin yakin bahwa hari kiamat telah dekat dan benar-benar akan terjadi. Kemudian mereka takut kepada Allah dan beramal dengan amalan yang shalih.
Namun sayang, mereka (kaum rasionalis dan mu’tazilah) adalah orang-orang yang mengambil pelajaran dari orientalis kafir yang tidak mau percaya (baca:beriman) kepada hadits, kecuali setelah “dibuktikan” secara akal. Padahal, betapa banyak perkara-perkara ghaib yang akal, telinga, mata dan seluruh panca indera kita tidak dapat membuktikannya. Ciri khas orang yang taqwa adalah beriman kepada hal-hal ghaib yang tidak dapat diraba oleh panca indera manusia.
“Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib yang mendirian shalat dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka.”(Al-Baqarah:1-3)
Menolak Hadits Menyebabkan Kesesatan
Maka perlu kiranya nasehat para ulama untuk seluruh kaum muslimin bagaimana seharusnya bersikap terhadap berita-berita hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam agar jangan menyimpang dan sesat.
Berkata Abu Bakar Ash-Shidiq Radhiyallahu ‘Anhu, “Aku tidak akan meninggalkan sedikitpun dari apa yang telah diamalkan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kecuali aku pun mengikutinya. Sungguh aku khawatir jika aku meninggalkan sesuatu dari peribadatannya aku akan menyimpang.”(Al-Ibanah oleh Ibnu Bathah, juz 1 hal 246; lihat Ta’dhimus Sunnah hal 24).
Kemudian Ibnu Bathah Al-Uqbari mengomentari ucapan Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu di atas, “Lihatlah wahai saudaraku seorang shiddiq yang besar, beliau Radhiyallahu ‘Anhu mengkhawatirkan dirinya tersesat jika menyelisihi sedikit saja dari perintah nabinya Sholallahu ‘Alahi Wasallam. Maka bagaimanakah yang terjadi di zaman ini, saat banyak orang yang berani memperolok-olokkan nabi mereka dan perintah-perintahnya. Mereka justru berbangga dengan sesuatu yang menyelisihi beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bahkan memperolok-olokan sunnahnya Sholallahu ‘Alahi Wasallam. Kita meminta kepada Allah Subhanahu Wata’ala perlindungan dari kesesatan dan keselamatan dari kejelekan amal.”(Al-Ibanah oleh Ibnu Bathah, juz 1 hal 246; lihat Ta’dhimus Sunnah hal 24).
Berkata Yazid bin Harun Abu Khalid Al-Wasithi Rahimahullah di majelisnya, meriwayatkan hadits tentang dilihatnya Allah pada hari kiamat. Tiba-tiba ada seorang yang berkata di majelisnya, “Wahai Khalid bagaimana maksud hadits ini?”. Maka Yazid Bin Harun marah dan gemetar, “Sungguh engkau persis dengan Sabigh* dan betapa perlunya engkau diperlakukan seperti Sabigh. Celaka engkau!! Siapa yang tahu seperti apa dan siapa yang berhak melampaui berita yang yang datang dalam hadits. Siapa yang berani berbicara dari pribadinya sendiri. Kecuali orang yang bodoh dan kurang agamanya? Kalau engkau mendengar hadist dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, tunduklah padanya dan jangan mengada-adakan perkara yang baru padanya. Sungguh jika kalian mengikutinya dan tidak membantahnya kalian akan selamat. Namun, kalau tidak, niscaya kalian akan binasa.” (Diriwayatkan oleh Imam Ash-Shabuni dalam Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, hal 236-237)
Jangan Membantah Hadits Shahih dengan Hawa Nafsu
Berkata Umar Bin Abdul Aziz Rahimahullah, “Tidak ada pendapat siapa pun bersama sunnah yang telah disunnahkan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.”(I’lamul Muwaqi’in, Ibnul Qayyim, juz 2 hal 282). Yakni jika telah datang sunnah dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka tidak ada pendapat siapa pun yang boleh menentangnya.
Ini merupakan bantahan yang jelas bagi orang-orang yang menentang hadits dengan ucapan: “Tapi saya pikir….”, “Namun saya rasa….”, atau ucapan, “Tapi menurut saya….” dan lain-lain. Yang demikian merupakan bahasa-bahasa penentangan terhadap hadits dengan hawa nafsu. Dengarlah ucapan ulama berikut ini:
Berkata Abu Kilabah Rahimahullah, “Jika seseoarang engakau ajak bicara dengan sunnah, kemudian berkata,”Tinggalkan kami dari yang demikian, coba berikan bukti dari Al-Qur’an**”. Maka ketahuilah kalau dia orang yang sesat.”(Thabaqot Ibnu Sa’ad,Juz 7, hal 184, lihat Tadhimus Sunnah hal.25 )
Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah mengomentari ucapan di atas, “Dan jika engkau melihat seorang ahlul kalam, mubtadi’, berkata,”Tinggalkan kami dari Al-Qur’an dan hadits-hadits aahaad, tapi buktikan secara akal”, maka ketauilah bahwa dia adalah Abu Jahl. Dan jika kamu melihat sufi pengikut aliran Wihdatul Wujud berkata, “Tinggalkan kami dari nukilan-nukilan (Al-Qur’an dan As-Sunnah) maupun akal, tapi coba berikan kepada kami bukti dengan perasaan hati dan naluri”. Maka ketahuilah bahwa Iblis telah muncul dalam bentuk seorang manusia atau telah merasuk pada orang tersebut. Kalau kamu takut maka larilah darinya, kalau kamu berani jatuhkanlah ia dan duduklah di atas dadanya kemudian bacakan ayat kursi… (yakni diruqyah).”(Siyaar A’laamu Nubala, Adz Dzahabi, juz 4 halaman 742)
Wajib Menerima Hadits Shahih
Dengan demikian tidak pantas seorang muslim yang mendengarkan hadits yang shahih, kemudian menolaknya dengan berbagai macam alasan hawa nafsunya. Alah mengancam orang yang menyelisihi Nabi-Nya setelah jelas hadits baginya.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa dia terhadap kesesatannya yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (An-Nisa’:115)
Abul Harits Ibnu Abi Dzib Rahimahullah ketika meriwayatkan hadits pada Abu Hanifah Ibnu Sammak, dia ditanya, “Wahai Abul Harits, apakah engkau sependapat dengan hadits ini?”. Sungguh Abul Harits sangat marah dan memukul dada Abu Hanifah seraya berteriak dengan suara keras dan berkata, ”Aku sampaikan kepadamu ucapan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian engkau katakan apakah aku sependapat dengannya?!! Ya! Tentu saja aku sependapat dengannya! Dan yang demikian wajib bagiku dan bagi setiap orang yang mendengarnya!!” (Dikisahkan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Ar-Risalah, hal 450; lihat Ta’dzimus Sunnah, hal 26-27).
Berkata Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Telah sepakat kaum muslimin (secara ijma’) bahwasanya siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena ucapan siapapun.”(Lihat I’lamul Muwaqi’in ibnul Qayyim, juz 2/282)
Bahkan Al-Khumaedi mengisahkan bahwa pernah pada suatu hari imam Syafi’i meriwayatkan hadits, kemudian aku berkata kepadanya,”apakah engkau sependapat dengannya?”. Maka Imam Asy-Syafi’i berkata, ”Apakah engkau melihat aku keluar dari gereja, atau engkau melihat di jubahku ada sabuknya (cirikhas jubahnya pendeta Nashrani -red) hingga ketika aku mendengar hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian aku tidak sependapat dengannya?!!” (Hilyatul Auliya, juz 9/106; Siyar A’lamu Nubala 10/34; lihat Ta’dhimus Sunnah halaman 28)
Dalam riwayat lain Imam Syafi’i rahimahullah pernah ditanya tentang suatu masalah, kemudian belian menjawab dengan hadits. Maka si penanya tadi berkata, “Apakah engkau sependapat dengan hadits ini?”. Maka Imam Syafi’i gemetar dan keluar otot lehernya seraya berkata, “Ya Hadzaa. Bumi mana yang akan aku pijak dan langit mana yang akan menaungiku, kalau aku meriwayatkan satu hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian aku tidak sependapat dengannya?!! Na’am ‘ala sami’ wal bashar (Yakni, kami dengar dan kami taati).” (Sifatu Ash-Shohwah, Ibnul Jauzi juz 2/256).
Berkata Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, “Barangsiapa menolak hadts Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka dia berada di pinggir jurang kehancuran.” (Thabaqat Al-Haranabilah, 2/11 dan al-Ibaanah, 1/269; lihat Tadhimus Sunnah, hal 29)
Berkata Imam Al-Barbahari, “Jika engkau mendengar seseorang mencela riwayat-riwayat (yakni riwayat hadits yang shahih), menolaknya atau menginginkan selainnya, maka tuduhlah keIslamannya dan jangan ragu kalau dia pengekor hawa nafsu, ahlul bid’ah”(Syarhus Sunnah, hal 51)
Berkata Abul Qashim Al-Ashbahani, “Berkata ahlussunnah dari kalangan salaf: Barangsiapa yang mencerca riwayat-riwayat hadits (yang shahih -red), maka sepantasnya untuk dituduh keIslamannya.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/248; lihat Ta’dhimus Sunnah hal 29).
Berkata imam Az-Zuhri Rahimahullah, imamnya para imam pada zamannya, “Dari Allah keterangannya, Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam yang menyampaikannya, maka kewajiban kita adalah menerimanya.” (Aqidatus Salaf Ashabil Hadits, hal 249)
Beliau juga berkata, “Diriwayatkan dari salaf bahwa kaki Islam tidak akan kokoh kecuali di atas pondasi at Taslim (yakni menerima dan tunduk pada seluruh ucapan Allah dan Rasulnya -red).” (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, hal 200)
Wallahu ‘alam
Dengan demikian tidak pantas seorang muslim yang mendengarkan hadits yang shahih, kemudian menolaknya dengan berbagai macam alasan hawa nafsunya. Alah mengancam orang yang menyelisihi Nabi-Nya setelah jelas hadits baginya.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa dia terhadap kesesatannya yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.” (An-Nisa’:115)
Abul Harits Ibnu Abi Dzib Rahimahullah ketika meriwayatkan hadits pada Abu Hanifah Ibnu Sammak, dia ditanya, “Wahai Abul Harits, apakah engkau sependapat dengan hadits ini?”. Sungguh Abul Harits sangat marah dan memukul dada Abu Hanifah seraya berteriak dengan suara keras dan berkata, ”Aku sampaikan kepadamu ucapan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian engkau katakan apakah aku sependapat dengannya?!! Ya! Tentu saja aku sependapat dengannya! Dan yang demikian wajib bagiku dan bagi setiap orang yang mendengarnya!!” (Dikisahkan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Ar-Risalah, hal 450; lihat Ta’dzimus Sunnah, hal 26-27).
Berkata Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Telah sepakat kaum muslimin (secara ijma’) bahwasanya siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena ucapan siapapun.”(Lihat I’lamul Muwaqi’in ibnul Qayyim, juz 2/282)
Bahkan Al-Khumaedi mengisahkan bahwa pernah pada suatu hari imam Syafi’i meriwayatkan hadits, kemudian aku berkata kepadanya,”apakah engkau sependapat dengannya?”. Maka Imam Asy-Syafi’i berkata, ”Apakah engkau melihat aku keluar dari gereja, atau engkau melihat di jubahku ada sabuknya (cirikhas jubahnya pendeta Nashrani -red) hingga ketika aku mendengar hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian aku tidak sependapat dengannya?!!” (Hilyatul Auliya, juz 9/106; Siyar A’lamu Nubala 10/34; lihat Ta’dhimus Sunnah halaman 28)
Dalam riwayat lain Imam Syafi’i rahimahullah pernah ditanya tentang suatu masalah, kemudian belian menjawab dengan hadits. Maka si penanya tadi berkata, “Apakah engkau sependapat dengan hadits ini?”. Maka Imam Syafi’i gemetar dan keluar otot lehernya seraya berkata, “Ya Hadzaa. Bumi mana yang akan aku pijak dan langit mana yang akan menaungiku, kalau aku meriwayatkan satu hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian aku tidak sependapat dengannya?!! Na’am ‘ala sami’ wal bashar (Yakni, kami dengar dan kami taati).” (Sifatu Ash-Shohwah, Ibnul Jauzi juz 2/256).
Berkata Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, “Barangsiapa menolak hadts Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, maka dia berada di pinggir jurang kehancuran.” (Thabaqat Al-Haranabilah, 2/11 dan al-Ibaanah, 1/269; lihat Tadhimus Sunnah, hal 29)
Berkata Imam Al-Barbahari, “Jika engkau mendengar seseorang mencela riwayat-riwayat (yakni riwayat hadits yang shahih), menolaknya atau menginginkan selainnya, maka tuduhlah keIslamannya dan jangan ragu kalau dia pengekor hawa nafsu, ahlul bid’ah”(Syarhus Sunnah, hal 51)
Berkata Abul Qashim Al-Ashbahani, “Berkata ahlussunnah dari kalangan salaf: Barangsiapa yang mencerca riwayat-riwayat hadits (yang shahih -red), maka sepantasnya untuk dituduh keIslamannya.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/248; lihat Ta’dhimus Sunnah hal 29).
Berkata imam Az-Zuhri Rahimahullah, imamnya para imam pada zamannya, “Dari Allah keterangannya, Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam yang menyampaikannya, maka kewajiban kita adalah menerimanya.” (Aqidatus Salaf Ashabil Hadits, hal 249)
Beliau juga berkata, “Diriwayatkan dari salaf bahwa kaki Islam tidak akan kokoh kecuali di atas pondasi at Taslim (yakni menerima dan tunduk pada seluruh ucapan Allah dan Rasulnya -red).” (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, hal 200)
Wallahu ‘alam
*) yakni Sabigh Ibnu Ishlin, seseorang yang dipukul oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab Radhiyallahu ‘Anhu dan diperintahkan kepada kaum muslimin untuk memboikotnya, karena selalu mempertanyakan perkara yang tidak perlu dipertanyakan(lihat Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits, Imam Ash Shabuni hal 237-238)
**)yakni dia hanya mau menerima dalil dari Al-Qur’an dan tidak mau menerima dalil dari hadits
Penulis: Al Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Sumber: Risalah Dakwah Manhaj Salaf edisi 73 tahun II
ghuroba.blogsome.com
ghuroba.blogsome.com