Sikap Berlebihan Dalam Kehidupan Sehari hari
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وبعد
Diantara sifat-sifat tercela yang dilarang oleh syariat ialah berlebih-lebihan. Berkata ar- Raaghib : “Sikap berlebih-lebihan itu adalah sikap melampaui batas dalam segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia ,walaupun di dalam berinfaq – dimana sikap berlebih-lebih ini lebih dikenal”.[1]
Dan berkata Imam Sufyan bin `Uyainah : “Apapun yang di-infaqkan selain pada ketaatan kepada Allah Ta`ala merupakan melampaui batas walaupun sedikit”.[2]
Allah Tabaaraka wa Ta`ala berfirman :
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Az Zumar : 53)
Sikap melampaui batas termasuk dalam masalah harta dan selainnya, Allah Ta`ala mengingatkan hamba hambaNya dari perbuatan tersebut :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al A`raaf : 31)
وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al A`raaf : 31)
Dan Allah Jalla wa `Alaa berfirman :
وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفاً أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهاً وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al An`aam : 141)
Berkata al Imam Ibnu Katsir rahimahullahu Ta`ala : dan berkata Ibnu Jureij : “Ayat ini turun pada Tsaabit bin Qeis bin Syammas radhiallahu `anhu, dimana dia memetik buah-buah kurmanya, lalu dia berkata : “Tidak seorangpun yang datang pada satu hari kepada saya kecuali saya beri makan dia”, maka dia beri makan setiap yang datang sampai malam hari sehingga tidak ada tersisa baginya satu butir kurmapun, maka Allah Ta`ala menurunkan ayat mulia ini : (ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين), yang artinya : Dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Dan telah meriwayatkan al Imam Ibnu Jariir darinya”.[3]
Berkata Ibnu Jureij dari `Atho` bin Abi Rabaah : “Mereka dilarang dari sikap berlebih-lebihan dalam segala sesuatu”.[4]
Dan berkata as Sudiy dalam menafsirkan firman Allah : (ولا تسرفوا), “Jangan kalian memberikan harta kalian sampai habis, setelah itu kalian duduk dalam keadaan fuqaraa`”.[5]
Berkata Ibnu Katsir : “Jangan berlebih-lebihan dalam makanan karena ada padanya mudharat terhadap akal dan badan”.[6]
Dari `Amri bin Syu`aib dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ
“Makanlah kalian, bersadaqahlah kalian serta berpakaianlah kalian dengan tidak berlebih-lebihan dan juga tidak sombong”.[7]
Dari Ibnu `Abbas radhiallahu `anhu bahwa dia berkata : “Makanlah apa yang kamu inginkan, dan pakailah apa yang kamu inginkan, selagi tidak menimpa kamu dua perkara, yaitu sikap berlebih-lebihan dan sombong”.[8]
Dari al Miqdam bin Ma`diy Karib radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidak ada yang lebih jelek dari satu bejana yang diisi penuh oleh anak cucu Adam selain dari perut, cukuplah bagi anak cucu Adam makanan yang akan menegakkan sulbinya, kalau seandainya mau tidak mau memang harus diisi, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas”.[9]
Dan sebahagian para ulama telah membedakan antara sikap mubadzir dan sikap berlebih-lebihan, telah datang larangan tentangnya dalam firman Allah Ta`ala :
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya”. (QS. Al Israa` : 27)
Mereka mengatakan : “Sesungguhnya yang dikatakan tabdziir (berbuat mubadzir) ialah membelanjakan harta tidak pada tempatnya, bisa dalam bentuk maksiat, bisa juga pada tempat yang tidak ada faedah dalam bentuk bermain-main dan menghambur harta tersebut. Sedangkan sikap berlebih-lebihan adalah dalam bentuk berlebih-lebihan dalam makanan, minuman dan pakaian tanpa hajat”.
Allah Ta`ala memuji hamba hambaNya yang bersifat sederhana :
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَاماً
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian ”. (QS. al Furqaan : 67)
Berkata al Imam Ibnu Katsir rahimahullahu Ta`ala : “Dan orang-orang yang membelanjakan hartanya dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, artinya mereka tidak bersikap boros dalam membelanjakan harta mereka dalam bentuk membelanjakannya melebihi hajat, dan tidak juga mereka bakhil kepada keluarga mereka dalam bentuk mengurang-ngurangi haq mereka, tidak mereka tahan-tahan, bahkan dengan bentuk adil dan yang terbaik, sebab sebaik-baik perkara adalah yang paling menengah, bukan ini dan bukan pula itu”.[10]
Allah Ta`ala berfirman :
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوماً مَّحْسُوراً
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”. (QS. Al Israa` : 29)
Dan inilah bentuk sikap sederhana yang diperintahkan, tidak bakhil, dan tidak menahan, tidak berlebih-lebihan, tidak juga boros, akan tetapi diantara demikian.
Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu Ta`ala : “Allah Tabaaraka wa Ta`ala memerintahkan untuk sederhana dalam kehidupan, mencela perbuatan bakhil dan melarang dari sikap berlebih-lebihan : “Jangan sekali-kali kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu”, artinya adalah jangan kamu menjadi orang bakhil yang menahan dan tidak mau memberi sedikitpun pada seseorang. “Dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya”, artinya adalah jangan kamu berlebih-lebihan dalam menginfakkannya sehingga kamu memberikan melebihi kemampuan kamu, sampai kamu mengeluarkan melebihi dari pemasukan kamu. Kemudian “Akhirnya kamu menjadi tercela dan menyesal”, artinya adalah kamu tercela kalau seandainya kamu bakhil, manusia akan mencelamu, mereka akan mengejekmu, dan tidak butuh padamu. Bila kamu mengulurkan tanganmu melebihi dari kemampuanmu, maka kamu akan duduk tanpa ada sedikitpun yang akan kamu belanjakan, lalu kamu akan menjadi seperti seekor hewan melata yang lemah untuk berjalan”.[11]
Berkata `Ali bin Abi Thalib radhiallahu `anhu : “Apapun yang kamu belanjakan untuk dirimu dan untuk istri serta anak-anakmu tanpa berlebih-lebihan dan boros, serta apapun yang telah kamu sadaqahkan dengannya, maka itulah untukmu, dan apapun yang kamu belanjakan dalam bentuk riya` dan ingin dapat pujian, maka itu merupakan bagian setan”.[12]
Berkata al Imam Ibnu al Jauziy rahimahullahu Ta`ala : “Seorang yang berakal dia akan mengatur kehidupannya di dunia dengan akalnya. Kalau dia seorang yang faqir dia akan bersungguh-sungguh dalam mencari rizqi dan usaha yang akan menahannya dari merendahkan diri di hadapan manusia, dia memperkecil sifat ketergantungan kepada makhluk dan lebih memilih qona`ah, dengan demikian dia hidup selamat dari celaan manusia dan mulia diantara mereka. Kalau seandainya dia kaya maka sepantasnya baginya untuk mengatur pembelanjaannya, dikhawatirkan dia akan memelas dan berhajat dengan merendahkan diri kepada makhluk……” sampai akhir yang dia katakan.[13]
Dan sepantasnya untuk diperhatikan, yaitu bahwa infaq (nafkah) yang dikeluarkan dalam kebenaran tidak dikatakan sebagai pemborosan. Berkata al Imam Mujaahid rahimahullahu Ta`ala : “Kalau sendainya seorang manusia membelanjakan seluruh hartanya pada kebenaran bukan dikategorikan sebagai sifat boros, dan kalau dia membelanjakan hartanya walaupun satu mud, tetapi bukan dalam kebenaran maka dikatakan sebagai pemborosan”.[14]
Diantara bentuk berlebih-lebihan yang terjerumus sebagian manusia padanya adalah berlebih-lebihan dalam walimah (pesta pernikahan), atau acara-acara lainnya dalam bentuk munasabah tertentu, kecil atau besar, sekira-kira dibuat makanan-makanan yang melebihi hajat.
Dan diantaranya juga menggunakan nikmat air berlebih-lebihan. Dari Anas bin Maalik radhiallahu `anhu :
"أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يتوضأ بالمد ويغتسل بالصاع إلى خمسة أمداد"
“Bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam berwudhu` dan satu mud dan mandi dengan satu sho` sampai lima mud”.[15] [16]
Sungguh Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah melarang seorang mukmin melebihi wudhu`nya lebih dari tiga kali.
Dari `Amri bin Syu`aib dari bapaknya dari kakeknya berkata : Telah datang seorang arab badui kepada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bertanya tentang wudhu`? maka Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam menunjukkan kepadanya cara wudhu` tiga kali tiga kali, kemudian beliau bersabda :
هَكَذَا الْوُضُوءُ فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ
“Beginilah wudhu`, maka barang siapa yang menambah dari ini sungguh dia telah jelek dan melampaui batas serta zhalim”.[17]
Diantara sikap berlebih-lebihan ialah dalam bentuk membelanjakan nikmat harta. Dari Khaulah al Anshoriyah berkata : Saya telah mendengar Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kaum lelaki terlalu menceburkan diri mereka pada harta Allah bukan pada kebenaran, maka bagi mereka neraka di hari kiamat”.[18]
Dan masuk ke dalam hadist ini mereka yang selalu berpergian ke negeri kuffar. Mereka menghabiskan harta sangat banyak dalam pelesiran tersebut, sementara mereka telah mengumpulkan dua maksiat :
Pertama : berpergian ke negeri kuffaar, sungguh Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah melarang dari demikian.
Dari Jariir radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ لَا تَرَاءَى نَارَاهُمَا
“Saya berlepas diri dari setiap muslim yang mukim diantara orang musyrikin yang tidak akan sama hukum keduanya”.[19]
Dan yang kedua : Sokongan perekonomian terhadap negara-negara kuffar dengan harta yang dibelanjakan padanya.
Dari Abu Barzah al Aslamiy radhiallahu `anhu bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ
“Tidak akan bergerak dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat, sampai ditanyakan kepadanya tentang umurnya kemana dia habiskan, tentang ilmunya pada apa dia lakukan, tentang hartanya dari mana dia hasilkan dan pada apa dia belanjakan”.[20]
والحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Diterjemahkan oleh al Faqiir Ila `Afwi Rabbihi Jalla wa `Alaa, al Ustadz Abul Mundzir/Dzul Akmal bin Muhammad Kamal ar Riyawwiy al Madaniy as Salafiy, dari kitab : “Ad Durarul Muntaqootu minal Kalimaatil Mulqooti Duruusun Yaumiyah”, halaman 221-225, oleh as Syaikh Doktor Amiin bin `Abdullah as Syaqaawiy.
Rimbo Panjang, Kompleks Pon Pes Ta`zhiim as Sunnah as Salafiyah, hari Senin 18 Muharram 1431 H/4 Januari 2010 M.
[1] “Mausuu`atu Nadhratan Na`iim” (9/3884).
[2] “Mausuu`atu Nadhratan Na`iim” (9/3884).
[3] “Tafsiir Ibnu Katsir (6/190).
[4] “Tafsiir Ibnu Katsir (6/190).
[5] “Tafsir Ibnu Katsir (6/190).
[6] “Tafsiir Ibnu Katsir (6/190).
[7] “Sunan an Nasaa`iiy (558), “al Bukhaariy” secara mu`allaq dijazamkan dengannya (4/53).
[8] Berkata pentahqiq kitab “Tafsir Ibnu katsir “ : Sanadnya shohih, Shohih al Bukhariy (4/53), dan dimaushulkan sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah di “al Mushonnaf” (6/36), Ibnu Hajr di “Taghliiqut Ta`liiq” (5/54) dari jalan Sofyaan bin `Uyainah dari Ibrahim bin Maisarah dari Thowus dari Ibnu `Abbas dengannya. Dan ditambah lagi penisbahannya oleh Ibnu Hajr di “al Fath” (10/253) kepada ad Diinawiy di “al Mujaalasah”, dan as Sayuuthiy di “ad Durul Mantsuur” (3/149) kepada `Abdun bin Humeid. Dinukil dari “Tafsiir Ibnu Katsir” (6/288).
[9] “Sunan at Tirmidziy” (2380) berkata al Imam at Tirmidziy : hadist hasan shohih.
[10] “Tafsir Ibnu Katsir” (10/322).
[11] “Tafsir Ibnu Katsir” (
[12] “Addurul Mantsur” (5/275).
[13] “Shaidul Khaathir” halaman (404).
[14] “Tafsir Ibnu Katsir” (3/36).
[15] “Shohih al Bukhaariy (201), Muslim (325)”.
[16] Al Mud : “Seukuran dua telapak tangan seorang lelaki yang penuh”.
[17] “Sunan an Nasaaiiy (140)”.
[18] “Shohih al Bukhariy (3118)”.
[19] “Sunan Abu Dawud (2645), at Tirmidziy (1604), dishohihkan oleh as Syaikh al Albaaniy di “Shohihul Jaami`us Shoghiir (1461). Berkata al Imam al Khotthabiy rahimahullahu Ta`ala : لا تراءى نارهما, tafsirnya ada beberapa sisi : pertama maknanya : “Tidak akan sama hukum keduanya, ini dikatakan oleh sebahagian ahli ilmu”. Dan berkata sebahagian mereka (kedua) : maknanya : “Sesungguhnya Allah Ta`ala telah membedakan diantara negeri Islam dan negeri kafir, maka tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk tinggal bersama orang kuffar dinegeri mereka, sampai-sampai apabila mereka menyalakan api, adalah dia bahagian dari mereka dari sekira-kira dia melihatnya”. Sisi yang ketiga : telah menyebutkan sebagian ahli bahasa maknanya adalah : “Jangan sekali kali seorang muslim berpenampilan seperti penampilan seorang musyrik dan jangan pula bertasyabuh dengan bentuk mereka dan cara mereka. “Sunan Abi Dawud” (3/105).
[20] “Sunan at Tirmidziy (2426).
http://tazhimussunnah.com