Monday, November 29, 2010

Ciri Istri Salehah

Ciri istri salehah adalah dilihat dari cara berpakaian, berhias dan bergaul.
Islam mengajarkan seorang istri untuk berpakaian muslimah dan bergaul dengan baik, terutama dalam keimanan kepada Allah SWT.

Lalu bagaimana dengan para artis yang beragama Islam di Indonesia ini.
Kayaknya masih banyak yang jauh akan kesalehan ini.
Wallohu A'lam.


Sunday, November 28, 2010

Puasa dan Al Qur'an Memberi Syafaat

Rasulullah SAW bersabda,
Puasa dan Al-Qur'an itu akan memberikan syafaat kepada seorang hamba pada hari kiamat nanti.

Puasa akan berkata,
Wahai Tuhanku, saya telah menahannya dari makan dan nafsu syahwat, karenaya perkenankan aku untuk memberikan syafaat kepadanya.

Dan Al-Qur'an juga berkata,
Saya telah melarangnya dari tidur pada malam hari, karenanya perkenankan aku utntuk memberi syafaat kepadanya.

Beliau bersabda,
Maka syafaat keduanya diperkenankan.
(HR.Ahmad, Hakim, Thabrani).

Saturday, November 27, 2010

Hari Terbaik

Nabi Muhammad SAW bersabda,
"Hari terbaik yang terbit padanya matahari adalah hari Jum'at.
Sebab pada hari itu Allah SWT menciptakan Adam as.
Dia memasukkan Adam ke surga, pada hari itu pula ia diturunkan ke bumi dan pada hari itu terjadi kiamat serta pada hari itu terdapat satu masa dimana tidak seorangpun berdoa kecuali Dia akan mengabulkan doa itu."
(HR.Muslim).

Nah ternyata hari yang terbaik adalah hari Jum'at.
Karena hari Jum'at adalah hari terbaik, alangkah baiknya kita semakin tekun beribadah pada hari alias luangkan waktu lebih di hari itu.

Friday, November 26, 2010

Melaknat Seorang Mukmin

Melaknat anak sendiri termasuk dosa besar.Islam sangat melarang melaknat saudara muslim lainnya.
Yang benar tentunya adalah saling nasehat menasehati itu akan lebih baik.
Demikian juga melaknat orang lain yang tidak berhak di laknat.

Diriwayatkan dengan shahih dari Nabi,
"Melaknat seorang mukmin, sama dengan membunuhnya."


Rasulullah juga bersabda,
"Mencaci seorang mukmin adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran."


Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya orang yang suka melaknat tidak akan pernah menjadi syahid atau penyampai syafaat di hari kiamat nanti."

Thursday, November 25, 2010

Mati Khusnul Khatimah

Khusnul khatimah itu artinya mengakhiri kehidupan dengan amalan-amalan kebaikan.
Seperti meninggal ketika shalat atau pun sedang menjalankan ibadah lainnya.

Jemaah haji yang meninggalpun termasuk dalam khusnul khatimah ini karena ia mati ketika sedang menunaikan kewajibannya kepada Allah SWT.

Lalu apakah dosanya orang yang meninggal dalam keadaan khusnul khatimah ini akan diampuni.
Tiada seorangpun yang tahu.
Tapi yang jelas orang yang meninggal khusnul khatimah ini dalam keadaan baik.

Untuk urusan dosa itu diampuni atau tidak itu adalah hak Allah dan hanya Allah saja yang tahu.

Wednesday, November 24, 2010

Waktu Tengah Malam

Rasulullah SAW bersabda,
Keadaan yang paling dekat antara Tuhan dan hambanya adalah di waktu tengah malam akhir.
Jika kamu mampu menjadi bagian yang berdzikir kepada Allah, maka kerjakanlah pada waktu itu.

Rasulullah SAW bersabda,
Sesungguhnya bagian dari malam ada waktu yang apabila seorang hamba muslim meminta kebaikan kepada Allah dan sesuai dengan waktu itu, pasti Allah mengabulkannya.

HR.Imam Ahmad.

Tuesday, November 23, 2010

Allah Melaknat Pencuri

Dalam dunia Islam, Allah SWT melaknat pencuri.
Serakah merupakan penyakit jiwa yang dapat merusak pahala manusia.
Serakah dalam mengambil hak orang lain merupakan tindakan yang di larang Islam.

Allah SWT mengingatkan manusia agar tidak serakah dalam harta.
Dalam Al-Qur'an di surat Al-Maidah ayat 120,
"...kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu."

Ayat ini menjelaskan bahwa harta benda kita sebenarnya adalah milik Allah, dan manusia hanya dititipi oleh Allah untuk menjaganya.

Rasulullah Muhammad SAW bersabda,
"Allah melaknat seorang puncuri yang mencuri telur lalu dipotong tangannya dan dia mencuri tali lalu dipotong tangannya."
(HR.Bukhari).

Sunday, November 21, 2010

Doa Minta Sehat

Islam menganjurkan kita untuk selalu berdoa.
Di bawah ini adalah doa untuk meminta sehat.

Ya Alloh berilah kesehatan pada badan saya.
Ya Alloh berilah kesehatan pada pendengaran saya.
Ya Alloh berilah kesehatan pada penglihatan saya.

Ya Alloh sesungguhnya saya berlindung kepadaMu dari kekafiran dan kefakiran.
Ya Alloh sesungguhnya saya berlindung kepadaMu dari siksa kubur, tiada Tuhan yang wajib disembah selain Engkau.

Mari berdoa..

Friday, November 19, 2010

Bumi dan Langit Berlapis Tujuh

Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.
Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengerti bahwasanya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.
(Ath-Thalaq:12).

Barang siapa mengambil sejengkal tanah (orang lain) secara zalim, maka kelak Allah himpitkan kepadanya pada hari kiamat (dengan) tujuh lapis bumi.
(HR.Bukhari dan Muslim).

Wednesday, November 17, 2010

Ilmu Akan Tetap Bermanfaat

Berbagai ilmu yang bermanfaat akan terus memberi mudharat walaupun pemiliknya telah meninggal.

Berbeda dengan harta, yang menjadi bagian bagi ahli warisnya.

Rasulullah SAW,
"Apabila anak Adam telah meninggal, maka amalnya akan terputus melainkan tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang selalu mendoakannya."
(HR.Muslim).

Mudah Ke Surga

Nabi Muhammad SAW bersabda,
"Barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan bagi orang itu jalan menuju surga."
(HR.Muslim).

Kalau aku perhatikan dari hadits di atas, menuntut ilmu yang di maksud adalah menuntut ilmu agama Islam sesuai yang telah diwariskan para Nabi dan Rasul.

Ulama

Ulama adalah pewaris para Nabi.
Sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham tetapi mereka mewariskan ilmu.

Barang siapa yang mengambil warisan para Nabi maka ia telah mengambil bagian yang sangat besar.

Itulah hadits riwayat Tirmidzi yang terkenal.

Allah Meninggikan Orang Beriman

Ulama mempunyai kedudukan yang baik di sisi Allah SWT.
Dia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhira ketika Allah memudahkannya dalam mempelajari agama Allah.

Allah SWT berfirman,
"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS.Mujadilah:11).

Jadi kalau kita dekat dengan orang-orang yang beriman, tinggi ilmu agamanya Insya Alloh kita juga akan terkena imbasnya.

Semoga Mabrur

Pada pertengahan bulan ini yang tepatnya tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah 1431 Hijriah, umat Islam di seluruh dunia berkonsentrasi untuk melaksanakan puasa Arafah dan shalat Idul Adha.

Setelah itu dilanjutkan dengan ritual penyembelihan hewan kurban yang merupakan sunnah muakad dari Rasulullah SAW.

Sementara itu, di tempat terpisah para jamaah haji di Arab Saudi sedang berkonsentrasi di Arafah untuk melakukan wukuf dan ritual haji lainnya.
Puncak haji dan ujian yang paling berat bagi jamaah haji ini ya pada waktu wukuf di Arafah.

Apapun yang terjadi menjelang puncak haji wukuf di Arafah adalah ujian dari Allah SWT untuk mengukur sejauh mana tingkat kesabaran dan ketakwaan jamaah haji.

Kita yang ada di tanah air cukup mendoakan agar sodara-sodara kita yang sedang melaksanakan ibadah haji selalu di beri kekuatan fisik dan mental untuk menyelesaikan semua rukun haji.

Mudah-mudahan para jamaah haji Indonesia diberi keselamatan dan menjadi haji yang mabrur.
Amiin.

Sunday, November 14, 2010

Berhari Raya Bersama Muslimin dan Pemerintah [ Penentuan Ramadhan, Syawwal, Haji dan Lain-Lain Merupakan Tanggungjawab Penguasa ]

Berhari Raya Bersama Muslimin dan Pemerintah [ Penentuan Ramadhan, Syawwal, Haji dan Lain-Lain Merupakan Tanggungjawab Penguasa ]
 
 
Hukum asal penentuan awal bulan Syawwal (Hari Raya 'Iedlul Fithri) adalah dengan ru'yatul hilal (melihat bulan sabit) berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar رضي الله عنهما bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:


Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian ber-iedlul Fithri hingga kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka kalian perkirakanlah. (HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar رضي الله عنهما)
 
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ. (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر رضي الله عنهما)
 
"Memperkirakan" ketika hilal terhalang oleh awan atau lainnya adalah dengan menggenapkan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Sebagaimana disebutkan dalam hadits lain sebagai berikut:

Berpuasalah kalian jika kalian melihatnya (hilal) dan ber'iedlul Fithrilah kalian jika kalian melihatnya. Jika kalian terhalang untuk melihatnya, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban tiga puluh hari. (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah رضي الله عنه)
 
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ. (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه)
 
Maka jika yang terhalang adalah hilal
Syawwal, genapkanlah bulan Ramadlan 30 hari.

Penentuan Ramadlan, Syawwal, Haji dan lain-lain adalah tanggung jawab penguasa

Hari Raya adalah suatu amalan yang
bersifat jama'i (dilakukan secara berjama'ah), maka penguasalah yang berkewajiban untuk ru'yatul hilal atau orang-orang khusus yang mereka tugaskan, atau merekalah yang menerima berita-berita dari orang yang melihat hilal dan menentukan sah atau tidak sahnya. Oleh karena itu kita tidak bisa melaksanakan hari raya sendiri-sendiri dengan melihat hilal sendiri-sendiri.

Kewajiban rakyat -kaum muslimin - adalah mentaati penguasanya pada hasil keputusan mereka, hingga terjadilah kebersamaan yang dikehendaki oleh syariat Islam.

Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani رحمه الله dalam Tamamul Minnah: "Sesungguhnya untuk melihat hilal atau mencari berita tentang hilal dari negeri-negeri lain pada hari ini adalah perkara yang mudah, sebagaimana sudah dimaklumi. Namun yang demikian perlu perhatian serius dari para penguasa negara-negara Islam hingga (persatuan) akan terwujud menjadi kenyataan insya Allah tabaraka wa ta'ala". (Tamamul Minnah, hal. 398)

Perintah untuk mentaati penguasa tersebut adalah terus berlangsung walaupun penguasa tersebut dhalim atau fasik.

Berkata Imam ash-Shabuni رحمه الله dalam Aqidatus Salaf hal. 102: "Ahlul hadits berpendapat untuk menegakkan shalat Jum'at dan dua hari raya dan lain-lain dari shalat-shalat jama'ah di belakang setiap penguasa muslim yang baik atau pun yang jahat. Dan berpendapat untuk berjihad memerangi orang-orang kafir bersama mereka, walaupun penguasa tersebut dhalim dan jahat".

Berkata Imam al-Barbahari رحمه الله: "Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidak mengurangi kewajiban yang Allah wajibkan melalui lisan nabi-Nya صلى الله عليه وسلم. Kejahatannya untuk diri mereka sendiri, sedangkan ketaatan dan kebaikanmu bersamanya tetap sempurna -Insya Allah. Yakni kebaikan berupa shalat jama'ah, Jum'at dan jihad bersama mereka dan segala sesuatu dari ketaatan yang dikerjakan bersama mereka, maka pahalamu sesuai dengan niatmu". (Syarhus Sunnah, al-Barbahari, hal. 116)

Berkata Abu Ja'far ath-Thahawi رحمه الله: "Haji dan jihad terus berlangsung bersama penguasa kaum muslimin, yang baik atau yang jahat, sampai hari kiamat; tidak terbatalkan dan tidak gugur (dengan kefasikan mereka). (Al-Aqidah ath-Thahawiyah, dengan syarh Ibnu Abil 'Izz, hal. 287)


Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله: "Dan mereka (ahlus sunnah wal jama'ah) memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari'at. Mereka berpendapat untuk menegakkan haji, shalat jum'at, dan hari raya bersama para penguasa, apakah mereka orang-orang baik ataukah orang-orang jelek. Dan berpendapat untuk menegakkan shalat jama'ah, jihad dan menegakkan nasehat untuk umat". (Aqidah Wasithiyah, Ibnu Taimiyah, hal. 257)


Berkata Syaikh Shalih al-Fauzan رحمه الله ketika menjelaskan ucapan Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Yang demikian karena tujuan kaum muslimin adalah menyatukan kalimat dan menghindari perpecahan dan perselisihan. Karena penguasa yang fasik tidak lepas dari kedudukannya sebagai penguasa yang harus ditaati dan tidak boleh ditentang, apalagi jika sampai berakibat menelantarkan kewajiban-kewajiban dan menumpahkan darah". (Syarh Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Shalih Fauzan, hal. 216)


Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله ketika menjelaskan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di atas sebagai berikut: "Mereka (ahlus sunnah wal jama'ah) berpendapat untuk menegakkan haji bersama para penguasa walaupun mereka fasik. Bahkan walaupun merekaeminum khamr ketika haji. Mereka tidak berkata: "Ini adalah imam faajir, kami tidak mau terima kepemimpinannya". Karena mereka berpendapat bahwa mentaati penguasa adalah wajib walaupun mereka fasik, selama kefasikannya tidak membawa pada kekafiran yang jelas yang di sisi Allah kita punya bukti…". (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 337)

Beliau berkata pula: "Demikian pula menegakkan hari raya-hari raya bersama para penguasa yang mengimami shalat mereka. Apakah ia orang baik ataukah orang jelek. Dengan jalan yang damai ini, jelaslah bahwa agama Islam ini merupakan jalan tengah di antara orang yang berlebih-lebihan dan orang-orang yang melalaikan". (sumber yang sama hal. 336)

Berkata Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi رحمه الله: "Telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta ijma' para salaful ummah bahwa para penguasa, pemimpin shalat, hakim, panglima perang dan pengurus zakat ditaati dalam perkara-perkara ijtihad. Dan tidaklah mereka mentaati anak buahnya dalam perkara ijtihad, tetapi rakyatlah yang harus mentaatinya dalam masalah-masalah tersebut. Dan hendaklah mereka menyerahkan pendapatnya kepada penguasa tersebut, karena kepentingan umum dan persatuan serta bahayanya perpecahan dan pertikaian adalah lebih diperhatikan daripada masalah-masalah pribadi atau kelompok." (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 376)


Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله: "Jika ada yang bertanya: "Mengapa kita mesti shalat di belakang mereka dan mengikuti mereka dalam haji, jihad, Jum'at dan hari raya?" Kita katakan bahwa mereka adalah penguasa kita yang kita beragama dengan mentaati mereka, karena perintah Allah سبحانه وتعالى:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ... (النساء: 59)
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah
Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian…" (an-Nisaa': 59)

Dan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:

إِنَّهَا سَتَكُونُ بَعْدِي أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ . (رواه مسلم)
Sesungguhnya akan terjadi setelahku kedhaliman-kedhaliman dan perkara-perkara yang kalian ingkari. Mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang yang mengalami masa tersebut dari kami?" Beliau menjawab: "Tunaikanlah hak-hak mereka atas kalian, dan mintalah kepada Allah hak-hak kalian. (HR. Muslim)

Yang dimaksud "hak-hak mereka (para penguasa)" adalah ketaatan kepada mereka pada selain kemaksiatan. (Syarh al-Aqidah al-Washithiyah, Syaikh Utsaimin, juz ke-2, hal. 339)

Dengan kita mengikuti ucapan-ucapan para ulama di atas, niscaya akan terwujud kebersamaan yang disebutkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam hadits yang sudah kita sebutkan pada edisi ke-80, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:


Puasa itu adalah hari ketika kalian seluruhnya berpuasa, Iedlul Fithri adalah hari di mana seluruh kalian berbuka (yakni tidak berpuasa lagi –pent.) dan Iedlul Adha adalah hari ketika kalian seluruhnya menyembelih kurban. (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah رضي الله عنه, dengan Tuhfatul Ahwadzi, 2/37)
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ. (رواه الترمذي وقال: حديث غريب حسن )
Adapun cara para penguasa menentukan hari raya tersebut, apakah dengan ru'yah atau dengan hisab, maka merekalah yang bertanggung jawab di hadapan Allah سبحانه وتعالى.

Hadits di atas di samping merupakan dalil untuk berpuasa bersama kaum muslimin, juga merupakan dalil berhari raya bersama mereka.


Berkata ash-Shan'ani dalam Subulus Salam 2/72: "Pada hadits ini ada dalil bahwa yang teranggap dalam menetapkan hari raya adalah kebersamaan manusia. Dan bahwasanya seorang yang menyendiri dalam mengetahui masuknya hari raya dengan melihat hilal (bulan sabit) tetap wajib mengikuti kebanyakan manusia. Hukum ini harus dia ikuti, apakah dalam waktu shalat, ber'iedlul Fithri atau pun berkurban".


Disamping itu ada pula hadits mauquf yang semakna dengan ini dari Aisyah رضي الله عنها dikeluarkan oleh al-Baihaqi dari jalan Abu Hanifah, Ia berkata: Menyampaikan kepadaku Ali bin Aqmar, dari Masruq, bahwa ia mendatangi rumah Aisyah pada hari Arafah (dalam keadaan tidak berpuasa –pent.). Aisyah رضي الله عنها berkata: "Berilah Masruq minuman dan perbanyaklah halwa untuknya!" Masruq berkata: "Tidaklah menghalangiku untuk berpuasa pada hari ini, kecuali aku khawatir hari ini adalah hari raya nahr (iedlul Adha). Maka Aisyah pun berkata:


Hari raya Nahr adalah hari manusia menyembelih, dan iedlul Fithri adalah hari ketika manusia berbuka (yakni tidak lagi berpuasa).
(Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbani, hal. 442)

النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ. (رواه البيهقي)
Disebutkan pula ucapan senada oleh Ibnul Qayyim رحمه الله dalam Tahdzibu as-Sunan, 3/214: "Dikatakan bahwa pada hadits ini terdapat bantahan atas orang yang berkata: "Sesungguhnya barangsiapa yang melihat munculnya bulan Sabit dengan mengukur hisabnya atau menghitung tempat-tempat terbitnya, boleh baginya berpuasa dan beriedlul Fithri sendiri, tidak seperti orang yang tidak mengetahuinya". Dikatakan bahwa seorang yang melihat munculnya bulan sabit sendirian, tetapi hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia pun belum berpuasa". (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

Demikian pula tentunya siapa yang melihat hilal Syawwal sendirian, namun penguasa tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berhari raya sendirian.


Berkata Abul Hasan as-Sindi dalam catatan kakinya terhadap Sunan Ibnu Majah, setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah dalam riwayat di atas sebagai berikut: "Tampaknya makna hadits ini adalah bahwa perkara-perkara tersebut bukan haknya pribadi-pribadi seseorang tertentu. Dan tidak boleh seseorang menyendiri dalam masalah tersebut, tetapi urusan ini dikembalikan kepada imam dan jama'ah kaum muslimin seluruhnya. Wajib bagi setiap pribadi mengikuti kebanyakan manusia dan penguasanya. Dengan demikian jika seseorang melihat hilal, tetapi penguasa menolaknya, maka semestinya dia tidak tidak menetapkan perkara-perkara tadi pada dirinya sendirian, sebaliknya wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia". (Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)


Maka nasehat kita kepada para penguasa adalah: tentukanlah awal bulan Ramadlan, Syawwal dan lain-lain dengan ru'yatul hilal di mana pun hilal itu terlihat, walaupun di negara-negara lain.


Dan nasehat kita kepada kaum muslimin adalah: taatilah penguasa; berpuasa dan ber'iedhul Fithrilah bersama mereka, dan janganlah berpecah-belah.


[Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Ongkos cetak dll Rp. 200,-/exp. tambah ongkos kirim. Pesanan min 50 exp. bayar 4 edisi di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab & Pimpinan Redaksi: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Sekretaris: Ahmad Fauzan/Abu Urwah, HP 081564634143; Sirkulasi/pemasaran: Arief Subekti HP 081564690956. Untuk memperdalam ilmu dan informasi dakwah baca: majalah Asy-Syari'ah & An-Nasihah atau klik www.asysyariah.com dan www.salafy.or.id.]


(Dikutip dari bulletin Manhaj Salaf, Edisi: 84/Th. II, tanggal 24 Ramadlan 1426 H/28 Oktober 2005 M, judul asli Berhari Raya Bersama Kaum Muslimin dan Penguasanya, penulis asli Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed) 
 
www.salafy.or.id

Berpenampilan Indah di Hari Raya Ied

Berpenampilan Indah di Hari Raya Ied
 
 
Dari Ibnu Umar Radhliallahu 'anhuma ia berkata : Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata (Yang artinya) : “ Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian (di akhirat-pent)'. Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : 'Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : 'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bahagian', dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya". [Hadits Riwayat Bukhari 886,948,2104,2169, 3045, 5841,5891 dan 6081. Muslim 2068, Abu Daud 1076. An-Nasaa'i 3/196 dan 198. Ahmad 2/20,39 dan 49]

Berkata Al-Allamah As-Sindi.
"Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini". [Hasyiyah As Sindi 'alan Nasa'i 3/181].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata.

"Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa Ibnu Umar biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fithri dan Idul Adha".[Fathul Bari 2/439]

Beliau juga menyatakan :

"Sisi pendalilan dengan hadist ini adalah takrir-nya (penetapan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Umar berdasarkan asal memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutera". [Fathul Bari 2/434].

Dalam 'Al-Mughni' (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan :

"Ini menunjukkan bahwa membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur".

Malik berkata :

"Aku mendengar ulama menganggap sunnah untuk memakai wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya".

Berkata Ibnul Qayyim dalam "Zadul Ma'ad" (1/441).

"Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah (Lihat "Silsilah As-Shahihah 1279), namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman.

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein) 
---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhliallahu 'anhuma ia berkata : Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata : (yang artinya) : "Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan yang menghadap engkau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Ini adalah pakaiannya orang yang tidak memiliki keimanan / pakaian orang-orang kafir'. Setelah itu Umar tidak menampakkan diri beberapa hari yang dikehendaki Allah. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : 'Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : 'Ini adalah pakaiannya orang kafir dan engkau telah mengirimkan padaku jubah ini'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :'Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya". [Hadits Riwayat Bukhari 886,948,2104,2169, 3045, 5841,5891 dan 6081. Muslim 2068, Abu Daud 1076. An-Nasaa'i 3/196 dan 198. Ahmad 2/20,39 dan 49]

Berkata Al-Allamah As-Sindi : "Dari hadits ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya kebiasaan ini". [Hasyiyah As Sindi 'alan Nasa'i 3/181].


Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata : "Ibnu Abi Dunya dan Al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang shahih yang sampai kepada Ibnu Umar bahwa ia biasa memakai pakaiannya yang paling bagus pada hari Idul Fithri dan Idul Adha".[Fathul Bari 2/439]


Beliau juga menyatakan : "Sisi pendalilan dengan hadist ini adalah takrir-nya (penetapan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Umar berdasarkan asal memperbagus penampilan itu adalah untuk hari Jum'at. Yang beliau ingkari hanyalah pemakaian perhiasan semisal itu karena ia terbuat dari sutera". [Fathul Bari 2/434].


Dalam 'Al-Mughni' (2/228) Ibnu Qudamah menyatakan : "Ini menunjukkan bahwa membaguskan penampilan di kalangan mereka pada saat-saat itu adalah masyhur".


Malik berkata : "Aku mendengar ulama menganggap sunnah untuk memakai wangi-wangian dan perhiasan pada setiap hari raya".


Berkata Ibnul Qayyim dalam "Zadul Ma'ad" (1/441) : "Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha. Beliau memiliki perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at. Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah[ ], namun bukan merah murni sebagaimana yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah. Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain bergaris dari Yaman.


(Dinukil dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari dan Syaikh Salim Al Hilali, edisi Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, terbitan Maktabah Salafy Press, penerjemah ustadz Hannan Husein Bahannan) 
 
www.salafy.or.id

Selamatkan Jogja dengan Taubat, Bukan dengan Tumbal !

 
Selamatkan Jogja dengan Taubat, Bukan dengan Tumbal !
 
Sedih ... sakit ... rasanya! Melihat ulah sebagian manusia Yogyakarta. Belum genap sebulan kita diberi peringatkan Allah, dengan meletusnya gunung teraktif di indonesia yaitu gunung merapi. Di mana tidak sedikit korban yang berjatuhan, harta benda yang hangus oleh dahsyatnya merapi. Yang semua musibah ini ada yang mengaturnya yaitu Allah. Dan musibah ini mungkin adalah teguran dari-Nya, untuk kita. Semua itu terjadi karena dosa kita. 
Tapi saudaraku, apa yang kalian lakukan?
Bertaubatkah?!
Mohon ampunkah?!
Tidak ...
Tapi justru sebaliknya kalian kembali menantang kuasa-Nya.
***

Paguyuban Kebatinan Tri Tunggal (PKTT) Yogyakarta menggelar ritual tolak bala pada Senin (8/11/2010) malam. Ritual tersebut dimaksudkan agar warga Yogyakarta dan sekitarnya terhidar dari mara bahaya akibat letusan Merapi.

Ritual yang dipusatkan di sekitar kawasan Tugu ini diawali dengan mengarak kerbau bule. Mengambil start di SMPN 6 Terban Yogyakarta, iringan-iringan puluhan anggota PKTT menyusuri Jl Sudirman, sebelum akhirnya memulai berbagai acara ritual di Perempatan Jl Sudirman-Mangkubumi-AM Sangaji.



Acara dimulai dengan tari Bedoyo yang dipentaskan dengan elok oleh sembilan penari. Alunan gamelan serta semerbak harum dupa membuat semua yang ada di tempat tersebut larut dalam suasana.
Puncak acara diisi dengan pemotongan seekor Kerbau Bule dan sembilan ayam jago Jurik Kuning sebagai sesaji. Selain itu ada juga getuk lindri dengan bentuk boneka manusia yang berjumlah 99.

Sombo, Anggota PKTT menuturkan, sesaji merupakan simbol manusia dan alam sekitarnya. ”Ritual ini diharapkan dapat terjadi harmonisasi antara manusia dan alam,” katanya.
Kepala kerbau dan sembilan jago Jurik Kuning, rencananya akan dibawa ke lereng Merapi untuk ditanam di sana malam ini juga. "Daging badannya akan dibagikan pada warga," kata Wahadi, anggota lain dari Seyegan. (Dikutip dari kompas.com)

Inikah taubat?!
Sadarlah saudaraku!

Bukti Itu adalah Kesyirikan

Coba kita perhatikan firman Allah Ta’ala,

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (QS. al-An’aam: 162-163).

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka, dirikanlah shalat karena Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanlah.” (QS. al-Kautsar: 2).

Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pemurnian agama bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Oleh karena itu, mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia) dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir).
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya.” (HR. Muslim no. 1978)

Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya, dengan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dijauhkan dari rahmat-Nya.

Syirik adalah dosa besar yang dapat menimbulkan murkaNya. Jadi bukan keselamatan, keamanan yang akan diperoleh. Tapi sebaliknya. Orang yang mentauhidkan Allah dengan hanya memohon dan beribadah kepada Allah semata, merekalah yang mendapatkan keselamatan.

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman
(yaitu syirik) maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah
." ( QS. Al-An'aam: 82 )


Tak takutkah kita dengan murka-Nya yang lebih besar?
Saudaraku ... sadarlah
Bukan dengan sesaji kita akan selamat
Bukan dengan maksiat
Tapi kita berharap Allah menyelamatkan kita dengan bertaubat pada-Nya
Menjalankan perintah-Nya
Menjauhi larangan-Nya

Takutlah pada syirik karena begitu bahaya dosa tersebut sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa’: 48)

Saudaraku ... Solusinya adalah Taubat

‘Ali bin Abi Tholib –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ
Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

Perkataan ‘Ali –radhiyallahu ‘anhu- di sini selaras dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)

Jangan semakin membuat Allah murka dengan kesyirikan yang kita perbuat. Hujan abu tidak akan usai jika malah Allah dibalas dengan disekutukan dengan selain-Nya.
Semoga uraian singkat ini bisa menjadi jalan hidayah-Nya untuk kita semua, untuk kembali menata Yogyakarta dengan bertaubat bukan dengan maksiat atau kesyirikan. Aamiin.

www.rumaysho.com

Renungan Bencana Merapi

Renungan Bencana Merapi

Ustadz Sofyan Chalid Ruray

Musibah karena Dosa

“Telah tsabit dari Khalifah Ar-Rasyid Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, bahwasannya ketika terjadi musibah gempa di zaman beliau, maka beliau menulis surat kepada seluruh jajarannya di seluruh daerah berisi perintah agar mereka memerintahkan kaum muslimin untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala, memohon kepada-Nya dan minta ampunan dosa-dosa yang mereka kerjakan.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz rahimahullah, 2/129)


Sungguh tepatlah apa yang dilakukan oleh pemimpin kaum muslimin ini, sebab bencana yang menimpa manusia, tidak lain karena dosa yang mereka kerjakan. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apapun yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (Asy-Syuraa: 30)

Allah Ta’ala juga berfirman:

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami adzab disebabkan dosanya. Di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu, di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan (dalam air), dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-’Ankabut: 40)

Musibah bagi Orang-orang Beriman adalah Ujian

Namun bagi orang-orang beriman, ahlut tauhid was sunnah, bencana adalah ujian bagi mereka, yang dengannya Allah Ta’ala menghapus dosa mereka, meninggikan derajat mereka, dan melimpahkan pahala yang tidak terhitung jika mereka sabar dan ridho dalam menghadapi ujian tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ. الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun”.” (Al-Baqarah: 155-156)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ما من مصيبة تصيب المسلم إلا كفر الله بها عنه حتى الشوكة يشاكها
“Tidaklah ada suatu musibah yang menimpa seorang muslim, hingga duri yang menusuknya, kecuali itu akan menjadi penghapus dosanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Juga sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam:

إن عظم الجزاء مع عظم البلاء و إن الله تعالى إذا أحب قوما ابتلاهم فمن رضي فله الرضا و من سخط فله السخط
“Sesungguhnya besarnya pahala tergantung besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala, apabila mencintai suatu kaum maka Allah timpakan kepada mereka bala’, barangsiapa ridho dengannya maka Allah pun ridho kepadanya, barangsiapa yang marah dengannya maka Allah pun marah kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihil Jami’, no. 2110)

Kesyirikan adalah Penyebab Musibah Terbesar

Tradisi Labuhan Merapi yang pernah dipimpin Maridjan untuk menghormati Kyai Sapu Jagat (iblis penghuni Merapi -semoga Allah Ta’ala melaknatnya-) yang mereka yakini sebagai penjaga keselamatan dan ketentraman Kesultanan dan warga Jogya, adalah bentuk syirik kepada Allah Ta’ala dalam uluhiyyah dan rububiyah sekaligus dan merupakan sebab terbesar bencana Merapi.

Betapa Allah Ta’ala tidak murka, ibadah yang seharusnya hanya dipersembahkan kepada-Nya mereka persembahkan kepada iblis penghuni gunung Merapi. Mereka persembahkan beberapa bentuk ibadah kepadanya:
  1. Memohon keselamatan kepadanya (Du’aul Mas’alah)
  2. Harap kepadanya (ibadah hati)
  3. Takut kepadanya (ibadah hati)
  4. Tawakkal kepadanya (ibadah hati)
  5. Biasanya ditambahi dengan sesajen berupa hewan sembelihan dan berbagai jenis makanan sebagai persembahan kepadanya.
Ini kesyirikan dalam uluhiyyah (ibadah). Adapun kesyirikan dalam rububiyyah, mereka yakini iblis tersebut sebagai penyelamat mereka, pelindung dan pemberi rasa aman kepada mereka.

Demi Allah, tidak ada sebab bencana yang melebihi kezaliman terbesar ini. Allah Ta’ala telah mengingatkan:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا
“Dan mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Penyayang mempunyai anak.” Sesungguhnya (dengan perkataan itu) kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, serta gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Penyayang mempunyai anak”.” (Maryam: 88-91)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga telah mengingatkan:

اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا رسول الله وما هن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات
“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”, Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah apakah tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba’, lari dari medan perang (jihad), menuduh berzina wanita mu’minah padahal dia tidak tahu menahu (dengan zina tersebut)”.” (HR. Al-Bukhari, no. 2615 dan Muslim, no. 272)

Kesyirikan di Merapi Lebih Buruk dari Kesyirikan di Zaman Jahiliyah

Lebih parah lagi, ketika mereka ditimpa musibah, bukannya kembali kepada Allah Ta’ala, bertaubat kepada-Nya dam memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, malah mereka kembali kepada juru kunci pewaris Maridjan dan kepada benda-benda dan jimat yang mereka yakini itulah yang bisa menyelamatkan mereka dari bencana.

Maka dalam hal ini, kesyirikan mereka lebih buruk dari syiriknya orang-orang musyrikin Jahiliyah dahulu (yang Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam diutus untuk mendakwahi dan memerangi mereka), dimana mereka (sebagian musyrikin Jahiliyah) hanya menyekutukan Allah Ta’ala ketika mereka dalam keadaan aman dan tentram, namun ketika ditimpa bencana dan membutuhkan pertolongan, mereka kembali mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka menyekutukan-Nya.” (Al-‘Ankabut: 65)

Syubhat Para Pelaku Kesyirikan dan Jawabannya

Jika mereka mengatakan, “Kami mempersembahkan upacara kepada Kyai Sapu Jagat (maupun bertawasul dengan berdoa kepada para nabi dan wali) hanyalah agar beliau menjadi wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kami kepada Allah Ta’ala, atau agar beliau memintakan keamanan untuk kami kepada Allah Ta’ala”.

Jawabannya: Kesyirikan ini sama persis dengan apa yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman Jahiliyah dahulu, dimana mereka memohon kepada berhala-berhala juga agar bisa lebih dekat dengan Allah Ta’ala atau mendapat syafa’at di sisi-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَالّذِينَ اتّخَذُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاّ لِيُقَرّبُونَآ إِلَى اللّهِ زُلْفَىَ
“Dan orang-orang mengambil penolong selain Allah mereka berkata: “Kami tidaklah mengibadahi mereka melainkan supaya mereka betul-betul mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.” (Az-Zumar: 3)

Juga firman Allah Ta’ala:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (Yunus: 18)

Namun jika kenyataannya mereka berkeyakinan bahwa Kyai Sapu Jagad (juga para nabi dan wali) yang memberikan keamanan kepada mereka (bukan sebagai wasilah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dan mendapatkan keamanan dari-Nya), maka dari sisi ini pun kesyirikan mereka lebih buruk dari kesyirikan kaum musyrikin Jahilyah.

Membantu Korban Merapi dengan Dakwah Tauhid dan Sunnah

Oleh karenanya kami katakan, membantu korban bencana dengan materi sangat penting. Namun sungguh jauh lebih penting dari itu adalah membantu mereka dengan mengajak mereka kepada tauhid dan sunnah.

Sebab, musibah yang menimpa mereka di dunia ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan adzab Allah Ta’ala di akhirat kelak jika mereka mati dalam keadaan menyekutukan Allah Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah: 72)

Juga firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” (Al-Bayyinah: 6)

Fenomena Petruk dan Ponimin

Apa yang akan terjadi dengan Merapi di masa depan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala. Barangsiapa meyakini Petruk sudah tahu sebelumnya berarti dia telah berbuat syirik kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Demikian pula mempercayai bualan pewaris Maridjan; Ponimin dan istrinya, sama saja dengan mempercayai dukun dan tukang ramal, pelayan-pelayan iblis merapi.

Apa yang akan terjadi kurang dari seperempat detik kemudian termasuk perkara ghaib yang ilmunya adalah kekhususuan bagi Allah Ta’ala, sehingga orang yang meyakini bahwa ada selain Allah Ta’ala yang mengetahui perkara ghaib berarti dia telah berbuat syirik kepada Allah. Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala:

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِى ٱلسَّمَوَتِ وَٱلْأَرْضِ ٱلْغَيْبَ إِلَّا ٱللَّهُ
“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”.” (QS. An-Naml: 65)

Dan orang yang mengabarkan tentang perkara ghaib (yang akan terjadi di masa depan) disebut dukun (kaahin) (lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam rahimahullah, 35/173).

Dari mana dia mengetahui berita-berita ghaib tersebut? Tidak lain dari tuan-tuannya, yaitu setan-setan yang mencuri berita dari langit. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan:

إِذَا قَضَى اللهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خضَعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعَ وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضَهُ فَوْقَ بَعْضٍ –وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَّفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الْكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا الْآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ حَتَّى يُلْقِيهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الْكَاهِنِ فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كِذْبَةٍ فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذا كَذَا وَكَذَا؟ فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَ مِنَ السَّمَاءِ

“Apabila di langit Allah menetapkan sebuah perkara, tertunduklah seluruh malaikat karena takut dengan firman Allah Ta’ala, seakan-akan suara rantai yang tergerus di atas batu. Ketika sadar, mereka berkata: “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?” Sebagian menjawab: “Kebenaran, dan dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu berita tersebut dicuri oleh para pencuri berita (setan).

Para pencuri berita itu sebagiannya berada di atas yang lain (sampai ke suatu tempat di bawah langit) –Sufyan (rawi hadits) menggambarkan tumpang tindihnya mereka dengan telapak tangan beliau lalu menjarakkan antara jari jemarinya–. Mereka mendengar kalimat yang disampaikan oleh Malaikat, lalu menyampaikannya kepada yang di bawahnya, yang di bawahnya menyampaikannya kepada yang di bawahnya lagi, sampai yang paling bawah menyampaikannya kepada tukang sihir atau dukun.

Terkadang setan tersebut terkena lemparan bintang sebelum menyampaikannya dan terkadang dia bisa menyampaikannya sebelum terkena lemparan bintang. Namun setan ini telah menyisipkan 100 kedustaan bersama satu berita yang benar itu.
Kemudian bualan dukun ini dikomentari orang: “Bukankah kejadiannya seperti yang dia katakan?” Akhirnya dukun ini dipercayai karena berita yang dicuri setan dari langit.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu)

Hukum Mempercayai Ucapan Ponimin tentang Masa Depan Merapi

Oleh karena itu, barangsiapa yang mempercayai ucapan Ponimin dan yang semisalnya berarti dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda:

من أتى عرافا أو كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم
“Barang siapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun dan membenarkan apa yang diucapkannya maka dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anahu)

Adapun sekedar bertanya tanpa mempercayai ucapan dukun tersebut maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari tanpa menghilangkan kewajiban shalat atasnya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal, lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim dari sebagian istri Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam)

Himbauan kepada Kaum Muslimin

Kembali kami menghimbau kepada kaum muslimin, agar tidak saja membantu korban Merapi dengan materi, namun juga dengan nasihat dan ajakan untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala, kembali mentauhidkan Allah; beribadah hanya kepada-Nya, melaksanakan sholat lima waktu dan meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Karena hanya inilah kunci keselamatan dari bencana di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raaf: 96)

Dan ingatlah, musibah di akhirat itu lebih dahsyat apabila mereka mati dalam keadaan menyekutukan Allah Ta’ala. Jika mereka bisa bersabar menghadapi musibah Merapi, maka tidak ada yang mampu bersabar menghadapi musibah di akhirat. Allah Ta’ala telah mengingatkan:

إِنَّهَا لإحْدَى الْكُبَرِ. نَذِيرًا لِلْبَشَرِ

“Sesungguhnya neraka saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman bagi manusia.” (Al-Muddatsir: 35)

Juga firman Allah Ta’ala:

لَهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ظُلَلٌ مِنَ النَّارِ وَمِنْ تَحْتِهِمْ ظُلَلٌ ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ

”Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah mereka pun lapisan-lapisan (dari api).  Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azdab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku wahai hamba-hamba-Ku.” (Az Zumar: 16)

 http://nasihatonline.wordpress.com

Derita Bisa Jadi Nikmat


Derita Bisa Jadi Nikmat
 
 
Sebuah pelajaran berharga dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Semoga dapat menghibur hati yang sedang luka atau merasakan derita. 
 
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
Di antara sempurnanya nikmat Allah pada para hamba-Nya yang beriman, Dia menurunkan pada mereka kesulitan dan derita. Disebabkan derita ini mereka pun mentauhidkan-Nya (hanya berharap kemudahan pada Allah, pen). Mereka pun banyak berdo’a kepada-Nya dengan berbuat ikhlas. Mereka pun tidak berharap kecuali kepada-Nya. Di kala sulit tersebut, hati mereka pun selalu bergantung pada-Nya, tidak beralih pada selain-Nya. Akhirnya mereka bertawakkal dan kembali pada-Nya dan merasakan manisnya iman. Mereka pun merasakan begitu nikmatnya iman dan merasa berharganya terlepas dari syirik (karena mereka tidak memohon pada selain Allah). Inilah sebesar-besarnya nikmat atas mereka.
 
Nikmat ini terasa lebih luar biasa dibandingkan dengan nikmat hilangnya sakit, hilangnya rasa takut, hilangnya kekeringan yang menimpa, atau karena datangnya kemudahan atau hilangnya kesulitan dalam kehidupan. Karena nikmat badan dan nikmat dunia lainnya bisa didapati orang kafir dan bisa pula didapati oleh orang mukmin. (Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 10/333)

***
Begitu sejuk mendengar kata indah dari Ibnu Taimiyah ini. Akibat derita, akibat musibah, akibat kesulitan, kita pun merasa dekat dengan Allah dan ingin kembali pada-Nya. Jadi tidak selamanya derita adalah derita. Derita itu bisa jadi nikmat sebagaimana yang beliau jelaskan. Derita bisa bertambah derita jika seseorang malah mengeluh dan jadikan makhluk sebagai tempat mengeluh derita. Hanya kepada Allah seharusnya kita berharap kemudahan dan lepas dari berbagai kesulitan.

Nikmat ketika kita kembali kepada Allah dan bertawakkal pada-Nya serta banyak memohon pada-Nya, ini terasa lebih nikmat dari hilangnya derita dunia yang ada. Karena kembali pada Allah dan tawakkal pada-Nya hanyalah nikmat yang dimiliki insan yang beriman dan tidak didapati para orang yang kafir. Sedangkan nikmat hilangnya sakit dan derita lainnya, itu bisa kita dapati pada orang kafir dan orang beriman.

Ingatlah baik-baik nasehat indah ini. Semoga kita bisa terus bersabar dan bersabar. Sabar itu tidak ada batasnya. Karena Allah Ta’ala janjikan,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan bahwa  ganjarannya tidak bisa ditakar dan ditimbang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa pahala bagi orang yang bersabar tidak bisa dihitung sama sekali, akan tetapi ia akan diberi tambahan dari itu. Maksudnya, pahala mereka tak terhingga. Sedangkan As Sudi mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga.[1]

Semoga yang singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Written before Shubuh on 16 Dzulqo’dah 1431 H (24/10/2010), in KSU, Riyadh, KSA
By: Muhammad Abduh Tuasikal
www.rumaysho.com


[1] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/89, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H

Indonesia Dikepung Bencana

 Indonesia Dikepung Bencana


Sesungguhnya Alloh menguji hamba-hamba-Nya dengan kesenangan dan kesusahan untuk mengetahui sejauh mana syukur dan sabar yang kita miliki. Siapa yang bersabar ketika mendapat bencana, senang ketika mendapat nikmat dan ketika musibah terjadi merendahkan diri kepada Alloh, mengadukan dosa-dosa dan kelalaiannya lalu memohon rahmat dan ampunNya maka dialah orang yang benar-benar beruntung. Alloh berfirman,

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan” (QS al Anbiya:35).


Yang dimaksud dengan fitnah dalam ayat di atas adalah ujian sehingga diketahui siapakah yang jujur dan siapakah pendusta, siapa yang sabar dan siapa yang syukur.
Yang dimaksud dengan kebaikan dalam hal ini adalah berbagai bentuk nikmat semisal tanah yang subur, kesehatan, menang menghadapi musuh dll. Sedangkan pengertian keburukan adalah berbagai musibah semisal penyakit, dikuasai musuh, gempa bumi, banjir, angin putting beliung, tanah longsor dll.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS ar Rum:41).

Maksudnya segala takdir yang Alloh tetapkan baik berupa nikmat ataupun musibah serta berbagai kerusakan yang nampak adalah dimaksudkan supaya manusia mau kembali kepada pangkuan kebenaran dan segera bertaubat dari hal-hal yang Alloh haramkan serta segera melakukan ketaatan kepada Alloh dan RasulNya. 

Sesungguhnya kekafiran dan kemaksiatan adalah sebab segala bencana dan malapetaka di dunia dan akherat. Sebaliknya tauhid, iman, ketaatan kepada Alloh dan RasulNya, komitmen dengan syariat, mendakwahkan agama dan mengingkari orang-orang yang menyelisihi agama adalah sebab segala kebaikan di dunia dan akherat. Tegar di atas itu semua dan tolong menolong untuk melaksanakannya adalah kemulian di dunia dan akherat.

Dalam banyak ayat, Alloh menjelaskan bahwa sebab terjadinya berbagai adzab untuk umat terdahulu adalah kekafiran dan kemaksiatan


فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya” (QS al Ankabut:40).

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy Syura:30).

Alloh perintahkan kita untuk bertaubat dan merendahkan diri kepadaNya ketika berbagai musibah terjadi.

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ فَلَوْلا إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan syaitanpun Menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan” (QS al An’am:43).

Dalam ayat ini Alloh memotivasi para hambaNya agar merendahkan diri kepada Alloh serta memohon bantuanNya ketika berbagai musibah terjadi semisal banjir, tanah longsor, angin puting beliung, berbagai kecelakaan dll. Kemudian Alloh jelaskan bahwa kerasnya hati dan tipuan setan sehingga amal jelek dianggap baiklah yang menghalangi mereka untuk bertaubat, merendahkan diri dan bertaubat kepadaNya.
Oleh karena itu, ketika terjadi gempa bumi di masa Umar bin Abdul Aziz, beliau mengirimkan surat kepada para gubernur bawahannya berisi perintah supaya kaum muslimin bertaubat, merendahkan diri kepada Alloh dan bertaubat dari berbagai dosa.

Berbagai musibah yang mengepung tanah air kita beberapa akhir ini dan datang silih berganti, tidaklah diragukan lagi merupakan buah dari kekafiran dan kemaksiatan, tidak mau mentaati aturanNya, perhatian dengan dunia dan kesenangannya, berpaling dari akherat dan tidak mau menyiapkan bekal untuk akherat melainkan orang-orang yang Dia sayangi. Berbagai musibah ini mengharuskan kita untuk segera bertaubat kapadaNya dari semua yang Dia haramkan, bersegera untuk mentaatiNya, menerapkan aturanNya, saling menolong untuk berbuat baik dan bertakwa dan mendakwahkan kebenaran. Jika ini semua dilaksanakan maka Alloh akan mencurahkan berbagai nikmatNya kepada kita.

Dalam berbagai ayat Alloh menegaskan bahwa kasih sayangNya dan berbagai nikmatNya yang lain hanya akan didapatkan dengan sempurna dilanjutkan dengan kenikmatan di akherat untuk orang-orang yang bertakwa, beriman, mentaati rasulNya, konsisten di atas syariat dan bertaubat dari berbagai dosa.
Sedangkan orang-orang yang tidak mau taat, sombong untuk menunaikan hak Alloh dan bertahan untuk tetap dalam kekafiran dan kemaksiatan maka Alloh ancam dengan berbagai hukuman di dunia dan akherat bahkan ada hukuman yang disegerakan di dunia sebagai peringatan dan pelajaran bagi yang lain

فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (QS al An’am:44-45).

Marilah semua dari kita merenungkan amal yang telah kita lakukan, lalu segera bertaubat, secepat mungkin melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat serta hendaknya kita mengambil pelajaran dari berbagai bencana yang terjadi disebabkan dosa dan maksiat.
(Diolah dari Majmu Fatawa Ibnu Baz 2/127-133).

 http://ustadzaris.com

Saturday, November 13, 2010

BAB 6 : PERJALANAN TAUBAT

KITAB SIRRUL ASROR BAB 6 :http://www.blogger.com/img/blank.gif
PERJALANAN TAUBAT

اَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ اْلشَّيْطَا نِ الْرَجِيْم بِسْمِ اللهِ اْلَرّحْمنِ اْلرَحِيْمِ
اَشْهَدُ اَنْ لا َاِلَهَ اِلا الله وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
اَلله ُوَحْدهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ مُحَمَّدٌ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهْ حَقُّ الله - رَحْمَةُ الله – رِضَأ الله
Tahap-tahap dan peringkat-peringkat perubahan kerohanian telah disebutkan. Perlu ditegaskan bahwa setiap peringkat harus dicapai terutama taubat. Cara bertaubat bisadipelajari pada orang yang mengetahui cara berbuat demikian dan yang telah sendirinya bertaubat. Taubat yang sebenar dan menyeluruh merupakan langkah pertama di dalam perjalanan.
إِذ جَعَلَ الَّذينَ كَفَروا فى قُلوبِهِمُ الحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الجٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكينَتَهُ عَلىٰ رَسولِهِ وَعَلَى المُؤمِنينَ وَأَلزَمَهُم كَلِمَةَ التَّقوىٰ وَكانوا أَحَقَّ بِها وَأَهلَها ۚ وَكانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيءٍ عَليمًا ﴿٢٦
(Ingatlah) Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Surah Fath, ayat 26).

Keadaan takut kepada Allah adalah sama dengan kalimah “La ilaha illa Llah” – tiada Tuhan, tiada apa-apa, kecuali Allah. Bagi orang yang mengetahui ini, akan ada perasaan takut kehilangan-Nya, kehilangan perhatian-Nya, cinta-Nya, keampunan-Nya; dia takut dan malu melakukan kesalahan sedangkan Dia melihat, dan takut azab-Nya. Jika keadaan seseorang itu tidak demikian, dia perlu mendapatkaan orang yang bisa mentakutkan kepada Allah dan menerima keadaan takut Allah itu dari orang tersebut.
Sumber dari mana saja perkataan itu, harus diterima dengan bersih dan suci dari segalanya kecuali Allah, dan siapa yang menerimanya harus bisa membedakan antara perkataan orang yang suci hatinya dengan perkataan orang awam. Penerimanya harus sadar cara perkataan itu diucapkan, kerana perkataan yang bunyinya sama mungkin mempunyai maksud yang jauh berbeda. Tidak mungkin perkataan yang datangnya dari sumber yang asli sama dengan perkataan yang datangnya dari sumber lain.
Hatinya menjadi hidup bila dia menerima benih tauhid dari hati yang hidup, karena benih yang demikian sangat subur, itulah benih kehidupan. Tidak ada yang tumbuh dari benih yang kering lagi tiada kehidupan. Kalimah suci “La ilaha illa Llah” disebut dua kali di dalam Quran menjadi bukti.
إِنَّهُم كانوا إِذا قيلَ لَهُم لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَستَكبِرونَ ﴿٣٥﴾ وَيَقولونَ أَئِنّا لَتارِكوا ءالِهَتِنا لِشاعِرٍ مَجنونٍ ﴿٣٦﴾

(35) "Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ""Laa ilaaha illallah"" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri." (36) "dan mereka berkata: ""Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (Surah Shaaffaat. Ayat 35 & 36).
Ini adalah keadaan orang awam yang baginya rupa luar termasuk kewujudan zahirnya adalah tuhan-tuhan.
فَاعلَم أَنَّهُ لا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاستَغفِر لِذَنبِكَ وَلِلمُؤمِنينَ وَالمُؤمِنٰتِ ۗ وَاللَّهُ يَعلَمُ مُتَقَلَّبَكُم وَمَثوىٰكُم

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu". (Surah Muhammad, ayat 19).

Firman Allah ini menjadi panduan kepada orang-orang beriman yang takut kepada Allah.
Sayyidina Ali r.a meminta Rasulullah s.a.w mengajarkan kepadanya cara yang mudah, paling bernilai, paling cepat kepada keselamatan. Baginda s.a.w menanti Jibrail memberikan jawabannya dari sumber Ilahi. Jibrail datang dan mengajarkan baginda s.a.w mengucapkan “La ilaha” sambil memutarkan mukanya yang diberkati ke kanan, dan mengucapkan “illa Llah” sambil memutarkan mukanya ke kiri, ke arah hati sucinya yang diberkati. Jibrail mengulanginya tiga kali; Nabi s.a.w mengulanginya tiga kali dan mengajarkan yang demikian kepada Sayidina Ali r.a dengan mengulanginya tiga kali juga. Kemudian baginda s.a.w mengajarkan yang demikian kepada sahabat-sahabat baginda. Sayidina Ali r.a merupakan orang yang pertama bertanya dan menjadi orang yang pertama diajarkan.

Kemudian satu hari setelah kembali dari peperangan, Nabi s.a.w berkata kepada pengikut-pengikut baginda, “Kita baru kembali dari peperangan yang kecil untuk menghadapi peperangan yang besar”. Baginda s.a.w merujukkan kepada perjuangan dengan ego diri sendiri, keinginan yang rendah yang menjadi musuh kepada penyaksian kalimah tauhid. Baginda s.a.w bersabda, “Musuh kamu yang paling besar ada di bawah rusuk kamu”.
Cinta Ilahi tidak akan hidup sehingga musuhnya, hawa nafsu badaniah kamu, mati dan meninggalkan kamu.

Awalnya harus bebas dari ego yang mengnyeret kamu kepada kejahatan. Kemudian kamu akan memiliki sedikit suara hati, walaupun kamu masih belum bebas sepenuhnya dari dosa. Kamu akan memiliki perasaan mengkritik diri sendiri – tetapi ia belum mencukupi. Kamu mesti melewati tahap tersebut pada peringkat di mana hakikat yang sebenarnya dibukakan kepada kamu, kebenaran tentang benar dan salah.

Kemudian kamu akan berhenti melakukan kesalahan dan akan hanya melakukan kebaikan. Dengan demikian diri kamu akan menjadi bersih. Di dalam menentang hawa nafsu dan tarikan badan kamu, kamu mesti melawan nafsu kehewanan – kerakusan, terlalu banyak tidur, pekerjaan yang sia-sia – dan menentang sifat-sifat hewan liar di dalam diri kamu – kekejian, marah, kasar dan berkelahi. Kemudian kamu mesti usahakan membuang perangai-perangai ego yang jahat, takabur, sombong, dengki, dendam, tamak dan lain-lain penyakit tubuh dan hati kamu. Cuma orang yang berbuat demikian yang benar-benar bertaubat dan menjadi bersih, suci dan murni.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوّٰبينَ وَيُحِبُّ المُتَطَهِّرينَ ﴿٢٢٢

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (Surah Baqarah, ayat 222).

Dalam melakukan taubat seseorang itu mesti bersungguh-sungguh, supaya penyesalannya tidak samar-samar dan tidak juga secara umum agar dia tidak jatuh ke dalam ancaman Allah:
“Banyak sekali mereka bertaubat mereka tidak sebenarnya menyesal. Taubat mereka tidak diterima”.

Ini ditujukan kepada mereka yang hanya mengucapkan kata-kata taubat tetapi tidak tahu sejauh mana dosa mereka, malah tidak mengambil tindakan pembaikan dan pencegahan. Itulah taubat yang biasa, taubat zahir yang tidak menusuk kepada puncak dosa. Ia adalah umpama orang yang menghilangkan rumput dengan memotong bagian di atas tanah tetapi tidak mencabut akarnya yang di dalam bumi. Tindakan yang demikian membantu rumput untuk tumbuh dengan lebih segar. Orang yang bertaubat dengan mengetahui kesalahannya dan puncak kesalahan itu berazam tidak mengulanginya dan membebaskan dirinya dari kesalahan itu, mencabut akar pokok yang merosakkan itu. Cangkul yang digunakan untuk menggali akarnya, puncaknya dosa-dosa, yaitu pengajaran kerohanian dari guru yang benar. Tanah mestilah dibersihkan sebelum ditanami benih.

“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”. (Surah Hasyr, ayat 21).
“Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Surah Syura, ayat 25).
"kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." . (Surah Furqaan, ayat 70).
Ketahuilah taubat yang diterima, tandanya ialah seseorang itu tidak lagi jatuh ke dalam dosa tersebut.

Ada dua jenis taubat, taubat orang awam dan taubat mukmin sejati. Orang awam berharap meninggalkan kejahatan dan masuk kepada kebaikan dengan cara mengingati Allah dan mengambil langkah usaha bersungguh-sungguh, meninggalkan hawa nafsunya dan kesenangan badannya dan menekankan egonya. Dia mesti meninggalkan keegoannya yang ingkar terhadap peraturan Allah dan masuk kepada taat. Itulah taubatnya yang menyelamatkannya dari neraka dan memasukkannya ke dalam surga.
Orang mukmin sejati, hamba Allah yang murni, berada di dalam suasana yang jauh berbeda. Mereka berada pada maqam makrifat yang jauh lebih tinggi daripada maqam orang awam yang paling baik. Sebenarnya bagi mereka tidak ada lagi anak tangga untuk dipanjat; mereka telah sampai kepada kebersamaan dengan Allah. Mereka telah meninggalkan kesenangan dan nikmat dunia ini dan menikmati kelezatan alam kerohanian – rasa kebersamaan dengan Allah, nikmat menyaksikan Zat-Nya dengan mata keyakinan.

Perhatian orang awam tertuju kepada dunia ini dan kesenangan mereka adalah merasakan nikmat kebendaan dan kewujudan kebendaannya. Malah, jika kewujudan kebendaan manusia dan dunia merupakan satu kesilapan begitu jugalah nikmat dan kecacatan yang paling baik daripadanya. Kata-kata yang diucapkan oleh orang arif, “Kewujduan dirimu merupakan dosa, menyebabkan segala dosa menjadi kecil jika dibandingkan dengannya”. Orang arif selalu mengatakan bahwa kebaikan yang dilakukan oleh orang baik tidak sampai kehadapan Allah tidak lebih dari kesalahan orang yang hampir dengan-Nya. Jadi, bagi mengajar kita memohon keampunan terhadap kesalahan yang tersembunyi yang kita sangkakan kebaikan, Nabi s.a.w yang tidak pernah berdosa memohon ampunan pada Allah sebanyak seratus kali sehari. Allah Yang Maha Tinggi mengajarkan kepada rasul-Nya:
“Pintalah perlindungan bagi buah amal kamu dan bagi mukmin dan mukminat”. (Surah Muhamamd, ayat 19).

Dia jadikan rasul-Nya yang suci murni sebagai teladan tentang cara bertaubat – dengan merayu kepada Allah supaya menghilangkan ego seseorang, sifat-sifatnya dan dirinya, semuanya pada diri seseorang, mencabut kewujudan diri seseorang. Inilah taubat yang sebenarnya.
Taubat yang demikian meninggalkan segala-galanya kecuali Zat Allah, dan berazam untuk kembali kepada-Nya, kembali kepada kebersamaan-Nya untuk melihat Wajah Ilahi. Nabi s.a.w menjelaskan taubat yang demikian dengan sabda baginda s.a.w, “Ada sebagian hamba-hamba Allah yang benar yang tubuh mereka berada di sini tetapi hati mereka berada di sana, di bawah arasy”. Hati mereka berada pada langit kesembilan, di bawah arasy Allah kerana penyaksian suci terhadap Zat-Nya tidak mungkin berlaku pada alam bawah.

Di sini hanya kenyataan atau penampakan sifat-sifat suci-Nya yang dapat disaksikan, memancar ke atas cermin yang bersih kepunyaan hati yang suci. Sayyidina Umar r.a berkata, “Hatiku melihat Tuhanku dengan cahaya Tuhanku”. Hati yang suci adalah cermin di mana keindahan, kemuliaan dan kesempurnaan Allah memancar. Nama lain yang diberi kepada suasana ini ialah pembukaan (mukasyafah), menyaksikan sifat-sifat Ilahi yang suci (musyahadah).

Bagi yang memperoleh suasana tersebut, untuk membersihkan dan menyinarkan hati, perlulah kepada guru yang matang, yang di dalam keesaan dengan Allah, yang disanjung dan dimuliakan oleh semua, sejak dahulu hingga sekarang. Guru tersebut mesti telah sampai kepada maqam kebersamaan dengan Allah dan diturunkan lagi ke alam rendah oleh Allah untuk membimbing dan menyempurnakan mereka yang layak tetapi masih mempunyai kecacatan.

Di dalam penurunan mereka untuk melakukan tugas tersebut wali-wali Allah mestilah berjalan Sesuai dengan sunnah Rasulullah s.a.w dengan mengikuti teladan baginda s.a.w, tetapi tugas mereka berlainan dengan tugas rasul. Rasul diutuskan untuk menyelamatkan orang ramai dan juga orang-orang yang beriman. Guru-guru tadi pula tidak diutus untuk mengajar semua orang tetapi hanyalah sebilangan yang dipilih saja. Rasul-rasul diberi kebebasan dalam menjalankan tugas mereka, sementara wali-wali yang mengambil tugas sebagai mursyid mesti mengikuti jalan rasul-rasul dan nabi-nabi.

Guru kerohanian yang mengaku diri mereka merdeka, menyamakan dirinya dengan nabi, jatuh kepada kesesatan dan kekufuran. Bila Nabi s.a.w mengatakan sahabat-sahabat baginda yang arif adalah umpama nabi-nabi Bani Israil, yang baginda memaksudkan bukan seperti itu, – karena nabi-nabi yang datang setelah Musa a.s semuanya mengikuti prinsip agama yang dibawa oleh Musa a.s. Mereka tidak membawa syari'at baru. Mereka mengikuti undang-undang yang sama. Seperti mereka juga orang-orang arif dari kalangan umat Nabi Muhammad s.a.w yang bertugas membimbing sebagian dari orang-orang suci yang dipilih, mengikuti kebijaksanaan Nabi s.a.w, tetapi menyampaikan perintah dan larangan dengan cara baru yang berbeda, terbuka dan jelas, menunjukkan kepada murid-murid mereka dengan perbuatan yang mereka kerjakan pada masa dan keadaan yang berlainan. Mereka memberi dorongan kepada murid-murid mereka dengan menunjukkan kelebihan dan keindahan prinsip-prinsip agama. Tujuan mereka ialah membantu pengikut-pengikut mereka menyucikan hati yang menjadi tampak untuk membangun tugu makrifat.

Semua itu mereka mengikuti teladan dari pengikut-pengikut Rasulullah s.a.w yang terkenal sebagai ‘golongan yang memakai baju bulu’ yang telah meninggalkan semua aktivitis keduniaan untuk berdiri di pintu Rasulullah s.a.w dan berada hampir dengan baginda. Mereka menyampaikan kabar sebagaimana mereka menerimanya secara langsung daripada mulut Rasulullah s.a.w. Dalam kebersamaan mereka dengan Rasulullah s.a.w mereka telah sampai kepada peringkat di mana mereka boleh berbicara tentang rahasia isra' dan mi'raj Rasulullah s.a.w sebelum baginda membuka rahasia tersebut kepada sahabat-sahabat baginda.
Wali-wali yang menjadi mursyid memiliki kebersamaan yang serupa dengan Nabi s.a.w dengan Tuhannya. Amanah dan penjagaan terhadap ilmu ketuhanan yang serupa dianugerahkan kepada mereka. Mereka merupakan Pemegang sebagian dari kenabian, dan diri batin mereka selamat di bawah penjagaan Rasulullah s.a.w.

Tidak semua orang yang memiliki ilmu berada di dalam keadaan tersebut. Mereka yang sampai ke situ adalah yang lebih cinta kepada Rasulullah s.a.w daripada anak-anak dan keluarga mereka sendiri dan mereka adalah umpama anak-anak kerohanian Rasulullah s.a.w yang hubungannya lebih erat daripada hubungan darah. Mereka adalah pewaris sebenar kepada Nabi s.a.w. Anak yang sejati memiliki zat dan rahasia bapaknya pada rupa zahirnya dan juga pada batinnya. Nabi s.a.w menjelaskan rahasia ini, “Ilmu khusus adalah umpama khazanah rahasia yang hanya mereka yang mengenali Zat Allah boleh mendapatkannya. Namun bila rahasia itu dibukakan orang yang mempunyai kesadaran dan ikhlas tidak menafikannya”.

Ilmu tersebut dimasukkan kepada Nabi s.a.w pada malam baginda s.a.w mi'raj kepada Tuhannya. Rahsia itu tersembunyi di dalam diri baginda di balik tiga ribu tabir hijab. Baginda s.a.w tidak membuka rahasianya melainkan kepada sebagian pengikut baginda yang sangat cinta dengan baginda. Melalui penyebaran dan keberkatan rahasia inilah Islam akan terus memerintah sehingga ke hari kiamat.

Pengetahuan batin tentang yang tersembunyi membawa seseorang kepada rahasia tersebut. Sains, kesenian dan kemahiran keduniaan adalah umpama kerangka kepada pengetahuan batin. Mereka yang memiliki pengetahuan kerangka itu boleh mengharapkan satu hari nanti mereka diberi kesempatan untuk memiliki apa yang di dalam kerangka. Sebagian dari mereka yang berilmu memiliki apa yang patut dimiliki oleh seorang manusia secara umumnya sementara sebagian yang lain menjadi ahli dan memelihara ilmu tersebut daripada hilang. Ada golongan yang menyeru kepada Allah dengan nasihat yang baik. Sebagian dari mereka mengikuti sunnah Nabi s.a.w dan dipimpin oleh Sayyidina Ali r.a. yang menjadi pintu kepada gedung ilmu yang melaluinya masuklah mereka yang menerima undangan dari Allah.

“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”. (Surah Nahl, ayat 125).

Maksud dan perkataan mereka adalah sama. Perbedaan pada zahirnya hanyalah pada perkara-perkara terperinci dan cara pelaksanaannya.

Sebenarnya ada tiga makna yang kelihatan sebagai tiga jenis ilmu yang berbeda – dilakukan secara berbeda, tetapi menjurus kepada yang satu Sesuai dengan sunnah Rasulullah s.a.w. Ilmu dibagikan kepada tiga yang tidak ada seorang manusia boleh menanggung keseluruhan beban ilmu itu juga tidak berupaya mengamalkan dengan sekaliannya.

Bagian pertama ayat di atas “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana (hikmah)”, Sesuai dengan makrifat, zat dan permulaan kepada segala sesuatu, pemiliknya mestilah sebagaimana Nabi s.a.w beramal Sesuai dengannya. Ia hanya dikaruniakan kepada lelaki sejati yang berani, tentera kerohanian yang akan mempertahankan kedudukannya dan menyelamatkan ilmu tersebut. Nabi s.a.w bersabda, “Kekuatan semangat lelaki sejati mampu menggoncang gunung”. Gunung di sini menunjukkan keberatan hati setengah manusia. Doa lelaki sejati yang menjadi tentera kerohanian dimakbulkan. Bila mereka menciptakan sesuatu ia tercipta, bila mereka mau sesuatu hilang maka ia pun hilang.

“Dia karuniakan hikmah kepada sesiapa yang Dia kehendaki, dan Barangsiapa dikaruniakan hikmah maka sesungguhnya dia telah diberi kebajikan yang banyak”. (Surah Baqarah, ayat 269).

Jenis kedua ialah ilmu zahir yang disebut Quran sebagai “seruan yang baik”. Ia menjadi kulit kepada hikmah kebijaksanaan rohani. Mereka yang memilikinya menyeru kepada kebaikan, mengajar manusia berbuat baik dan meninggalkan larangan-Nya. Nabi s.a.w memuji mereka. Orang yang berilmu menyeru dengan lemah lembut dan baik hati, sementara yang jahil menyeru dengan kasar dan kemarahan.

Jenis ketiga ialah ilmu yang menyentuh kehidupan manusia di dalam dunia. Ia disebut sebagai ilmu agama (syariat) yang menjadi sarang kepada hikmah kebijaksanaan (makrifat). Ia adalah ilmu yang diperuntukkan kepada mereka yang menjadi pemerintah manusia; menjalankan keadilan ke atas sesama manusia; peraturan manusia sesama manusia. Bagian terakhir ayat Quran yang di atas tadi menceritakan tugas mereka “dan berbincanglah dengan mereka dengan cara yang lebih baik”. Mereka ini menjadi kenyataan kepada sifat Allah “al-Qahhar” Yang Maha Keras. Mereka berkewajipan menjaga peraturan di kalangan manusia selaras dengan hukum Tuhan, seumpama sabut melindungi tempurung dan tempurung melindungi isi.

Nabi s.a.w menasihatkan, “Biasakan dirimu berada di dalam majlis orang-orang arif, taatlah kepada pemimpin kamu yang adil. Allah Yang Maha Tinggi menghidupkan hati dengan hikmah seperti Dia jadikan bumi yang mati hidup dengan tumbuh-tumbuhan dengan menurunkan hujan”. Baginda s.a.w juga bersabda, “Hikmah adalah harta yang hilang bagi orang yang beriman, dikutipnya di mana saja ditemuinya”.

Malah perkataan yang diucapkan oleh manusia biasa datangnya daripada Loh Terpelihara menurut hukum Allah terhadap segala perkara dari awal hingga akhir. Loh itu disimpan pada alam tinggi pada akal asbab tetapi perkataan diucapkan menurut maqam seseorang. Perkataan mereka yang telah mencapai maqam makrifat adalah secara langsung dari alam tersebut, maqam kebersamaan dengan Allah. Di sana tidak ada perantaraan.

Ketahuilah bahwa semua akan kembali kepada asal mereka. Hati, zat, mesti dikejutkan; dijadikan ia hidup untuk mencari jalan kembali kepada asalnya yang suci murni. Ia harus mendengar seruan. Seseorang mesti mencari orang yang orang yang darinya seruan itu muncul, melaluinya tampak ada seruan. Itulah guru yang benar. Ini merupakan kewajipan bagi kita. Nabi s.a.w bersabda, “Menuntut ilmu wajib bagi setiap orang Islam lelaki dan perempuan”. Ilmu tersebut merupakan peringkat terakhir semua ilmu, itulah ilmu makrifat, ilmu yang akan membimbing seseorang kepada asalnya, yang benar (hakikat). Ilmu yang lain perlu menurut sekadar mana keperluannya. Allah menyukai mereka yang meninggalkan cita-cita dan angan-angan kepada dunia, kemuliaan dan kebesarannya, karena kepentingan duniawi ini menghalang seseorang kepada Allah.
قُل لا أَسـَٔلُكُم عَلَيهِ أَجرًا إِلَّا المَوَدَّةَ فِى القُربىٰ
“Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. (Surah Syura, ayat 23).
رَبَّنَا اَتِنَا فِى اْلدُنْيَاحَسَنَةً وَفِى اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ اْلنَّارِ. وَاْلحَمْدُ للهِ رَبّ ِاْلعَالَمِيْنَ
رِضَــا يَاالله ……….. الفاتحة