Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullahu!
Kita hidup di muka bumi ini tentunya dengan tujuan dan perjuangan serta cita-cita yang beraneka ragam.
Dari keragaman tujuan dan cita-cita atau kehendak itu secara garis besar yang kebanyakan manusia dambakan adalah tiga
perkara, yaitu:
- Kekuatan.
- Kekayaan.
- Kewibawaan/Kemulyaan.
Kita akan mencoba memandang tiga perkara ini dengan kacamata syariat. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Man ahabba an yakuna aqwannasi fal yatawakkal 'alallahi Ta'ala, waman ahabba an yakuna aghnannasi, falyakun bima fi yadillahi 'Azza wa Jalla awtsaqa minhu bima fi yadihi, waman ahabba an yakuna akramannaasi falyattaqillah 'Azza waa Jalla." (Rawahu Ibnu Abi Hathim).
Yang artinya, "Barangsiapa mencintai agar dia menjadi orang yang paling kuat di kalangan manusia, maka hendaklah dia bertawakal pada Allah Ta'ala. Barangsiapa mencintai agar dia menjadi orang yang paling kaya di kalangan manusia, maka hendaklah dia menjadikan apa yang ada pada sisi Allah lebih dia yakini dari apa yang ada pada usahanya, dan barangsiapa yang mencintai agar dia menjadi orang yang paling mulia di kalangan manusia maka hendaklah dia bertakwa pada Allah 'Azza waa Jalla."
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, disebut jawami'ul kalim, yaitu ucapannya ringkas padat tetapi maknanya luas. Kita dapat lihat pada hadis tadi betapa dalam dan luasnya rumusan yang Nabi saw sampaikan dan ajarkan pada kita.
Maka pada kesempatan ini saya akan mencoba menjelaskan sedapat mungkin untuk diri saya sendiri, jika bermanfaat untuk ikhwan dan akhwat sekalian alhamdulillah, mudah-mudahan menjadi bekal dalam perjalanan hidup kita ini.
Kalau kita lihat apa kaitan antara kuat dan tawakal, dan apa rahasianya? Untuk menjawab ini ada baiknya kita singgung sedikit tentang gambaran dari tawakal itu sendiri secara singkat saja. Dalam Alquran Allah menyatakan tentang tawakal.
Allah SWT berfirman yang atinya, "Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaq: 3).
Menafsirkan ayat tersebut, ar-Rabi' bin Khutsaim mengatakan, (mencukupkan) dari setiap yang membuat sempit manusia. Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan- telah menjelaskan makna tawakal. Di antaranya adalah Imam al-Ghazali, beliau berkata, "Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakali) semata."
Al-Allamah al-Manawi berkata, "Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang di tawakali." Menjelaskan makna tawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, al-Mulla Ali al-Qori berkata, "Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rezeki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati, dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah."
Dan jika kita bicara masalah tawakal, secara otomatis kita bicara usaha, dan daya upaya manusia itu sendiri juga dituntut oleh syari. Sebagaimana pemahaman Ahlu Sunnah terhadap wajibnya usaha dalam bertawakal. Hal tersebut seperti apa yang dinyatakan Imam Ahmad beliau berkata, "Dalam hadis tentang tawakal tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya usaha. Jadi, maksud hadis tersebut (tentang bagaimana burung yang mencari makan), bahwa seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan, dan usaha mereka, dan mereka mengetahui kebaikan (rezeki) itu di Tangan-Nya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut."
Jadi, kaitannya dengan kekuatan adalah bahwa orang yang bertawakal kepada Allah yang Maha Kuat, maka janji Allah akan mencukupi memberikan hamba-Nya setelah proses usaha dari hamba. Maka, akan timbul kekuatan pada orang tersebut, dan yang dimaksud dengan kuat di sini konotasinya adalah kekuatan jiwa, roh, hati, tentunya akan berpengaruh dengan kuatnya raga. Maka, marilah kita jadikan bentuk kekuatan pada diri kita dengan jalan tawakal yang benar.
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!
Yang kedua adalah menjadi orang yang paling kaya dalam pandangan syariat, kaya jiwanya sehingga merasa cukup dengan apa yang telah diberi Allah pada dirinya. Bukan hanya merasa mantap dengan kerja dan usahanya, berapa banyak manusia merasa telah berhasil mengumpulkan harta sehingga dia yakin apa yang ada dari usahanya adalah lebih berharga dan lebih banyak dari apa yang ada di sisi Allah. Hal ini seperti Qorun yang mati tertimbun hartanya. Jadi, jika seorang lebih yakin dan lebih percaya apa-apa yang di sisi Allah adalah lebih luas lebih berlimpah, dari apa yang ada dari usahanya. Maka, dia tidak akan bersikap "pd" terhadap usahanya, merasa langgeng dengan hartanya. Sikap ini yang Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam gambarkan dengan sabdanya, Laisa al-ghina ghinaa ul mali wal dzahabi, walakin alghina ghinaul qalbi. Atinya, "Bukanlah kekayaan itu semata emas dan harta, akan tetapi kekayaan adalah kayanya hati."
Maka, apabila seorang merasa cukup dengan apa yang dia usahakan dan apa yang telah Allah berikan padanya, dia syukuri banyak sedikitnya, dan dia tahu bahwa itu adalah dari Allah, bukan semata-mata usahanya, dan dia yakin harta yang ada itu bisa musnah kapan saja, bisa hilang setiap saat atas kehendak Allah, maka inilah gambaran orang yang kaya. Hal ini pernah dijalani para sahabat yang mulia, ketika perang Hunain, kaum yang baru masuk Islam atau muallaf, seorang mendapat bagian hampir ratusan onta atau kambing, tetapi kaum Muhajirin dan Anshar pulang ke Madinah membawa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid ra katanya, Rasulullah saw telah membagikan harta rampasan perang setelah memenangkan perang Hunain kepada orang-orang muallaf, yaitu baru saja memeluk Islam agar tetap dengan keislamannya. Kemudian baginda mendengar kabar golongan Ansar juga ingin mendapatkan apa yang didapati oleh orang-orang lain. Maka, Rasulullah saw berdiri dan menyampaikan khotbah kepada mereka. Setelah memuji Allah baginda bersabda, "Wahai golongan Ansar! Tidakkah aku bertemu kamu sekalian dalam keadaan sesat, lalu Allah tunjuki kamu dengan perantaraan
aku? Tidakkah aku menemui kamu sekalian dalam keadaan miskin, lalu Allah menjadikan kamu kaya dengan perantaraan aku? Tidakkah aku menemui kamu sekalian dalam keadaan berpecah-belah, lalu Allah menyatukan kamu dengan perantaraan aku?" Mereka berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih berhak mengungkit-ungkit." Rasulullah saw bersabda, "Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku." Mereka berkata, "Allah dan Rasul-Nya lebih berhak mengungkit-ungkit pemberian." Rasulullah saw bersabda, "Kamu boleh berkata begitu dan begini sedangkan perkara sebenarnya adalah begini dan begini. Seterusnya baginda menyebut beberapa perkara. Amru, yaitu perawi hadis menganggap perkara-perkara tersebut tidak perlu di hafal. Selanjutnya Rasulullah saw bersabda, "Tidakkah kamu sekalian ridha jika orang lain kembali dengan membawa kambing-kambing dan unta, sedangkan kamu kembali dengan membawa Rasulullah ke tempat kamu? Golongan Ansar itu seperti pakaian dalam sedangkan orang lain seperti pakaian luar (Artinya orang Ansarlah yang paling dekat di hati Nabi saw). Kalau tidak karena Hijrah, tentu aku adalah salah seorang di antara gologan Ansar. Seandainya orang-orang melalui lembah dan celah-celah, tentu aku akan melalui lembah dan celah-celah golongan Ansar. Kamu pasti akan didatangi satu keadaan yang tidak disukai selepas aku wafat. Oleh itu, bersabarlah hingga kamu bertemu denganku di sebuah telaga pada hari Kiamat." (HR Bukhari).
Itulah gambaran dari orang yang beriman yang mencukupkan kekayaan bagi mereka dengan menerima apa yang dari Allah, dan apa yang Nabi tunjukan.
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah!
Yang ketiga yaitu kehormatan kemuliaan atau kewibawaan. Banyak manusia mencari kewibawaan dengan cara pemaksaan, kekuatan, kedustaan, atau ancaman. Ketika Orde Baru, siapa yang tidak kenal dengan Suharto? Para menteri cium tangan, sungkem, kalangan militer takut, dan segan, apalagi rakyat biasa? Namun benarkah kewibawaan itu dapat bertahan lama? Kita dapat lihat sekarang, rakyat jelata saja berani sumpah serapah dengan Suharto. Kini dia disidang, diadili, sampai sekaang belum selesai-selesai, bahkan putra kesayangannya kini dipenjara. Itulah kewibawaan semu, sebagaimana juga yang dialami oleh Hitler, Attatruk dll.
Kemuliaan dan kewibawaan yang benar dan langgeng dasarnya adalah ketakwaan, maka siapa saja yang benar takwanya niscaya Allah akan berikan orang tersebut kemulian kehormatan dan kewibawaan sepanjang masa, sebagaimana Allah berikan pada Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. Nama beliau selalu disebut, didoakan, dan diingat. Begitu juga para sahabat, tabiin, kalangan ulama atau para pemimpin yang adil dan takwa.
Allah SWT befirman yang atinya, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Al-Hujurat: 13).