Monday, February 1, 2010

Zaman Kehancuran

Maasyiral Muslimin Rahimakumullahu!
Zaman sekarang ini memang merupakan zaman yang penuh dengan tantangan, ujian, dan cobaan. Terutama, bagi siapa saja yang telah mengikrarkan kalimat syahadat, yang ridha Allah sebagai Rabbnya, ridha dengan Muhammad saw sebagai rasul dan nabinya, dan ridha dengan Islam sebagai tuntunan hidup di dunia fana ini.

Dahulu ketika zaman tabi'in, kaum muslimin mendambakan kehidupan yang seperti zaman Nabi saw dan para sahabatnya, mereka mendambaakan kehidupan yang damai bersama Rasulullah dan para sahabatnya ra. Begitu juga setelah para tabi'in wafat, maka pengikut tabi'in juga mendambakan kehidupan zaman Nabi saw dengan para sahabatnya ra, dan juga kehiduupan zaman tabi'in. Hal ini wajar karena faktor keimanan dan ketakwaan mereka, sehingga kehidupan pada zamannya yang penuh dengan fitnah dan perpecahan menjadikan mereka rindu dengan kehidupan pada zaman Rasulullah saw, sahabat-sahabatnya serta tabi'in.

Hal ini memang telah dinyatakan oleh Nabi saw dalam salah satu hadis yang diriwayatkan dari Imran bin Husain ra katanya, Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya yang terbaik dari kalangan kamu ialah yang sezaman denganku, kemudian orang yang hidup setelahku, setelah itu orang yang hidup setelah mereka. Imran berkata, 'Aku tidak mengetahui mengapa Rasulullah saw menyebut setelah kurunnya sebanyak dua atau tiga kali. Setelah itu datang satu kaum yang di minta memberi penyaksiaan tetapi tidak diminta penyaksian, yang berkhianat sehingga tidak boleh dipercayai, yang suka bernazar tetapi tidak melaksanakannya dan suka akan kemewahaan." (HR Bukhari).

Zaman kita hidup sekarang ini telah jauh beribu tahun dari zaman ketika Rasulullah saw dan para sahabat ra, serta tabiin, juga tabiuttabi'iin. Rasulullah saw telah menggambarkan ciri-ciri manusianya, watak, dan sepak terjang kebanyakan mereka, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis di atas:


  1. Bersaksi terhadap sesuatu, padahal tidak diminta untuk bersaksi.
  2. Berkhianat dan tak dapat dipercaya.
  3. Suka bernazar, tetapi tak dilaksanakan.
  4. Suka kemewahan.

Bersaksi terhadap Sesuatu, padahal Tidak Diminta untuk Bersaksi

Berapa banyak kasus-kasus pengadilan yang menghadirkan saksi-saksi palsu, sehingga menyeret orang tidak bersalah ke penjara karena permintaan penguasa tertentu suatu negri. Kita tidak perlu menyebut kasus satu per satu, tetapi kalau kita cermati dalam media dan berita-berita yang ada dari beribu-ribu kasus yang ada, baik di negri kita maupun di beberapa negara, fenomena ini menunjukkan betapa banyaknya saksi-saksi bayaran atau saksi palsu untuk menjebloskan orang tertentu ke dalam penjara.

Berkhianat dan Tak Dapat Dipercaya

Budaya khianat sudah menjadi suatu yang sangat ngetrend sekarang ini, dan ini telah melanda di seluruh lapisan masyarakat. Yang paling parah dan berbahaya adalah di kalangan elit politik, hakim, atau kalangan agama. Sifat khianat yang dilakukan oleh mereka dampaknya lebih besar dari pada rakyat kecil. Maka, tidak heran kalau kita melihat di Indonesia, sudah sekian banyak presiden yang terpilih dan hampir semuanya terlibat kasus penghkhianatan amanat rakyat. Kalau pemimpin negara saja sudah terlibat kasus-kasus, tidak heran melanda elit politik yang lain. Fenomena seorang pejabat menjadi narapidana setelah lengser dari jabatannya menjadi hal yang biasa. Demikian juga apabila sifat khianat ini melekat dalam diri kalangan agama, maka bahayanya sangat besar bagi umatnya.

"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).


Suka Bernazar tetapi Tak Dilaksanakan

Dalam keadaan susah atau sakit atau miskin memang kadang manusia lebih dekat dengan Allah, sehingga kadang mudah mengucapkan nazar akan berbuat seuatu apabila kesusahan tersebut telah lepas. Namun, dalam keadaan kesusahan dan penderitaan telah lepas, banyak nazar-nazar yang terlupakan. Hal ini memang tergantung sejauh mana keimanan dan ketakwaan orang tersebut pada Allah, sehingga nazar yang telah diucapkan merupakan hutang yang harus dibayar pada Allah, selama nazarnya tidak bertentangan dengan syariat Allah.
Padahal, Rasulullah saw dan para sahabtanya sangat memperhatikan hal ini, sebagaimana yang digambarkan dalam hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Umar ra katanya, "Sesungguhnya Umar bin al-Khattab pernah berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku pernah bernazar pada zaman jahiliah untuk beriktikaf satu malam di Masjidil Haram'. Kemudian Baginda bersabda, 'Tunaikanlah nazarmu itu'." (HR Bukhari).

Bayangkan, nazar yang diucapkan pada zaman jahiliyah saja bila hal itu tak bertentangan dengan syariat harus dilaksanakan. Seharusnya kita introspeksi diri, apa saja nazar kita yang belum kita tunaikan, juga para pemimpin Islam dalam perjuangannya apa nazar mereka yang belum terlaksana. Para pemimpin partai politik Islam dan segala lapisan marilah kita ingat-ingat apakah nazar kita sudah kita laksanakan.

Suka Kemewahan

Fenomena ini sudah menjadi budaya yang mendarah daging yang melanda segala lapisan masyarakat, dan sangat dahsyat pengaruhnya pada perjalanan kehidupan manusia saat ini. Kemewahan yang sudah mengarah pada pemborosan dan mubazir yang menjadikan kebuasan suasana dalam mencari penghidupan. Kemewahan adalah suatu ajang perlombaan yang menjadi kesepakatan umum secara tak langsung. Sehingga, tuntutan hidup mewah ini memabawa seorang mudah terjerumus pada perbuatan yang tidak terpuji: KKN, pemerasan, penipuan , dll.

Kekayaan dunia yang berlimpah ruah ini sebenarnya sangat berlebih untuk jumlah manusia yang hidup dipermukaannya. Yang menjadikan adanya sekelompok manusia kelaparan, mati busung lapar, kemiskinan, dan kepapaan adalah mereka -mereka yang hidup boros, mewah, dan serakah, serta tak mau peduli dengan keadaan sekitarnya.
Sekian, semoga berrmanfaat.