Hari Raya Idul Adha sebentar lagi akan tiba. Bagi umat Islam yang mampu disyariatkan untuk menyembelih hewan kurban. Ibadah Kurban dilihat dari lafadznya tentu dimaksudkan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
Mendekatkan diri dengan cara bersyukur atas semua nikmat dan karunia yan telah diperoleh seorang hamba dari Allah SWT.
Berkurban berfungsi sebagai pembersih harta dan penghapus dosa.
Setiap tetes darah yang mengalir dari hewan yang kita kurbankan dapat menghapus dosa yang telah kita lakukan.
Selain itu, ibadah kurban juga bermakna silaturrahmi atau kasih sayang antara sesama umat islam, sebab pada hari itu daging kurban disalurkan kepada fakir miskin dan kaum dhuafa.
Ada banyak ayat maupun hadits yangmenjelaskan tentang kurban.
Allah SWT berfirman,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya:
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya."
(QS. ALi Imran: 92)
Bahkan dalam hadits Rasulullah SAW mengancam orang-orang islam yang telah mampu, namun enggan berkurban.
Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siapa yang telah ada kelapangan (kemampuan untuk berkurban) namun ia tidak mau berkurban, maka jangan dekati tempat shalat kami."
Dalil Al Qur'an dan hadits di atas sudah cukup kiranya menjadi motivasi dan sumber inspirasi bagi umat islam yang beriman untuk bergegas melakukan ibadah kurban.
Monday, October 31, 2011
Sunday, October 30, 2011
Renungan buat diriku ,dirimu dan kita semua
Kepunyaanmu adalah sempurna, namun aku tidak sesekali akan menukarnya dengan hatimu. Andai saja kau lihat wahai mukmin, setiap bekas luka di hatiku ini mewakili setiap seorang yang telah aku berikan cintaku buat mereka. Aku merobek sepotong hatiku dan memberikannya kepada mereka, dan setiap kali itu juga mereka memberiku sepotong dari hati mereka untuk mengisi tempat kosong di hatiku ini, tetapi karena potongan-potongan itu tidak tepat, lalu menyebabkan ketidaksempurnaannya, bahkan ia kelihatan kasar dan tidak rata.
“Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu, pembantu Rasulullah SAW, dari Rasulullah, Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ia bermaksud, memberi sepenuh hati. 100%. Yang terbaik!
Sebagaimana kita menginginkan yang terbaik buat diri sendiri, begitulah juga sewajarnya yang kita lakukan/berikan kepada orang di sekitar.
( Renungan buat diriku ,dirimu dan kita semua )
Ketika Sang Wanita Bertanya
Saat ada seorang wanita bertanya kepada kekasihnya
Jika aku menjadi bunga
Kamu akan menjadi apa
Sang lelaki pun menjawab matahari
Lalu sang wanita pun bertanya lagi
Jika aku menjadi bulan maka
Kamu akan menjadi apa
Sang lelaki pun menjawab matahari
Lalu wanita itu kembali bertanya
Jika aku menjadi seekor burung phonix
Kamu akan menjadi apa
Sang lelaki pun menjawab matahari
Lalu sang wanita pun pergi meninggal laki-laki itu
Karena dia telah berubah tiga kali
Namun laki-laki itu tidak mau berubah
Seperti apa yang dia inginkan
Namun sang lelaki pun berkata setelah kekasihnya pergi
Sang lelaki pun tahu dia tidak bisa menjadi seekor lebah
Yang memiliki sekuntum bunga terdebut
Dia hanya bisa memberikan pancaran sinar kehidupan
Bagi bunga tersebut
Dan diapun tidak bisa menjadi sebuah bintang ataupun langit
Yang selalu menemani bulan
Dia hanya bisa menjadi matahari yang menyinari sang bulan
Agar sang bulan selalu nampak indah
Dan dia tidak bisa menjadi seekor Naga
Yang selalu setia menemani sang Phonix
Dia hanya sebuah matahari yang memberi kekuatan dan kehangatan
Pada burung phonix tersebut.
Jika aku menjadi bunga
Kamu akan menjadi apa
Sang lelaki pun menjawab matahari
Lalu sang wanita pun bertanya lagi
Jika aku menjadi bulan maka
Kamu akan menjadi apa
Sang lelaki pun menjawab matahari
Lalu wanita itu kembali bertanya
Jika aku menjadi seekor burung phonix
Kamu akan menjadi apa
Sang lelaki pun menjawab matahari
Lalu sang wanita pun pergi meninggal laki-laki itu
Karena dia telah berubah tiga kali
Namun laki-laki itu tidak mau berubah
Seperti apa yang dia inginkan
Namun sang lelaki pun berkata setelah kekasihnya pergi
Sang lelaki pun tahu dia tidak bisa menjadi seekor lebah
Yang memiliki sekuntum bunga terdebut
Dia hanya bisa memberikan pancaran sinar kehidupan
Bagi bunga tersebut
Dan diapun tidak bisa menjadi sebuah bintang ataupun langit
Yang selalu menemani bulan
Dia hanya bisa menjadi matahari yang menyinari sang bulan
Agar sang bulan selalu nampak indah
Dan dia tidak bisa menjadi seekor Naga
Yang selalu setia menemani sang Phonix
Dia hanya sebuah matahari yang memberi kekuatan dan kehangatan
Pada burung phonix tersebut.
Fatwa Kafirnya Syiah
Pendapat Tentang Kekafiran Syiah
Yang berpendapat bahwa Syi'ah itu kafir adalah para Imam-Imam Besar Islam, seperti: Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Bukhari dan lain-lain. Berikut ini kata-kata dari fatwa para Imam dan Ulama Islam mengenai golongan Rafidhah yang disebut dengan Itsna Asy'ariyah dan Ja'fariyah.
Pernyataan pada Makalah-makalah Para Ulama Terkenal dan pada Buku-buku Induk Mereka.
Akan dimulai dengan mengutarakan fatwa Imam Malik, kemudian Imam Ahmad, lalu Imam Bukhari. Selanjutnya saya akan utarakan fatwa Imam-imam yang lain sesuai dengan masa hidup mereka. Saya memilih fatwa para imam yang besar, atau para ulama yang hidup semasa dengan golongan Rafidhah (Syi'ah) yang tinggal dalam satu negeri atau dari kitab-kitab mereka dan dari ulama Islam yang mempelajari madzhab mereka.
Imam Malik:
Al Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar al Marwadzi, katanya: "Saya mendengar Abu Abdullah berkata, bahwa Imam Malik berkata: "Orang yang mencela[1] shahabat-shahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam."[2]
Ibnu katsir berkata - dalam kaitan dengan firman Allah surah Al-Fath ayat 29:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Ia berkata: "Dari ayat ini, dalam satu riwayat dari Imam Malik, ia mengambil satu kesimpulan bahwa golongan Rafidhah, yaitu orang-orang yang membenci para shahabat Nabi saw adalah kafir. Beliau berkata: "Karena mereka ini membenci para shahabat. Barangsiapa membenci para shahabat, maka ia adalah kafir berdasarkan ayat ini." Pendapat ini disepakati oleh segolongan ulama.[3]
Al Qurthubi berkata: "Sungguh ucapan Imam Malik itu benar dan penafsirannya pun benar. Siapa pun yang menghina seseorang Shahabat atau mencela periwayatannya,[4] maka ia telah menentang Allah, Tuhan seru sekalian alam dan membatalkan syariat kaum Muslimin.[5]
Imam Ahmad:
Beberapa riwayat diriwayatkan orang darinya tentang pendapat beliau yang mengkafirkan golongan Syi'ah.
Al Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar al Marwadzi, ia berkata: "Saya bertanya kepada Abu Abdullah tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Jawabnya: Saya berpendapat bahwa dia bukan orang Islam."[6]
Al Khalal berkata: "Abdul Malik bin Abdul Hamid menceritakan kepadaku, katanya: "Saya mendengar Abu Abdullah berkata: "Barangsiapa mencela (Shahabat) maka aku khawatir ia menjadi kafir seperti halnya orang-orang Rafidhah. Kemudian beliau berkata: "Barangsiapa mencela Shahabat Nabi saw maka kami khawatir dia keluar dari Islam (tanpa disadari)."[7]
Ia berkata: "Abdullah bin Ahmad bin Hambal bercerita kepada kami, katanya: "Saya bertanya kepada ayahku perihal seseorang yang mencela salah seorang dari Shahabat Nabi Saw. Maka jawabnya: "Saya berpendapat ia bukan orang Islam".[8]
Tersebut dalam kitab As Sunnah karya Imam Ahmad, mengenai pendapat beliau tentang golongan Rafidhah: "Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan diri dari shahabat Muhammad saw dan mencelanya, menghinanya serta mengkafirkannya kecuali hanya empat orang saja yang tiada mereka kafirkan, yaitu: Ali, Ammar, Miqdad dan Salman. Golongan Rafidhah ini sama sekali bukan Islam."[9]
Syi'ah Itsna Asy'ariyah mengkafirkan para shahabat, kecuali beberapa orang yang jumlahnya tidak melebihi jari-jari satu tangan. Mereka melaknat shahabat, baik dalam doa, saat berziarah, di tempat-tempat pertemuan mereka maupun di dalam kitab-kitab induk mereka. Mereka mengkafirkan para shahabat sampai hari Kiamat.[10]
Ibnu Abdil Qawiy berkata: "Imam Ahmad telah mengkafirkan orang-orang yang menjauhkan diri dari shahabat, orang yang mencela Aisyah, ummul Mukminin dan menuduhnya berbuat serong, padahal Allah telah mensucikannya dari tuduhan tersebut seraya beliau membaca ayat: "Allah menasehati kamu, agar kamu jangan mengulang hal seperti itu untuk selama-lamanya, jika kamu benar-benar beriman."[11]
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan di dalam kitab Majmu' al Fatawa, bahwa pernyataan mengkafirkan golongan Rafidhah seakan-akan ada perbedaan antara Imam Ahmad dan lain-lainnya.[12]
Pernyataan-pernyataan Imam Ahmad yang tersebut di atas dengan jelas memuat kata mengkafirkan mereka. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah memperingatkan duduk persoalan pendapat yang tidak mengkafirkan golongan Rafidhah (Syi'ah), karena perbuatan mereka mencela Shahabat. Dengan demikian batallah anggapan
tentang pernyataan Imam Ahmad yang seakan-akan bertentangan - kafir tidaknya Syi'ah.
Selanjutnya Ibnu Taimiyyah berkata: "Adapun seseorang yang mencela shahabat dengan kata-kata yang tidak sampai mengingkari kejujuran mereka dan agama mereka, seperti mengatakan bahwa ada shahabat yang bakhil, atau penakut, atau kurang ilmunya, atau tidak zuhud dan sejenisnya, maka orang semacam ini wajib mendapatkan pengajaran dan hukuman. Tetapi kita tidak menggolongkannya sebagai orang kafir, semata-mata karena perbuatan tersebut. Demikianlah yang dimaksud oleh pernyataan kalangan ulama yang tidak mengkafirkan orang-orang yang mencela shahabat.[13]
Maksudnya, barangsiapa mencela para shahabat dengan kata-kata yang mengingkari kejujuran mereka dan agama mereka, maka ia digolongkan sebagai orang kafir oleh sebagian kalangan ulama. Kalau begitu, lalu bagaimana halnya dengan orang yang menyatakan bahwa para shahabat telah murtad?
Al Bukhari (wafat tahun 256 H)
Ia berkata: "Bagi saya sama saja, apakah aku shalat dibelakang Imam beraliran Jahm atau Rafidhah, atau aku shalat dibelakang Imam Yahudi atau Nashrani. Dan (seorang muslim) tidak boleh memberi salam kepada mereka, mengunjungi mereka ketika sakit, kawin dengan mereka, menjadikan mereka sebagai saksi dan memakan sembelihan mereka."[14]
Abdur Rahman bin Mahdi [15]
Bukhari berkata, Abdur Rahman Mahdi berkata: "Dua hal ini (mengingkari kejujuran shahabat dan menganggap mereka murtad) merupakan agama bagi golongan Jahmiyah dan Rafidhah."[16]
Al Faryabi [17]
Al Khalal meriwayatkan, katanya: "Telah menceritakan kepadaku Harb bin Ismail al Kirmani, katanya: "Musa bin Harun bin Zayyad menceritakan kepada kami, katanya: "Saya mendengar al Faryabi dan seseorang yang bertanya kepadanya tentang orang yang mencela Abu Bakar. Jawabnya: "Dia Kafir." Lalu ia berkata: "Apakah orang semacam itu boleh dishalatkan jenazahnya?" Jawabnya: "Tidak." Dan aku bertanya pula kepadanya: "Apa yang dilakukan terhadapnya, padahal orang itu juga telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallah?" Jawabnya: "Jangan kamu sentuh (Jenazahnya) dengan tangan kamu, tetapi kamu angkat dengan kayu sampai kamu menurunkan ke liang lahatnya."[18]
Ahmad bin Yunus[19]
Beliau berkata: "Sekiranya seorang Yahudi menyembelih seekor binatang dan seorang Rafidhi (Syi'i) juga menyembelih seekor binatang, niscaya saya hanya memakan sembelihan si Yahudi, dan aku tidak mau makan sembelihan si Rafidhi. Karena dia telah murtad dari Islam."[20]
Abu Zur'ah ar Razi [21]
Beliau berkata: "Bila anda melihat seseorang merendahkan (mencela) salah seorang shahabat Rasulullah saw maka ketahuilah, bahwa orang tersebut adalah Zindiq. Karena ucapannya itu berakibat membatalkan Al Qur'an dan As Sunnah."[22]
Ibnu Qutaibah [23]
Beliau berkata: bahwa sikap berlebihan golongan Syi'ah dalam mencintai Ali tergambar di dalam perilakunya dengan melebihkan beliau di atas orang-orang yang dilebihkan oleh Nabi dan para Shahabatnya, anggapan mereka, bahwa Ali sebagai sekutu Nabi Saw dalam kenabian, dan para Imam dari keturunannya mempunyai pengetahuan tentang hal-hal yang ghaib. Pandangan seperti itu dan banyak hal-hal rahasia lainnya menjadikannya sebagai perbuatan dusta dan kekafiran, kebodohan dan kedunguan yang keterlaluan.[24]
Abdul Qadir al Baghdadi [25]
Beliau berkata: "Golongan Jarudiyah, Hisyamiyah, Jahmiyah, Imamiyah sebagai golongan pengikut hawa nafsu yang telah mengkafirkan Shahabat-shahabat terbaik Nabi, maka menurut kami mereka adalah kafir. Menurut kami mereka tidak boleh dishalatkan dan tidak sah berma'mum shalat dibelakang mereka."[26]
Beliau berkata: "Mengkafirkan mereka adalah suatu hal yang wajib, karena mereka menyatakan Allah bersifat al Badaa' (tidak tahu apa yang akan terjadi). Mereka beranggapan, bahwa Allah apabila menghendaki sesuatu, maka Allah mengetahuinya setelah sesuatu itu muncul. Mereka pun beranggapan, bahwa Allah dalam memerintahkan sesuatu (tidak tahu baik-buruknya), bila kemudian muncul (buruknya), maka dibatalkannya perintah itu.
Kami apabila melihat dan mendengar sesuatu sifat kekafiran senantiasa sifat itu melekat pada golongan Rafidhah (Syi'ah).[27]
Al Qadhi Abu Ya'la [28]
Beliau berkata: "Adapun hukum terhadap orang Rafidhah", jika ia mengkafirkan shahabat atau menganggap mereka fasik yang berarti mesti masuk neraka, maka orang semacam ini adalah kafir."[29]
Padahal golongan Rafidhah (Syi'ah) sebagaimana terbukti di dalam pokok-pokok ajaran mereka adalah orang-orang yang mengkafirkan sebagian besar Shahabat Nabi.
Ibnu Hazm
Beliau berkata: "Pendapat golongan Nashrani yang menyatakan bahwa golongan Rafidhah (Syi'ah) menuduh Al Qur'an telah diubah, maka sesungguhnya dakwaan semacam itu menunjukkan golongan Syi'ah adalah bukan muslim.[30] Karena golongan ini muncul pertama kali dua puluh lima (25) tahun setelah wafatnya Rasulullah. Ia merupakan golongan yang melakukan kebohongan dan kekafiran seperti yang dilakukan kaum Yahudi dan Nashrani."[31]
Beliau berkata: "Salah satu pendapat golongan Syi'ah Imamiyah, baik yang dahulu maupun sekarang ialah Al Qur'an itu sesungguhnya telah diubah."[32]
Kemudian beliau berkata: "Orang yang berpendapat, bahwa Al Qur'an ini telah diubah adalah benar-benar kafir dan men-dustakan Rasulullah Saw.[33]
Beliau berkata: "Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan semua kelompok umat Islam Ahlus Sunnah, Mu'tazilah, Murji'ah, Zaidiyah, bahwa adalah wajib berpegang kepada Al Qur'an yang biasa kita baca ini " Dan hanya golongan Syi'ah ekstrim sajalah yang menyalahi sikap ini. Dengan sikapnya itu mereka menjadi kafir lagi musyrik, menurut pendapat semua penganut Islam. Dan pendapat kita sama sekali tidak sama dengan mereka (Syi'ah). Pendapat kita hanyalah sejalan dengan sesama pemeluk agama kita."[34]
Beliau berkata pula: "Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah tidak pernah menyembunyikan satu kata pun atau satu huruf pun dari syariat Ilahi. Saya tidak melihat adanya keistimewaan pada manusia tertentu, baik anak perempuannya atau keponakan laki-lakinya atau istrinya atau shahabatnya, untuk mengetahui sesuatu syariat yang disembunyikan oleh Nabi terhadap bangsa kulit putih, atau bangsa kulit hitam atau penggembala kambing. Tidak ada sesuatu pun rahasia, perlambang ataupun kata sandi di luar apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah kepada umat manusia. Sekiranya Nabi menyembunyikan sesuatu yang harus disampaikan kepada manusia, berarti beliau tidak menjalankan tugasnya. Barang siapa beranggapan semacam ini, berarti ia kafir.[35]
Al Asfaraayaini [36]
Telah diriwayatkan beberapa macam aqidah Syi'ah, misalnya: Mereka mengkafirkan shahabat , Al Qur'an telah diubah dari keasliannya dan terdapat tambahan serta pengurangan, mereka menantikan kedatangan imam ghaib mereka yang akan muncul untuk mengajarkan syariat kepada mereka " beliau berkata: "Semua kelompok Syi'ah Imamiyah telah sepakat pada keyakinan sebagaimana kami sebutkan di atas." Kemudian beliau menyatakan tentang hukum mereka sebagaimana dikatakannya: "Dalam keyakinan mereka semacam itu sama sekali bukanlah merupakan ajaran Islam dan hanya berarti suatu kekafiran. Karena di dalam keyakinan semacam itu tak ada lagi sedikit pun ajaran Islam tersisa."[37]
Abu Hamid Al Ghazali [38]
Beliau berkata: Karena golongan Rafidhah[39] dalam memahami Islam itu lemah (dangkal), maka mereka melakukan kedurhakaan dengan membuat aqidah al Badaa'. Meriwayatkan dari Ali, bahwa beliau tidak mau menceritakan hal yang ghaib, karena khawatir diketahui oleh Allah, sehingga Allah akan mengubah-nya.[40] Mereka pun meriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad, bahwa ia berkata: "Allah tidak mengetahui sesuatu kejadian dimasa datang sebagaimana hanya pada peristiwa Ismail, yaitu peristiwa penyembelihannya.[41] " Aqidah semacam ini benar-benar suatu kekafiran, dan menganggap Allah itu bodoh dan mudah terpengaruh. Hal semacam ini mustahil, karena Allah itu ilmu-Nya Maha meliputi segala sesuatu.[42]
Al-Ghazali berkata: "Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar -semoga Allah meridhai mereka- maka ia telah menentang dan membinasakan ijma' kaum muslimin. Padahal tentang diri mereka (para shahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta mengukuhkan atas kebenaran kehidupan agama mereka, keteguhan aqidah mereka dan kelebihan mereka dari manusia-manusia lain. Kemudian kata beliau: "Bilamana riwayat yang begini banyak telah sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para shahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena ia telah mendustakan Rasulullah. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka menurut ijma' kaum muslimin, orang tersebut adalah kafir.[43]
Al Qadhi 'Iyadh [44]
Beliau berkata: "Kita telah menetapkan kekafiran orang-orang Syi'ah yang telah berlebihan dalam keyakinan mereka, bahwa para imam mereka lebih mulia daripada Nabi."[45]
Begitu pula dihukum kafir orang yang mengatakan, bahwa Ali dan para imam sesudahnya mempunyai wewenang kenabian yang sama dengan Nabi Saw. Setiap imam Syi'ah menempati derajat sama dengan Nabi Saw. Di dalam hal kenabian dan sumber penetapan agama. Beliau menyatakan, bahwa mayoritas golongan Syi'ah berkeyakinan seperti ini.[46] Begitu juga seseorang yang mengaku-ngaku memperoleh wahyu, sekalipun tidak mengaku sebagai Nabi[47].
Beliau berkata: "Kami juga mengkafirkan siapa saja yang mengingkari Al Qur'an, walaupun hanya satu huruf atau menyatakan ada ayat-ayat yang diubah atau ditambah di dalamnya, sebagaimana keyakinan golongan Bathiniyyah dan Isma'iliyyah.[48]
As Sam'aani [49](Wafat, 562 H)
Beliau berkata: "Umat Islam telah bersepakat untuk mengkafirkan golongan imamiyah (Syi'ah) karena mereka berkeyakinan, bahwa para shahabat telah sesat, mengingkari ijma' mereka dan menisbatkan hal-hal yang patut bagi mereka."[50]& [51]
Ar Rozi [52]
Ar Rozi menyebutkan, bahwa shahabat-shahabatnya dari aliran Asyairah mengkafirkan golongan Rafidhah (Syi'ah), karena tiga alas an:
Pertama: karena mengkafirkan para pemuka kaum muslimin (para shahabat Nabi). Setiap orang yang mengkafirkan seseorang muslim, maka dia adalah kafir. Dasarnya adalah sabda Nabi Saw (artinya): "Barangsiapa berkata kepada saudaranya, hai kafir!, maka sesungguhnya salah seseorang dari keduanya atau lebih patut sebagai orang kafir."[53]
Dengan demikian mereka (golongan Syi'ah) otomatis menjadi kafir.
Kedua: mereka telah mengkafirkan suatu umat (kaum) yang telah ditegaskan oleh Rasulullah sebagai orang-orang terpuji dan memperoleh kehormatan (para shahabat Nabi).
Dengan demikian golongan Syi'ah menjadi kafir, karena mendustakan apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah.
Ketiga: Umat Islam telah ijma' menghukum kafir siapa saja yang mengkafirkan para tokoh dari kalangan shahabat[54]
Ibnu Taimiyyah
Beliau berkata: "Barang siapa beranggapan bahwa Al Qur'an dikurangi ayat-ayatnya atau ada yang disembunyikan, atau beranggapan bahwa Al Qur'an mempunyai penafsiran-penafsiran batin, maka gugurlah amal-amal kebaikannya. Dan tidak ada perselisihan pendapat tentang kekafiran orang semacam ini"
Barang siapa beranggapan para shahabat Nabi itu murtad setelah wafatnya Rasulullah - kecuali tidak lebih dari sepuluh orang - atau mayoritas dari mereka sebagai orang fasik, maka tidaklah diragukan lagi, bahwa orang yang semacam ini adalah kafir. Karena dia telah mendustakan penegasan Al Qur'an yang terdapat di dalam berbagai ayat mengenai keridhaan dan pujian Allah kepada mereka. Bahkan kekafiran orang semacam ini, adakah orang yang meragukannya? Sebab kekafiran orang semacam ini sudah jelas. Sebab jika pernyataan orang semacam itu mengandung pengertian, bahwa orang-orang yang telah menyampaikan riwayat Al Qur'an dan sunnah Nabi adalah orang-orang kafir atau fasik, padahal ayat berikut ini menegaskan: "Kamu adalah sebaik-baik umat yang ditampilkan kepada semua umat manusia".[55] Begitu juga periode mereka merupakan sebaik-baik periode sejarah manusia, namun dikatakan, bahwa sebagian besar dari mereka adalah orang-orang kafir atau fasik. Ini berarti bahwa umat ini (umat Islam) adalah sejahat-jahat umat dan pendahulunya adalah sejelek-jelek manusia. Dan orang yang beranggapan seperti ini adalah kafir, sebab mengacaukan atau merusak citra agama Islam.[56]
Syeikhul Islam berkata: "Mereka ini lebih jahat dari sebagian besar golongan pengikut hawa nafsu dan lebih patut diperangi daripada golongan Khawarij.[57]
Mereka itu telah kafir terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasulullah, yang hanya Allah-lah mengetahui berapa banyak ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya. Golongan ini terkadang mendustakan hadits-hadits yang sah dari Rasulullah dan terkadang mendustakan ayat-ayat Al Qur'an.
Sungguh, Allah telah menyatakan pujian kepada para shahabat di dalam Al Qur'an, ridha kepada mereka dan mengampuni mereka, namun orang-orang Syi'ah mengingkari kebenaran ini. Allah telah menyatakan di dalam Al Qur'an adanya keharusan berjum'ah dan keharusan berjihad serta taat kepada ulil amri, tetapi mereka mengingkari hal ini.
Allah mengatakan di dalam kitab Al Qur'an bahwa sesama kaum mukminin saling mengayomi, saling mencintai, mendamaikan perselisihan sesama mereka. Tetapi golongan Syi'ah mengingkari semua ini.
Allah menyatakan di dalam Al Qur'an larangan membantu golongan kafir dan saling mencintai sesama mereka. Tetapi golongan Syi'ah melanggarnya.
Allah menyebutkan di dalam Al Qur'an haramnya menumpahkan darah orang Islam, merusak harta dan kehormatan mereka, mengharamkan menggunjing mereka, mengolok-olok dan member nama yang tak baik, tetapi golongan Syi'ah ternyata merupakan manusia yang paling depan dalam menghalalkan semua ini.
Allah menyebutkan di dalam Al Qur'an perintah berjama'ah dan bersatu padu, melarang bergolong-golongan dan bercerai-berai, tetapi Syi'ah jauh menyimpang dari ketetapan ini.
Allah menyebutkan di dalam kitab-Nya agar taat kepada Rasulullah, mencintainya dan mengikuti hukumnya, tetapi Syi'ah mengingkarinya.
Allah menyebutkan di dalam kitab-Nya hak-hak isteri-isteri Rasulullah, tetapi Syi'ah mendurhakainya.
Allah menyatakan di dalam Al Qur'an tentang ketauhidan-Nya, ketunggalan-kekuasaan-Nya, hak tunggal bagi-Nya, untuk disembah, tiada sesuatu apapun yang menjadi sekutu-Nya, tetapi Syi'ah mengingkarinya. Mereka telah melakukan kesyirikan, karena mereka merupakan manusia yang paling hebat dalam mengagungkan kuburan sehingga menjadikannya sebagai sesembahan selain Allah.
Allah menyebutkan di dalam kitan-Nya, bahwa Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segalanya, Pencipta segalanya dan Pemilik segala kekuatan, tetapi Syi'ah kafir kepadanya.
Kemudian Syeikhul Islam berkata: "Barang siapa beranggapan baik dia dikatakan berilmu atau lain sebagainya, bahwa pembenaran memerangi golongan Syi'ah diqiyaskan dengan hukum memerangi para pemberontak terhadap pemerintahan Islam yang sah, karena mereka melakukan takwil yang dapat ditolerir,[58] Sesungguhnya dia adalah keliru lagi jahil terhadap hakekat syariat Islam, karena golongan Syi'ah ini telah mengingkari syariat dan sunnah Rasulullah sehingga ia lebih jahat daripada golongan khawarij yang berpendapat bahwa umat Islam bebas untuk mempunyai imam atau tidak. Padahal golongan Syi'ah ini tidaklah menggunakan takwil yang dapat ditolerir, karena takwil jenis ini boleh digunakan hanya apabila tidak ada nash yang tegas, misalnya para ulama yang berbeda pendapat mengenai sumber-sumber ijtihad, sehingga mereka menggunakan takwil jenis tersebut. Sedangkan golongan Syi'ah ini bukanlah mengikuti takwil yang dapat ditolerir yang biasa digunakan para ulama di dalam memahami Al Qur'an, As Sunnah dan Ijma', tetapi menggunakan takwil yang digunakan oleh umat Yahudi dan Nashrani. Bahkan takwil yang digunakan golongan Syi'ah adalah takwil pengikut hawa nafsu yang paling jahat.[59]
Tetapi, Syeikhul Islam mengkafirkan golongan yang punya pendapat semacam ini, dengan syarat dia telah mengetahui dalil yang benar dan risalah Islam telah sampai kepadanya. Oleh karena itu terhadap kasus golongan Syi'ah yang telah tertangkap (oleh pemerintah Islam), beliau member fatwa sebagai berikut:
Fatwa Syekhul Islam Tentang Golongan Syi'ah Yang Telah Dikalahkan
Beliau berkata: "Diketahui bahwa dahulu di sebuah pantai negeri Syiria terdapat sebuah gunung besar yang dihuni oleh ribuan kaum Syi'ah yang masih senang membunuh dan merampas harta orang. Dahulu pun mereka telah menewaskan banyak orang dan merampok harta mereka. Pada tahun terjadinya perang Ghazan[60] kaum Muslimin menyerbu mereka, sehingga dapat merampas kuda, senjata serta memperoleh tawanan.
Mereka ini dijual kepada golongan kafir dan Nashrani di Cyprus. Kaum Muslimin menangkap tentara Syi'ah yang lewat di depan mereka. Kaum Syi'ah ini jauh lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada musuh-musuh yang lain. Sebagian tokoh mereka memanggul bendera Nashrani. Bila dia ditanya, manakah yang lebih baik, kaum Muslimin atau kaum Nashrani? Jawabnya: "Kaum Nashrani!" Dan kalau dia ditanya: "Pada hari kiamat kelak kamu dikumpulkan bersama siapa?" Jawabnya: "Bersama kaum Nashrani." Kaum Syi'ah inilah yang telah menyerahkan kepada kaum Nashrani sebagian dari negeri-negeri umat Islam.
Beliau berkata: "Diketahui bahwa dahulu di sebuah pantai negeri Syiria terdapat sebuah gunung besar yang dihuni oleh ribuan kaum Syi'ah yang masih senang membunuh dan merampas harta orang. Dahulu pun mereka telah menewaskan banyak orang dan merampok harta mereka. Pada tahun terjadinya perang Ghazan[60] kaum Muslimin menyerbu mereka, sehingga dapat merampas kuda, senjata serta memperoleh tawanan.
Mereka ini dijual kepada golongan kafir dan Nashrani di Cyprus. Kaum Muslimin menangkap tentara Syi'ah yang lewat di depan mereka. Kaum Syi'ah ini jauh lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada musuh-musuh yang lain. Sebagian tokoh mereka memanggul bendera Nashrani. Bila dia ditanya, manakah yang lebih baik, kaum Muslimin atau kaum Nashrani? Jawabnya: "Kaum Nashrani!" Dan kalau dia ditanya: "Pada hari kiamat kelak kamu dikumpulkan bersama siapa?" Jawabnya: "Bersama kaum Nashrani." Kaum Syi'ah inilah yang telah menyerahkan kepada kaum Nashrani sebagian dari negeri-negeri umat Islam.
Walaupun demikian, tatkala sebagian komandan pasukan Islam minta nasehat (kepadaku) tentang peperangan dengan kaum Syi'ah, kemudian aku tulis jawaban singkat berkenaan dengan perang yang mereka lakukan[61]" lalu kami pergi ke perkemahan mereka. Kemudian datanglah kepadaku beberapa orang diantara mereka dan terjadilah tukar pikiran serta perdebatan panjang antara aku dengan mereka. Kemudian tatkala kaum Muslimin berhasil menaklukkan negeri mereka (Syi'ah) dan menangkap sebagian dari mereka, maka saya melarang tentara Islam untuk membunuh mereka, menawan mereka, tetapi kami pindahkan mereka ke berbagai daerah wilayah Islam, agar tidak dapat bersatu kembali."[62]
Demikianlah fatwa dari seorang tokoh Ahli Sunnah pada zamannya. Jelaslah, bahwa Ahli Sunnah mengikuti kebenaran dari Tuhan mereka yang telah dibawa oleh Rasul-Nya. Mereka tidak begitu saja mengkafirkan orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka di dalam mencari kebenaran. Bahkan mereka ini adalah orang yang lebih mengetahui kebenaran dan lebih mengasihi manusia. Hal ini berbeda sekali dengan pengikut hawa nafsu yang suka mengada-ada pendapat dan mengkafirkan siapa saja yang berbeda pendapat dengan mereka dalam mencari kebenaran.[63]
Ibnu Katsir[64]
Ibnu Katsir telah mengetengahkan hadits-hadits yang sah di dalam as Sunnah dan berisikan sanggahan terhadap anggapan adanya ayat Al Qur'an dan Washiyat kepada Ali yang diklaim oleh golongan Syi'ah. Kemudian beliau memberi komentar sebagai berikut: "Sekiranya masalah (washiyat) sebagaimana yang mereka perkirakan itu ada, niscayalah tidak seorang shahabat Nabi pun yang akan mengingkari. Sebab mereka ini adalah manusia yang paling taat kepada Allah dan Rasul-Nya, baik selama beliau masih hidup maupun sesudah beliau wafat. Karena itu sama sekali tidak benar, kalau mereka berani mengambil ketetapan mendahulukan orang yang tidak didahulukan oleh Rasulullah dan mengakhirkan orang yang didahulukan oleh Rasulullah dengan ketetapannya. Barangsiapa menganggap para shahabat yang diridhai oleh Allah dengan tanggapan semacam ini, berarti menganggap semua shahabat berlaku durhaka, dan bersepakat menentang Rasulullah serta melawan putusan dan ketetapan beliau. Siapa saja yang berani berpendapat semacam ini, berarti dia telah melepaskan tali simpul Islam, kafir terhadap ijma' seluruh umat Islam. Dan menumpahkan darah orang semacam ini lebih halal daripada membuang khamr.[65]
Dengan sah terbukti dari pendirian golongan Syi'ah, sebagaimana tersebut di atas, bahwa mereka mempunyai anggapan, sesungguhnya Rasulullah Saw telah memberikan suatu dekrit untuk Ali, tetapi para shahabat menolak dekrit tersebut, dan karena itu mereka murtad. Inilah pendapat yang dilontarkan oleh Syi'ah dewasa ini dan para leluhur mereka dahulu.[66]
Abu Hamid Muhammad al Muwaddasi
Sesudah beliau membicarakan berbagai macam kelompok Syi'ah dan aqidahnya, lalu beliau berkata: "Buat orang Islam yang punya pemikiran jernih, maka tidaklah ia ragu bahwa sebagian besar dari permasalahan aqidah kaum Syi'ah yang mempunyai berbagai macam aliran sebagaimana telah kami kemukakan pada bab sebelumnya, jelas adalah kekafiran yang nyata, dan pengingkaran yang timbul karena kebodohan yang busuk, sehingga membuat orang yang mengerti urusan mereka berani mengkafirkan mereka dan menghukumi mereka keluar dari agama Islam."[67]
Abul Mahaasin Yusuf al Waasithi [68]
Beliau menyebutkan sejumlah sebab kekafiran mereka antara lain berkata:
"Mereka menjadi kafir, karena mengkafirkan para shahabat Nabi yang telah terbukti kejujurannya dan dinyatakan oleh Allah kebersihannya di dalam al-Qur'an dengan firman-Nya:
لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ
"Agar kami menjadi saksi atas (perbuatan manusia). (Al-Baqarah: 143).
Dan Kesaksian Allah tentang diri mereka, bahwa mereka bukanlah orang-orang kafir, sebagaimana firman-Nya:
فَإِنْ يَكْفُرْ بِهَا هَؤُلاءِ فَقَدْ وَكَّلْنَا بِهَا قَوْمًا لَيْسُوا بِهَا بِكَافِرِينَ
"Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, Maka Sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya". (Al-An'am:89).
Mereka menjadi kafir, karena menganggap tidak perlu naik haji ke Makkah, bila sudah ziarah ke kuburan Husein. Sebab mereka menganggap ziarah ke kuburan ini membuat seseorang terampuni segala dosanya. Mereka namakan ziarah tersebut sebagai Haji Akbar. Begitu juga mereka menjadi kafir, karena tidak mau berjihad dan memerangi orang-orang kafir, yang menurut anggapan mereka memerangi orang kafir hanya dibolehkan bersama dengan imam yang ma'shum, padahal imam ini sedang ghaib.[69]
Mereka menjadi kafir, karena mencela sunnah Nabi yang mutawatir bertalian dengan shalat berjamaah, shalat Dhuha, shalat Witir, shalat Rawatib sebelum atau sesudah shalat wajib dan sunnah-sunnah muakkadah lainnya.[70]
Ali Bin Shultaan bin Muhammad Al-Qaari[71]
Beliau berkata: "Adapun orang yang mencela salah seorang shahabat Nabi, maka dia adalah orang fasik dan ahlul Bid'ah, demikian menujur ijma'. Terkecuali apabila orang tersebut punya keyakinan, bahwa dibolehkan melakukan celaan semacam itu, sebagaimana pendirian sebagian golongan Syi'ah dan para pengikut mereka, atau menganggap perbuatan tersebut mendapatkan pahala, sebagaimana biasa mereka katakan. Atau karena beranggapan para shahabat dan ahli Sunnah itu kafir. Maka orang yang beranggapan semacam ini menurut ijma' adalah kafir".[72]
Selanjutnya, beliau mengetengahkan sejumlah dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah yang berisikan pujian kepada shahabat dan pernyataan keridhaan Allah kepada mereka. Beliau dengan dalil-dalil tersebut, lalu mengambil kesimpulan, bahwa golongan Syi'ah kafir, karena sikapnya (mengkafirkan) para shahabat Nabi.[73]
Kemudian beliau menyebutkan, bahwa salah satu sebab kafirnya golongan Syi'ah adalah karena mereka punya anggapan Al-Qur'an kurang dan telah diubah. Beliau pun mengetengahkan sebagian dari pernyataan-pernyataann mereka berkaitan dengan masalah ini.[74]
Muhammad bin Abdul Wahhaab [75]
Imam Muhammad bin Abdul Wahhaab telah menetapkan sejumlah aqidah Syi'ah Itsna Asy 'Ariyah sebagai kekafiran. Sesudah beliau mengutarakan aqidah Syi'ah Itsna Asy 'Ariyah yang mencela shahabat dan melaknat mereka, padahal Allah dan Rasul-Nya memuji mereka, selanjutnya beliau berkata antara lain:
"Bila anda mengetahui banyaknya ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan kelebihan mereka dan hadits-hadits mutawatir yang seluruhnya menjelaskan kesempurnaan mereka, maka bila ada orang yang beranggapan mereka itu fasik atau sebagian besar fasik, mereka murtad atau sebagian besar murtad dari Islam, atau beranggapan berhak mencela mereka dan dibolehkan berbuat demikian, atau memandang baik melakukan seperti itu, maka ia telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya " Tidak mengetahui riwayat mutawatir bukanlah satu alasan. Sedangkan upaya mentakwilnya dan memberi makna lain tanpa dalil yang kuat adalah tidak ada gunanya, seperti halnya orang yang mengingkari shalat wajib lima waktu, dengan alasan tidak mengetahui kewajiban Fardlunya. Maka kejahilan semacam itu menjadikan dia kafir. Begitu juga orang yang mentakwilkan sesuatu keluar dari pengertian yang biasa kita pergunakan, maka ia adalah kafir. Sebab ilmu yang diperoleh dari nash-nash Al-Qur'an dan hadits-hadits berkaitan dengan kelebihan para shahabat adalah Qath'I (sah dan pasti)."
Barang siapa secara khusus mencela beberapa shahabat, jika orang-orang yang dicelanya ini terdapat riwayat-riwayat mutawatir menyatakan kelebihannya dan kesempurnaannya, seperti para Khulafaaur Raasyidin, maka orang yang beranggapan ber-hak atau boleh mencela, berati ia kafir. Sebab ia telah mendustakan riwayat yang nyata-nyata sah dari Rasulullah Saw. Maka orang yang mendustakannya adalah kafir. Barang siapa mencela seseorang shahabat tanpa adanya keyakinan punya hak untuk mencelanya atau boleh melakukan hal itu, maka dia telah berbuat fasik. Sebab mencela sesama muslim adalah perbuatan fasik. Sungguh sebagian ulama menghukumi orang yang mencela Abu Bakar dan Umar sebagai orang yang benar-benar kafir.
Jika shahabat yang dicela itu tidak terdapat riwayat-riwayat mutawatir tentang kelebihan dan kesempurnaannya, maka yang jelas, pencelanya adalah fasik. Jika ia mencela seseorang karena statusnya sebagai shahabat Rasulullah, maka ia telah melakukan kekafiran.
Pada umumnya golongan Syi'ah yang biasa mencela para shahabat berkeyakinan berhak dan dibenarkan mencelanya, bahkan wajib melakukan hal tersebut. Karena perbuatan itu mereka jadikan sebagai cara untul mendekatkan diri kepada Allah dan mereka pandang sebagai urusan agama yang penting.[76]& [77]
Kemudian beliau Rahimahullah berkata: "Adanya riwayat sah dari para ulama, bahkan Ahlul Kitab tidaklah dapat dikafirkan, barangkali berlaku bagi orang yang perbuatan bid'ahnya tidak menyebabkan kekafiran, " tetapi, tidak diragukan lagi, bahwa mendustakan riwayat yang sah datang dari Rasulullah, maka dia adalah kafir. Sedangkan kebodohan yang bersangkutan dalam masalah seperti ini tidaklah menjadi alasan pemaaf.[78]
Beliau Rahimahullah berkata: "Sesudah terbukti adanya dakwaan yang tertulis di dalam kitab-kitab mereka, bahwa Al Qur'an ayatnya berkurang dan diubah, lalu karena ini, mereka mengkafirkan shahabat, termasuk Ali sekalipun, sebab meridhai perbuatan semacam itu " maka berarti mereka mendustakan firman Allah: "(Al Qur'an itu) tidak tersentuh oleh kebathilan, pada zamannya atau sesudahnya. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijak lagi Maha Terpuji".[79] Dan firman-Nya: "Sungguh, kami benar-benar telah menurunkan Al Qur'an dan sungguh kami benar-benar menjaganya". [80] Maka barang siapa berkeyakinan, bahwa Al Qur'an ini tidak terpelihara, karena menganggap adanya ayat yang hilang dan meyakini ada ayat-ayat lain yang sama sekali tidak terdapat pada Aslinya, maka sesungguhnya ia telah kafir.[81]
Asy-Syeikh -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Barang siapa mengadakan perantara-perantara dirinya dengan Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh golongan Syi'ah yang menjadikan para imamnya sebagai perantara, maka barangsiapa melakukan perantara semacam ini antara dirinya dengan Allah, baik berupa memohon kepada mereka ataupun meminta perantara mereka dan tawakal kepada mereka, maka menurut Ijma' ia adalah kafir.[82]
Beliau pun berkata, bahwa seseorang yang melebihkan para imam dari para Nabi, maka menurut Ijma', dia adalah kafir, sebagaimana pendapat ini diriwayatkan oleh banyak ulama.[83]
Syah Abdul Aziz Dahlawi [84]
Sesudah mempelajari dengan tuntas Madzhab Itsna Asy-Ariyah dari sumber-sumber mereka yang terpercaya, beliau berkata: "Seseorang yang menyibak aqidah mereka yang busuk dan apa yang terkandung didalamnya, niscaya ia tahu bahwa mereka ini sama sekali tidak berhak sebagai orang Islam dan tampak jelaslah baginya kekafiran mereka.[85]
Muhammad bin Ali Asy Syaukaani [86]
Beliau berkata: "Sungguh, inti dakwah Syi'ah adalah memperdayakan agama dan melawan syariat kaum muslimin. Tetapi yang sangat diherankan dari sikap para ulama, para pemimpin agama adalah mengapa mereka membiarkan orang-orang itu melakukan kemungkaran, yang tujuan dan maksudnya sangat busuk. Orang-orang yang rendah tersebut ketika bermaksud menentang syariat Islam yang suci dan menyalahinya, mereka melakukan cercaan terhadap kehormatan para penegak syariat ini, yaitu orang-orang yang menjadi jalan sampainya syariat tersebut kepada kita, mejerumuskan orang-orang awam dengan caranya yang terkutuk itu dan cara syaitan, sehingga mereka mengutarakan celaan dan laknat kepada sebaik-baik manusia (para shahabat) dan menyembunyikan permusuhan terhadap syariat Islam dengan menyingkirkan hukum Islam dari tengah umat manusia.
Cara yang mereka tempuh ini adalah lebih keji daripada dosa-dosa besar, yang merupakan perbuatan yang sangat jahat. Sebab cara semacam itu adalah menentang Allah dan Rasul-Nya serta syariat-Nya.
Perbuatan yang mereka lakukan mencakup empat (4) dosa besar, masing-masing dari dosa-dosa besar ini merupakan kekafiran yang terang-terangan.:
Pertama : Menentang Allah.
Kedua : Menentang Allah dan Rasul-Nya
Ketiga : Menentang syariat Islam yang suci dan upaya mereka untuk melenyapkannya.
Keempat : Mengkafirkan para shahabat yang di ridhai oleh Allah yang di dalam Al Qur'an telah dijelaskan sifat-sifatnya, bahwa mereka orang yang paling keras kepada golongan kuffar, Allah swt menjadikan golongan kuffar sangat benci kepada mereka, Allah meridhai mereka dan disamping itu telah menjadi ketetapan hukum di dalam syariat Islam yang suci, bahwa barangsiapa yang mengkafirkan seorang muslim, maka dia telah kafir, sebagaimana tersebut di dalam Bukhari, Muslim dan lain-lainnya, hadits Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya "wahai kafir!", maka jika orang yang dipanggilnya itu benar seperti apa yang dikatakannya, maka ia patut sebagai orang kafir. Tetapi jika tidak, maka kembali kepada dirinya sendiri.[87]
Dengan demikian, jelaslah, bahwa setiap orang Syi'ah adalah orang jahat (busuk) lagi menjadi orang kafir, karena mengkafirkan seorang shahabat. Maka apalagi kalau mengkafirkan semua shahabat, kecuali beberapa orang sebagai siasat untuk menyesatkan khalayak ramai yang tidak mampu memikirkan dalih-dalihnya.[88]
Para Syeikh dan Ulama masa Kekhalifahan Utsmaniyah
Zainal Abidin bin Yusuf al Askubi meriwayatkan di dalam salah satu risalahnya yang ia tulis pada masa Sultan Utsmani, yaitu Raja Muhammad bin Khan bin Sultan Ibrahim Khan, bahwa para ulama mutaakhirin dari negeri ini seluruhnya telah memberikan fatwa tentang kekafiran Syi'ah.[89]
Para Ulama Sebelah Timur Sungai Jaihun [90]
Al Alusi - seorang penulis tafsir - berkata: "Sebagian besar ulama di sebelah timur sungai ini menyatakan kekafiran golongan Itsna Asy 'Ariyah dan menetapkan halalnya darah mereka, harta mereka dan menjadikan wanita mereka menjadi budak, sebab mereka ini mencela shahabat Nabi saw terutama Abu Bakar dan Umar, yang menjadi telinga dan mata Rasulullah saw; mengingkari kekhilafahan Abu Bakar; menuduh Aisyah Ummul Mukminin berbuat zina, padahal Allah sendiri menyatakan kesuciannya, melebihkan Ali r.a. dari rasul-rasul ulul Azmi, sebagian mereka melebihkannya dari Rasulullah saw sendiri dan mengingkari terpeliharanya Al Qur'an dari kekurangan dan tambahan".[91]
Demikianlah, sebagian fatwa para imam dan ulama umat Islam perihal Syi'ah ini. Dan dicukupkan uraiannya sekedar ini saja. Kitab-kitab fiqih memuat banyak pendapat-pendapat yang mengkafirkan Syi'ah, yang dengan mudah dapat dibaca oleh setiap orang. Karena itu tidak dirasa perlu untuk mengetengahkannya disini.[92]
Di Sini Perlu Diperhatikan Beberapa Hal
Pertama: demikianlah penetapan para ulama rahimahumullah, sebelum kitab-kitab golongan Rafidhah (Syi'ah) tersiar di tengah umat dan mereka berani menyatakan terus terang aqidahnya seperti dewasa ini. Oleh karena itu pembahasan ini halaman-halamannya berisikan aqidah-aqidah Itsna Asy 'Ariyah, yang oleh para ulama Islam dinyatakan sebagai ajaran Qaramithah Bathiniyyah, misalnya kepercayaan mereka bahwa Al Qur'an telah berkurang ayatnya dan dipalsukan. Kepercayaan ini memenuhi kitab-kitab mereka. Begitu juga sejumlah pokok-pokok aqidah yang didapati di dalam ajaran mereka. Bahkan mereka mempunyai aqidah-aqidah yang tidak pernah dikenal dimasa leluhur mereka, seperti aqidah at Thinah dan lain sebagainya. Hal ini berarti bahwa Syi'ah dewasa ini lebih jahat dan sesat dari pendahulunya.
Kedua: Golongan Syi'ah belakangan dan dewasa ini telah mempadukan berbagai aliran yang paling busuk dan berbahaya. Mereka mempadukan pendapat al Qadariyah yang mengingkari takdir, pendapat aliran Jahmiyah yang mengingkari sifat-sifat Allah dan menyatakan Al Qur'an sebagai makhluk, pendapat kaum kebathinan - yang diikuti oleh beberapa tokoh mereka - tentang adanya keyakinan kesatuan Allah dengan makhluk, aliran Sabaa-iyah yang menganggap Ali sebagai Tuhan, golongan Khawarij dan al Wa'idiyah yang mengkafirkan kaum muslimin, golongan Murji'ah yang berkeyakinan bahwa mencintai Ali merupakan kebajikan yang tak akan dapat dirusak oleh perbuatan dosa " bahkan mereka telah mengikuti cara-cara kaum musyrik di dalam mengagungkan kuburan, thawaf di sekelilingnya, bahkan shalat menghadap kuburan dan membelakangi Kiblat, serta perbuatan-perbuatan lainnya yang menjadi ciri kaum musyrikin.
Apakah setelah membaca ini semua, masih ada keraguan bahwa golongan Syi'ah telah rela mengikuti suatu aliran di luar aliran kaum muslimin. Walaupun mereka ini mengucapkan dua kalimah syahadat, namun mereka telah membatalkannya dengan banyak hal yang bertentangan sebagaimana telah anda ketahui.
Akan tetapi suatu hal yang wajib diperhatikan bertalian dengan cara ahli Sunnah di dalam mengkafirkan mereka adalah bahwa pendapat-pendapat yang telah mereka ucapkan dan diketahui berlawanan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw adalah suatu kekafiran. Begitu pula perbuatan-perbuatan mereka antara lain mengkafirkan kaum muslimin adalah suatu kekafiran. Tetapi untuk mengkafirkan seseorang tertentu di antara ahli Kiblat dan menyatakannya masuk neraka kekal adalah tergantung kepada syarat-syarat kekafiran yang dipenuhinya. Dan tidak dikategorikan sebagai kafir, bila semua syarat-syaratnya tidak terpenuhi. Kami menyebutkan kaidah umum perihal nash-nash yang menyatakan janji dan ancaman, pengkafiran dan pen-fasikan, dan bukannya menghukum orang-orang tertentu masuk di dalam kategori kaidah umum ini sebelum yang bersangkutan memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Oleh karena itulah para ulama tidak mengkafirkan orang-orang yang menghalalkan sesuatu yang haram karena orang-orang tersebut baru memeluk Islam atau tinggal di suatu tempat yang jauh terpencil. Tetapi seseorang itu dikenakan hukum kafir, bila dakwah (missi) Islam telah sampai kepadanya, sedangkan ada orang-orang yang belum kedatangan ketentuan syariat yang berlawanan dengan pandangan hidupnya, dan tidak tahu kalau Rasulullah diutus dengan itu, tetapi orang yang telah kedatangan syariat, namun dia mengingkarinya, maka kafirlah dia. Sedangkan bagi yang belum , tidak dipandang kafir.
[1]Syi'ah menganggap bahwa melaknat shahabat sebagai suatu perilaku keagamaan dan syariat. Mereka dengan terus terang menyatakan para shahabat itu kafir, terkecuali beberapa orang yang tidak lebih dari jumlah jari-jari satu tangan. Lihat Alkafi.
[2]Al Khalal/As Sunnah, 2:557. Korektor buku ini menyatakan: Hadits ini shahih sanadnya.
[3]Tafsir Ibnu Katsir, 4:219. Baca: Ruhul Ma'ani, oleh Al-Alusi, 26:116. Baca pula kesimpulan yang menyatakan kekafiran Syi'ah dari ayat ini/Ash-Shaarim al-Maslul, hal. 579.
[4]Sumber Syi'ah, sebagaimana sudah tersebut pada dewasa ini menyatakan bahwa riwayat-riwayat shahabat-shahabat, seperti: Abu Hurairah, Amr bin Ash, Samurah bin Jundab, menurut penilaian mereka nilainya tidak berharga sama sekali, walaupun seberat sayap nyamuk. (baca hal. 361).
[5]Tafsir al Qurthubi, 16:297.
[6]Al Khalal/As Sunnah, 2:557. Korektor buku ini berkata: "Sanadnya Shahih". Baca: Syarah As Sunnah, Ibnu Batthah, hal. 161, Ash Shaarim al Maslul, hal. 571.
[7]Al Khalal/As Sunnah, 2:558. Korektor buku ini berkata: "Sanadnya Shahih".
[8]Ibid. Bacalah: Manaakib al Imam Ahmad, oleh Ibnu Al Jauzi, hal. 214.
[9]As Sunnah, oleh Imam Ahmad, hal. 82, ditashih oleh Syeikh Ismail al Anshari
[10]Baca buku Ar Risalah hal. 751 dan seterusnya.
[11]An Nur ayat 17, ayat ini menjadi dasar pendapat Imam Ahmad, dalam buku karya Imam Abi Muhammad Rizkullah bin Abdul Qawiy at Tamimi, wafat tahun 480 H, al Wardah 21.
[12]Al Fatawa, 3:352.
[13]Ash Shaarim al Maslul, hal. 586. Dan baca hal. 571, tentang pendapat Qadhi Abu Ya'la mengenai riwayat yang menyatakan tidak - kafiran Syi'ah.
[14]Imam Bukhari/Khalqu Af'alil 'Ibad, hal. 125.
[15]Al Imam al Hafizhil Ilmi Abdur Rahman bin Mahdi bin Hasaan bin Abdur Rahman al 'Ambari, Al Bashri, wafat 198 H. (Tahdzibut Tahdzib, 6:279-281).
[16]Khalqu Af'alil 'Ibad, Bukhari, hal. 125. Dan bacalah: Majmu' Fatawaa, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, 35:415.
[17]Muhammad bin Yusuf al Faryabi, Bukhari meriwayatkan dari padanya dua puluh enam hadits. Dia adalah Ahli Hadits terbaik di zamannya, wafat tahun 212 H. (Tahdzibut Tahdzib, 9:535).
[18]Al Khalal, As Sunnah 6:566, korektor kitab ini berkata: Di dalam sanad hadits ini terdapat seorang rawi bernama Musa bin Harun bin Zayyad yang aku tidak mengetahui ke-maushul-annya. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Kitab Ash Shaarim al Maslul, hal. 570 menisbathkan hadits ini kepada Al Faryabi berdasarkan Jazm (dugaan kuat).
[19]Ahmad bin Yunus, yaitu Ibnu Abdillah. Ia dinisbathkan kepada datuknya, yaitu salah seorang Imam (tokoh) As Sunnah. Beliau termasuk penduduk Kufah, tempat tumbuhnya golongan Rafidhah. Beliau menceritakan perihal Rafidhah dengan berbagai macam alirannya. Ahmad bin Hambal telah berkata kepada seseorang: "Pergilah anda kepada Ahmad bin Yunus, karena dialah seorang Syeikhul Islam." Para ahli Kutubus Sittah telah meriwayatkan Hadits dari beliau. Abu Hatim berkata: "Beliau adalah orang kepercayaan lagi kuat hafalannya". An Nasaai berkata: "Dia adalah orang kepercayaan." Ibnu Sa'ad berkata: "Dia adalah seorang kepercayaan lagi jujur, seorang Ahli Sunnah wal Jama'ah." Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa Ibnu Yunus telah berkata: "Saya pernah datang kepada Hammad bin Zaid, saya minta kepada beliau supaya mendiktekan kepadaku sesuatu hal tentang kelebihan Utsman. Jawabnya: "Anda ini siapa?" Saya jawab: "Seseorang dari negeri Kufah." Lalu ia berkata: "Seorang Kufah menanyakan tentang kelebihan-kelebihan Utsman. Demi Allah, aku tidak akan menyampaikannya kepada anda, kalau anda tidak mau duduk sedangkan aku tetap berdiri!" Beliau wafat tahun 227 H. (Tahdzibut Tahdzib, 1:50, Taqribut Tahdzib, 1:29).
[20]Ash Shaarim al Maslul, hal. 570.
[21]Abdullah bin Abdul Kariim bin Zayid bin Farukh al Mahzumi di Al Wala'(?), bergelar Abu Zur'ah Ar Rozi, termasuk salah seorang penghafal hadits dan tokoh terkemuka. Beliau telah hafal seratus ribu (100.000) hadits, sehingga ada yang berkata: "Setiap hadits yang tidak dikenal oleh Abu Zur'ah, maka hadits tersebut berarti tidak punya asal usul. Beliau wafat tahun 264 H.
[22]Baca al Kifayah, hal. 49.
[23]Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah ad Dainuri pengarang Kitab-Kitab yang baik, berisikan berbagai ilmu yang bermanfaat, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir. Wafat, 276 H. (Baca Wafayaatul A'yaan, 3:22-44; Tarikh Baghdad, 10:170-174; Al Bidayaayat Wan Nihaayah, 11:48).
[24]Kitab: Al Ikhtilaf fil Lafdhi war Raddu 'alal Jahmiyah wal Musabbihah, hal. 47. Cet. As Sa'adah Mesir, tahun 1349 H.
[25]Abdul Qaahir bin Thahir bin Muhammad al Baghdadi at Tamiimi al Isfiraayiini, Abu Manshuur, beliau deberi gelar di masanya sebagai "Shadrul Islam". Beliau mempelajari tujuh belas ilmu. Wafat, 429 H. (Baca: Thabaqaatus Syafi'iyyah, 5:136-145; An Baaur Ruwaat, 2:185-186).
[26]Al Farqu bainal Firaq, hal. 357.
[27]Al Milal wa Nihaal, hal. 5253, koreksian oleh Miir Nasri Nadir.
[28]Muhammad bin Al Husein bin Muhammad bin Khalaf bin Al Faraa' Abu Ya'la, seorang alim di dalam urusan aqidah dan syariah pada masanya, wafat tahun 458 H.
[29]Al Mu'tamad, hal. 267.
[30]Maksudnya: omongan mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan atas nama kaum muslimin maupun Al Qur'an.
[31]Al Fashl, 5:40.
[32]Terkecuali tiga orang shahabat.
[33]Al Fashl, 5:40.
[34]Al Ihkam Fii Ushuuli Ahkaam, 1:96.
[35]Al Fashl, 2:274-275. Orang yang berkeyakinan semacam ini dikafirkan oleh Ibnu Hazm. Dan keyakinan semacam ini depegang oleh Syi'ah Itsna Asy'ariyah. Pendapat ini dikuatkan oleh guru-guru beliau pada masanya dan para ulama sebelumnya.
[36]Abu al Mughafar Syahfur, bin Thahir bin Muhammad al Asfaraayaini, seorang imam ahli kalam, ahli Fiqh lagi ahli Tafsir banyak karangan-karangannya, antara lain: At Tafsiir al Kabiir dan at Tabshiir Fiddiin. Wafat, 471 H. (Baca: Thabaqaat Asy Syafi'iyyah, 5:11 dan Al A'laam, 3:260).
[37]At Tabshiir Fiddiin, hal. 24-25.
[38]Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at Thuusi al Ghazali. Ibnu Katsir berkata: Beliau dahulu adalah orang yang terpandai di dalam setiap bidang pembahasannya. Karangannya banyak sekali yang tersebar di dalam berbagai macam bidang ilmu. Di antara kitab-kitabnya: Fadhaail al Baathiiniyah. Wafat, 505 H. (Baca: Al Bidaayah wan Nihaayah, 12:173-174; Miraatul Janaani, 3:177-192).
[39]Seseorang yang mempelajari aqidah al badaa' dalam madzhab Rafidhah akan mengetahui, bahwa keyakinan tersebut muculnya bukan karena pemahaman agama yang lemah tetapi sudah merupakan suatu jalan pemikiran yang dengan sengaja diciptakan oleh adanya keyakinan yang berlebih-lebihan terhadap para imam mereka. Pendapat imam Ghazali ini serupa dengan pernyataan imam Al Amidi (Al Ihkaam, 3:109). Beliau berkata: Golongan Rafidhah tidak bisa memahami perbedaan antara nasakh dan al Badaa'. Kata-kata al Amidi ini lebih jauh dikomentari oleh Syeikh Abdur Razak Afifi. Katanya: "Barang siapa mengetahui dengan jelas hal ikhwal Rafidhah, memahami kebusukan hatinya dan kezindikannya berupa sikap merahasiakan kekafiran dan menampakkan keislaman, mewarisi prinsip-prinsip agamanya dari Yahudi, menempuh cara-cara memperdayakan islam sebagaimana dilakukan orang yahudi, maka ia tentu memahami bahwa segala kebohongan dan kedustaan (tentang al Badaa') adalah suatu pernyataan yang bertujuan jahat, rasa kedengkian kepada kebenaran dan pemeluknya, dan karena fanatik buta, sehingga membuat mereka berani melakukan tipu daya dan berbagai bentuk perbuatan merusak secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan guna menghancurkan syariat Islam dan negara-negara yang menegakkannya. (Al Ihkaam fii Ushuuli Ahkaam, 3:109-110-catatan pinggir).
[40]Riwayat ini terdapat dalam kitab Al-Bihaar, oleh Al-Majlisi dan dinisbatkan riwayat ini kepada rawi yang terdekat (Bihaarul Anwaar, 4:97). Pada riwayat lain ucapan tersebut dinisbatkan kepada Ali bin Al-Husein (Baca Tafsiirul 'Iyyaasyi, 2:215; Bihaarul Anwar, 4:118; Al Burhaan, 2:299; Tafsir Ash Shafii, 3:75).
[41]Bacalah riwayat ini di dalam kitab At Tauhiid, oleh Ibnu Baabawaih, hal. 36.
[42]Al Mustashfaa, 1:110.
[43]Fadhaaihul Bathiniyyah hal. 149.
[44]Iyad bin Musa bin 'Iyadh bin Amaruun al Yahshabi, seorang ulama Maghribi, tokoh Ahli Hadits pada zamannya. Wafat tahun 544 H. (Baca: Wafayaatul A'yaan, 3:483; Al 'Ibaar, oleh Adz Dzahabi, 2:467; Bughyatut Thais, oleh Ad Dhabi, hal. 437; Tarikh Qudhatul Andalus, oleh An Nabaahi, hal. 101)
[45]Kaum Syi'ah dewasa ini beranggapan, bahwa I'tikad mengkafirkan para shahabat merupakan salah satu pokok ajaran mereka. Sedangkan orang yang mengingkari prinsip ini, ,mereka memandangnya kafir.
Al-Mamqaani yang merupakan guru Syi'ah berkata: "Termasuk prinsip madzhab kami adalah bahwa para imam kami lebih mulia daripada Nabi Bani Israil, sebagaimana telah dinyatakan oleh keterangan-keterangan yang mutawatir. Orang yang memahami berita-berita Ahlil Bait (para imam yang dua belas), bahwa para imam tersebut memiliki keajaiban luar biasa sama dengan yang ada pada para Nabi, bahkan lebih hebat. Para Nabi dan para ulama salaf hanya memperoleh satu atau dua pintu ilmu. Sedangkan para imam Syi'ah, karena ibadah dan ketaatan mereka, maka seseorang dapat naik ke tingkat menyamai Allah. Jika ia mengatakan kepada sesuatu "jadilah", maka terbukalah semua pintu-pintu (ilmu).
[46]Aqidah semacam ini kita temukan pada golongan itsna Asy'Ariyah. Karena mereka beranggapan, bahwa imamah lebih tinggi dari kenabian. Para imam Syi'ah diyakini sebagai pokok pegangan bagi semua umat manusia seperti halnya para Rasul.
[47]Demikianlah perkataan kaum Rafidhah. Baca Ar-Risalah, hal. 325 dan seterusnya.
[48]Disini perlu perhatian serius. Sebab sebagian dari para imam syi'ah menisbatkan keyakinan tentang perubahan Al Qur'an kepada golongan Ismaili, padahal sebenarnya adalah pendapat golongan Itsna Asy'Ariyah, sedangkan golongan Ismaili tidak pernah menyatakan pendapat seperti ini, tetapi golongan ini hanya menggunakan penakwilan ayat-ayat Al Qur'an secara bathini (perlambang).
[49]Imam penghafal hadits, Abu Sa'd Abdul Kariim bin Muhammad bin Manshuur at-Tamimi as-Sam'aani, pengarang buku al-Ansaab dan lain-lain. Ia sering melakukan kunjungan dan mendengar dari banyak guru hadits. Ibnu katsir berkata: "Ibnu Khalkan telah menyebutkan perihal orang ini, yang mempunyai banyak karya tulis, antara lain sebuah kitab yang telah menghimpun seribu hadits dari seratus orang guru hadits berserta pembicaraan sanadnya dan matannya. Buku ini sangat berguna. Beliau wafat tahun 562 H. (Wafayaatul A'yaan, 3:209; al-Bidayah wan Nihayah, 12:175).
[50]Kata-kata "hal-hal yang patut bagi mereka" Demikianlah yang ada pada tulisan aslinya. Kalau kata ganti "Mereka" tertuju kepada golongan Rafidhah, maka kalimat tersebut sudah benar. Maksudnya, golongan Rafidhah menyebut para shahabat sebagai orang-orang sesat. Adalah patutnya tertuju pada diri mereka sendiri. Sedangkan, kalau kata ganti "Mereka" tertuju kepada para shahabat, berarti pada kalimat tersebut ada kata yang hilang. Barangkali yang benar kalimat tersebut berbunyi "Apa yang tidak patut bagi mereka".
[51]Al-Anshab, 6:341.
[52]Muhammad bin Umar bin Al-Husein, dikenal dengan gelar al-Fakhru Razi, seorang musafir, ahli kalam, seorang faqih, seorang ushul. Di antara karya-karya tulisnya adalah: At-Tafsiir al-Kabiir, al-Mahshul dan lain sebagainya. Ada orang mengira, bahwa beliau ini berkecenderungan Syi'ah. Wafat, 606 H. (Lisaanul Miizaan), 4:426; As-Shuyuthi, Tabaqatul Mufazziriin, hal. 115.
[53]Akan dijelaskan perawi haditsnya.
[54]Ar-Rozi, Nihaayatul Uquul, Al-Waraqah hal 212a. (masih tertulis tangan).
[55]Ali Imran, ayat 110.
[56]Ash Shaarim al Maslul, hal. 586-587.
[57]Majmu' Fataawa, Ibnu Taimiyyah, 28:482.
[58]Baca al Fatawa, 28:484-485.
[59]Ibid, hal. 486.
[60]Bacalah kitab Risalah, hal. 1239.
[61]Mudah-mudahan begitu yang ada di al Fataawa, 28:389.
[62]Minhaajus Sunnah, 3:39.
[63]Ar-Risalah, hal. 1239.
[64]Beliau adalah tokoh ahli hadits serta mufthi yang cemerlang, sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabi. Nama lengkapnya Abul Fidaa' Ismail bin Umar bin Katsir. Asy Syaukaani berkata: Beliau punya banyak karangan berfaedah, antara lain: Tafsiir Ibnu Katsir, yang dapat digolongkan tafsir yang terbaik, bahkan mungkin yang paling baik. Wafat, 774 H. (Ibnu Hajar, ad Duraru al Kaaminah, 1:373-374; Asy Syaukaani, al Badr at Thali', 1:153).
[65]Bacalah halaman 751 dan 1125 dari Ar Risaalah.
[66]Yaitu Muhammad bin Khalil bin Yusuf Ar Ramli al Muqaddasi. Beliau salah seorang ahli Fiqh Syafi'iyah. Wafat, 888 H. (Bacalah: Asy Syakhawi ad Dha-uu al Laami'u, 7:234; Asy Syaukaani, al Badr At Thaali', 2:169).
[67]Risalah fii Ar Raddi alaa Ar Raafidhah, hal. 200.
[68]Yaitu Yusuf al-Jamal Abu Mahasin al-Waasithi, salah seorang ulama abad IX. (Bacalah: Asy Syakhawi, Adh Dhauu 'alaa Mii'u. 10:338-339)
[69]Al-Munaazharah baina ahli sunnah war Raafizhah, al-Waraqah, hal. 66 (tulisan tangan).
[70]Ibid. hal. 67 (tulisan tangan).
[71]Ali bin Sulthaan bin Muhammad al Hawaari, dikenal dengan panggilan al-Qaari al-Hanaafi. Ia salah seorang narasumber ilmu. Banyak sekali karangannya yang bermanfaat, antara lain Syarah al Misykaat. Buku ini adalah karyanya yang terbesar. Syarah Asy-Syifaa', an Nukhbah dan lain-lain. Wafat, 1014 H. (Bacalah: Khulashatul 'Atsar, 3:185-186; Al-Budurut Thaali', 1:445-446).
[72]Syamsul 'Awaaridh Fii Dzammil Rawaafidh, al-Waraqah, 6a. (tulisan tangan).
[73]Ibid, al-Waraqah, hal. 252-254.
[74]Ibid, al-Waraqah, hal. 259a
[75]Muhammad bin Abdul Wahhaab bin Sulaiman bin Ahmad at Tamiimi an-Najdi, seorang imam Mujadid Islam di Jazirah Arab pada abad XII H. Seruannya kepada Tauhid yang bersih dan membuang bid'ah merupakan percikan pertama yang membangkitkan pembaharuan di seluruh dunia Islam. Gerakannya mempengaruhi tokoh-tokoh pembaharu di India, Mesir, Irak, Syiria dan lain-lainnya. Wafat, 1206 H. (Bacalah: Abdul Aziz bin Baaz, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dakwahnya dan sejarahnya; Sulaiman An Nadwi, Muhammad bin Abdul Wahhab, pembaharu yang terdhalimi dan kebohongan yang dibuat atas namanya; Bah-jatul Atsaari, Muhammad bin Abdul Wahhab, penganjur tauhid dan pembaharu Abad Modern).
[76]Risaalah Fir Raddi' 'Alar Raafidhah, hal. 18-19.
[77]Bahkan, mereka dari mencela berkelanjutan sampai mengkafirkan. Bahkan mereka berkeyakinan siapa saja yang menganggap Abu Bakar dan Umar itu Islam, maka kelak Allah tidak akan mau melihat dia, berbicara dengannya dan akan mendapat adzab pedih. (Baca Ar Risaalah ini hal. 759). Cacian mereka kepada para shahabat bertambah dan terus berjalan dari dulu sampai hari ini, dilakukan dengan semakin keterlaluan.
[78]Risalah Fii Raddi 'Alar Raafidhah, hal. 20.
[79]Fushshilat, ayat 20.
[80]Al Hijr, ayat 9.
[81]Risaalah Fir Raddi 'Alar Raafidhah, hal. 14-15.
[82]Risaalah Nawaaqidhul Islam, hal. 283.
[83]Risaalah Fir Raddi 'Alar Raafidhah, hal. 29.
[84]Abdul Aziz bin Ahmad (Waliullah) bin Abdur Rahiim al Faruuqi, bergelar Sirajul Hind. Muhibbuddiin al Khathib berkata: "Beliau adalah ulama India terbesar pada masanya. Beliau seorang penelaah buku-buku Syi'ah lagi amat menguasainya. Wafat, 1239 H. (Bacalah Al A'laam, 4:138; Muhaddimah Mukhtashaarat Tuhfah al Itsna Asy 'Ariyah, Muhibbuddiin Khatib).
[85]Mukhtashaar at Tuhfah al Itsna Asy 'Ariyah, hal. 300.
[86]Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah asy Syaukaani, seorang ulama Yaman, pengarang kitab Fathul Qadiir, Nailul Authar dan lain-lain kitab-kitab yang bermanfaat, Wafat, 1250 H. (Bacalah al-Badr at-Thalii', 2:214-225).
[87]Hadits dengan lafadh ini terdapat di dalam Shahih Bukhari, Kitabul Adab, bab: Man kafara akhaahu min ghairi takwiilin fahuwa kamaa qaala: juz VII: 97; Muslim, Kitabul Iman, bab: Bayaani haali iimaani man qaala liakhiihi almuslim "yaa kaafir", I:79; Abu Dawud, Kitaabus Sunnah, bab: Ziyaadatil iiman, V:64 (H. 4687); Turmudzi, Kitaabul Iman, bab: Maa ja-a fii man ramaa akhaahu bikufrin, V:2 (H. 2637); Malik fil muwaatha', Kitabul Kalaam, bab: Maa yukrahu minal kalaami, hal. 984; Ahmad, II:18, 23, 44, 47; At Thayaalisi, hal. 252 (H. 1842).
[88]Asy Syaukani, Natsrul Jauhar 'ala hadiitsi Abi Dzar, al Waraqah, hal. 15-16. (tulisan tangan).
[89]Al Askubi, Ar-Rad 'alas Syi'ah, al Waraqah: 5B.
[90]Sungai Jaihun, terletak di Khurasan. Wilayah yang terletak di sebelah timurnya dinamakan Bayathillah. Sesudah zaman Islam tempat ini dinamakan daerah di seberang sungai. Sebelah barat sungai ini adalah negeri Khurasan dan daerah Khawarizm " (Mu'jamul Buldan, 5:45).
[91]Nahjus Salaamah, hal. 29&30.
[92]Bacalah, misalnya - al 'Uqud ad Durriyah fii tanqiihil Fatawa al Hamidiyah, Ibnu Abidin. Di dalam kitab ini diketengahkan fatwa Syeikh Muhammad al Hanafi, dimana beliau mengkafirkan Syi'ah karena banyak alasan. Hal ini merupakan fatwa beliau yang panjang. (Bacalah, al 'Uqud Ad Durriyah, hal. 92).
Juga disebutkan pendapat Abu Su'ud, seorang ahli tafsir Qur'an dan beliau meriwayatkan didalam kitabnya ini ijma' para ulama Syi'ah untuk mengkafirkan para shahabat (Ibid, hal. 93).
Di dalam buku Al Fataawa al Bazaziyah, oleh Syeikh Muhammad bin Syihab, yang dikenal dengan nama Ibnul Bazaz, Wafat, 827 H. beliau berkata: "Adalah wajib mengkafirkan Syi'ah Kisaniyah, karena mereka menyatakan Allah bersifat al Bada' mengkafirkan golongan Rafidhah, karena mereka menyatakan adanya raj'ah (reinkarnasi)"dan seterusnya. (Al Fatawaa al Bazaziyah, cetakan pada catatan pinggir dari kitab al Fataawa al Hindiyah, 6:318).
Di dalam kitab al Asybah wan Nadhaair oleh ibnu Nujaim, katanya: "Mencela dan melaknat Abu Bakar dan Umar adalah kafir. (halaman 19). Bacalah: Nawaaqidh ar Rawaafidh, oleh Mahdum asy Syirazi, dia mengetengahkan pendapat dari pengikut-pengikut madzhab empat mengenai pengkafiran golongan Syi'ah (Rafidhah) al Waraqah, hal. 187A dan seterusnya dan pengkafiran Syi'ah oleh muthahar bin Abdur Rahman bin Ismail, al Waraqah, hal. 51.
Sumber: www.syiah.net
Sumber: www.syiah.net
Saturday, October 29, 2011
Masjid Tertua dan Terbesar di China
Adalah Masjid Niujie yang merupakan Masjid paling tua dan bersejarah di Beijing, China.
Usia masjid ini diperkirakan lebih dari seribu tahun. Masjid ini dibangun pada pemerintahan Kaisar Tonghe dari Dinasti Liao pada tahun 996 Masehi oleh dua orang berkebangsaan Arab.
Dari sejarah berdirinya, masjid ini sudah melintasi enam zaman, dari Dinasti Liao, Dinasti Song, Dinasti Yuan, Dinasti Ming, Dinasti Qing hingga era China Modern saat ini.
Karena tertua dan terbesar di Beijinng, maka tak heran bila masjid Niujie ini menjadi pusat komunitas muslim di sana.
Terlepas dari itu, amal jariyah yang diterima oleh dua orang berkebangsaan Arab yang membangunnya akan selalu mengalir terus menerus.
Usia masjid ini diperkirakan lebih dari seribu tahun. Masjid ini dibangun pada pemerintahan Kaisar Tonghe dari Dinasti Liao pada tahun 996 Masehi oleh dua orang berkebangsaan Arab.
Dari sejarah berdirinya, masjid ini sudah melintasi enam zaman, dari Dinasti Liao, Dinasti Song, Dinasti Yuan, Dinasti Ming, Dinasti Qing hingga era China Modern saat ini.
Karena tertua dan terbesar di Beijinng, maka tak heran bila masjid Niujie ini menjadi pusat komunitas muslim di sana.
Terlepas dari itu, amal jariyah yang diterima oleh dua orang berkebangsaan Arab yang membangunnya akan selalu mengalir terus menerus.
Friday, October 28, 2011
Anak Durhaka Haram Masuk Surga
Salah satu indikasi anak durhaka adalah anak yang zalim kepada kedua orang tuanya. Bentuk kedurhakaan adalah menyakiti keduanya baik fisik maupun psikisnya.
Sungguh besar dosa anak durhaka dan akan diancam azab mulai di dunia.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi dari sahabat Abi Bakrah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Tidak ada dosa yang Allah cepatkan azab kepada pelaku di dunia ini dan Allah juga akan mengazab di akhirat yang pertama adalah berlaku zalim dan yang kedua adalah memutuskan silaturrahmi."
Dalam hadits lain malah ancaman anak durhaka lebih besar dan tidak enak untuk didengar, yaitu ancaman tidak masuk surga atau haram masuk surga.
Ini haditsnya.
Dari Abdullah bin Umar ra, Rasulullah SAW bersabda,
"Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat yakni anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki dan kepala rumah tangga yang membiarkan ada kejelekan dalam rumah tangganya."
(HR. Hakim, Baihaqi dan Ahmad).
Jadi, salah satu yang menyebabkan seseorang tidak masuk surga adalah durhaka kepada kedua orang tua.
Sungguh besar dosa anak durhaka dan akan diancam azab mulai di dunia.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi dari sahabat Abi Bakrah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Tidak ada dosa yang Allah cepatkan azab kepada pelaku di dunia ini dan Allah juga akan mengazab di akhirat yang pertama adalah berlaku zalim dan yang kedua adalah memutuskan silaturrahmi."
Dalam hadits lain malah ancaman anak durhaka lebih besar dan tidak enak untuk didengar, yaitu ancaman tidak masuk surga atau haram masuk surga.
Ini haditsnya.
Dari Abdullah bin Umar ra, Rasulullah SAW bersabda,
"Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat yakni anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki dan kepala rumah tangga yang membiarkan ada kejelekan dalam rumah tangganya."
(HR. Hakim, Baihaqi dan Ahmad).
Jadi, salah satu yang menyebabkan seseorang tidak masuk surga adalah durhaka kepada kedua orang tua.
Dalil Dan Penjelasan Ulama Tentang Larangan Menjual Kulit Hewan Udhiyah/Kurban
Pengelola penyembelihan binatang kurban tidak boleh gegabah dan serampangan mengambil kesimpulan hukum tentang kulit. Misalnya mengambil inisiatif menjual kulit yang hasilnya untuk kepentingan masjid atau diluar lingkup ketentuan yang diperbolehkan.
Menyembelih binatang kurban merupakan ibadah agung yang dilakukan umat Islam setiap tahun pada hari raya kurban.
Orang yang menyembelih binatang kurban, boleh memanfaatkannya untuk memakan sebagian daging darinya, menshadaqahkan sebagian darinya kepada orang-orang miskin, menyimpan sebagian dagingnya, dan memanfaatkan yang dapat dimanfaatkan, misalnya ; kulitnya untuk qirbah (wadah air) dan sebagainya.
Dalil hal-hal di atas adalah hadits-hadits dibawah ini.
“Artinya : Dari Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa di antara kamu menyembelih kurban, maka janganlah ada daging kurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga”. Tatkala pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya : “Wahai, Rasulullah! Apakah kita akan melakukan sebagaimana yang telah kita lakukan pada tahun lalu?” Beliau menjawab : “Makanlah, berilah makan, dan simpanlah,. Karena sesungguhnya tahun yang lalu, menusia tertimpa kesusahan (paceklik), maka aku menghendaki agar kamu menolong (mereka) padanya (kesusahan itu). [HR Bukhari no. 569, Muslim, no, 1974]
Perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Makanlah, berilah makan, dan simpanlah’, bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukkan kebolehan. Karena perintah ini datangnya setelah larangan, sehingga hukumnya kembali kepada sebelumnya. [Lihat juga Fathul Bari, penjelasan hadits no. 5.569]
Dari hadits ini kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang memakan daging kurban lebih dari tiga hari. Hal itu agar umat Islam pada waktu itu menshadaqahkan kelebihan daging kurban yang ada. Namun larangan itu kemudian dihapuskan. Dalam hadits lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menghapuskan larangan tersebut dan menyebutkan sebabnya. Beliau bersabda.
“Artinya ; Dahulu aku melarang kamu dari daging kurban lebih dari tiga hari, agar orang yang memiliki kecukupan memberikan keleluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun (sekarang), makanlah semau kamu, berilah makan, dan simpanlah” [HR Tirmidzi no. 1510, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]
Setelah meriwayatkan hadits ini, Imam Tirmidzi rahimahullah berkata. :“ Pengamalan hadits ini dilakukan oleh ulama dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka”.
Dalam hadits lain disebutkan.
“Artinya : Dari Abdullah bin Waqid, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan daging kurban setelah tiga hari. Abdullah bin Abu Bakar berkata : Kemudian aku sebutkan hal itu kepda Amrah. Dia berkata, “dia (Abdullah bin Waqid) benar”. Aku telah mendengar Aisyah Radhiyallahu anha mengatakan, orang-orang Badui datang waktu Idul Adh-ha pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Beliau bersabda, ‘Simpanlah (sembelihan kurban) selama tiga hari, kemudian shadaqahkanlah sisanya’. Setelah itu (yaitu pada tahun berikutnya, -pent) para sahabat mengatakan : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang membuat qirbah-qirbah [1] dari binatang-binatang kurban mereka, dan mereka melelehkan (membuang) lemak darinya”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Memangnya kenapa?” Mereka menjawab, “Anda telah melarang memakan daging kurban setelah tiga hari”. Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya aku melarang kamu hanyalah karena sekelompok orang yang datang (yang membutuhkan shadaqah daging, -pent). Namun (sekarang) makanlah, simpanlah, dan bershadaqahlah’ [HR Muslim no. 1971]
Banyak ulama menyatakan, orang yang menyembelih kurban disunnahkan bershadaqah dengan sepertiganya, memberi makan dengan sepertiganya, dan dia bersama keluarganya memakan sepertiganya. Namun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ini lemah. Sehingga hal ini diserahkan kepada orang yang berkurban. Seandainya dishadaqahkan seluruhnya, hal itu dibolehkan. Wallahu a’lam [2]
Dalam masalah ini terdapat beberapa hadits, sebagaimana tersebut dibawah ini.
[1]. Hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.
“Artinya : Dari Ali Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar dia mengurusi budn (onta-onta hadyu) Beliau [3], membagi semuanya, dan jilalnya [4] (pada orang-orang miskin). Dan dia tidak boleh memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada penjagalnya”. [HR Bukhari no. 1717, tambahan dalam kurung riwayat Muslim no. 439/1317]
Pada riwayat lain disebutkan, Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar aku mengurusi onta-onta kurban Beliau, menshadaqahkan dagingnya, kulitnya dan jilalnya. Dan agar aku tidak memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada tukang jagalnya. Dan Beliau bersabda : “Kami akan memberikan (upah) kepada tukang jagalnya dari kami” [HR Muslim no. 348, 1317]
Hadits ini secara jelas menunjukkan, bahwa Ali diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menshadaqahkan daging hadyu, kulitnya, bahkan jilalnya. Dan tidak boleh mengambil sebagian dari binatang kurban itu untuk diberikan kepada tukang jagalnya sebagai upah, karena hal ini termasuk jaul beli. Dari hadits ini banyak ulama mengambil dalil tentang terlarangnya menjual sesuatu dari binatang kurban, termasuk menjual kulitnya.
[2]. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
“Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa menjual kulit binatang kurbannya, maka tidak ada kurban baginya”.
Syaikh Abul Hasan As-Sulaimani menjelaskan, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim (2/389-390) dan Al-Baihaqi (99/294) dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ush Shagir, no. 6118. Namun di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abdullah bin Ayyasy, dan dia seorang yang jujur namun berbuat keliru, perawi yang tidak dijadikan hujjah. [5]
[3]. Hadits Abi Sa’id Al-khudri Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Janganlah kamu menjual daging hadyu dan kurban. Tetapi makanlah, bershadaqahlah, dan gunakanlah kesenangan dengan kulitnya, namun janganlah kamu menjualnya” [Hadits dha’if, riwayat Ahmad 4/15] [6]
[1]. Imama Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “Jika seseorang telah menetapkan binatang kurban, wolnya tidak dicukur. Adapun binatang yang seseorang tidak menetapkannya sebagai kurban, dia boleh mencukur wolnya. Binatang kurban termasuk nusuk (binatang yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya, memberikan makan (kepada orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap seluruh (bagian) binatang kurban, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual sesuatu darinya. Menukarkannya merupakan jual beli”.
Beliau juga mengatakan : “Aku tidak mengetahui perselisihan di antara manusia tentang ini, yaitu : Barangsiapa telah menjual sesuatu dari binatang kurbannya, baik kulit atau lainnya, dia (harus) mengembalikan harganya –atau nilai apa yang telah dia jual, jika nilainya labih banyak dari harganya- untuk apa yang binatang kurban dibolehkan untuknya. Sedangkan jika dia menshadaqahkannya, (maka) lebih aku sukai, sebagaimana bershadaqah dengan daging binatang kurban lebih aku sukai” [7]
[2]. Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Dan madzhab (pendapat) kami (Syafi’iyah), tidak boleh menjual kulit hadyu atau kurban, dan tidak boleh pula (menjual) sesuatu dari bagian-bagiannya. Inilah madzhab kami. Dan ini pula pendapat Atho, An-Nakha’i, Malik, Ahmad dan Ishaq. Namun Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Ibnu Umar, Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak mengapa menjual kulit hadyu dan menshadaqahkan harga (uang)nya. Abu Tsaur memberi keringanan di dalam menjualnya. An-Nakha’i dan Al-Auza’i berkata : ‘Tidak mengapa membeli ; ayakan, saringan, kapak, timbangan dan semacamnya dengannya (uang penjualan kulitnya, -pent), Al-Hasan Al-Bashri mengatakan ; “Kulitnya boleh diberikan kepada tukang jagalnya’. Tetapi (perkataannya) ini membuang sunnah, wallahu a’lam. [Lihat Syarah Muslim 5/74-75, Penerbit Darul Hadits Cairo]
[3]. Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata : “Ini (hadits Ali di atas) menunjukkan bahwa dia (Ali) bershadaqah dengan kulit dan jilal (pakaian onta) sebagaimana dia bershadaqah dengan daging. Dan Ali tidak sedikitpun mengambil dari hewan sembelihan itu sebagai upah kepada tukang jagal, karena hal itu termasuk hukum jual-beli, karena dia (tukang jagal) berhak mendapatkan upah. Sedangkan hukum kurban sama dengan hukum hadyu, yaitu tidak boleh diberikan kepada tukang jagalnya sesuatupun dari binatang sembelihan itu (sebagai upah). Penulis Nihayatul Mujtahid berkata : “Yang aku ketahui, para ulama sepakat tidak boleh menjual dagingnya”. Tetapi mereka berselisih tentang kulit dan bulunya yang dapat dimanfaatkan. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan tidak boleh. Abu Hanifah mengatakan boleh menjualnya dengan selain dinar dan dirham. Yakni (ditukar) dengan barang-barang. Atha’ berkata, boleh dengan semuanya, dirham atau lainnya” [8] Abu Hanifah membedakan antara uang dengan lainnya, hanya karena beliau memandang bahwa menukar dengan barang-barang termasuk kategori memanfaatkan (binatang sembelihan), karena ulama sepakat tentang bolehnya memanfaatkan dengannya’. [Lihat Subulus Salam 4/95, Syarah Hadits Ali]
[4]. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan : “Di antara faidah hadits ini menunjukkan, bahwa kulit binatang kurban tidak dijual. Bahkan penggunaan kulitnya adalah seperti dagingnya. Pemilik boleh memanfaatkannya, menghadiahkannya atau menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin. [Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/70]
Beliau juga berkata : “Para ulama sepakat tidak boleh menjual daging kurban atau hadyu (hewan yang disembelih oleh orang yang haji). Jumhur (mayoritas) ulama juga berpendapat tidak boleh menjual kulit binatang kurban, wolnya (bulu kambing), wabar (rambut onta) dan rambut binatangnya. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan menjual kulitnya, rambutnya dan semacamnya dengan (ditukar) barang-barang, bukan dengan uang, karena menukar dengan uang merupakan penjualan yang nyata” [Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/71]
Dari perkataan para ulama di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
[1]. Orang yang berkurban boleh memanfaatkan kurbannya dengan memakan sebagiannya, menshadaqahkan sebagiannya, memberi makan orang lain dan memanfaatkan apa yang dapat dimanfaatkan.
[2]. Para ulama sepakat, orang yang berkurban dilarang menjual dagingnya.
[3]. Tentang menjual kulit kurban, para ulama berbeda pendapat.
a). Tidak boleh. Ini pendapat mayoritas ulama. Dan ini yang paling selamat, insya Allah
b). Boleh asal dengan barang, bukan dengan uang. Ini pendapat Abu Hanifah, Tetapi Asy-Syafi’i menyatakan, bahwa menukar dengan barang juga merupakan jual-beli.
c). Boleh. Ini pendapat Abu Tsaur. Tetapi pendapat ini menyelisihi hadits-hadits diatas.
[4]. Jika kulit dijual, maka –yang paling selamat- uangnya (hasil penjualan) dishadaqahkan. Wallahu ‘alam bish shawab.
Sumber: ibnulqoyyim.com
Subscribe to:
Posts (Atom)