Sunday, October 16, 2011

Perselisihan Pendapat Tentang Hukum Memakan Daging Buaya

Bisa dikatakan di negeri kita yang mayoritas muslim ini, hampir semua hewan sudah menjadi sesuatu yang biasa dikonsumsi , Kelelawar, Anjing, Katak, Bekicot dan berbagai jenis hewan lainnya telah dikonsumsi oleh kaum muslimin di sebagian tempat secara perorangan dan di sebagian tempat lain bahkan telah disajikan di rumah-rumah makan.

Termasuk juga hewan yang banyak dikonsumsi oleh kaum muslimin di sebagian daerah seperti Kalimantan adalah buaya, hewan hitam, jelek dan ganas yang sudah tidak asing lagi tentunya bagi kita semua. Dan tahukah anda bahwa buaya adalah salah satu hewan yang diperselisihkan ulama tentang halal atau haramnya… ???

Buaya adalah adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air. Secara ilmiah, buaya meliputi seluruh spesies anggota suku Crocodylidae, termasuk pula buaya ikan (Tomistoma schlegelii). Meski demikian nama ini dapat pula dikenakan secara longgar untuk menyebut ‘buaya’ aligator, kaiman dan gavial; yakni kerabat-kerabat buaya yang berlainan suku.

Buaya umumnya menghuni habitat perairan tawar seperti sungai, danau, rawa dan lahan basah lainnya, namun ada pula yang hidup di air payau seperti buaya muara. Makanan utama buaya adalah hewan-hewan bertulang belakang seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia (Wikipedia)

Disebutkan bahwa makanan utama buaya adalah hewan-hewan bertulang belakang seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia , kalau boleh kita tambahkan bahwa makanan sampingan buaya adalah manusia . Sesuatu yang sudah kita maklumi bahwa hampir setiap bulan ada saja kabar tentang korban yang diterkam buaya, baik meninggal maupun luka-luka di sebagian daerah.
Para ulama berbeda pendapat tentang buaya ini, apakah halal utuk dimakan atau tidak, berikut pendapat dan fatwa mereka..

Dinukilkan dari Imam Ahmad Rahimahullahu bahwa beliau berkata : ” (Boleh) dimakan Semua yang berada di laut (air) kecuali katak dan buaya. Beliau berkata : karena buaya memangsa dan memakan manusia “
Dan Imam As-Syafi’i Rahimahullahu juga berpendapat bahwa buaya tidak boleh dimakan .(Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maidah : 96)

Berkata Abu Hanifah dan Sufyan Ats-tsauri Rahimahumullahu : “Tidak diperbolehkan (dimakan) dari laut (air) kecuali ikan” Berkata Ibnu Abi laila dan Imam Malik : “Diperbolehkan semua apa yang terdapat di dalam laut termasuk katak dan yang lainnya” (Zaadul Maisir, Al-Maidah : 96)

Lajnah Dai’imah Lil Buhuts Wal Ifta’ (Dewan tetap untuk pembahasan dan fatwa) Saudi Arabia :
Adapun buaya, maka ada yang mengatakan bahwa boleh dimakan berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan, dan ada juga yang mengatakan bahwa tidak boleh dimakan disebabkan dia termasuk yang memiliki taring dari kalangan hewan buas. Dan pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama (3/538)

Ibnu Utsaimin Rahimahullahu berkata : ” Dan Yang shohih, sesungguhnya buaya tidak dikecualikan dan boleh dimakan”
Kemudian beliau berkata :
“Maka yang benar, bahwa sesungguhnya tidak dikecualikan dari hal itu sesuatu apapun, dan sesugguhnya semua hewan laut yang tidak hidup kecuali di air adalah halal, hidupnya atau bangkainya berdasarkan keumuman ayat yang mulia yang telah kita sebutkan sebelumnya…” (As-Syarhul Mumti 15/35)

Syaikh Alu Bassam Rahimahullahu dalam Syarah Bulughul Marom juga menguatkan pendapat tentang halalnya semua binatang laut tanpa terkecuali termasuk buaya.

Dan setelah dilihat-lihat fatwa ulama yang banyak tersebut, yang tidak semuanya kami nukil disini maka semuanya kembali kepada dalil-dalil ini :

Ulama yang membolehkan berdalil dengan keumuman ayat :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ

Artinya : ” Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut” (QS. Al-Maidah : 96)

Dan yang mengharamkan buaya berdalil dengan hadits Abi Tsa’labah Rhadiyallahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

Artinya : ” “Sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang untuk memakan seluruh binatang buas yang bertaring” (HR. Bukhari No. 5530 dan Muslim No. 1932).

Dan kesimpulan yang kami dapatkan kurang lebih seperti ini :

Para ulama bisa dikatakan tidak ada yang berselisih bahwa binatang buas yang memiliki taring yang merupakan hewan darat adalah haram….,  seperti singa, serigala, dll. Dan seandainya saja buaya ini adalah hewan darat yang tidak mampu hidup di air mungkin tidak akan ada yang perselisihan yang kuat tentangnya. Karena hadits Abi tsa’labah Rhadiyallahu ‘anhu diatas sangat jelas. Begitu juga seandainya saja buaya adalah hewan air yang tidak mampu hidup di darat dalam waktu yang lama mungkin saja perselisihan pendapatnya tidak akan kuat, karena akan dihukumi seperti hewan buas air yang bertaring seperti hiu, yaitu halal.

Dan letak perbedaanya bahwa sebagian ulama menetapkan bahwa buaya adalah hewan air, maka dihukumi seperti halalnya ikan hiu. Dan sebagian lain menetapkan bahwa buaya adalah hewan yang mampu hidup di dua alam dan masalah ini pun terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai seluruhnya adalah halal seperti kepiting dan lain-lain kecuali katak (Karena ada hadits yang melarang membunuh katak , maka tentunya haram pula memakannya karena tentunya tidak bisa dimakan kalau tidak dibunuh.) Akan tetapi pendapat ini pun masih umum, karena hanya menyebutkan hewan umum yang hidup di dua alam dan tidak spesifik menyebutkan tentang hewan buas bertaring yang hidup di dua alam.

Sehingga letak perbedaan pendapat yang paling kuat ada di tiga sisi :
- Penggolongan buaya, apakah hewan air atau hewan dua alam .
- Hukum binatang yang hidup di dua alam
- Hukum binatang buas bertaring yang hidup di dua alam

Sebagaimana yang sudah kami sebutkan diatas, kalau ditetapkan sebagai hewan darat maka haram dan kalau ditetapkan sebagai hewan air pendapat yang sangat kuat adalah halal, dan kalau ditetapkan sebagai hewan dua alam maka terkumpul antara hukum yang membolehkan dan hukum yang melarang, dan kami lebih cenderung dengan pendapat yang mengharamkan, berdasarkan kaidah fiqih yang kuat yang banyak disebutkan ulama, diantaranya disebutkan oleh ibnu utsaimin Rahimahullahu :
وإن يجتمع معْ مبيحٍ ما منع … فقدمَن تغليبا الذي منع

“Dan apabila terkumpul bersama sesuatu yang membolehkan bersama sesuatu yang melarang, maka kebanyakkan kita kedepankan yang melarang”
Hal ini dikarenakan bahwa meninggalkan sesuatu yang mubah tentunya lebih selamat dibanding jatuh dalam keharaman

Dan yang kedua kita berusaha menjauhi yang subhat, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam :
فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ

Artinya: “ Barangsiapa yang meninggalkan syubhat, maka ia telah meyelamatkan agama dan harga dirinya.” (HR. Bukhari No. 52, Muslim No. 1599 dari hadits Nu’man bin Basyir Rhadiyallahu ‘anhu )

Dan juga hadits hasan bin Ali Rhadiyallahu ‘anhuma,  Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam bersabda :

دع ما يريبك إلى ما لا يريبك

Artinya : “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu(HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Lihat Shohih At- Targhib wat  tarhib No. 1737)

Akan tetapi harus diingat kembali bahwa perkara ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyah dan tidak selayaknya saling mencela dan menghajr di dalamnya.

Wallahu a’lam
10 Syawal 1432 H
60st, Near of Ijaba Mosque