Mengambil Manfaat Dari Sawah Yang Digadaikan
Pertanyaan:
Ada contoh kasus sebagai berikut : Si A menggadaikan sebidang tanah kepada Si B dengan harga satu juta dengan perjanjian bahwa Si B akan menggarap sawah tersebut selama tiga kali panen setelah itu barulah uang bisa dikembalikan. Jadi ada Si A mampu mengembalikan uang atau tidak maka Si B tetap menggarap sawah tersebut selama tiga kali panen. Dan kalau Si A setelah tiga kali panen belum mampu mengembalikan satu juta maka sawah masih tetap digarap oleh Si B sampai uangnya kembali.
- Apakah sistem seperti di atas dibolehkan menurut syari’at agama kita ?
- Bagaimana contoh gadai yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam? Tolong penjelasannya secara rinci beserta dalil-dalilnya.
- Apakah sistem seperti di atas dibolehkan menurut syari’at agama kita ?
- Bagaimana contoh gadai yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam? Tolong penjelasannya secara rinci beserta dalil-dalilnya.
Sinardin Baddusa’
Desa Raoda Kec. Lasusua Kab. Kolaka
Sulawesi Tenggara
Desa Raoda Kec. Lasusua Kab. Kolaka
Sulawesi Tenggara
Jawab :
Sistem seperti yang disebut dalam contoh kasus tidaklah dibenarkan dalam syari’at Islam yang mulia lagi penuh kebijaksanaan. Hal tersebut karena beberapa perkara :
1. Hal tersebut adalah bentuk kezholiman yang diharamkan dalam syari’at Islam yang luhur dan mulia.
1. Hal tersebut adalah bentuk kezholiman yang diharamkan dalam syari’at Islam yang luhur dan mulia.
2. Adanya perjanjian bahwa Si B akan menggarap sawah tersebut selama tiga kali panen setelah itu barulah uang bisa dikembalikan adalah pensyaratan yang terlarang dan bertentangan dengan maksud dari syari’at sistem gadai yang sifatnya hanya sebagai barang jaminan bila si peminjam tidak mampu mengambalikan pinjaman.
3. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَلَبَنُ الدُّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا وَعَلَى الذِّيْ يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Hewan tunggangan ditunggangi sesuai dengan nafkahnya (baca : biayanya) apabila ia tergadaikan dan susunya diminum sesuai dengan nafkahnya apabila ia tergadaikan. Dan atas orang yang menunggangi dan meminumnya (menanggung) nafkahnya”.
Berdasarkan hadits ini Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Al-Laits, Al-Hasan dan lainnya berpendapat tentang bolehnya bagi orang yang memegang barang sebagai jaminan (gadai) untuk memanfaatkan barang tersebut sepanjang ia menanggung biayanya dan barang tersebut berupa kendaraan maupun ternak yang bisa diperah susunya sambil menjaga sikap adil antara penggunaan dan biaya yang ia keluarkan.
Adapun jumhur ulama seperti Imam Malik, Syafi’iy, Abu Hanifah dan lainnya, mereka berpendapat bahwa manfaat barang gadai hanya untuk pemiliknya dan biayanya juga ditanggung olehnya. Pendapat Jumhur ini dibangun di atas hadits ‘Abdullah bin ‘Umar riwayat Iman Al-Bukhary, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لَا يَحْلِبَنَّ أَحَدٌ مَاشِيَةَ امْرِئٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِ
“Jangan sekali-kali seseorang memerah ternak orang lain tanpa izinnya”.
Namun pendapat jumhur ini tidak kuat, karena hadits ‘Abdullah bin ‘Umar yang dipakai oleh Jumhur sifatnya umum sedangkan hadits Abu Hurairah yang dipakai oleh Imam Ahmad dan ulama yang bersamanya sifat lebih khusus sehingga menjadi perkecualian yang harus diterima.
Maka yang kuat dalam masalah ini bahwa boleh bagi orang yang memegang barang gadai sebagai jaminan untuk memanfaatkan barang tersebut sepanjang ia menanggung biayanya dan barang tersebut berupa kendaraan maupun ternak yang bisa diperah susunya. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Asy-Syaukany dan lain-lainnya.
Baca : Al-Mughny 6/509-511, Al-Inshof 5/172-173, Takmilah Al-Majmu’ 12/364-367, Tafsir Al-Qurthoby 3/411-412, Ad-Darary Al-Mudhiyyah 2/138, Nailul Author 5/249-250, As-Sail Al-Jarrar 3/274-275, Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/1065-1068 dan Taudhih Al-Ahkam 4/77-79.
لَا يَحْلِبَنَّ أَحَدٌ مَاشِيَةَ امْرِئٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِ
“Jangan sekali-kali seseorang memerah ternak orang lain tanpa izinnya”.
Namun pendapat jumhur ini tidak kuat, karena hadits ‘Abdullah bin ‘Umar yang dipakai oleh Jumhur sifatnya umum sedangkan hadits Abu Hurairah yang dipakai oleh Imam Ahmad dan ulama yang bersamanya sifat lebih khusus sehingga menjadi perkecualian yang harus diterima.
Maka yang kuat dalam masalah ini bahwa boleh bagi orang yang memegang barang gadai sebagai jaminan untuk memanfaatkan barang tersebut sepanjang ia menanggung biayanya dan barang tersebut berupa kendaraan maupun ternak yang bisa diperah susunya. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Asy-Syaukany dan lain-lainnya.
Baca : Al-Mughny 6/509-511, Al-Inshof 5/172-173, Takmilah Al-Majmu’ 12/364-367, Tafsir Al-Qurthoby 3/411-412, Ad-Darary Al-Mudhiyyah 2/138, Nailul Author 5/249-250, As-Sail Al-Jarrar 3/274-275, Al-Jami’ Lil Ikhtiyarat Al-Fiqhiyyah lisyaikhil Islam Ibnu Taimiyah 2/1065-1068 dan Taudhih Al-Ahkam 4/77-79.
Bertolak dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa mengambil manfaat dari sawah sebagaimana dalam kasus di atas adalah tidak diperbolehkan karena sawah bukanlah termasuk kedalam kategori bisa dikendarai atau ternak yang bisa diperah susunya.
4. Menurut pendapat yang paling kuat barang jaminan tidak terlepas dari dua keadaan:
Satu : Barang tersebut butuh mengharuskan perawatan.
Dua : Barang tersebut tidak mengharuskan perawatan.
Adapun kalau mengharuskan perawatan, telah diuraikan bahwa boleh bagi si pemegang barang jaminan mengambil manfaat darinya walaupun tanpa seizin pemiliknya bila jaminannya bisa dikendarai atau hewan yang bisa diperah susunya.
Adapun kalau tidak butuh perawatan seperti sawah, rumah dan lain-lainnya maka tidak boleh mengambil manfaat darinya bila yang menjadi sebab adanya barang jaminan karena hutang. Hal tersebut tidak diperbolehkan karena bisa masuk ke dalam larangan kaidah umum yang berbunyi :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman yang menyebabkan manfaat maka itu adalah riba.”
Dan contoh kasus di atas masuk dalam kategori ini. Wallahu A’lam.
[Dinukil dari majalah An-Nashihah edisi 7, rubrik: Masalah Anda]
http://al-atsariyyah.com/mengambil-manfaat-dari-sawah-yang-digadaikan.html
http://al-atsariyyah.com/mengambil-manfaat-dari-sawah-yang-digadaikan.html