Monday, November 7, 2011

Jarh Wa Ta’dil di Kalangan Penuntut Ilmu


Sebuah kesalahan akan selalu hinggap kepada seorang insan, tidak memandang  apakah orang tersebut orang biasa, penuntut ilmu atau ulama. Insya Allah semua orang berakal mengakuinya, dan hanya orang sombong dan angkuh yang tidak mengakui bahwa dirinya bisa terjatuh dalam kesalahan. Dan ini ditegaskan lagi oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam :
كل بني آدم خطاء و خير الخطائين التوابون

Artinya : “Setiap anak Adam itu mempunyai banyak kesalahan dan sebaik-baik orang yang mempunyai banyak kesalahan ialah orang-orang yang banyak bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shahih Tirmidziy dari sahabat Anas bin Malik Rhadiyallahu ‘anhu ).

Dan kesalahan-kesalahan ini terjadi menyeluruh, bisa terjadi di akhlak kita, perkataan kita, tingkah laku kita, dan pada para ulama terkadang terjadi pada fatwa-fatwa mereka.

Dan catatan kali ini adalah sebuah catatan tentang menyikapi “kesalahan” ulama, sebuah catatan yang mudahan bermanfaat, karena terkadang sebagian penuntut ilmu ketika menemukan sebuah perkara atau fatwa yang dinisbahkan pada satu ulama tertentu yang mereka anggap salah maka mereka tergesa-gesa dan terburu-buru mengangkatnya tinggi-tinggi ke hadapan umat, bukan untuk memberi penjelasan kepada umat tentang kesalahan fatwa tersebut akan tetapi lebih kepada usaha untuk menjatuhkan derajat dan kedudukan ulama tersebut dalam keadaan ulama tersebut adalah ulama yang terkenal sebagai ulama yang memperjuangkan sunnah Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam. Dan seandainya saja mereka mau jujur dan adil mau menimbang kesalahan fatwa ulama tersebut dibandingkan dengan  fatwa-fatwa mereka yang mencocoki sunnah maka sungguh bagai tetesan air najis di tengah danau, maka tidak membuat perubahan pada air danau tersebut.

Ibnu Utsaimin Rahimahullahu telah memberikan tahapan-tahapan bagi setiap orang terkhusus penuntut ilmu apabila melihat suatu kesalahan pada fatwa para ulama, tahapan-tahapan yang seandainya seseorang mau mengambilnya maka selamatlah dirinya dari kebodohan dan ketergesa-gesaan . Kami terjemahkan secara bebas dengan tanpa merubah maknanya. Berikut nukilannya :

Apabila seseorang mendengar nukilan atau selentingan tentang sesuatu dari ulama Rabbaniyun yang menurut dia layak untuk diingkari, maka berikut tahapan-tahapannya :

Pertama
hendaknya dia melakukan cek dan ricek tentang perkara atau fatwa yang dinukilkan tersebut, apakah benar hal tersebut berasal atau ada pada ulama tersebut. Karena betapa banyak perkara-perkara yang dinukilan terdapat pada seoarang ulama ternyata hanya kedustaaan. Maka apabila benar dan telah yakin, maka beralih ke tahapan kedua.

Kedua,
melakukan pembahasan dan pengecekan tentang perkara tersebut, apakah perkara atau fatwa tersebut pantas untuk diingkari atau dikoreksi ataukah tidak ??. Dan betapa banyak seorang insan ketika mendengar suatu perkara dari seorang ulama dia menganggap bahwa perkara tersebut adalah perkara yang harus diingkari dan layak dikoreksi, kemudian setelah dia melakukan pembahasan di kitab-kitab para ulama dan bertanya pada ulama-ulama yang lain maka jelaslah baginya bahwa perkara tersebut bukan perkara yang harus diingkari dan dikoreksi dengan keras..

Ketiga,
Apabila telah jelas bahwa perkara atau fatwa yang yang ada pada ulama tersebut ternyata adalah pendapat yang mencocoki kebenaran dan tidak layak dikoreksi, maka sepantasnya dia  membersihkan nama ulama tersebut dan menyebarkan dikalangan umat bahwa ucapan ulama tersebut diatas kebenaran walaupun menyelisihi yang diyakini umat.

Keempat
, Apabila telah jelas berdasarkan pandangannya bahwa apa yang ada pada ulama tersebut adalah benar dan tsabit darinya dan layak untuk dikoreksi dan diingkari, maka wajib baginya untuk menghubungi ulama tersebut dengan adab dan rendah hati dan mengatakan, “bahwa aku telah mendengar tentang engkau begini dan begitu.. dan aku berharap agar engkau menjelaskannya padaku perkara tersebut karena sesungguhnya engkau lebih berilmu dariku”. Apabila setelah ulama tersebut menjelaskan sisi dasar perkara atau fatwanya dan tetap menurut pandangannya hal itu layak untuk dikoreksi maka engkau memiliki hak untuk melakukan diskusi dengannya, tentunya dengan rasa hormat dan adab.

Sampai disini ucapan beliau secara makna, dan adapun sebagian penuntut ilmu terkadang tidak melalui tahapan-tahapan yang beliau sampaikan ini, hanya dengan bermodalkan katanya-katanya saja tanpa adanya kepastian tentang sesuatu yang dinisbahkan terhadap seorang ulama , mereka berani menulis tulisan-tulisan yang menjatuhkan kredibilitas ulama tersebut , tanpa pernah melakukan cek dan ricek terlebih dahulu.  Dan yang lebih aneh lagi.. terkadang permasalahan tersebut terkadang ternyata permasalahan khilafiyah fiqhiyah yang tidak pantas seseorang dijatuhkan kehormatannya karena ijtihadnya.

Dan semua ini atas nama bendera Jarh Wa ta’dil, sehingga semua orang menganggap dirinya berhak bicara dan sampai lupa bahwa terkadang seorang penuntut ilmu pemula masih tertutupi perkara-perkara yang tampak baginya, sehingga seringkali dia salah di dalam pandangannya tersebut.

Begitu juga fenomena yang terjadi di antara sesama penuntut ilmu, terkadang seorang penuntut ilmu mengingkari saudaranya dengan pengingkaran yang keras di majelis-majelis dan tulisan-tulisan di internet, dalam keadaan belum adanya cek dan ricek dan saling menasehati dengan lembut, dan sekali lagi semua atas nama bendera jarh wa ta’di’l. Syaikh Muhammad Al-Imam Hafidzhahullahu dalam sebuah nasehatnya tentang fenomena ini berkata :
“Maksud  Saya  dengan  (membawakan)  ucapan  ini  adalah,  supaya  kita menutup pintu saling mencela antara sesama kita. Dan barang siapa yang melihat  ada  sebuah  aib  pada  saudaranya,  maka  hendaknya  ia menasehatinya. Kita menutup pintu-pintu -dari apa yang sekarang disebut dengan- al-Jarh wat  Ta’dîl di antara para penuntut ilmu, yaitu para penuntut ilmu saling mencela dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang sebenarnya mereka tidak diizinkan untuk melakukannya. Karena hal ini termasuk bentuk dari apa yang dikehendaki oleh syaithan, yaitu kita saling mencela satu dengan lainnya  dengan  mengatasnamakan  bahwa  kita  sedang  berjalan  di  atas metoda al-Jarh wat Ta’dîl.
Saya  nasehatkan  kepada  setiap  penuntut  ilmu,  supaya  mereka  lebih antusias dalam menyelamatkan dirinya, dan menjauhi dari apa-apa yang dapat mendatangkan bahaya kepadanya. Menjaga kehormatan saudaramu adalah  tuntutan  syar’i,  dan  jarh (mencela  kredibel  seseorang)  adalah haknya  para  ulama8,  dan  itupun  sebatas  dengan  kebutuhannya  dan menurut keadaannya yang mendesak. Tidaklah setiap orang berhak untuk men-jarh dan tidak setiap orang berhak untuk berbicara. Berhati-hatilah terhadap diri kalian, karena sesungguhnya saya mencintai apa yang ada pada  diri  kalian  sebagaimana  saya  mencintai  apa  yang  ada  pada  diriku berupa kebaikan.
Sebuah nasehat yang indah untuk direnungkan, dan apabila kita masih terjatuh di kesalahan ini maka ingatlah sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam ;

يبصر أحدكم القذى في عين أخيه و ينسى الجذع في عينه

Artinya : “Ada  salah  seorang  diantara  kalian  yang  bisa  melihat  debu  di  matasaudaranya namun ia lupa akan batang yang ada di pelupuk matanya.”
(HR. Ibnu Hibbân dan Abû Nu’aim di dalam “Al-Hilyah”, Dishohihkan oleh Al-Albani Rahimahullahu dalam Shohihul Jam’ 8013 Dari Abu Hurairoh Rhadiyallahu ‘anhu )
Wallahu A’lam

Sumber Catatan :
Syarah Arbain An-Nawawiyah , Ibnu Utsaimin Rahimahullahu
Nasehat Syaikh Muhammad Al-Imam Hafidzhahullahu, download disini