Tuesday, January 31, 2012

Antara Si Kaya yang Bersyukur dan Si Fakir yang Bersabar

Masalah siapa yang lebih utama antara si kaya yang bersyukur dan si fakir yang bersabar adalah masalah yang banyak dibicarakan oleh manusia. Sebagian mereka menulis tentangnya. Syaikhuna Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhahullah berkata :

Diantara penulis yang kami ketahui yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri adalah Al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah. Dia menulis sebuah kitab yang berjudul uddatush-shaabirin wa dzakhiratusy-syaakirin. Dan Ash-Shan’ani rahimahullah juga menulis sebuah kitab yang berjudul as-saiful baatir fil mufadhalah bainal faqiirish-shaabir wal ghaniyyi asy-syakir, dia menyebutkannya di dalam Al Uddah seraya mengatakan bahwa dia meringkasnya dari karya Ibnul Qayyim dan berkata : “Ini adalah kitab yang luar biasa, tidak ada tandingannya. Kami menyusunnya di Makkah pada tahun 1135 H”.

Diantara argumen yang digunakan untuk mengunggulkan kedudukan si fakir yang bersabar daripada si kaya yang beryukur adalah firman Allah Ta’ala :


] أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا [ (الفرقان: مِن الآية75).


Artinya : Mereka itulah orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka.

Muhammad bin Ali bin Al Husain berkata : “Kata ghurfah berarti syurga. Dan kalimat bimaa shabaruu bermakna karena kesabaran mereka terhadap kefakiran di dunia.

Dan diantaranya adalah bahwa kaum fuqara’ akan masuk kedalam syurga mendahului kaum kaya setengah hari (sebelum mereka), setengah hari sebanding dengan 500 tahun (waktu di dunia). Dan terdapat riwayat dengan 40 kali musim gugur. Sehingga kaum kaya muslimin berangan-angan bahwa seandainya mereka dahulu termasuk kaum fuqara’.

Dan diantaranya adalah bahwa tidaklah Allah menyebutkan tentang dunia melainkan dengan celaan. Terkadang Allah menyebutkan tentang harta yang merupakan sebab bertindak melampaui batas, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

] كَلَّا إِنَّ الْأِنْسَانَ لَيَطْغَى $ أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى [ (العلق:6-7).


Artinya : Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.

Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta merupakan sebab kedurhakaan. Allah Ta’ala berfirman :


] وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ [ (الشورى: مِن الآية27).


Artinya : Dan jikalau Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan durhaka di muka bumi.

Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta merupakan fitnah :


] إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَة [ (التغابن: مِن الآية15).

Artinya : Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah (bagimu).

Dan terkadang Allah menyebutkan bahwa harta dan anak tidak membantu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala :


] وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عَندَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً [ (سـبأ: مِن الآية37).


Artinya : Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kalian yang mendekatkan kalian kepada Kami sedekat-dekatnya; kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.

Dan diantara argumen yang digunakan untuk mengunggulkan kedudukan si fakir yang bersabar adalah bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dipilih oleh Allah dalam keadaan fakir. Sesungguhnya telah ditawarkan kepada beliau kunci-kunci khazanah bumi, tetapi beliau menolaknya seraya berkata :


((بَلْ أَجُوْعُ يَوْماً وَأَشْبَعُ يَوْماً، فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ، وَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ وَشَكَرْتُكَ)).

Artinya : “Bahkan saya lapar sehari dan kenyang sehari. Apabila saya lapar, maka saya merendahkan diri kepada-Mu dan mengingat-Mu. Dan apabila saya kenyang, maka saya memuji-Mu dan bersyukur kepada-Mu”.

Ini adalah kesimpulan pendapat mereka yang mengunggulkan orang fakir yang bersabar.

Pendapat tersebut telah disanggah oleh mereka yang mengunggulkan si kaya yang bersyukur dengan dalil-dalil yang dibawakan oleh mereka yang mengunggulkan si fakir yang bersabar. Kemudian mereka berkata :

Adapun ayat yang (kalian bawakan), maka tidak ada keterangan yang mendukung pendapat kalian padanya, sebab kesabaran di dalam ayat tersebut umum, mencakup seluruh macam kesabaran. Ia mencakup :

- sabar untuk tidak melanggar yang diharamkan bagi yang memiliki kesempatan untuk melakukan keharaman tersebut dengan hartanya,

- sabar dalam menjalankan ketaatan,

- sabar dalam menerima berbagai macam cobaan, seperti sakit, musibah, kefakiran, desakan kebutuhan dan selainnya.

Adapun tentang masuknya kaum fuqara’ kedalam syurga, maka tidak serta merta hal tersebut menunjukkan berkurangnya derajat si kaya, bahkan bisa jadi si kaya yang belakangan masuk syurga, lebih tinggi derajatnya daripada si fakir yang mendahuluinya masuk syurga.

Adapun celaan Allah terhadap dunia dan harta, sesungguhya celaan tersebut hanya berlaku pada orang yang membelanjakan hartanya dalam bermaksiat kepada Allah. Sedangkan orang yang membelanjakan hartanya di dalam ketaatan kepada Allah, maka yang demikian adalah terpuji. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :


] وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ $ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ [ (المعارج:24-25).

Artinya : Dan orang-orang yang di dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).

Dan Allah Ta’ala berfirman :


] فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى- وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى - فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى [ (الليل:5-7).


Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Adapun tentang Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, maka Allah telah menghimpun bagi beliau antara kedudukan kaya bersyukur dan fakir bersabar. Berapa banyak harta yang datang kepada beliau, namun beliau ‘alaihish-shalatu was-salam enggan menerima dan menafkahkannya di dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Dan diantara dalilnya adalah bahwa sesungguhnya dahulu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjamu setiap tamu yang datang pada tahun-tahun terakhir setelah fathu Makkah, padahal jumlah mereka banyak. Bersama itu beliau wafat dalam keadaan baju perang beliau digadaikan kepada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum sebagai nafkah bagi keluarga beliau.

Sementara diantara dalil yang mengunggulkan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar adalah hadits :


عَنْ سُمَيٍّ مَوْلََى أَبِي بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّان عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ t أَنَّ فُقَرَاءَ المُسْلِمِيْنَ أَتَوْا رَسُوْلَ اللهِ e فَقَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِالدَّرَجَاتِ العُلَى وَالنَّعِيْمِ المُقِيْمِ، قَالَ : وَمَا ذَاكَ ؟ قَالُوْا : يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ وَلاَ نَتَصَدَّقُ، وَيُعْتِقُوْنَ وَلاَ نُعْتِقُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ e : أَفَلاَ أُعَلِّمُكُمْ شَيْئاً تُدْرِكُوْنَ مَنْ سَبَقَكُمْ، وَتَسْبِقُوْنَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ، وَلاَ يَكُوْنُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلاَّ مَنْ صَنَعَ كَمَا صَنَعْتُمْ ؟! قَالُوْا : بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ : تُسَبِّحُوْنَ وَتُكَبِّرُوْنَ وَتَحْمَدُوْنَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ مَرَّةً...

قَالَ أَبُوْ صَالِحٍ : فَرَجَعَ فُقَرَاءُ المُهَاجِرِيْنَ فَقَالُوْا : سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوْا مِثْلَهُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ e : ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ.))(1).

Dari Sumayyin maula Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam dari Abu Shalih As-Samman dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :

“Bahwa kaum fuqara’ muslimin mendatangi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, kemudian mereka berkata : Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal (di syurga).

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bertanya : “Mengapa demikian ?”

Mereka menjawab : “Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, mereka bisa bersedekah sementara kami tidak bisa dan mereka bisa memerdekakan budak sementara kami tidak bisa”.

Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Bukankah saya ajarkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian dapat menyamai orang-orang sebelum kalian dan kalian mendahului orang-orang setelah kalian serta tidak ada seorang-pun yang lenih utama dari kalian kecuali dia melakukan apa yang kalian lakukan ?!”

Mereka menjawab : “Betul wahai Rasulullah”.

Rasulullah bersabda : “Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap selesai shalat 33 kali…”.

Abu Shalih berkata : Kemudian kaum fuqara’ Muhajirin kembali, lalu berkata : “Saudara-saudara kami orang-orang kaya mendengar apa yang kami lakukan, kemudian mereka melakukan hal serupa”.

Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Itulah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”.

Ash-Shan’ani berkata di dalam Al Uddah :

“Dia berkata : Barangsiapa mengunggulkan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar, maka kami memiliki dalil-dalil yang sangat banyak dan kata-kata baik yang menyeluruh :

Pertama : Bahwa Allah memuji di dalam kitab-Nya berbagai amal perbuatan yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang kaya, seperti :

- zakat,

- menafkahkan harta di dalam berbagai amal kebajikan,

- jihad fi sabilillah,

- membekali para pejuang,

- memperhatikan orang-orang yang membutuhkan,

- membebaskan budak,

- memberikan bantuan di masa paceklik.

Dimana letak kesabaran si fakir dibanding dengan kebahagiaan orang yang terdesak kebutuhan yang bisa membinasakan dirinya (setelah mendapatkan nafkah dari si kaya) ?

Dimana letak kesabaran si fakir dibanding dengan manfaat yang diberikan oleh si kaya dengan hartanya untuk menolong agama Allah, meninggikan kalimatullah dan mematahkan musuh-musuh-Nya ?

Dimana letak kesabaran ahlus-Shuffah (para Shahabat yang fakir yang tinggal di serambi masjid Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ) dibanding dengan nafkah Utsman radhiallahu ‘anhu untuk memenuhi berbagai kebutuhan, sampai Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :


((مَا ضَرَّ عُثْمَانَ مَا عَمِلَ بَعْدَ اليَوْمِ)).

Artinya : “Tidak ada yang membahayakan Utsman, apa yang dia lakukan setelah hari ini”.

Mereka berkata : Orang-orang kaya yang bersyukur merupakan sebab ketaatan kaum fuqara yang bersabar, dengan memberikan bantuan sedekah kepada mereka, berbuat baik kepada mereka dan memperhatikan ketaatan mereka. Maka mereka mendapatkan bagian yang besar dari pahala-pahala kaum fuqara’ ditambah dengan pahala mereka sendiri dengan memberikan nafkah (kepada kaum fuqara’) dan ketaatan mereka. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah dari hadits Salman radhiallahu ‘anhu secara marfu’ :


((مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوْبِهِ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ)).

Artinya : “Barangsiapa yang memberikan ifthar kepada yang berpuasa, maka yang demikian itu adalah penghapus dosa-dosanya dan pembebas dirinya dari neraka dan dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang diberi ifthar tanpa mengurangi sedikit-pun pahalanya.

Si kaya yang bersyukur ini mendapatkan pahala seperti pahala yang didapat oleh si fakir dengan jamuan yang diberikan kepadanya.

Mereka berkata : Keutamaan-keutamaan bersedekah telah diketahui besarnya dan manfaatnya tidak terhitung jumlahnya. Dan inilah diantara buah si kaya yang bersyukur”. Selesai dari Al Uddah 3/88 karya Ash-Shan’ani dengan sedikit perubahan.

Ini adalah kesimpulan dari hujjah yang digunakan oleh kedua kubu. Dan jelaslah dari yang telah kami paparkan, keunggulan si kaya yang bersyukur daripada si fakir yang bersabar. Dimaklumi bahwa tidak ada tempat bagi orang fakir yang tidak bersabar dan orang kaya yang tidak bersyukur di dalam perbandingan keutamaan disini. Selesai.



Abu Abdillah Muhammad Yahya

18 Dzulqa’dah 1428 H/26 November 2007 M

Nijamiyah-Shamithah-Jazan

KSA

(1)أخرجه البخاري في كتاب الصلاة باب : الذكر عقب الصلاة ، رقم الحديث (843) بدون قوله : "فرجع فقراء المهاجرين" . وأخرجه أيضاً في الدعوات باب : الدعاء بعد الصلاة ، رقم الحديث (6329) إلا أنه قَالَ : تسبحون في دبر كل صلاة عشرا وتحمدون عشرا وتكبرون عشرا 

darussalaf.or.id

Dalil Keutamaan Bersuci

Inilah salah satu ayat Al Qur'an yang menyatakan bahwa orang yang bersuci itu sangat disukai oleh Allah SWT.

Allah SWT berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

[137] Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
[138] Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.

Jejak Hati


Ingin berlari
Dari kepiluan hati
Gundah dan lara ini
Ibaratkan mesin waktu
Yg terus menggiringku
Pada sunyi
Pada mimpi
Pada ilusi yang tak pasti

Aku terus berlari
Terbawa arus
Dan menepi dan menepi
Terkapar di ujung ombak
Tertambat
Dan patah....












@jejakhati
Anggie D. Widowati

Sebab Sebab Terjadinya Kesyirikan

Pertanyaan:
Banyak di antara kaum muslimin yang terjerumus ke dalam kesyirikan dengan melakukan amalan-amalan tertentu yang mereka anggap sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, padahal justru merupakan sebab-sebab kesyirikan. Oleh sebab itu, kami memohon penjelasannya, mudah-mudahan Allah memberikan hidayah kepada kita dan mereka!

Jawaban:

Mengetahui sebab-sebab terjadinya kesyirikan adalah perkara yang sangat penting dalam rangka menghindarkan diri dengan sejauh-jauhnya darinya, sebab kesyirikan adalah dosa yang terbesar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengampuni pelaku kesyirikan bila tidak bertaubat. Hal ini mewajibkan seorang hamba untuk berhati-hati dan sangat takut kepada-Nya, dan membawanya untuk mengetahui dan menjauhi kesyirikan, karena sesungguhnya kesyirikan adalah sejelek-jelek perkara dan kezhaliman yang paling besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang paling besar.” [ Luqman: 13 ]
Sebab-sebab kesyirikan sangatlah banyak, dan yang akan disebutkan adalah pokok-pokoknya, yang dari pokok-pokok inilah kemudian sebab-sebab itu bercabang-cabang. Pokok-pokok itu antara lain:

Berlebih-Lebihan Dalam Memuji

Pertama,
Berlebih lebihan dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah mengingatkan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu,
لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ الله وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian
Ithra` kepadaku sebagaimana orang-orang Nashara Ithra` terhadap ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba-Nya, maka katakanlah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Ithra`
adalah melampaui batas dalam memuji. Jadi, maksud hadits di atas adalah “Janganlah kalian memujiku dengan melampaui batas sebagaimana Nashara telah berlebih-lebihan dalam memuji ‘Isa bin Maryam sampai mereka mengangkatnya sebagai Ilah yang patut disembah, tetapi sifatilah saya sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati saya dalam Al Qur`an,
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al Qur`an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.” [ Al-Kahfi: 1 ] ”

Akan tetapi orang-orang musyrikin dari dahulu sampai sekarang tidak mau kecuali menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan melanggar larangannya. Mereka mengagungkan beliau secara berlebihan dan melakukan hal-hal yang beliau telah melarang dan memperingatkan umatnya dari hal tersebut, yaitu berlebihan dalam mengagungkan beliau. Mereka menyerupai orang-orang Nashara yang berlebihan dalam memuji nabinya. Di antara bentuk kesyirikan dari jenis ini adalah syair Al Bushiry di dalam Al-Burdah . Dia berkata,
يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعُمَمِ

“Wahai Makhluk yang paling mulia, kepada siapa saya memohon perlindungan, kecuali kepadamu jika terjadi musibah yang besar.”

Lalu perkataannya yang lain,
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ الْلَوْحِ وَالْقَلَمِ

“Sesungguhnya dari kemuliaanmu lahir dunia dan pasangannya (akhirat) dan termasuk dari ilmumu ilmu
Lauh Mahfudz dan Al-Qalam.”

Bait-bait syair seperti ini mengandung doa, permintaan dan perlindungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Juga berisi permintaan agar dihilangkan kesempitan hidup, kesengsaraan serta kerusakan dari penulisnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini bisa terjadi karena syaitan menghias-hiasi perbuatan mereka. Syaithan menampakkan kepada mereka, bahwa ghuluw ‘berlebih-lebihan’ dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, walaupun hal itu merupakan syirik akbar, adalah dalam rangka mencintai dan memuji Nabi. Dia juga menampakkan bahwa berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu tidak berlebihan dalam memujinya merupakan perbuatan membenci, mengurangi hak, enggan untuk bershalawat, dan tidak memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Allahu Musta’an .

Kedua,
Berlebih-lebihan dalam memuji orang-orang shalih.

Jika berlebih-lebihan dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam saja terlarang, maka berlebih-lebihan kepada selain beliau, seperti orang-orang shalih, jelas lebih terlarang lagi. Hal inilah yang merupakan penyebab kesyirikan pertama pada umat manusia, yaitu pada umat Nabi Nuh ‘alaihis salam, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur`an,

“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa`, Yaghuts, Ya`uq dan Nasr.’.”
[ Nuh: 23 ]

Imam Bukhary mengeluarkan dalam Shahih -nya (8/667) tentang tafsir ayat ini, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata,
ثُمَّ صَارَتْ الأَوْثَانُ الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوْحٍ فِي العَرَبِ بَعْدُ. أَمَّا وَدُّ كَانَتْ لِكَلْبِ بِدَوْمَةِ الجَنْدَلِ, وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ لِهُذَيْلٍ, وَأَمَّا يَغُوْثُ فَكَانَتْ لِمُرَادِ ثُمَّ لِبَنِي غَطِيْفِ بِالجَوْفِ ثُمَّ سَبَأَ, وَأَمَّا يَعُوْقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانِ وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرِ لآِلِ ذِي الكَلاَعِ أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِيْنَ مِنْ قَوْمِ نُوْحٍ فَلَمَّا هَلَكُوْا أَوْحَى الشَيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ انْصَبُوْا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي كَانُوْا يَجْلِسُوْنَ أَنْصَابًا وَسَمُّوْهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوْا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَى إِذَا هَلَكَ أُوْلَئِكَ وَتَنْسَخُ العِلْمُ عُبِدَتْ

“Kemudian jadilah patung-patung yang ada pada kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam disembah di Jazirah Arab setelahnya. Adapun Wadd adalah patung kepunyaan Kalb di Daumatul Jundal. Adapun Suwa` adalah patung kepunyaan Hudzail. Adapun Yaghuts adalah patung kepunyaan Muradi yang kemudian untuk Bany Ghathif di daerah Jauf kemudian Saba`. Adapun Ya ’uq adalah patung kepunyaan Hamdan. Adapun Nasr adalah patung kepunyaan Himyar khususnya keluarga Dzil Kala’. (Kelima nama ini) adalah nama orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam. Maka tatkala mereka (orang-orang shalih) itu wafat, syaithan mempengaruhi kaum Nabi Nuh agar membuat patung-patung pada majelis-majelis mereka yang mereka biasa duduk padanya (dalam rangka mengingat mereka), dan (syaithan juga mempengaruhi mereka) agar mereka menamakan patung-patung terrsebut dengan nama-nama orang shalih tersebut. Maka mereka pun (kaum Nuh) melakukannya. Dan ketika itu mereka (patung-patung itu) belum disembah. Akan tetapi, tatkala orang-orang yang membuat patung tersebut telah meninggal dan ilmu agama telah hilang, maka patung-patung itu pun disembah
. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat ini).

Yang dimaksud dengan berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih adalah mengangkat mereka pada kedudukan yang tidak ada yang boleh mendudukinya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni istighatsah tatkala terkena kesusahan atau tatkala ditimpa bencana, tawaf di kuburan mereka, tabarruk ‘mencari berkah’ dari barang-barang peninggalan mereka, menyembelih di kuburan-kuburan mereka dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada mereka, meminta pertolongan kepada mereka padahal mereka telah meninggal, dan lain-lain.

Telah terjadi pula pada umat ini, seperti apa yang terjadi pada umat Nabi Nuh ‘alaihis salam, tatkala syaithan menampakkan kepada kebanyakan orang bahwa ghuluw ‘berlebih-lebihan’ dan bid’ah-bid’ah adalah pengagungan dan bukti kecintaan terhadap orang-orang shalih. Kemudian syaithan memengaruhi kebanyakan orang tersebut agar membangun kuburan-kuburan orang-orang shalih itu, i’tikaf di situ dan menganggap berdoa di tempat itu diterima. Kemudian meningkat lagi ke bentuk keharaman yang lebih tinggi, bahkan sampai kepada kesyirikan, seperti berdoa dan bertawassul kepada orang-orang shalih itu. Kemudian berpindah lagi kepada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu mengajak manusia untuk beribadah kepada kuburan-kuburan tersebut, dalam bentuk menjadikan hari-hari tertentu sebagai hari peringatan untuk mengunjungi kuburan-kuburan tersebut dan melaksanakan ibadah-ibadah tertentu padanya. Kalau semua hal di atas telah tetap dan mendarah daging, berpindah lagi kepada yang lebih jelek yaitu, meyakini bahwasanya barangsiapa yang melarang perbuatan-perbuatan seperti itu, maka sesungguhnya dia adalah orang yang merendahkan derajat serta membenci para wali. Kebanyakan orang tersebut meyakini bahwa orang yang melarang perbuatan mereka adalah orang yang tidak memiliki penghormatan, pemuliaan dan pengakuan terhadap kedudukan para wali tersebut. Keyakinan ini telah menghunjam kuat di dalam hati orang-orang awam yang bodoh, bahkan orang-orang yang dianggap mempunyai ilmu agama, sehingga mereka memusuhi ahli tauhid dan menggelarinya dengan gelar-gelar yang buruk yang menyebabkan manusia lari dari ahli tauhid tersebut. Mereka memusuhi ahli tauhid dengan mengatasnamakan kecintaan dan pengagungan kepada orang-orang shalih, padahal mereka itu berdusta, karena mencintai orang-orang shalih hakikatnya adalah sejalan dan sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah menurut pemahaman para Salaf Ash-Shalih. Adapun caranya adalah dengan mengetahui keutamaan-keutamaan Salaf Ash-Shalih tersebut dan mencontoh amalan-amalan shaleh mereka, tanpa meremehkan atau bersikap berlebih-lebihan terhadap mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang, yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), berdoa, ‘Wahai Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’.” [ Al-Hasyr: 10 ]

Ta’ashshub
(Fanatik) Terhadap Peninggalan Nenek Moyang Walaupun Itu Bathil dan Menyelisihi yang Haq Khususnya Dalam Masalah Aqidah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pun sebagai pemberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah (para pembesar) di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’.”
[ Az-Zukhruf: 23 ]

Tetapi hujjah mereka ini dalam mengikuti nenek moyang telah terbantah oleh firman Allah lainnya,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [ Al-Baqarah: 170 ]

Keyakinan inilah yang merasuk dan tertanam dalam jiwa-jiwa kaum musyrikin dari dahulu hingga sekarang, sehingga mereka menentang dakwah para Nabi dan orang-orang yang mengikutinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta ’ala tentang kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam,

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan bagi kalian selain Dia. Maka mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?’ Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, ‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang bermaksud hendak menjadi seorang yang lebih tinggi dari kalian. Dan kalau Allah menghendaki, tentu Dia mengutus beberapa orang malaikat. Belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu.’.”
[ Al-Mu`minun: 23-24 ]

Lihat pula keadaan kaum Nabi Shalih ‘alaihis salam,

“Kaum Tsamud berkata, ‘Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami?’.”
[ Hud: 62 ]

Juga perhatikan kaum Nabi Ibrahim ‘alahis salam,

“Mereka menjawab, ‘(Bukan karena itu) sebenarnya. Kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian.”
[ Asy-Syu’ara`: 74 ]

kemudian tentang orang-orang musyrikin Arab dan yang mengikuti mereka hingga kini yang berkata kepada Rasulullah, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dan orang-orang yang mengikuti beliau,

“Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), ‘Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar hal (mengesakan Allah) ini dalam agama yang terakhir. Hal ini tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.”
[ Shad: 6-7 ]

Namun perlu diketahui, bahwa perbuatan mengikuti nenek moyang kadang terpuji bila nenek moyang tersebut berada di atas kebenaran, sebagaimana Nabi Yusuf mengikuti nenek moyangnya,

Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.” [ Yusuf: 38 ]

Senada pula dengannya surah Ath-Thur ayat 21.

Kejahilan atau Kebodohan Terhadap Aqidah yang Benar

Hal ini disebabkan oleh keengganan untuk mempelajari aqidah yang benar dan mengajarkannya, atau sangat sedikitnya perhatian dan pemeliharaan terhadapnya sehingga melahirkan generasi yang tidak mengenal aqidah yang benar atau tidak mengenal hal-hal yang menyelisihi dan membatalkannya, sehingga pada akhirnya dia meyakini yang batil itu haq dan yang haq itu batil, sebagaimana perkataan Umar Ibnu Khaththab radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya akan dicabut nilai-nilai keislaman sedikit demi sedikit jika di dalam Islam tumbuh dan berkembang orang-orang yang tidak mengenal jahiliyah.” Kebodohan ini merata dan merajalela di tengah-tengah masyarakat Islam. Di antara kebodohan tersebut misalnya pemahaman terhadap tauhid yang hanya terbatas pada tauhid Rububiyah saja, seperti anggapan bahwa orang-orang musyrik dahulu dikatakan musyrik karena mereka meyakini patung-patungnya mampu menciptakan, memberi rezeki, memberi manfaat dan mudarat. Anggapan ini adalah asal kesesatan mayoritas manusia, yang sebab mendasar dari tersebarnya pemahaman ini di kalangan manusia adalah filsafat Yunani yang tercela dan orang-orang yang mengambil ilmu dari mereka dari ahli kalam yang mereka itu memusatkan perhatian dalam menafsirkan kalimat tauhid dengan tafsiran tauhid Rububiyah saja.

Yang haq, tidak ada keraguan padanya, dijadikan dasar penerapan oleh seluruh ulama, dan sesuai dengan penjelasan Al Qur`an adalah bahwasanya orang-orang musyrik dahulu pada zamannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam meyakini Allah sebagai pencipta dan pemberi rezeki mereka. Mereka menetapkan tauhid Rububiyah dalam perbuatan-perbuatan Allah, yaitu mencipta, memberi rezeki, mengatur urusan, menghidupkan, mematikan, dan sebagainya, yang mereka tidak meyakini sedikit pun adanya sesuatu yang menyamai Allah dalam perbuatan-perbuatan tersebut. Itulah yang dinamakan oleh para ulama sebagai tauhid Rububiyah. Akan tetapi mereka tidak mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan mereka, yakni berdoa, meminta pertolongan, mengharap, menyembelih, bernadzar, dan sebagainya, yang para ulama menamakannya sebagai tauhid Uluhiyah atau tauhid Ibadah.

Untuk memperjelas masalah ini, perhatikanlah beberapa ayat dalam Al Qur`an yang menjelaskan dengan berbagai macam pendalilan yang menunjukkan bahwasanya orang-orang musyrikin menetapkan tauhid Rububiyah sementara kesyirikan mereka adalah dalam tauhid Uluhiyah.

Jenis pertama
, ayat-ayat yang menjelaskan tentang penetapan mereka terhadap tauhid Rububiyah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah, ‘Mengapa kalian tidak bertakwa (kepada-Nya)?’.”
[ Yunus: 31 ]
Kemudian firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kalian tidak ingat?’ Katakanlah, ‘Siapakah
Rabb-nya langit yang tujuh dan Rabb-nya `Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘Maka apakah kalian tidak bertakwa?’ Katakanlah, ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kalian mengetahui?’ Mereka akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka bagaimana kalian bisa tertipu/tersihir?’.” [ Al-Mu`minun: 84-89 ]

Lihat pula surah Al-Ankabut: 61-63, Luqman: 25, dan Az-Zumar: 38.

Ayat-ayat tersebut menggambarkan keyakinan orang-orang musyrikin Arab dahulu dan orang-orang musyrik selain mereka yang menetapkan tauhid Rububiyah, kemudian, dengan mengambil konsekuensi dari pengakuan mereka terhadap tauhid Rububiyah, mereka dipojokkan dengan pertanyaan tentang pengingkaran mereka terhadap tauhid Uluhiyah. Lalu bagaimana dengan orang yang mengingkari tentang hal ini dan mengatakan bahwasanya orang-orang musyrikin tidak menetapkannya padahal Allah telah menceritakan penetapan mereka di dalam Al-Qur`an .

Jenis kedua
, ayat-ayat yang menjelaskan persaksian mereka tentang adanya sembahan-sembahan selain Allah.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Katakanlah,
Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?’ Katakanlah, Allah.’ Dia menjadi saksi antara aku dan kalian. Dan Al Qur`an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur`an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kalian mengakui bahwasanya ada sembahan-sembahan yang lain di samping Allah? Katakanlah, Aku tidak mengakui.’ Katakanlah, Sesungguhnya Dia adalah sembahan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan (dengan Allah).’.” [ Al-An’am: 19 ]

Ayat yang mulia ini memberikan faidah bahwasanya orang-orang musyrikin mempersaksikan bahwasanya Allah adalah Ilah (sesembahan) mereka, akan tetapi mereka mengatakan bahwasanya bersama Allah ada sembahan-sembahan yang lain. Persaksian mereka ini dikuatkan dengan sumpah, penguat dengan kata anna dan huruf lam. Maka lafadz ma’a pada firman Allah, أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ ءَالِهَةً أُخْرَى , menunjukkan bahwasanya mereka menetapkan Rububiyah Allah dan sekaligus Uluhiyah-nya, akan tetapi mereka menjadikan bersama Allah ilah-ilah yang lain. Maka kesyirikan mereka dari sisi penyekutuan mereka kepada ilah-ilah bersama Allah yang mereka menghadap kepada ilah-ilah itu dengan menjadikannya sebagai perantara untuk menghubungkan mereka kepada Allah, menyampaikan hajat dengan berdoa kepada mereka. Ini adalah keyakinan dan agama mereka. Makna seperti ini terdapat di dalam Al Qur`an dalam ayat-ayat yang banyak, di antaranya firman Allah dalam beberapa ayat,

“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran). Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang berada dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan dan lautan dan siapa (pula)kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada sembahan (yang lain)? Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaran kalian, jika kalian memang orang-orang yang benar.’.”
[ An-Naml: 60-64 ]
Lihat pula surah Al-Hijr: 95-96.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam Al Qur`an apa yang diyakini oleh orang-orang musyrikin bahwasanya bersama Allah ada ilah-ilah (sembahan) yang lain. Mereka menetapkan Rububiyah Allah dan Uluhiyah-Nya akan tetapi menjadikan bersama-Nya ilah-ilah yang lain dalam beribadah. Siapa yang memperhatikan dan mentadabburi ayat-ayat yang mulia ini, maka akan dibukakan baginya pintu-pintu ilmu yang membawanya kepada pemahaman yang shahih tentang aqidah yang shahih.

Jenis ketiga
, ayat-ayat yang berisi pengakuan dan penetapan mereka atas kesyirikan mereka.
Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Akan berkata orang-orang musyrikin, ‘Seandainya Allah menginginkan, maka kami tidak akan berbuat kesyirikan dan tidak pula bapak-bapak kami, dan tidak pula mengharamkan sesuatu apapun.’.”
[ Al-An’am: 148 ]

Ayat ini memberikan faidah bahwasanya mereka menetapkan pada diri mereka kesyirikan dalam ibadah. Mereka mengakui dirinya berbuat kesyirikan dalam Uluhiyah-Nya Allah pada saat mereka menetapkan Rububiyah-Nya.

Jenis keempat
, ayat-ayat yang menggambarkan bahwa terjadinya kesyirikan mereka adalah di saat senang/lapang.
Di antaranya firman Allah,

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, seketika mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).”
[ Al-‘Ankabut: 65 ]

Perhatikan pula ayat yang semakna dengannya dalam surah Luqman: 32.

Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dialah Tuhan yang menjadikan kalian dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kalian berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpa mereka, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya. (Mereka berkata), ‘Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.’.”
[ Yunus: 22 ]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan dalam ayat-ayat di atas bahwasanya orang-orang musyrikin, yang mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan memerangi beliau, tidak berbuat kesyirikan kecuali dalam keadaan lapang dan senang dan bukan dalam keadaan susah atau tertimpa bencana dan kesulitan. Mereka pada saat seperti itu mengikhlaskan agama hanya kepada Allah, tidak berdoa kepada selain-Nya dan tidak mengambil perantara antara dirinya dengan Allah. Maka bagaimana dengan orang yang mengatakan bahwasanya orang-orang kafir itu musyrik dalam Rububiyah Allah tidak dalam ibadah kepada-Nya. Apakah mungkin mereka itu berdoa dalam keadaan ikhlas ketika ditimpa bencana kalau mereka tidak meyakini Rububiyah dan Uluhiyah-Nya?

Jenis kelima
, ayat-ayat yang menggambarkan penetapan mereka terhadap tauhid Rububiyah dan kesyirikan mereka dalam tauhid Uluhiyah:

Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).”
[ Yusuf: 106 ]

Iman mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta ’ala adalah ucapan mereka bahwasanya Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, serta yang mematikan dan menghidupkan mereka. Selain itu, kesyirikan mereka adalah tatkala mereka menjadikan bagi Allah serikat dalam ibadah dan berdoa kepada-Nya. Maka mereka tidak mengikhlaskan bagi-Nya dengan meminta hanya kepada-Nya. Demikianlah tafsir ayat di atas menurut para ahli tafsir, yakni Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, Qatadah, Atha’, dan selain mereka. (Lihat Tafsir Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim tentang ayat ini).
 
Adapun dalil-dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwasanya orang-orang musyrikin menetapkan tauhid Rububiyah adalah:

Pertama,
hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dalam Shahih Muslim (2/4),
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يُغِيْرُ إِذَا طَلَعَ الفَجْر,ُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ. فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ, وَإِلاَّ أَغَارَ. فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُوْلُ : الله أكبر الله أكبر. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : عَلَى الفِطْرَةُ. ثُمَّ قَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ. فَنَظَرُوْا فَإِذَا هُوَ رَاعِيُ مُعْزِى.

“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyerang jika telah terbit fajar, dan beliau menunggu adzan. Kalau mendengar adzan, beliau menahan (tidak menyerang), dan kalau tidak, beliau menyerang. Lalu beliau mendengar seseorang mengatakan
, ‘ Allahu Akbar, Allahu Akbar ,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mengatakan , ‘ Di atas fitrah.’ Kemudian orang tadi berkata, ‘ Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu alla ilaha illallah ,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, ‘ Kamu selamat dari neraka.’ Kemudian para shahabat melihat ternyata orang itu hanyalah seorang pengembala kambing.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, “Di atas fitrah”, kepada orang yang berkata, “Allahu akbar”, memberikan faidah bahwasanya perkataan orang ini dan apa yang ditunjukkannya berupa makna Rububiyah adalah merupakan suatu fitrah yang telah tetap bagi manusia, oleh sebab itu Rasulullah belum menghukuminya sebagai orang yang selamat dari neraka dan sebagai orang Islam kecuali setelah ucapannya, “Asyhadu alla ilaha illallah”, syahadat yang mengandung pengingkaran kepada seluruh yang disembah selain Allah, dan itulah tauhid Uluhiyah.

Kedua,
dalam Shahih Muslim (15/11 serta Syarh An-Nawawy ) dari hadits ‘Amr Ibnu Asy-Syarid, dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
رَدِفْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ : هَلْ مَعَكَ مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةِ بْنِ أَبِي الصَّلْتَ شَيْئًا ؟ قُلْتُ : نعم. قَالَ : هِيْهِ, فَأَنْشَدَتْهُ بَيْتًا فَقَالَ : هيه, ثُمَّ أَنْشَدَتْهُ بَيْتًا فَقَالَ : هيه حتى أنشدته مِائَةَ بَيْتٍ

“Saya membonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
pada suatu hari, kemudian beliau berkata, ‘Apakah kamu menghafal sesuatu dari sya’ir ‘Umayyah Ibnu Abi Ash Shalt?’ Saya menjawab, ‘Iya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata lagi, ‘Perdengarkan!’ Maka saya pun memperdengarkan satu bait sya’ir. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Tambah lagi,’ maka saya menambah lagi satu bait. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata, ‘Tambah lagi,’ sampai saya membawakan 100 bait.”

Dalam riwayat yang lain, dari riwayat ‘Abdurrahman Ibnu Mahdy, ada tambahan “Dan sungguh-sungguh hampir dia (masuk) Islam karena sya’irnya.”

Maka perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, “Dan sungguh-sungguh hampir dia (masuk) Islam karena sya’irnya”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak menghukumi baginya Islam dengan sekedar tauhidnya bahwasanya Allah pencipta, menghidupkan dan mematikan dan sebagainya, dan dia (‘Umayyah bin Abi Ash-Shalt) termasuk orang-orang kafir yang ada pada zamannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.

Berkata Imam An-Nawawy, “Nabi meminta tambahan dari syair-syairnya karena di dalamnya terkandung penetapan terhadap Rububiyah Allah dan hari kebangkitan.”

Sya’ir-sya’ir yang menunjukkan bahwasanya orang-orang musyrikin Arab menetapkan tauhid Rububiyah semata di antaranya Sya’ir ‘Umayyah bin Abi Ash-Shalt,
الْحَمْدُ للهِ مَمْسَانَا وَمَصْبَحِنَا بِالخَيْرِ صَبَّحَنَا رَبِّي وَ مَسَّانَا
رَبِّ الحَنَفِيَّةِ لَمْ تَنْفُدْ خَزَائِنُهَا مَمْلُوْءَةً طِبْقَ الْآفَاقِ أَشْطَانَا
أَلاَّ نَبِيَّ لَنَا مِنَّا فَيُخْبِرُنَا مَا بَعْدَ غَايَتِنَا مِنْ رَأْسٍ هُجْرَانَا
 
Segala puji bagi Allah di waktu petang dan pagi
Dengan kebaikan Rabb-ku di waktu pagi dan petang
Tuhan yang Maha Hanif tidak pernah habis perbendaharaannya
Selalu penuh, memenuhi seluruh ufuk luasnya
Kenapa bukan Nabi dari kami yang mengabarkan kepada kami
Apa tujuan kami yang sebenarnya berpindah
Disarikan dari sumber-sumber berikut:
  • Al-Irsyad Ila Tashih Al-I’tiqad karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
  • Hadzihi Mafahimuna karya Syeikh Dr. Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Ali Syaikh
  • At-Ta’liqat ‘ Ala Kasyf Asy-Syubhat karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
  • Kitab At-Tauhid Li As–Shaff Al-Awwal Ats-Tsanawy . cet. Wizaratul Ma’arif

    Ditulis oleh: Ustadz Luqman Jamal , Lc.
    www.an-nashihah.com

Doa Para Malaikat untuk Orang Beriman

Malaikat selalu mendoakan orang beriman. Tiada henti-hentinya mereka selalu berdoa ditujukan untuk orang Islam yang beriman agar selalu mendapat ampunan serta kebaikan selama hidup di dunia ini.

Berikut ini ayat Al Qur'an yang menjadi dalilnya.

قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ٧٣

Artinya:
Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, Hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah."
(QS. Huud: 73).



الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ ٧


رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ٨


وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ٩

Artinya:
7. (malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala,

8. Ya Tuhan Kami, dan masukkanlah mereka ke dalam syurga 'Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan isteri-isteri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,

9. dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu Maka Sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan Itulah kemenangan yang besar".

Monday, January 30, 2012

Kenapa Ahmadiyah Dilarang

Sudah sering kan mendengar tentang Ahmadiyah ini. Sering kali kita lihat bentrokan di sana-sini sesama umat islam sendiri. Seringnya terjadi benturan ini menimbulkan banyak pertanyaan.

Kenapa ajaran Ahmadiyah ini tidak bisa diterima oleh umat islam pada umumnya
Dimana letak kesesatan ajaran Ahmadiyah ini.


Sebelumnya, berikut ini ayat Al Qur'an yang menyatakan bahwa, nama Ahmad akan lahir dan datang sebagai Nabi Akhir zaman.
Perhatikanlah ayat Al Qur'an berikut ini, Surat Ash-Shaff ayat 6.


وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ

Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata."

Berikut ini penjelasan mengenai ajaran Ahmadiyah.
Pendiri Ahmadiyah adalah Mirza Ghulam Ahmad.
Dia ini mengaku dirinya sebagai Nabi Isa as yang kedua yang kedatangannya telah diramalkan oleh Rasululah SAW di beberapa hadits. Dia juga mengaku sebagai nabi yang datang setelah Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak membawa syariat, dipercaya oleh golongan Ahmadiyah Qadiani.
Belum cukup segitu, dia juga mengaku sebagai Imam Mahdi, Mujadid, Khrisna dan amsih banyak pengakuan serta gelar yang ada pada seorang Mirza Ghulam Ahmad.

Ahmadiyah Terusir dari Negara Asalnya.
Ajaran Ahmadiyah sangat bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan mereka telah terusir dari negeri asal mereka, yaitu negara India dan Pakistan.
Pada tahun 1974, ulama Islam dari 124 negara mengadakan pertemuan di Makkah Al-Mukarramah yang disponsori oleh Rabithah Al-Alam Al-Islami.

Dalam pertemuan itu dicapai kesepakatan bahwa Mirza Ghulam Ahmad Qadiani dan pengikut-pengikutnya adalah ingkar, kafir dan murtad dari Islam.


Fatwa MUI.
Pada tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Akan tetapi gerakan Ahmadiyah masih tetap saja berdiri.

Ahmadiyah terpecah menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Ahmadiyah Qadiani.
Yaitu yang mempercayai kenabian Mirza Ghulam Ahmad.
2. Ahmadiyah Lahore.
Yaitu yang tidak mengakui kenabian Mirza tetapi mempercayai berbagai pengakuan Mirza dan lainnya.

Pusat Ahmadiyah.
Ahmadiyah Qadiani berpusat di London, Inggris.
Mereka memiliki stasiun radio, website dan stasiun televisi yang dinamakan MTA (Muslim Television Ahmadiyya) yang menggunakan beberapa bahasa, termasuk Bahasa Indonesia.

Markas Ahmadiyah di Indonesia.
Sedangkan markas Ahmadiyah di Indonesia berada di Parung, Bogor.
Mereka memiliki kampus yang dinamakan kampus MUBARAK untuk mencetak kader mubaligh Ahmadiyah.

Sasaran Ahmadiyah.
Sasaran mereka adalah mempengaruhi orang islam yang kurang pengetahuannya tentang islam. Kebanyakan yang dipengaruhi adalah para petani, nelayan dan orang-orang yang tidak pernah mendengar tentang Ahmadiyah.

Mereka telah berhasil mengubah beberapa desa di Jawa Barat menjadi pengikut Ahmadiyah.
Salah satu strategi mereka untuk menambah jumlah pengikutnya adalah dengan cara:
1. Melarang shalat dibelakang imam orang Islam yang lain.
2. Melarang kepada orang tua untuk menikahkan anak gadisnya dengan orang yang selain Ahmadiyah.
3. Menganjurkan menikahkan putranya dengan gadis diluar Ahmadiyah dengan syarat mengajak ke Ahmadiyah.
4. Para pendakwah sering kali mengelak dan berkilah dari konsep kenabian Mirza.

Adapun para pengikut Rasululah SAW, kita semua, yang merasa mendengar atau mengetahui dakwah yang memiliki ciri tersebut di atas, sebaiknya dipikir masak-masak, karena bisa jadi para mubaligh Ahmadiyah sedang mencari pengikut.

Sebagai Renungan.
Kalau dari Ayat tersebut di atas, saat itu Nabi Isa as memberikan kabar gembira bahwa Rasul setelahnya bernama Ahmad, Ahmad disini ya Nabi Muhammad SAW. Rasul terakhir untuk umat manusia.

Cirinya juga persis yang dikatakan Nabi Isa as, yaitu setiap Nabi Muhammad memberi keterangan nyata, mukjizat dan bukti lain, orang-orang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengerjakan sihir.

Tetaplah pada kalimat Syahadat berikut ini:
اَسْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ الله
وَاَسْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدَ رَّسُلُ الله

Wallahu A'lam.

Hukum Kredit Emas

Pertanyaan:
Apakah boleh menukar emas dengan uang yang dibayar secara kredit sebagaimana membeli barang lainnya? Atau harus dengan tunai di majelis tanpa menunda pembayaran sedikit pun? Apa dalil yang membolehkan atau tidaknya hal ini? Karena sebagian orang ada yang membeli perhiasan (emas) dengan cara kredit semacam ini.

Jawaban:

Tidak boleh menukar emas dengan uang, walaupun keduanya tidak sama jenis kecuali dengan syarat harus tunai dalam satu majelis. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan barang-barang yang termasuk riba dalam sabdanya,

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika berbeda jenis, maka juallah terserah kalian, asalkan tunai”[1]

Wa billahit taufiq, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabtnya.
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’

Yang menandatangani fatwa ini:
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alu Syaikh selaku ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan, Syaikh Sholeh Al Fauzan, Syaikh Bakr Abu Zaid selaku anggota

Pertanyaan kedua dari fatwa no. 20790, 11/96-97


Riyadh KSA, 13 Shafar 1432 H (17/01/2011)
www.rumaysho.com

Hukum Islam Mengenai Kecelakaan Yang Mengakibatkan Kematian

Hukum Kecelakaan Mobil

Berikut penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin untuk kasus kecelakaan kendaraan:

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah.

Dari sekian kasus kecelakaan mobil, secara umum pengemudi dapat dibagi menjadi tiga macam:

Pertama
, pengendara yang pandai mengemudi, tahu kewajiban dan aturannya, serta berupaya untuk berjalan di atas aturan. Pengemudi ini layak untuk mengendarai mobil.

Kedua
, pengendara yang tidak pandai mengendarai mobil, tidak tahu kewajiban dan aturannya. Pengemudi semacam ini tidak layak untuk mengendarai mobil. Jika tetap mengendarai mobil maka termasuk pelanggaran.

Ketiga
, pengendara yang pandai mengemudi, tahu kewajiban dan aturannya, namun tidak mau menaati aturannya, bahkan dia berani melanggar dan tidak peduli dengan bentuk pelanggaran maupun kecelakaan. Orang semacam ini telah melakukan tindak kriminal terhadap dirinya dan orang lain.

Kemudian, terkait kecelakaan mobil (tabrakan) bisa dibagi menjadi dua:

Pertama, korbannya dari pihak orang yang naik mobil. Ketika para penumpang naik mobil, mereka memberikan amanah kepada pengemudi; amanah untuk keselamatan dirinya dan barang-barangnya. Karena itu, status pengemudi adalah orang yang memegang amanah.

Kecelakaan dengan korban penumpang mobil dapat dikelompokkan menjadi empat macam:
1. Kecelakaan terjadi disebabkan pelanggaran pengemudi.
Misalnya: mengangkut penumpang atau barang yang melebihi standar, atau terlalu ngebut sehingga tidak terkendali, atau ngerem mendadak tanpa sebab.
2. Kecelakaan terjadi disebabkan keteledoran pengemudi.
Bedanya dengan yang pertama, dikategorikan sebagai pelanggaran pengemudi ketika pengemudi tersebut melakukan tindakan yang dilarang atau melanggar aturan. Sementara dikategorikan sebagai keteledoran, ketika pengemudi meninggalkan kewajiban. Misalnya: tidak menutup pintu, tidak memperhatikan kondisi ban, dst.

Untuk kecelakaan yang disebabkan oleh dua hal di atas, maka pengemudi wajib membayar kaffarah pembunuhan tidak disengaja, yaitu:
  1. Membebaskan budak untuk masing-masing nyawa yang melayang, atau
  2. Puasa dua bulan berturut-turut tanpa putus, kecuali karena alasan yang dibenarkan.
  3. Disamping itu, dia juga wajib membayar dua hal:
  • Ganti rugi untuk semua kerusakan yang ditimbulkan.
  • Membayar diyat pembunuhan tidak disengaja kepada keluarga korban.
3. Kecelakaan murni di luar kesengajaan pengemudi.
Pengemudi sudah berusaha mencari cara paling selamat, namun kecelakaan tidak bisa dihindarkan.
Contoh: tertabrak mobil di depannya, atau masuk ke jurang, yang semuanya terjadi setelah berusaha menghindar.

4.
Kecelakaan karena lingkungan.
Contoh: jembatan putus, tanah longsor, dst.
Untuk dua kasus kecelakaan di atas, pengemudi tidak wajib membayar kaffarah ataupun ganti rugi. Karena pengemudi hakikatnya adalah pemegang amanah. Dia berusaha memilihkan kondisi terbaik, Allah mentakdirkan terjadi kecelakaan dengan hikmah-Nya. Karena dia tergolong orang yang berbuat baik kepada orang lain, sehingga dia tidak berhak mendapat hukuman.

Kedua
, korbannya dari pihak luar (bukan penumpang).
Kecelakaan kondisi ini bisa dibagi dua:
1. Sebabnya berasal dari orang yang ditabrak, sementara pengemudi sama sekali tidak mungkin menghindarinya.
Contoh: Seorang mengendarai mobil dengan kondisi normal, tiba-tiba datang motor ‘ngebut nyelonong‘ di depannya, sehingga tidak mungkin dihindari, atau ada orang tiba-tiba melompat di depannya.
Untuk kasus ini, pengemudi tidak berkewajiban membayar ganti rugi. Karena sebab kecelakaan muncul dari pihak korban.
2. Sebab kecelakaan muncul dari pihak pengemudi.
Contoh: Menabrak orang yang berjalan di trotoar, atau di wilayah yang bukan jalur mobil, atau mundur kemudian menabrak orang, dst.
Untuk kasus kedua ini, pengendara wajib membayar kaffarah pembunuhan tidak disengaja, yaitu:
  1. Membebaskan budak untuk masing-masing nyawa yang melayang, atau
  2. Puasa dua bulan berturut-turut tanpa putus, kecuali karena alasan yang dibenarkan.
  3. Disamping itu, pengendara wajib wajib membayar dua hal:
  • Ganti rugi setiap kerusakan yang ditimbulkan
  • Diyat pembunuhan tidak disengaja
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan, “Yang dimaksud tidak disengaja adalah seseorang melakukan satu perbuatan yang sebenarnya tidak ingin mengenai korban, namun terkena korban dan sampai membunuhnya. Misalnya orang memanah hewan buruan, ternyata mengenai manusia dan mati.” (Al-Mughni, 9:339)

Kemudian dinukil dari Ibnul Mundzir, bahwa para ulama yang beliau ketahui telah sepakat dalam masalah ini. Beliau menegaskan bahwa kecelakaan tidak disengaja wajib membayar diyat kepada keluarga mayit dan membayar kaffarah pembunuhan tidak disengaja yang diambil dari harta pelaku, tanpa ada perselisihan di kalangan ulama.

Selanjutnya, Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan, “Wajib membayar diyat dan kaffarah untuk pembunuhan tidak disengaja. Karena Allah berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ

Tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah…” (QS. An-Nisa: 92)

Perbedaan hukuman untuk pembunuhan disengaja dan tidak disengaja:

Untuk pembunuhan tidak disengaja, hukumannya adalah wajib membayar kaffarah dan diyat yang diserahkan kepada keluarga. Adapun pembunuhan dengan disengaja maka wajib diqishas, apabila keluarga korban tidak memaafkannya.

Nasihat untuk para pengendara:
  1. Hendaknya berusaha memahami dan mempraktikkan dengan benar cara mengemudikan kendaraan. Sehingga dia layak disebut ahli mengemudi.
  2. Perhatikan betul kondisi kendaraan, terutama yang terkait dengan keselamatan penumpang. Seperti rem, ban, dst.
  3. Jangan sampai teledor ketika mengemudi kendaraan, sehingga bisa mengancam keselamatan orang lain.
  4. Jangan membawa barang yang melebihi beban normal kendaraan. Karena ini bisa membahayakan.
  5. Patuhi semua aturan lalu lintas, karena itu akan semakin berpeluang menjaga keselamatan.
  6. Jangan lupa membaca doa naik kendaraan.
Urutan bacaannya sebagai berikut:
  1. Baca “bismillah” tepat ketika naik
  2. Setelah di atas kendaraan baca:
سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ، الْحَمْدُ لِلَّهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ، اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ ، سُبْحَانَكَ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ

Demikian beberapa nasihat yang bisa kami sampaikan, semoga Allah melindungi kita semua. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.
[saaid.net]

Diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Fatwa Tentang Kekafiran Dan Kemurtadan

Fatwa Syaikh Ar-Rajihi tentang Kekafiran dan Kemurtadan
Pertanyaan : Kapan terjadi kufur akbar atau kemurtadan (keluar dari Islam)? Apakah hal itu khusus terkait dengan keyakinan (i’tiqad) , penentangan, dan pendustaan saja atau lebih umum dari itu?

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi –semoga Allah mengampuninya- berkata:
Bismillaahirrohmaanir rohiim. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Sholawat, salam, dan keberkahan  dari Allah semoga tercurah kepada hamba Allah dan RasulNya, Nabi kita dan Imam, dan pemimpin kita, Muhammad bin Abdillah, dan kepada keluarga, Sahabat, serta orang-orang yang mengikutinya hingga (mendekati) hari kiamat. Amma ba’du :

Sesungguhnya kekafiran dan kemurtadan wal-Iyaadzu billah- terjadi karena beberapa hal:
-         Penentangan terhadap sesuatu yang sudah jelas dalam agama
-         Melakukan perbuatan kufur
-         Mengucapkan ucapan kufur
-         Meninggalkan atau berpaling dari agama Allah Azza Wa Jalla

Bisa juga dalam bentuk kekufuran dalam keyakinan, seperti jika seseorang berkeyakinan bahwa Allah memiliki istri dan anak, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki sekutu dalam KekuasaanNya, atau berkeyakinan bahwa bersama Allah ada pihak lain yang mengatur segala sesuatu ini atau berkeyakinan bahwa ada pihak yang berserikat dengan Allah dalam Nama dan Sifat-SifatNya, atau berkeyakinan bahwa ada pihak lain yang berhak mendapatkan ibadah selain Allah, atau berkeyakinan adanya pihak lain yang bersekutu dalam Rububiyyah Allah.  Maka orang yang demikian dikafirkan dengan keyakinan ini dengan kekafiran yang keluar dari Islam.

Kekufuran juga bisa berupa perbuatan, seperti seseorang yang bersujud kepada berhala, melakukan perbuatan sihir, atau melakukan perbuatan kesyirikan seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, atau thawaf di Baitullah sebagai bentuk taqorrub kepada selain Allah. Maka kekufuran juga bisa terjadi karena perbuatan sebagaimana pada ucapan.

Kekufuran dalam bentuk ucapan seperti seseorang yang mencela Allah atau mencela Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam atau mencela agama Islam atau mengejek Allah, KitabNya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam atau agamanya. Allah berfirman kepada sekelompok orang dalam perang Tabuk yang mengejek Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabatnya :
{ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ }{ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ }

Katakanlah : Apakah kepada Allah, ayat-ayatNya, dan RasulNya kalian mengejek? Janganlah meminta maaf, kalian telah kafir setelah keimanan kalian (Q.S atTaubah:65-66)

(Dalam ayat ini) Allah menetapkan kekufuran bagi mereka setelah keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa kekufuran bisa terjadi dengan perbuatan, keyakinan, dan juga ucapan, sebagaimana disebutkan dalam ayat (di atas) karena mereka menjadi kafir dengan sebab ucapan.

Kekufuran bisa berupa penentangan. Penentangan dan keyakinan bisa merupakan satu kesatuan. Kadang pula diantara keduanya ada perbedaan. Bentuk penentangan misalkan: menentang perkara yang sudah sangat jelas dalam agama, seperti menentang Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah, menentang bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak diibadahi, menentang salah satu Malaikat, Rasul, Kitab yang diturunkan, menentang akan dibangkitkannya makhluk, menentang Jannah, dan anNaar, pembalasan (dari Allah), Hisab (perhitungan pada hari kiamat), menentang wajibnya sholat, zakat, kewajiban haji, shaum (di bulan Ramadlan), kewajiban berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturrahmi, dan hal-hal selainnya yang telah sangat jelas kewajibannya dalam agama secara dharuri. Selain itu, menentang pengharaman zina, riba, meminum khamr, durhaka kepada kedua orangtua, memutus silaturrahmi, pengharaman menyuap (risywah) , atau yang selainnya yang telah sangat jelas pengharamannya dalam agama.

Kekufuran juga bisa dalam bentuk berpaling dari agama Allah, meninggalkan, menolak agama Allah, seperti berpaling dari agama Allah, tidak mau mempelajarinya dan tidak mau beribadah kepada Allah. Maka ia dikafirkan dari sikap berpaling ini. Allah Ta’ala berfirman:
{ وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ }

Dan orang-orang kafir berpaling dari peringatan (kepada mereka)(Q.S al-Ahqaaf:3)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
{ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ }

Dan siapakah yang lebih dzhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang – orang yang berdosa (Q.S as-Sajdah:22)

Sehingga kekufuran bisa dalam bentuk keyakinan, penentangan, perbuatan, ucapan, maupun sikap berpaling, meninggalkan, dan menolak.
Barangsiapa yang dipaksa untuk mengucapkan ucapan kekufuran atau untuk berbuat kekufuran, maka orang tersebut mendapatkan udzur (tidak berdosa, pent) jika pemaksaan itu benar-benar keras (dalam keadaan genting). Contoh: Seseorang yang mampu untuk membunuhnya mengancam dengan ancaman bunuh atau meletakkan pedang di lehernya maka orang yang (dipaksa) demikian mendapatkan udzur jika ia melakukan kekufuran atau berkata dengan ucapan kekufuran, dengan syarat hatinya tetap tenang dalam keimanan. Adapun jika hatinya tenang dalam kekafiran, maka ia menjadi kufur sekalipun dalam kondisi terpaksa. Kita meminta keselamatan dan afiat kepada Allah.
Orang yang melakukan perbuatan kekafiran ada 5 keadaan:
  1. Melakukan perbuatan kekafiran secara sungguh-sungguh, maka ini dikafirkan
  2. Melakukan perbuatan kekafiran dengan bergurau, maka ini dikafirkan
  3. Melakukan perbuatan kekafiran karena takut, maka ini dikafirkan
  4. Melakukan perbuatan kafir dalam kondisi dipaksa dan hatinya tenang dalam kekafiran, maka ini dikafirkan
  5. Melakukan perbuatan kekafiran dalam kondisi dipaksa sedangkan hatinya tenang dalam keimanan, maka orang semacam ini tidak dikafirkan berdasarkan firman Allah Ta’ala :
{ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ }{ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ }

Barangsiapa yang kafir kepada Allah  sesudah dia beriman (ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar . Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat,, dan bahwasanya Allah tiada member petunjuk kepada kaum yang kafir (Q.S anNahl: 107-108)

(As-ilah wa Ajwibah fil Iman wal kufr – arRaajihi halaman 7)

Oleh : Al Ustadz Kharisman

salafy.or.id

Sunday, January 29, 2012

Doa Minta Keturunan yang Baik

Sebagai orang tua harus mendoakan buah hatinya. Jangan pernah bosan untuk mendoakan mereka agar tetap diberikan keimanan serta menjadi anak yang saleh dan salehah yang berbakti kepada Allah SWT.

Anak Kecil Kencing di Pangkuan Rasululah SAW
Pernah ada seorang anak kecil dibawa kepada Nabi Muhammad SAW supaya didoakan dan dimohonkan berkah serta diberi nama.
Anak-anak tersebut dipangku oleh Rasulullah SAW, namun tiba-tiba saja anak itu kencing, lalu orang-orang yang melihatnya berteriak.

Rasululah SAW pun berkata dengan lembut,
"jangan diputuskan anak yang sedang kencing, biarkanlah dia sampai selesai dulu kencingnya."

Lalu Rasulullah SAW berdoa dan memberinya nama, kemudian membisikkan kepada kedua orang tuanya supaya jangan mempunyai perasaan bahwa Nabi SAW tidak senang terkena air kencing anaknya.
Ketika mereka pergi, beliau mencuci sendiri pakaian yang terkena kencing tadi.

Doa Minta Keturunan yang Baik
Berikut ini salah satu doa untuk emminta keturunan yang baik.

رَبّ ِ هَبْ ِلي مِنْ لََّدُ نْكَ ذُرّ ِيَّةً طَيّبَةً اِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاءِ

Dibaca:
Robbi habli mil ladungka dzurriyatan thoyyibatan innaka samii'uddu'aa'i

Artinya:
"Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku dari sisiMu keturunan yang baik, sesungguhnya Engkau senantiasa mendengar doa permohonan."

Penjelasan Tentang Wajibnya Shalat Dalam Berbagai Keadaan

Shalat Adalah Ibadah Para Nabi

Para pembaca yang mulia, sesungguhnya ibadah shalat bukanlah dikhususkan bagi umat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, bahkan juga disyari’atkan kepada para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Mereka pun memerintahkan kepada umat-umat mereka untuk mengerjakan shalat. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):

“Isma’il adalah seorang nabi dan rasul, dan ia menyuruh ahlinya (yakni umatnya) untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat.” (Maryam: 54-55)

“Dan Aku telah memilih kamu (Musa), maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan kepadamu! Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingatku.” (Thaaha: 13-14)

Namun kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan shalat mereka itu berbeda-beda sesuai dengan syariat masing-masing dari para nabi dan rasul.

Kedudukan Shalat Dalam Islam
Setelah kita mengetahui bahwa shalat merupakan bagian dari agama para nabi dan rasul maka bagaimanakah kedudukan shalat itu sendiri menurut kaca mata Islam?

Shalat dalam agama Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, hal ini bisa disimpulkan bila kita mencermati nash-nash Al Qur’an maupun As Sunnah. Di antaranya sebagai berikut:

1. Mendirikan shalat adalah tanda sebenar-benarnya orang mu’min. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama “Allah” gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka, dan kepada Rabb-Nya mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizqi yang Kami berikan kepada mereka.” (Al Anfal: 2-3)

2. Shalat merupakan Rukun Islam yang ke dua. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ


“Islam dibangun di atas lima (rukun): Syahadat Laa Ilaaha Illallahu Muhammadur-Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, shaum Ramadhan dan berhaji ke Baitullah (Makkah).” (Muttafaqun ‘Alaihi)

3. Shalat merupakan tiang agama. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ

“Kepala dari seluruh perkara (agama) adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh As Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 2/138)

4. Shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat dan sebagai tolok ukur dari seluruh amal ibadah yang lainnya. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Pertama kali yang dihisab pada hari kiamat adalah shalat, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya, dan jika shalatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalannya.” (HR. Thabrani, Ash Shahihah 3/346 karya Asy Syaikh Al Albani)

5. Turunnya perintah shalat tanpa melalui perantara Malaikat Jibril, bahkan Rasulullah ? sendiri menerima langsung dari Allah subhanahu wata'ala di atas langit yang ke tujuh.

Shalat Perintah Agung Dari Allah subhanahu wata'ala

Allah subhanahu wata'ala menyebutkan secara tegas di dalam Al Qur’an tentang kewajiban shalat. Diantaranya firman Allah subhanahu wata'ala (artinya):

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah: 43)

“Padahal mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)

Terlebih lagi perintah shalat lima waktu diwahyukan secara langsung dari Allah ? tanpa melalui perantara malaikat Jibril alaihis salam. Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim keduanya meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu, bahwasanya pada suatu malam ketika Nabi shalallahu alaihi wasallam berada di rumah Ummu Hani’ di Makkah, malaikat Jibril alaihis salam datang menjemput beliau shalallahu alaihi wasallam untuk menghadap Allah subhanahu wata'ala. Keduanya mengendarai seekor Buraq, yang lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bighal (peranakan kuda dengan keledai), yang langkah kakinya sejauh mata memandang.

Kemudian Jibril membawa beliau menuju langit ke tujuh. Setiap kali melewati lapisan langit, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bertemu dengan para rasul dan nabi. Sampai akhirnya beliau ? tiba di Sidratul Muntaha yang tidak ada satu makhlukpun yang mampu menggambarkan keindahannya. Di tempat inilah beliau shalallahu alaihi wasallam menerima perintah shalat lima waktu. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Isra’ Mi’raj.
Bahkan Ummu Salamah meriwayatkan bahwa wasiat terakhir dari Rasulullah ? menjelang wafatnya, beliau shalallahu alaihi wasallam berkata: “Ash Shalatu, Ash Shalatu.” Dalam riwayat yang lain: “Bertakwalah kalian kepada Allah dengan shalat.” (lihat Irwaul Ghalil: 7/238)

Pelatihan Shalat Sejak Dini

Allah subhanahu wata'ala memerintahkan Nabi-Nya (sekaligus untuk umatnya) supaya mengajak keluarganya untuk memenuhi kewajiban shalat. Allah subahanhu wata'ala berfirman (artinya): “Dan perintahkanlah keluargamu supaya mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya …” (Thaaha: 132)

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءٌ سَبْعُ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءٌ عَشَرٌ وَفَرِّقُوا فِيْ اْلمَضَاجِعِ

“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat (mulai) pada usia 7 tahun, dan pukullah mereka (yang enggan untuk shalat) setelah usia 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Ahmad, lihat Irwaul Ghalil 2/7)

Tidak Ada Rukhshah Untuk Meninggalkan Shalat

Kewajiban menegakkan shalat lima waktu berlaku di manapun dan bagaimanapun keadaannya, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk meninggalkannya. Agama Islam pun telah menjelaskan tata cara shalat dalam berbagai kondisi darurat, seperti:

1. Dalam keadaan bahaya, seperti perang dan semisalnya. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya): “Jika kalian dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (Al Baqarah: 239)

2. Dalam keadaan sakit. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

صَلِّ قّائِمًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ وَفَيْ رِوَايَةٍ : وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً


“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu berdiri maka (shalatlah) dengan duduk, jika tidak mampu duduk maka (shalatlah) dengan berbaring.” (HR. Al Bukhari, dalam riwayat Al Baihaqi ada tambahan: “Jika tidak mampu berbaring maka cukup dengan isyarat.” )

3. Dalam keadaan bersafar juga wajib melaksanakan shalat, bahkan Allah ? memberikan keringanan bagi musafir (orang yang bepergian) untuk menjama’ (menggabungkan dua shalat dalam satu waktu) seperti menjama’ shalat zhuhur dengan shalat ‘ashar di waktu zhuhur (jama’ taqdim) atau di waktu ‘ashar (jama’ ta’khir) dan juga seperti menjama’ shalat maghrib dengan shalat isya’ dengan cara seperti semula. Dan juga diperbolehkan baginya untuk mengqashar (meringkas shalat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat seperti shalat isya’, zhuhur ataupun ‘ashar).

4. Dalam keadaan lupa atau tertidur. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا


“Barangsiapa yang lupa atau tertidur, maka kaffarahnya (tebusannya) adalah shalat pada waktu ia teringat (sadar).” (Muttafaqun ‘alaihi)

5. Tidak mendapat air untuk bersuci (wudhu’ atau mandi junub) atau secara medis tidak boleh menyentuh air, maka diberikan keringanan untuk bersuci dengan tanah/debu yang dikenal dengan tayammum. Allah subhanahu wata'ala berfirman (artinya):
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian kembali dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian, Allah tidak ingin memberatkan kalian, tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al Maidah: 6)
Meskipun ia tidak mendapatkan kedua alat bersuci yatu air dan tanah/debu maka tetap baginya untuk menunaikan kewajiban shalat sesuai dengan kemampuannya. Karena Allah subhanahu wata'ala tidak memberikan beban kepada siapa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Ancaman Meninggalkan Shalat

Para pembaca yang mulia, setelah memahami uraian di atas tentang tingginya kedudukan shalat dalam agama dan keutamaan-keutamaan yang Allah subhanahu wata'ala berikan kepada orang-orang yang memenuhi kewajiban shalat. Lalu apakah orang yang melalaikan shalat dibiarkan begitu saja? Tentunya tidak. Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam benar-benar telah memberikan peringatan dan ancaman kepada orang-orang yang melalaikan shalat.

Allah subhanahu wata'ala telah menyediakan neraka Saqar yang dikhususkan bagi orang-orang yang meninggalkan shalat. Sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka). Mereka menjawab: ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat ...” (Al Muddatstsir: 42-43)

Dalam hadits-hadts yang shahih, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga telah memberikan peringatan keras terhadap orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Diantaranya:

1. Hadits Buraidah radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ


”Perbedaan antara kami dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah melakukan kekafiran.” (HR. At Tirmidzi, lihat Shahih At Targhib no. 564)

2. Hadits Jabir radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ وَالشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ


“Sesungguhnya (pembeda) antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)

3. Hadits Tsauban radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلاَةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ


“Pembeda antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat, bila ia meninggalkannya berarti ia telah berbuat kesyirikan.” (HR. Ath Thabari, lihat Shahih At Targhib no. 566)

4. Hadits Abu Darda’ radhiallahu anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ تُشْرِكُ بَاللهِ شَيْئًا وَإِنْ قُطِعْتَ وَإِنْ حُرِقْتَ وَلاَ تَتْرُكْ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمَّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ الذِّمَّةُ وَلاَ تَشْرِبِ الْخَمْرَ فَإِنَّهُ مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ


“Janganlah kamu berbuat kesyirikan sedikit pun walaupun kamu dipenggal atau pun dibakar, dan jangan pula meninggalkan shalat dengan sengaja, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja sungguh lepas jaminan baginya, serta jangan pula minum khamr (arak dan semisalnya –pent) karena sesungguhnya khamr itu pintu setiap kejelekan.”

Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu: “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah”, sedangkan dalam riwayat Ummu Aiman dan Umayyah: “Sungguh telah lepas jaminan dari Allah dan Rasul-Nya”. (lihat Shahih At Targhib no. 567. 569)

Demikian pula pernyataan para shahabat Nabi ?, diantaranya:
Umar radhiallahu anhu berkata:

لاَ حَظَّ فِي الإِسْلامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ


“Tidak ada bagian (sedikit pun) dalam Islam bagi seseorang yang meninggalkan shalat.” (Al Mughni 3/355)

Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata:

مَنْ لَمْ يُصَلِّ فَهُوَ كَافِرٌ

“Barangsiapa yang tidak shalat maka dia kafir.” (Al Mughni 3/355)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata:

مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ فَلاَ دِيْنَ لَهُ

“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Shahih At Targhib no. 574)

Abu Darda’ radhialallahu anhu berkata:

لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ وَلاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ


“Tidak ada keimanan bagi yang tidak shalat, dan tidak ada (sah) shalat bagi yang tidak berwudhu’.” (Shahih At Targhib no. 575)

Wahai saudaraku yang mulia, walaupun ada sebagian para ulama’ yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja belum sampai kafir selama masih meyakini kewajiban shalat. Tapi janganlah bermudah-mudah dalam masalah ini, karena sangat jelas sekali dari hadits-hadits shahih dan pernyataan-pernyataan para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam di atas bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja diancam dengan kekufuran, tidak punya keimanan dan tidak punya bagian sedikit pun dari Islam, kecuali bagi orang yang mau bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat dihadapan Allah subhanahu wata'ala.

Sumber : assalafy.org