Ada banyak dalil dari Al-Qur`an dan as-sunnah yang menunjukkan hal ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Juga pada firman Allah Ta’ala:
Juga pada firman Allah Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu.” (QS. An-Nisa`: 28)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)
Adapun dari as-sunnah, maka ada beberapa hadits yang menjelaskan tentangnya, di antaranya:
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit).” (HR. Al-Bukhari no. 38)
Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu anhu secara marfu’:
بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
“Aku diutus dengan membawa agama yang bertauhid lagi mudah.” (HR. Ahmad: 5/266 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2924)
Dari Abu Qatadah dari seorang Badui yang mendengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik perkara agama kalian adalah yang paling mudah urusannya, sungguh sebaik-baik perkara dien kalian adalah yang paling mudah urusannya.” (HR. Ahmad: 3/852 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 124)
Dari Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu anhu secara marfu’:
بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
“Aku diutus dengan membawa agama yang bertauhid lagi mudah.” (HR. Ahmad: 5/266 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2924)
Dari Abu Qatadah dari seorang Badui yang mendengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik perkara agama kalian adalah yang paling mudah urusannya, sungguh sebaik-baik perkara dien kalian adalah yang paling mudah urusannya.” (HR. Ahmad: 3/852 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 124)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’di rahimahullah berkata setelah membawakan sebagian dalil-dalil di atas, “Semua syariat Islam adalah bersifat hanif lagi mudah. Hanif dalam ketauhidan, dimana syariatnya dibangun di atas penyembahan hanya kepada Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan mudah dalam semua hukum dan amalan yang disyariatkan di dalamnya. Shalat wajib -misalnya-, hanya lima kali sehari semalam yang jelas tidak memakan banyak waktu seorang hamba. Jumlah zakat (mal) yang dikeluarkan hanyalah sebagian kecil dari total harta yang dimiliki seorang hamba, itu pun hanya dikenakan pada harta yang sifatnya berkembang dan tidak dikenakan pada harta yang tidak bisa berkembang, itu pun hanya dikeluarkan sekali dalam setahun. Demikian halnya haji tidak diwajibkan kecuali sekali dalam seumur hidup, itu pun hanya wajib bagi mereka yang mampu. Demikian seluruh kewajiban, pasti ada kemudahan di dalamnya sesuai dengan adanya sebab-sebab rukhshah. Semua kewajiban dalam syariat mencapai puncak kemudahan dan gampang dikerjakan. Namun bersamaan dengan kemudahan amalan-amalan tersebut, Allah tetap mensyariatkan sebab-sebab tertentu pada banyak amalan yang bisa membantu dan menyemangati hamba dalam mengerjakan amalan tersebut.
Sebagaimana disyariatkannya berjamaah dalam pelaksanaan shalat lima waktu, shalat jumat, dan shalat id. Demikian halnya berpuasa, dimana kaum mukminin bersama-sama berpuasa pada satu bulan yang sama, dan tidak ada yang tidak mengerjakannya kecuali orang yang mempunyai udzur seperti sakit atau safar atau selain keduanya. Demikian halnya haji disyariatkan berjamaah. Karena tidak diragukan bahwa mengerjakan sesuatu secara berjamaah itu bisa menghilangkan kesulitan dalam ibadah, bisa menyemangati orang-orang yang mengerjakannya, dan bisa melahirkan persaingan sportif dalam berlomba mengerjakan kebaikan. Sebagaimana Allah Ta’ala juga menjadikan adanya balasan yang segera diberikan di dunia dan balasan (pahala) yang akan diberikan di akhirat yang tidak diketahui banyaknya, sebagai motifator terbesar yang membantu seorang hamba dalam mengerjakan kebaikan dan meniggalkan semua yang dilarang.
Kemudian, bersamaan dengan semua kemudahan di atas pada seluruh hukum syariat, maka ketika seseorang mendapatkan udzur dalam pelaksanaannya sehingga dia tidak mampu atau sangat berat dalam menjalankan ibadah tertentu, maka syariat kembali memberikan kemudahan berupa rukhshah yang sesuai dengan keadaan udzur tersebut. Karenanya orang yang sakit boleh mengerjakan shalat wajib sambil duduk jika dia tidak bisa berdiri atau sambil berbaring jika dia tidak bisa duduk, dimana dia sekedar berisyarat dengan kepalanya ketika akan ruku’ dan sujud. Shalat dengan tayammum jika seseorang berat menggunakan air atau tidak mempunyai air. Dan tatkala safar biasanya merupakan amalan yang menyusahkan maka musafir dibolehkan tidak berpuasa, mengqashar dan menjamak shalat, dan mengusap khuf selama 3 hari 3 malam. Juga orang yang sakit atau safar maka tetap dituliskan baginya pahala amalan yang dia tinggalkan jika amalan tersebut biasa dia kerjakan ketika sehat atau sedang mukim. Dan berasal dari kaidah inilah adanya udzur-udzur yang menggugurkan kewajiban mendatangi shalat jumat dan jamaah.” (Selesai ucapan As-Si’di rahimahullah dari Al-Qawa’id wa Al-Ushul Al-Jami’ah hal. 20-21)
Sebagaimana disyariatkannya berjamaah dalam pelaksanaan shalat lima waktu, shalat jumat, dan shalat id. Demikian halnya berpuasa, dimana kaum mukminin bersama-sama berpuasa pada satu bulan yang sama, dan tidak ada yang tidak mengerjakannya kecuali orang yang mempunyai udzur seperti sakit atau safar atau selain keduanya. Demikian halnya haji disyariatkan berjamaah. Karena tidak diragukan bahwa mengerjakan sesuatu secara berjamaah itu bisa menghilangkan kesulitan dalam ibadah, bisa menyemangati orang-orang yang mengerjakannya, dan bisa melahirkan persaingan sportif dalam berlomba mengerjakan kebaikan. Sebagaimana Allah Ta’ala juga menjadikan adanya balasan yang segera diberikan di dunia dan balasan (pahala) yang akan diberikan di akhirat yang tidak diketahui banyaknya, sebagai motifator terbesar yang membantu seorang hamba dalam mengerjakan kebaikan dan meniggalkan semua yang dilarang.
Kemudian, bersamaan dengan semua kemudahan di atas pada seluruh hukum syariat, maka ketika seseorang mendapatkan udzur dalam pelaksanaannya sehingga dia tidak mampu atau sangat berat dalam menjalankan ibadah tertentu, maka syariat kembali memberikan kemudahan berupa rukhshah yang sesuai dengan keadaan udzur tersebut. Karenanya orang yang sakit boleh mengerjakan shalat wajib sambil duduk jika dia tidak bisa berdiri atau sambil berbaring jika dia tidak bisa duduk, dimana dia sekedar berisyarat dengan kepalanya ketika akan ruku’ dan sujud. Shalat dengan tayammum jika seseorang berat menggunakan air atau tidak mempunyai air. Dan tatkala safar biasanya merupakan amalan yang menyusahkan maka musafir dibolehkan tidak berpuasa, mengqashar dan menjamak shalat, dan mengusap khuf selama 3 hari 3 malam. Juga orang yang sakit atau safar maka tetap dituliskan baginya pahala amalan yang dia tinggalkan jika amalan tersebut biasa dia kerjakan ketika sehat atau sedang mukim. Dan berasal dari kaidah inilah adanya udzur-udzur yang menggugurkan kewajiban mendatangi shalat jumat dan jamaah.” (Selesai ucapan As-Si’di rahimahullah dari Al-Qawa’id wa Al-Ushul Al-Jami’ah hal. 20-21)
Sumber: al-atsariyyah.com