Wednesday, March 3, 2010

Perang Salib & Maulid Nabi Muhammad SAW

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al Ahzab [33]: 21).

Setiap Rabi'ul Awwal, umat Muslim sibuk menyiapkan varian agenda dalam rangka memperingati kelahiran Rasulullah SAW yang jatuh pada tangal 12 Rabi'ul Awal. Namun tak ada yang tahu, apa semangat digagasnya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang pertama kali dilakukan Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Mesir.Ia mengusulkan ide itu pada Sultan Mesir, Muzaffar ibn Baktati, yang terkenal arif dan bijaksana.

Ia sangat menghormati sosok Shalahuddin, yang di kemudian hari membawa kemenangan bagi tentara Muslim dalam Perang Salib. Shalahuddin juga merupakan panglima Islam di masa Khalifah Muiz Liddinillah dari dinasti Bani Fathimiyah di Mesir (berkuasa 365 H/975 M).

Gagasan Shalahuddin sederhana. Pada masa itu masjid Al Aqsha diambil alih dan diubah menjadi gereja. Kondisi tersebut diperparah oleh keadaan pasukan Islam yang mengalami penurunan ghirah perjuangan dan renggangnya ukhuwah Islamiyah. Dari situlah Shalahuddin memiliki gagasan untuk menghidupkan kembali semangat juang dan persatuan umat dengan cara merefleksikan dan mempertebal kecintaan kepada Rasulullah. Selanjutnya digelarlah peringatan Maulid Nabi yang disambut luar biasa oleh seluruh kaum Muslimin kala itu. “Semangat Shalahuddin untuk memperingati Mauild Nabi dalam rangka mengajak ummat Islam untuk back to Quran dan Sunnah. Akhirnya peperangan dimenangkan oleh pasukan Islam. Peringatan Maulid ini banyak manfaatnya,” kata KH Syukri Zakrasyi.


Apa yang digelorakan Shalahuddin membuahkan hasil di kemudian hari. Jerusalem berhasil direbut. Di bawah kepemimpinannya, Perang Salib diakhiri dengan sedikit jumlah korban. Tak seperti saat tentara Kristen menduduki Jerusalem dan membunuh semua Muslim yang tersisa, pasukan Shalahuddin mengawal umat Kristen dan memastikan jiwa mereka selamat saat keluar dari Jerusalem. Begitulah akhlak Islam seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tidak mentang-mentang menang dan berkuasa, maka bebas melakukan penindasan.


Muslim Indonesia pantas meniru sejarah Rasulullah dan sejarah lahirnya peringatan maulid Nabi. Sedikit banyak, situasi Muslim saat ini hampir sama dengan situasi umat Islam masa Shalahuddin Al-Ayubi. Selain terpuruk secara politik, ekonomi, sosial, budaya, dan akidah, juga tidak ada kebanggaan sebagai Muslim.

Berkaca lagi pada pribadi Nabi SAW, itulah semangat yang diusung Shalahuddin. Itu pula agaknya yang harus kita lakukan saat ini. ''Dalam kondisi bangsa yang enuh ujian seperti sekarang ini, sangat pantas jika kita melihat figur Rasulullah SAW terutama dalam membangun masyarakatnya yang berlandaskan nilai-nilai Ilahi. Beliau itu memiliki akhlak yang sangat terpuji: jujur, tanggungjawab dan kebersamaan,'' ujar Prof Dr KH Didin Hafidhuddin Msc, direktur Pasca Sarjana Univeristas Ibnu Khaldun Bogor. (dam/RioL)

Perang Salib
Perang keagamaan antara umat Kristen Eropa dan umat Islam Asia selama hampir dua abad (1096-1291) dikenal dengan nama Perang Salib. Perang itu terjadi sebagai reaksi umat Kristen terhadap umat Islam.

Sejak tahun 632, sejumlah kota penting dan tempat suci umat Kristen dikuasai oleh umat Islam. Akibatnya, umat Kristen merasa terganggu ketika hendak berziarah ke kota suci Yerusalem. Umat Kristen tentu saja ingin merebut kembali kota itu. Perang itu disebut Perang Salib karena pasukan Kristen menggunakan tanda salib sebagai simbol pemersatu dan untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci.


Faktor utama penyebab terjadinya Perang Salib adalah agama, politik dan sosial ekonomi. Faktor agama, sejak Dinasti Seljuk merebut Baitulmakdis dari tangan Dinasti Fatimiah pada tahun 1070, pihak Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah ke sana. Hal ini disebabkan karena para penguasa Seljuk menetapkan sejumlah peraturan yang dianggap mempersulit mereka yang hendak melaksanakan ibadah ke Baitulmakdis. Bahkan mereka yang pulang berjiarah sering mengelu karena mendapatkan perlakuan jelek oleh orang-orang Seljuk yang fanatik. Umat Kristen merasa perlakuan para penguasa Dinasti Seljuk sangat berbeda dengan para penguasa Islam lainnya yang pernah menguasai kawasan itu sebelumnya.


Faktor politik, dipicu oleh kekalahan Bizantium --sejak 330 disebut Konstantinopel (Istambul)-- di Manzikart (Malazkirt atau Malasyird, Armenia) pada tahun 1071 dan jatuhnya Asia Kecil ke bawah kekuasaan Seljuk terlah mendorong Kaisai Alexius I Comnenus (Kaisar Constantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus Urbanus dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya di daerah-daerah pendudukan Dinasti Seljuk.


Di lain pihak, kondisi kekuasaan Islam pada waktu itu sedang melemah, sehingga orang-orang Kristen Eropa berani untuk ikut mengambil bagian dalam Perang Salib. Ketika itu Dinasti Seljuk di Asia Kecil sedang mengalami perpecahan, Dinasti Fatimiah di Mesir dalam keadaan lumpuh, sementara kekuasaan Islam di Spanyol semakin goyah. Situasi semakin bertambah parah karena adanya pertentangan segitiga antara khalifah Fatimiah di Mesir, khalifah Abbasiyah di Baghdad dan amir Umayyah di Cordoba yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa Kristen di Eropa untuk merebut satu persatu daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti Dinasti-dinasti kecil di Edessa dan Baitulmakdis.


Sementara faktor sosial ekonomi dipicu oleh pedagang-pedagang besar yang berada di pantai timur Laut Tengah, terutama yang berada di kota Venezia, Genoa dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai Timur dan selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka. Untuk itu mereka rela menanggung sebagian dana perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan itu sebagai pusat perdagangan mereka apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan.


Sejarawan Philip K Hitti penulis buku The History of The Arabs membagi Perang Salib ke dalam tiga periode. Periode pertama disebut periode penaklukkan daerah-daerah kekuasaan Islam. pasukan Salib yang dipimpin oleh Godfrey of Bouillon mengorganisir strategi perang dengan rapih. Mereke berhasil menduduki kota suci Palestina (Yerusalem) tanggal 7 Juni 1099. Pasukan Salib ini melakukan pembantaian besar-besaran selama lebih kurang satu minggu terhadap umat Islam tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, anak-anak dan dewasa, serta tua dan muda. Kemenangan pasukan Salib dalam periode ini telah mengubah peta dunia Islam dan situasi di kawasan itu.


Periode kedua, disebut periode reksi umat Islam (1144-1192). Jatuhnya daerah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum Muslimin untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi mereka. Di bawah komando Imaduddin Zangi, gubernur Mosul, kaum Muslimin bergerak maju membendung serangan kaum Salib. Bahkan mereka berhasil merebut kembali Allepo dan Edessa. Keberhasilan kaum muslimin meraih berbagai kemenangan, terutama setelah muculnya Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (Saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitulmakdis (Jerusalem) pada 2 Oktober 1187, telah membangkitkan kembali semangat kaum Salib untuk mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat.


Periode ketiga, berlangsung tahun 1193 hingga 1291 ini lebih dikenal dengan periode kehancuran di dalam pasukan Salib. Hal ini disebabkan karena periode ini lebih disemanganti oleh ambisi politik untuk memperoleh kekuasaan dan sesuatu yang bersifat material dari pada motivasi agama.