Wednesday, March 31, 2010

Konferensi Madrin Membahas Fatwa Ibn Taimiyyah dan Kelompok Militan



Intelektual Muslim dari berbagai dunia bertemu dan membincangkan secara serius tentang fatwa dan doktrin-doktrin yang sering dianggap sebagai ajaran yang mendorong aksi kekerasan. Acara yang berlangsung di Mardin, Turki ini membahas pemikiran Ibnu Taimiyyah, ulama dan imam abad ke-14 yang sering menjadi rujukan kelompok-kelompok yang dianggap garis keras.
Usamah  bin Ladin telah mengutip "Fatwa Ibnu Taimiyah" berulang kali dalam seruannya kepada umat Islam untuk melawan Amerika Serikat. Padahal menurut pertemuan ini, seruan jihad tidak bisa diserukan oleh individu atau kelompok yang menyatakan perang dan agresi dengan atas nama jihad. Mengacu pada dokumen bersejarah, konferensi ini menyimpulkan, "Siapapun yang mencari dukungan dari fatwa untuk membunuh Muslim atau non-Muslim telah keliru dalam interpretasinya.”
Deklarasi Madrin ini adalah langkah terbaru oleh para sarjana Muslim dalam pendekatannya atas teks-teks kuno Muslim. Seorang ulama Pakistan terkemuka mengeluarkan fatwa 600 Halaman melawan terorisme di London awal bulan ini. Deklarasi lain di Dubai dan Somalia, juga membahas masalah yang sama.
Namun fatwa-fatwa mutakhir dan deklarasi ini belum dapat meyakinkan militan, dan masih perlu kerja keras dari para ulama untuk melakukan dialog dan komunikasi. Konferensi Mardin menghimpun ulama dan intelektual Muslim dari 15 negara termasuk Saudi Arabia, Turki, India, Senegal, Kuwait, Iran, Morocco and Indonesia. Di antara mereka hadir pula Mufti Besar Bosnia Mustafa Ceric, Syaikh Abdullah bin Bayyah dari Mauritania dan Habib Syaikh Ali al-Jufri dari Yaman.
Salah satu fatwa Ibnu Taimiyyah yang dibahas dengan serius dalam konferensi ini adalah, fatwa tentang menyatakan kafir Muslim lainnya dan mengizinkan Muslim untuk berperang dengan mereka. Para ulama yang berkumpul mengatakan, pandangan ini harus dilihat secara konteks sejarah, yaitu serangan Mongol yang hebat pada dunia Islam pada abad pertengahan.
Ulama peserta konferensi menyatakan perlunya melakukan pendekatan ulang pada teks-teks lama yang ada dalam masyarakat Muslim. Ajaran dan tafsir teks dalam Islam harus pula mempertimbangan situasi perubahan politik dan social. Munculnya kekuatan sipil di tengah masyarakat dan negara-negara yang baru, menuntut sikap toleransi dan hidup berdampingan dengan damai antar semua agama, kelompok, bahkan faksi-faksi yang ada.
Deklarasi ini berakhir dengan seruan untuk sarjana Muslim agar melakukan penelitian yang lebih besar sehingga mampu menjelaskan konteks fatwa abad pertengahan mengenai isu-isu publik dan menunjukkan apa yang bisa diperoleh pada zaman ini dengan pemahaman yang baru.
sabili.co.id