Haji untuk Diri Sendiri Dulu, Baru Melakukan Haji Untuk Orang Lain
Pertanyaan ke 212: Kami ingin sekali mengetahui apa saja syarat-syarat seseorang agar boleh menghajikan orang lain?
Jawaban:
Orang yang mengganti atau mewakili haji orang lain harus telah melakukan ibadah haji untuk dirinya sendiri jika ia telah berkewajiban menunaikannya. Sebab ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang mengucapkan, “Labbaik ‘an Syubrumah (Aku memenuhi panggilanmu atas nama Syubrumah), maka beliau bersabda, “Siapa Syubrumah itu?” Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku –atau kerabatku-”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bertanya, “Apakah engkau sudah menunaikan haji untuk dirimu sendiri?” Ia menjawab, ”Belum.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Berhajilah untuk dirimu sendiri, lalu hajikanlah untuk Syubrumah.”[1]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ
“Mulailah dari dirimu sendiri.”[2]
Dan juga bukanlah merupakan cara pandang yang benar bila seseorang melakukan haji untuk orang lain, sementara dirinya sendiri belum menunaikan haji yang wajib.
Para ulama mengatakan, “Kalau seseorang melakukan haji untuk orang lain, sedangkan ia sendiri belum menunaikan haji untuk dirinya, maka ibadah haji yang ia kerjakan untuk orang lain akan jatuh pada dirinya sendiri yang bertindak sebagai pengganti haji orang lain. Ia pun harus mengembalikan semua biaya dan perbekalan haji kepada orang yang ia wakili.”
Syarat-syarat lainnya telah dikemukakan sebelumnya, yaitu harus seorang muslim, berakal dan mumayyiz (dapat membedakan yang baik dan buruk) dan itu merupakan syarat wajib untuk setiap ibadah.[3]
–Demikian fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah-
Pendapat yang mengatakan tidak boleh seseorang menghajikan orang lain sampai ia berhaji untuk dirinya sendiri adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah, ulama Hambali dan kebanyakan para ulama. Pendapat ini juga termasuk pendapat Ibnu ‘Abbas dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat beliau. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Abbas tentang Syubrumah yang dikemukakan di atas.
Namun sebagian ulama lainnya yaitu Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat bahwa boleh saja menghajikan orang lain walaupun belum menunaikan haji untuk diri sendiri.
Pendapat kedua ini dinilai kurang tepat. Yang lebih tepat, hendaklah seseorang menunaikan haji untuk dirinya sendiri setelah itu baru menghajikan orang lain agar terlepas dari perselisihan ulama yang ada. Dan juga pendapat pertama dinilai lebih tepat karena pendapat sahabat Ibnu ‘Abbas lebih utama diikuti dari pendapat lainnya lebih-lebih tidak ada sahabat lainnya yang menyelisihi pendapat beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat pada kita, “Mulailah dari dirimu sendiri”, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.[4]
Wallahu a’lam bish showab.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Panggang, Gunung Kidul, 4 Dzulqo’dah 1430 H
[1] HR. Abu Daud 1811 dan Ibnu Majah 2903. Hadits ini masih diperselisihkan keshahihannya dan statusnya apakah marfu’ (sabda Nabi) ataukah mawquf (hanya perkataan sahabat).
[2] HR. Muslim no. 997
[3] Sumber: Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Fiqhul ‘Ibadat, Darul Wathon, Riyadh
[4] Diolah dari penjelasan Abu Malik dalam Shahih Fiqih Sunnah, 2/168, Maktabah At Taufiqiyyah
http://www.humairoh.inef.web.id/2010/10/haji-untuk-diri-sendiri-dulu-baru.html