Thursday, October 21, 2010

SHALAT JUM’AT DALAM PANDANGAN FIQH

Jum'at : Jumlah Dalam Menegakkan Shalat Jum'at, Kapan Dianggap Mendapatkan Shalat Jum'at


Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi


JUMLAH YANG DISYARATKAN DALAM MENEGAKKAN SHALAT JUM’AT
Shalat Jum’at dilakukan secara berjama’ah dan tidak sah bila dilakukan secara sendirian. Para ulama berselisih tentang jumlah minimal orang yang menghadiri shalat Jum’at, terbagi menjadi beberapa pendapat.

Pertama : Tidak diadakan, kecuali minimal 40 orang dari orang yang diwajibkan shalat Jum’at. Demikian ini pendapat madzhab Malik, Syafi’i dan yang masyhur dalam madzhab Ahmad, dand diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz dan Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah.

Dalilnya sebagai berikut:

- Hadits Ka’ab bin Malik:

أَسْعَدُ بْنِ زُرَارَةَ أَوَّلُ مَنْ جَمَّعَ بِنَا فِي هَزْمِ النَّبِيتِ مِنْ حَرَّةِ بَنِي بَيَاضَةَ فِي نَقِيعٍ يُقَالُ لَهُ نَقِيعُ الْخَضَمَاتِ قُلْتُ كَمْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ قَالَ أَرْبَعُون

"As’ad bin Zararah adalah orang pertama yang mengadakan shalat Jum’at bagi kami di daerah Hazmi An Nabit dari harrah Bani Bayadhah di daerah Naqi’ yang terkenal dengan Naqi’ Al Khadhamat. Saya bertanya kepadanya: “Waktu itu, kalian berapa?” Dia menjawab,”Empat puluh.”[30]

- Hadits Jabir yang berbunyi:

مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِيْ كُلِّ أَرْبَعِينَ فَمَا فَوْقَهَا جُمْعَةٌ

"Telah lalu Sunnah, bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan shalat Jum’at."[31]

Kedua : Tidak sah diadakan, kecuali terdapat limapuluh orang. Demikian ini salah satu riwayat Imam Ahmad dengan hujjah:

- Hadits Abu Umamah, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

عَلَى الْخَمْسِيْنَ جُمْعَةٌ وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ ذَلِكَ

"Diwajibkan Jum’at pada lima puluh orang dan tidak diwajibkan pada di bawahnya. (Namun haditsnya lemah, di sanadnya terdapat Ja’far bin Az Zubair, seorang matruk)."

- Hadits Abu Salamah, ia bertanya kepada Abu Hurairah: “Berapa jumlah orang yang diwajibkan shalat jama’ah padanya?” Abu Hurairah menjawab,”Ketika sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berjumlah lima puluh, Rasulullah mengadakan shalat Jum’at’ [33]. Imam Al Baihaqi berkata,”Telah diriwayatkan dalam permasalahan ini hadits tentang jumlah lima puluh, namun isnadnya tidak shahih.” [34]

Pendapat ini lemah, karena dalil-dalilnya dhaif (lemah).

Ketiga : Harus ada dua belas orang dari yang diwajibkan Jum’at. Demikian madzhab Rabi’ah bin Abdirrahman dan riwayat dalam madzhab Malik. Mereka berdalil dengan hadits Jabir :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنْ الشَّامِ فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri berkhutbah pada hari Jum’at, lalu datanglah rombongan dari Syam, lalu orang-orang pergi menemuinya sehingga tidak tersisa, kecuali dua belas orang." [35]

Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil pembatasan hanya dua belas orang saja, karena terjadi tanpa sengaja, dan ada kemungkinan sebagiannya kembali ke masjid setelah menemui mereka.

Keempat : Disyaratkan paling sedikit empat orang. Demikian pendapat masdzhab Abu Hanifah, Al Laits bin Sa’ad, Zufar dan Muhammad bin Al Hasan [36] dengan berdalil pada firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ

"Mereka menyatakan, bahwa kata amanu adalah bentuk jama’ (plural’s), dan jama paling sedikit tiga ditambah imam, maka berjumlah empat orang. Ini jelas lemah dalam pengambilan dalilnya"

Kelima : Disyaratkan paling sedikit tiga orang: seorang khatib dan dua orang pendengarnya. Demikian riwayat dari Imam Ahmad, Al Hasan Al Bashri, Abu Yusuf, Abu Tsaur dan salah satu pendapat Sufyan Ats Tsauri [37], berdalil dengan pernyataan di bawah ini:

- Tiga adalah angka terkecil dalam bentuk jama’.
- Hadits Abu Ad Darda’yang berbunyi:

مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ

"Tidak ada dari tiga orang di satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan padanya shalat, kecuali syetan akan menguasai mereka".[38]

Mereka menyatakan, shalat yang dimaksudkan disini bersifat umum, meliputi shalat Jum’at dan yang lainnya. Ini menunjukkan kewajiban shalat Jum’at bagi tiga orang.

Demikian pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan: Shalat Jum’at sah diadakan oleh tiga orang. Seorang berkhutbah, dan dua orang yang mendengarnya.[39]” Dan pendapat ini juga dirajihkan Syaikh Ibnu Baaz [40], Muhammad bin Shalih Al Utsaimin [41] dan fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia [42].

Keenam : Sah diadakan oleh dua orang atau lebih. Demikian pendapat madzhab Dzahiriyah, An Nakha’i, Al Hasan bin Shalih, Makhul dan Ath Thabari. Mereka menyatakan, telah dimaklumi bahwa shalat jama’ah selain Jum’at sah dilakukan dua orang saja secara Ijma’, dan shalat Jum’at sama dengan shalat jama’ah lainnya. Barangsiapa yang mengeluarkannya dari shalat jama’ah lainnya, maka harus mendatangkan dalil, dan tidak ada dalil yang tegas dalam masalah ini. Pendapat ini dirajihkan Imam Ibnu Hazm [43], Asy Syaukani [44], Muhammad Shidiq Hasan Khan dan Al Albani [45]. Demikian inilah pendapat yang rajih, insya Allah.

HUKUM KHUTBAH JUM’AT
Menurut pendapat yang rajih, khutbah Jum’at merupakan satu kewajiban dalam shalat Jum’at, dengan dalil sebagai berikut:

- Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui". [Al Jum’ah:9]

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada kita agar bersegera mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala sejak mendengar adzan, dan setelah adzan ada khutbah. Dengan demikian firman Allah (فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ ) meliputi khutbah juga. Apabila bersegera mendengar khutbah merupakan kewajiban, maka tentunya khutbah menjadi wajib, karena bersegera datang mendengar khutbah merupakan wasilah dan tujuannya adalah khutbah. Sehingga menurut kaidah yang baku, bila wasilahnya wajib, maka tentu yang dituju menjadi pasti wajibnya.[46]

- Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berbicara ketika imam berkhutbah, menunjukkan kewajiban mendengarkannya dan hal ini menunjukkan kewajiban khutbah.
- Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa berkhutbah dalam shalat Jum’at, dan sekalipun tidak pernah meninggalkannya. Hal ini menunjukkan juga wajibnya khutbah dalam shalat Jum’at.
- Seandainya khutbah tidak diwajibkan, maka tidak ada bedanya dengan shalat-shalat lainnya, dan orang tidak dapat mengambil manfaat dari pertemuan tersebut [47]

APAKAH MENGHADIRI KHUTBAH MENJADI SYARAT SAH SHALAT JUM’AT
Dalam masalah ini, para ulama terbagi menjadi dua pendapat.

Pertama : Tidak disyaratkan menghadiri khutbah.
Seandainya seseorang hanya mendapati shalat Jum’atnya saja, maka dianggap sah dan sudah mencukupi jum’atnya. Demikianlah pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Sa’id bin Al Musayyab, Al Hasan Al Bashri, Alqamah, Al Aswad, Urwah, Az Zuhri, An Nakha’i, Ats Tsauri, Ishaq, Abu Tsaur, Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.

Kedua : Disyaratkan menghadiri khutbah.
Sehingga seseorang yang tidak menghadiri khutbah, maka harus shalat empat raka’at. Demikian pendapat ‘Atha, Thawus, Mujahid, Makhul dan riwayat kedua dari imam Malik. Mereka berdalil, bahwa khutbah adalah syarat sahnya Jum’at, sehingga tidak sah Jum’at seseorang yang tidak mendapati khutbah, padahal Allah berfirman: فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ .

Ibnu Qudamah merajihkan pendapat pertama dengan dalil hadits Abu Hurairah yang berbunyi:

مَنْ أَدْرَكَ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ

"Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at, maka ia mendapatkannya."

Demikian ini pendapat yang rajih, insya Allah.

KAPAN DIANGGAP MENDAPATKAN SHALAT JUM’AT
Telah jelas dari pembahasan di atas, bahwa menghadiri khutbah bukan merupakan syarat Jum’at, sehingga seseorang yang mendapatkan shalat Jum’at bersama Imam, berarti telah mendapatkan shalat Jum’at sempurna. Lalu kapan seseorang dikatakan telah mendapatkan shalat Jum’at bersama imam?

Dalam permasalahan ini, para ulama berselisih pendapat.
Pertama : Dianggap mendapatkan shalat Jum’at, bila mendapatkan satu raka’at bersama Imam. Demikian pendapat jumhur Ulama [48], berdalil dengan hadits Abu Hurairah :

مَنْ أَدْرَكَ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ

"Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Jum’at, maka ia mendapatkannya".[49]

Pendapat ini dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[50]

Kedua : Dianggap mendapatkan shalat Jum’at, selama mendapatkan shalat bersama Imam walaupun hanya sedikit, seperti dalam tasyahud saja. Demikian pendapat madzhab Abu Hanifah, An Nakha’i dan Hamad; berdalil dengan Qiyas terhadap shalat musafir yang mendapatkan Imam muqim, maka musafir tersebut -walaupun hanya mendapat sedikit dari shalat Imam muqim tersebut- maka ia wajib menyempurnakan shalat dengan sempurna.

Ketiga : Tidak mendapatkan shalat Jum’at tanpa mendengarkan khutbahnya. Demikian ini pendapat ‘Atha, Thawus, Mujahid dan Makhul [51], berdalil dengan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

إِنَّمَا جُعِلَتْ الْخُطبَةُ مَكَانَ الْرَكْعَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ الْخُطْبَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

"Khutbah dijadikan sebagai pengganti dua raka’at. Jika tidak mendapatkan khutbah, maka hendaklah shalat empat raka’at." [52]

Dari ketiga pendapat tersebut, yang dianggap rajih ialah pendapat pertama, karena keabsahan hadits yang dijadikan dalil tersebut. Sedangkan hadits pendapat ketiga, merupakan hadits yang lemah, karena sanadnya terputus, ada riwayat Yahya bin Abi Katsir dari Ibnu Umar. Dan Yahya tidak mendengar hadits dari Ibnu Umar secara langsung.[53]

APA YANG DIPERBUAT ORANG YANG TIDAK MENDAPAT SHALAT JUM’AT BERSAMA IMAM
Seseorang yang tidak mendapatkan shalat Jum’at karena udzur, maka diwajibkan shalat Dhuhur empat raka’at, berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud yang berbunyi:

منْ فَاتَتْهُ الرَّكْعَتَان فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا

"Barangsiapa yang tidak mendapatkan dua raka’at Jum’at, maka shalatlah empat raka’at." [54]

Syaikh Al Albani berkata: Dalam hadits Ibnu Mas’ud ini, terdapat isyarat, bahwa shalat Dhuhur adalah asal dan ia wajib bagi orang yang tidak shalat Jum’at. Hal ini dikuatkan oleh beberapa hal berikut:

- Sudah sangat dimaklumi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya shalat Dhuhur pada hari Jum’at jika dalam perjalanan. Namun mereka shalat dengan qashar. Seandainya asal kewajiban pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at, tentulah mereka shalat Jum’at.
- Abdullah bin Mi’dan dari neneknya, ia berkata: Abdullah bin Mas’ud telah berkata kepada kami: “Jika kalian (kaum wanita) shalat Jum’at bersama Imam, maka shalatlah dengan shalatnya. Dan jika kalian shalat di rumah kalian, maka shalatlah empat raka’at”.

Hadits ini diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (1/207/2) dan sanadnya sampai kepada nenek Ibnu Mi’dan, shahih. Sedangkan neneknya Ibnu Mi’dan, saya belum mengetahuinya. Nampaknya, ia seorang tabi’in dan bukan sahabat. Namun hal ini dikuatkan dengan pernyataan Al Hasan Al Bashri tentang wanita yang datang ke masjid pada hari Jum’at, bahwa ia shalat dengan shalat Imam tersebut, dan itu cukup baginya.

Dalam satu riwayat ia berkata: “Dulu, kaum wanita shalat Jum’at bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan disampaikan kepada mereka “Janganlah kalian keluar, kecuali tidak tercium dari kalian bau minyak wangi”. Isnad kedua riwayat ini shahih. Dan dalam riwayat lain dari jalur periwayatan Asy’ats dari Al Hasan, ia berkata: “Dulu, kaum wanita Muhajirin shalat Jum’at bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mencukupkan mereka dari shalat Dhuhur”.[55]

Kemudian Syaikh Al Albani menyatakan: “Barangsiapa menganggap bahwa asal kewajiban pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at, dan jika tidak mendapatkannya, atau tidak diwajibkan atasnya -seperti musafir dan wanita- hanya shalat dua raka’at; berarti ia telah menyelisihi nash-nash ini dengan tanpa hujjah. Saya mendapatkan Ash Shan’ani menyebutkan (dalam Subulul Salam, 2/74) seperti (yang telah saya jelaskan), dan menyebutkan bahwa jika Jum’at tidak didapatkan seseorang, maka menurut Ijma’, ia wajib shalat Dhuhur, karena ia adalah asal”.[56]

Demikianlah penjelasan para ulama tentang hal ini. Apakah masih kurang jelas kesalahan orang yang mewajibkan kaum wanita shalat dua raka’at bila tidak shalat Jum’at bersama Imam?!

Demikianlah sebagian hukum-hukum seputar shalat Jum’at yang banyak dijumpai oleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terbesit di hati pembaca seputar shalat Jum’at ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[30]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Al Jum’ah Fil Qura’, no.1069 dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamatu Ash Shalat Wa Sunan Fiha, Bab Fardhiyah Al Jum’ah, no.
1082 dan Ibnu Al Jarud dalam Al Muntaqa, no 291. Hadits ini dihasankan oleh Abu Ishaq Al Huwaini dalam kitab Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibni Al Jarud, karyanya, tanpa tahun, Dar Al Kitab Al ‘Arabi, hlm. 1/254.
[31]. HR Ad Daraquthni dalam Sunan-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Dzikru Al ‘Adad Fil Jum’ah, hlm. 2/4 dan dalam sanadnya terdapat Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Jazari, seorang yang lemah, sehingga Imam Ahmad menyatakan: “Buang haditsnya,” dan Al Baihaqi menyatakan: “Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah”. Lihat pernyataan Abu Thayib Muhammad Al Abadi dalam At Ta’liq Al Mughni ‘Ala Ad Daraquthni yang terdapat di footnote kitab Sunan Ad Daraquthni, 2/4.
[32]. HR Ad Daraquthni dalam Sunan-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Dzikru Al ‘Adad Fil Jum’ah, hlm. 2/4.
[33]. Hadits ini dinukil dari kitab Ikhtiyarat Ibnu Qudamah Al Fiqhiyah Min Asyhar Al Masail Al Khilafiyah, karya Dr. Ali bin Sa’id Al Ghamidi, Cetakan Pertama, 1407 H, Dar Al Madani Jeddah, KSA, hlm. 366.
[34]. Sunan Al Kubra, karya Al Baihaqi, Tahqiq Muhammad Abdulqadir ‘Atha, Cetakan Pertama, Tahun 1414, Dar Al Kutub Al Ilmiyah Bairut, 3/255.
[35]. HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab Jum’ah, Bab Fi Qaulihi Ta’ala وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ no. 863.
[36]. Al Muhalla, op.cit 5/46.
[37]. Ibid.
[38]. HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Shalat, Bab At Tasydid Fi Tarki Al Jamah, no 537 dan An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Imamah, Bab At Tasydid Fi Tarki Al Jamah, 2/106 dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
[39]. Dinukil pentahqiq Asy Syarhu Al Mumti’, 5/51 dari kitab Al Ikhtiyarat, hlm. 79.
[40]. Majmu’ Fatawa Wa Maqalaat Mutanawi’ah, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Disusun Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwai’ir, Cetakan Ketiga, 1423 H, Muassasah Al Haramain Al Khairiyah, Riyadh, KSA, hlm. 12/326.
[41]. Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, hlm. 5/53.
[42]. Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’, Disusun Ahmad Abdur Razaq Ad Duwaisy, Cetakan Pertama, 1416 H, Dar Al ‘Ashimah, Riyadh, KSA, hlm. 8/178 no.1794.
[43]. Al Muhalla, op.cit, hlm. 5/45.
[44]. Nailul Authar, op.cit.
[45]. Al Ajwiba An Nafi’ah, op.cit, hlm. 44.
[46]. Lihat Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, hlm. 5/66 dan Al Ajwiba An Nafi’ah, op.cit, hlm. 53.
[47]. Asy Syarhu Al Mumti’, op.cit, hlm. 5/66.
[48]. Taisir Al Fiqh Al Jami’ Lil Ikhtiyarat Al Fiqhiyah Li Syaikh Al Islam Ibni Taimiyah, karya Dr. Ahmad Muwafi, Cetakan Kedua, Tahun 1416H, Dar Ibnu Al Jauzi, Damam, KSA, hlm. 1/278.
[49]. HR An Nasa’i dalam Sunan-nya, kitab Al Jum’ah, Bab Man Adraka Shalat Rak’atan Min Shalat Al Jum’ah, no. 1408, dengan sanad yang shahih. Hadits ini dishahihkan Al Albani di dalam Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, hlm. 48.
[50]. Lihat Majmu’ Fatawa, op.cit, 23/330-332.
[51]. Telah lalu sebagian dalilnya dalam masalah Apakah Menghadiri Khutbah Adalah Syarat Sah Shalat Jum’at?
[52]. HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, 1/126/1. Lihat Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, hlm. 49.
[53]. Hadits tersebut dilemahkan Al Albani. Lihat Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, hlm. 49.
[54]. HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, 1/126/1; Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir, 2/38/2; dan ini lafadz Ath Thabrani dari jalur periwayatan Abul Ahwash dari Ibnu Mas’ud secara mauquf. Berkata Al Albani: “Sebagian jalur periwayatannya shahih”. Al Haitsami menghasankannya di dalam Al Majma’, 2/192. Nampaknya penulis (Muhammad Shidiq Hasan Khan) berargumentasi dengan hadits Ibnu Mas’ud ini; padahal mauquf, karena tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihinya. Lihat semua ini di dalam Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, hlm. 47.
[55]. Al Ajwibah An Nafi’ah, op.cit, 48.
[56]. Ibid.


almanhaj.or.id