1. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ للهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فيْهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ، وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ، حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ، قَالَ : فَسْأَلُهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ : مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُولُونَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ، وَيُكَبِّرُونَكَ، وَيُهَلِّلُونَكَ، وَيَحْمَدُونَكَ، وَيَسْأَلُونَكَ، قَالَ : وَمَاذَا يَسْأَلُونِيْ ؟ قَالُوا : يَسْأَلُونَكَ جَنَّتَكَ، قَالَ : وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِيْ ؟ قَالُوا : لَا أَيْ رَبَّ، قَالَ : فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِيْ ؟ قَالُوا : وَيَسْتَجِيرُو نَكَ، قَالَ : وَمِمَّا يَسْتَجِيرُونَنِيْ، قَالُوا : مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ، قَالَ : هَلْ رَأَوْا نَارِي ؟ قَالُوا : لَا، قَالَ : فَكَيفَ لَوْ رَأَوْا نَارِيْ ؟ ......
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tabaaraka wa ta’aalaa mempunyai beberapa malaikat yang terus berkeliling mencari majelis dzikir. Apabila mereka telah menemukan majelis yang di situ disebut nama Allah, maka mereka duduk bersama orang-orang tersebut, mereka mengelilingi jama’ah itu dengan sayap-sayap mereka, sehingga memenuhi ruang antara mereka dan langit dunia. Jika orang-orang tersebut telah selesai, maka mereka naik ke langit”. Nabi berkata : “Kemudian Allah ‘azza wa jalla bertanya kepada para malaikat tersebut – dan Allah lebih tahu tentang apa yang mereka lakukan - : “Dari mana kamu sekalian ?”. Mereka menjawab : “Kami datang dari hamba-hamba-Mu di bumi, mereka sedang mensucikan-Mu, bertakbir kepada-Mu, memuji-Mu, dan memohon kepada-Mu”. Allah bertanya : “Apa yang mereka minta ?”. Para malaikat menjawab : “Mereka memohon surga-Mu”. Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat surga-Ku ?”. Para malaikat menjawab : “Tidak wahai Rabbku”. Kata Allah : “Betapa seandainya mereka pernah melihat surga-Ku”. Para malaikat berkata : “Mereka juga berlindung kepada-Mu”. Allah bertanya : “Dari apa mereka berlindung kepada-Ku?”. Para malaikat menjawab : “Dari neraka-Mu wahai Rabbku”. Allah bertanya : “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?”. Para malaikat menjawab : “Tidak”. Kata Allah : “Betapa seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku…” [HR. Al-Bukhari no. 6408 dan Muslim no. 2689].
2. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Allah ’azza wa jalla berfirman : “Aku terserah pada sangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersama hamba-Ku ketika dia mengingat-Ku. Jika dia mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingatnya di dalam diri-Ku. Jika dia mengingat-Ku di tengah orang banyak, maka Aku juga mengingatnya di tengah orang banyak yang lebih baik dari mereka. Jika dia mendekat sejengkal kepada-Ku, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepada-Nya sedepa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari” [HR. Al-Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675].
3. Hadits Mu’awiyyah radliyallaahu ‘anhu :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى حَلْقَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَمَا كَانَ أَحَدٌ بِمَنْزِلَتِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَلَّ عَنْهُ حَدِيثًا مِنِّي وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَةَ.
Dari Abu Sa’id Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Mu’awiyyah radliyallaahu ‘anhu pernah melewati suatu halaqah di masjid. Lalu ia bertanya : “Majelis apakah ini ?”. Mereka menjawab : “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah ta’ala”. Mu’awiyyah bertanya lagi : “Demi Allah, benarkah kalian duduk hanya untuk itu ?”. Mereka menjawab : “Demi Allah, kami duduk hanya untuk itu”. Kata Mu’awiyyah selanjutnya : “Sungguh aku tidak menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, sebab tidak ada orang yang menerima hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih sedikit daripada aku. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati satu halaqah para shahabatnya, lalu beliau bertanya : “Majelis apakah ini ?”. Mereka menjawab : “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah. Kami memuji-Nya atas hidayah-Nya berupa Islam dan atas anugerah-Nya kepada kami”. Beliau bertanya lagi : “Demi Allah, apakah kalian duduk untuk itu ?”. Mereka menjawab : “Demi Allah, kami duduk hanya untuk itu”. Beliau pun kemudian bersabda : “Sungguh, aku tidaklah menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, tetapi karena aku didatangi Jibril ‘alaihis-salaam yang memberitahukan bahwa Allah ‘azza wa jalla membanggakan kalian di depan para malaikat” [HR. Muslim no. 2701].
Sebagian orang berdalil dengan hadits-hadits di atas untuk menjustifikasi disyari’atkannya Majelis Dzikir dalam arti khusus : Dzikir Berjama’ah atau Dzikir Jama’iy (الذكر الجماعي). Adapun yang dimaksud dengan Dzikir Jama’iy sebagaimana berlaku di masyarakat kita adalah : segala bentuk dzikir, wirid, atau doa yang dilakukan sebagian orang dengan cara berkelopok setelah mengerjakan shalat-shalat wajib atau pada waktu-waktu yang lainnya dengan cara bersama-sama di belakang orang tertentu yang memimpinnya ataupun tanpa seorang pemimpin, namun mereka melakukannya secara berjama’ah dengan satu suara.
Majelis (مَجْلِسٌ) adalah bentuk kata tempat dari fi’il (kata kerja) : jalasa (جَلَسَ) yang berarti duduk. Sehingga makna majelis ialah tempat duduk. Makna lain dari kata ini adalah segolongan orang yang diberi kekhususan melakukan pertimbangan terhadap berbagai amal yang diserahkan kepada mereka, seperti istilah Majlis Asy-Sya’biy ‘majelis rakyat’.[1] Makna yang lebih sederhana lagi adalah tempat duduk, tempat berkumpul untuk orang-orang tertentu atau umum.
Adapun dzikir (ذِكْرٌ) - secara bahasa – maknanya adalah sesuatu yang sering diucapkan lisan[2], dan terkadang dimaksudkan untuk menghapal sesuatu. Ar-Raghiib Al-Asfahaaniy menjelaskan makna Adz-Dzikir dalam kitabnya Al-Mufradaat sebagai berikut:
الذكر : تارة يقال ويراد به : هيئة للنفس بها يمكن للإنسان أن يحفظ ما يقتنيه من المعرفة ، وهو كالحفظ إلا أن الحفظ يقال اعتباراً باحترازه ، والذكر يقال اعتباراً باستحضاره . وتارة يقال لحضور الشيء القلب أو القول . ولذلك قيل منهما ضربان : ذكر عن نسيان . وذكر لا عن نسيان ، بل عن إدامة الحفظ
“Adz-Dzikr, kadangkala yang dimaksudkan adalah satu keadaan yang terjadi pada diri seseorang yang dengannya ia bisa tenang dan merasa puas untuk menghapal suatu pengetahuan. Istilah dzikir sama halnya dengan menghapal, hanya saja bedanya dalam menghapal mengandung makna menyimpan, sedangkan dzikir mengandung makna mengingat. Dan terkadang dzikir bermakna mendatangkan sesuatu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh karenanya, dzikir bisa berarti mengingat dari kelupaan, dan dzikir (mengingat) itu tidak hanya disebabkan karena lupa, tapi justru karena ingat maka berdzikir”.[3]
Secara istilah (terminologi), Dzikir maknanya adalah :
كل قول سيق للثناء والدعاء . أي ما تعبدنا الشارع بلفظ منا يتعلق بتعظيم الله والثناء عليه ، بأسمائه وصفاته ، وتمجيده وتوحيده ، وشكره وتعظيمه ، أو بتلاوة كتابه ، أو بمسألته ودعائه
“Setiap perkataan yang diungkapkan untuk menyanjung, berdoa, artinya segala perkataan (wirid) yang kita ucapkan dalam rangka beribadah kepada Allah ta’ala untuk mengagungkan-Nya, menyanjung-Nya dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat-Nya, mengesakan-Nya, dan mensyukuri-Nya, atau dengan membaca Al-Qur’an, atau dalam rangka memohon dan meminta kepada-Nya”.[4]
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata :
والمراد بالذكر هنا الإتيان بالألفاظ التي ورد الترغيب في قولها والإكثار منها مثل الباقيات الصالحات وهي "سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر" وما يلتحق بها من الحوقلة والبسملة والحسبلة والاستغفار ونحو ذلك والدعاء بخيري الدنيا والآخرة، ويطلق ذكر الله أيضا ويراد به المواظبة على العمل بما أوجبه أو ندب إليه كتلاوة القرآن وقراءة الحديث ومدارسة العلم والتنفل بالصلاة،
“Dan yang dimaksud dengan dzikir adalah mengucapkan dan memperbanyak segala bentuk lafadh yang di dalamnya berisi tentang kabar gembira, seperti kalimat : subhaanallaahi, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar; dan yang semisalnya, doa untuk kebaikan dunia dan akhirat. Dan termasuk juga dzikir kepada Allah adalah segala bentuk aktifitas amal shalih yang hukumnya wajib ataupun sunnah, seperti membaca Al-Qur’an, membaca Hadiits, belajar ilmu agama, dan melakukan shalat-shalat sunnah”.[5]
Al-Haafidh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
فمثل أنواع الذكر من التسبيح والتكبير والتحميد والتهليل والاستغفار والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم وكذلك تلاوة القرآن والمشي إلى المساجد والجلوس فيها لانتظار الصلاة أو لاستماع
“Contohnya adalah berbagai macam jenis dzikir seperti tasbiih, takbiir, tahmiid, tahliil, istighfaar, bershalawat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; begitu pula membaca Al-Qur’an, berjalan menuju masjid, duduk di dalamnya untuk menunggu shalat ditegakkan, dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an”.[6]
Dapat kita lihat bahwa makna dzikir sebagaimana penjelasan para ulama mu’tabar adalah luas, tidak sesempit yang dipahami sebagian orang. Oleh karena itu, ‘Atha’ bin Abi Rabbah rahimahullah pernah menjelaskan cakupan makna Majelis Dzikir sebagaimana tercantum dalam riwayat berikut :
عن أبي هزان قال : سمعت عطاء بن أبي رباح يقول : من جلس مجلس ذكر كفر الله عنه بذلك المجلس عشرة مجالس من مجالس الباطل . قال أبو هزان : قلت لعطاء : ما مجلس الذكر ؟ قال : مجلس الحلال والحرام ، وكيف تصلي ، وكيف تصوم ، وكيف تنكح ، وكيف تطلق وتبيع وتشتري
Dari Abu Haazin ia berkata : Aku mendengar ‘Atha’ bin Abi Rabbah (salah seorang pembesar di kalangan tabi’in – murid Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu – Abu ‘Aisyah ) ia berkata : “Barangsiapa yang duduk di majelis dzikir, niscaya Allah akan menghapus dengannya sepuluh majelis dari majelis-majelis kebathilan yang pernah ia lakukan”. Abu Haazin berkata : Aku bertanya kepada ‘Atha’ : “Apakah itu majelis dzikir ?”. ‘Atha’ menjawab : “Majelis yang menjelaskan perkara halal dan haram, bagaimana shalat yang benar, bagaimana berpuasa yang benar, bagaimana pernikahan dilakukan, bagaimana syari’at tentang thalaq dan jual-beli”.[7]
Yang kemudian dipertegas oleh Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah :
معلم يقرئهم القرآن أو علما من العلوم الشرعية أو تجتمع إليه العامة فيعلمهم أمر دينهم ويذكرهم بالله ويبين لهم سنة نبيهم ليعملوا بها ويبين لهم المحدثات التي هي ضلالة ليحذروا منها ويتجنبوا مواطنها والعمل بها فهذه مجالس الذكر على الحقيقة
“(Majelis Dzikir yang sebenarnya adalah yang) mengajarkan Al-Qur’an, ilmu-ilmu syar’i (agama), dan perkara agama yang lain, menjelaskan umat tentang sunnah-sunnah Nabi mereka agar mereka mengamalkannya, menjelaskan tentang bid’ah-bid’ah agar umat berhati-hati terhadap bid’ah dan menjauhkannya. Ini adalah majelis dzikir yang sebenarnya”.
“Apakah majelis dzikir sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits di atas maknanya mencakup amalan Dzikir Jama’iy ?”.
Ada baiknya kita perlu tengok kitab-kitab tarikh (sejarah) dan hadits yang telah ditulis para ulama kita untuk melihat kapan dzikir jama’iy ini sebenarnya mulai masyhur di tengah kaum muslimin. Al-Haafidh Ibnu Katsir – pengarang kitab tafsir yang terkenal – berkata dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah :
وفيها كتب المأمون إلى إسحاق بن إبراهيم نائب بغداد يأمره أن يأمر الناس بالتكبير عقيب لموات الخمس، فكان أول ما بدئ بذلك في جامع بغداد والرصافة يوم الجمعة لاربع عشر ليلة ت من رمضان، وذلك أنهم كانوا إذا قضوا الصلاة قام الناس قياما فكبروا ثلاث تكبيرات، ثم مروا على ذلك في بقية الصلوات. وهذه بدعة أحدثها المأمون أيضا بلا مستند ولا دليل ولا مد، فإن هذا لم يفعله قبله أحد، ولكن ثبت في الصحيح عن ابن عباس أن رفع الصوت بالذكر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ليعلم حين ينصرف الناس من المكتوبة، وقد استحب هذا طائفة من ماء كابن حزم وغيره. وقال ابن بطال: المذاهب الاربعة على عدم استحبابه. قال النووي: وقد عن الشافعي أنه قال: إنما كان ذلك ليعلم الناس أن الذكر بعد الصلوات مشروع، فلما علم لم يبق للجهر معنى. وهذا كما روى عن ابن عباس أنه كان يجهر في الفاتحة في صلاة الجنازة ليعلم ؟ أنها سنة، ولهذا نظائر والله أعلم. وأما هذه البدعة التي أمر بها المأمون فإنها بدعة محدثة لم يعمل بها أحد من السلف. وفيها وقع شديد جدا.
“Pada waktu itu, Al-Ma’mun[8] menulis surat yang ditujukan kepada Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Baghdad. Isinya perintah agar dia menyuruh orang-orang bertakbir (dengan suara nyaring) seusai shalat lima waktu. Yang pertama kali dilakukan adalah di Masjid Jaami’ Baghdad dan Ar-Rashafah pada hari Jum’at, empat hari sebelum Ramadlan. Jelasnya, setelah menyelesaikan shalat, orang-orang berdiri secara serentak lalu mereka bertakbir tiga kali. Kemudian mereka dapat melanjutkan shalat lain yang belum dilaksanakan. Ini merupakan bid’ah yang dilakukan oleh Al-Ma’mun. Yang demikian itu tidak pernah dilakukan seorang pun sebelumnya. Disebutkan dalam Ash-Shahiih, dari Ibnu ‘Abbas bahwa mengeraskan suara dzikir pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, untuk menandai selesainya orang-orang dari shalat fardlu. Memang ada sebagian ulama, seperti Ibnu Hazm dan yang lainnya menganjurkan hal itu. Ibnu Baththal menyatakan : ‘Empat madzhab tidak menganjurkannya’. An-Nawawi berkata : Dari Asy-Syaafi’iy bahwasannya ia berkata : ‘Yang demikian itu (dzikir dengan suara nyaring) untuk mengajari bahwa dzikir seusai shalat disyari’atkan. Setelah orang-orang mengetahuinya, maka tidak ada maknanya menyaringkan dzikir’.[9] Yang demikian ini seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, bahwa ia pernah menyaringkan bacaan Al-Fatihah saat shalat jenazah karena hendak mengajarkan kepada orang-orang bahwa bacaan Al-Fatihah itu merupakan sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Contoh-contoh lain semacam ini banyak. Wallaahu a’lam. Adapun bid’ah yang diperintahkan Al-Ma’mun ini, maka itu jelas merupakan bid’ah yang diada-adakan, tidak pernah dilakukan seorang pun di antara orang-orang salaf. Karena itulah muncul penentangan yang keras”.[10]
Di masa inilah dzikir jama’iy dengan suara nyaring mulai ‘memasyarakat’ – apalagi mendapat dukungan pemerintah. Namun jauh sebelum itu, sebenarnya halaqah-halaqah dzikir jama’iy telah muncul di masa Khulafaaur-Raasyidin. Dan yang perlu digarisbawahi, amal tersebut tidaklah dilakukan para shahabat. Bahkan telah shahih riwayat pengingkaran sejumlah shahabat besar (kibaarush-shahaabah) terhadap halaqah dzikir jama’iy. Di antaranya adalah dua riwayat sebagai berikut :
حدثنا معاوية بن هشام قال : حدثنا سفيان عن سعيد الجُريريِّ عن أبي عثمان قال : كَتَبَ عَامِلٌ لِعُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ إِلَيْهِ : أَنَّ هَاهُنَا قَوْمًا يَجْتَمِعُوْنَ فَيَدْعُوْنَ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَلِلْأَمِيْرِ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ : أَقْبِلْ، وَأَقْبِلْ بِهِمْ مَعَكَ، فَأَقْبَلَ، وَقَالَ عُمَرُ لِلْبَوَّابِ : أَعِدَّ لِيْ سَوْطًا، فَلَمَّا دَخَلُوا عَلَى عُمَرِ أَقْبَلَ عَلَى أَمِيْرِهِمْ ضَرْبًا بِالسَّوْطِ. فَقَالَ : يَا عُمَرُ ! إِنَّا لَسْنَا أُولَئِكَ الَّذِيْ - يَعْنِي أُولَئِكَ قَوْمٌ يَأتُونَ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ.
“Telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin Hisyaam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin Sa’id Al-Juriiriy, dari Abu ‘Utsmaan, ia berkata : “Seorang pembantu ‘Umar bin Al-Khaththaab melaporkan kepadanya (‘Umar) : Bahwasannya di sana, di suatu tempat, ada sekelompok orang yang berkumpul untuk mendoakan kebaikan kaum muslimin dan pemimpin mereka. Lalu ‘Umar menulis surat kepadanya yang isinya : “Temui mereka, bawalah mereka menghadap bersamamu kepadaku”. Maka ia pun menemui mereka. Lalu ‘Umar berkata kepada penjaga pintu : “Sediakan cambuk”. Ketika mereka masuk menemui ‘Umar, maka ‘Umar menyambut pemimpin mereka dengan cambukan. Orang tersebut berkata : “Wahai ‘Umar, sesungguhnya kami bukanlah mereka – yaitu kaum yang datang dari Timur” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 8/531 no. 26594 dan Ibnu Wadldlah dalam Al-Bida’ wan-Nahyu ‘anhaa hal. 19; dengan sanad hasan].
أخبرنا الحكم بن المبارك، أنبأنا عمرو بن يحيى قال : سمعت أبي يحدث، عن أبيه قال : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - قَبْلَ صَلَاةِ الغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا : لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ - وَالْحَمْدُ للهِ - إِلَّا خَيْرًا. قَالَ : فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ : رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوْسًا يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلَقَةٍ رَجُلٌ، وَفِيْ أَيْدِيْهِمْ حَصًا، فَيَقُوْلُ : كَبِّرُوا مِئَةً، فَيُكَبِّرُوْنَ مِئَةً، فَيَقُوْلُ : هَلِّلُوا مِئَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِئَةً، فَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِئَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِئَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِم، ثَمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلَقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ : مَا هَذا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًا نَعُدَّ بِهِ التَّكْبِيْرَ والتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيْحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا : وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
“Telah memberi khabar kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubaarak : Telah memberitakan kepada kami ‘Amru bin Yahya, ia berkata : Aku mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari ayahnya, ia berkata : Sebelum shalat shubuh, kami biasa duduk di depan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid. Tiba-tiba kami didatangi oleh Abu Musa Al-Asy’ariy radliyallaahu ‘anhu, seraya bertanya : “Apakah Abu ‘Abdirrahman (‘Abdullah bin Mas’ud) sudah keluar menemui kalian ?”. Kami menjawab : “Belum”. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar rumah. Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya. Abu Musa berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari di masjid, namun aku menganggap – segala puji bagi Allah – hal itu adalah baik”. Kata Ibnu Mas’ud : “Apakah itu ?”. Abu Musa menjawab : “Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk ber-halaqah sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqah tadi berkata : ‘Bertakbirlah seratus kali’, maka mereka pun bertakbir seratus kali. ‘Bertahlillah seratus kali’, maka mereka pun bertahlil seratus kali. ‘Bertasbihlah seratus kali’, maka mereka pun bertasbih seratus kali”. Ibnu Mas’ud bertanya : “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka ?”. Abu Musa menjawab : “Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan”. Ibnu Mas’ud berkata : “Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan”. Lalu Ibnu Mas’ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti di belakangnya hingga sampai di tempat itu. Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka : “Benda apa yang kalian pergunakan ini ?”. Mereka menjawab : “Kerikil wahai Abu ‘Abdirrahman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mempergunakannya”. Ibnu Mas’ud berkata : “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad ! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak. Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya ! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan ?”. Mereka menjawab : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada kami : ‘Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongannya’. Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kalian”. ‘Amr bin Salamah berkata : “Kami melihat mayoritas diantara orang-orang yang ikut dalam halaqah itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawaan yang bergabung bersama orang-orang Khawarij” [HR. Ad-Daarimi no. 210 dengan sanad jayyid; akan tetapi menjadi shahih dengan keseluruhan jalannya].[11]
Sungguh indah atsar di atas ! sangat pas dengan permasalahan yang sedang dibahas. Lihatlah ikhwah, betapa ‘Umar mengingkari dengan pengingkaran yang keras terhadap orang-orang yang berkumpul dan berdoa secara berjama’ah, padahal yang mereka lakukan adalah kebaikan – menurut prasangka mereka – yaitu mendoakan kaum muslimin dan pemimpinnya. Apa gerangan yang menyebabkan pengingkaran tersebut ? Tidak lain adalah cara yang mereka lakukan menyelisihi apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat. Dan yang lebih jelas lagi adalah atsar ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Apa yang diingkari oleh Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu ? Ia mengingkari keberadaan halaqah-halaqah dzikir jama’iy yang dikomandoi oleh seorang pimpinan dimana mereka menggunakan kerikil sebagai alat hitung. Alangkah samanya hari itu dengan hari ini. Ibnu Mas’ud tidaklah mengingkari lafadh tasbiih, tahmiid, tahliil, ataupun takbiir yang mereka ucapkan. Namun yang diingkari oleh Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu adalah cara yang mereka lakukan yang menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Mereka membuat cara-cara baru yang tidak dikenal dalam Sunnah Nabi dan para shahabatnya. Tidakkah kita perhatikan alasan mereka ketika perbuatan mereka itu diingkari oleh Ibnu Mas’ud : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”. Atas perkataan ini, Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya”. Jawaban ini mengandung makna yang sangat dalam, yaitu bahwa tidaklah setiap niat baik itu dapat diterima menurut syari’at apabila dilakukan dengan cara-cara yang menyelisihi syari’at.
Tidak ternukil penyelisihan dari kalangan shahabat lain terhadap apa yang dilakukan ‘Umar bin Al-Khaththab dan ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhuma. Bisa jadi, apa yang dilakukan oleh kedua shahabat tadi merupakan ijma’ sukuti, sebagaimana dikenal dalam ilmu ushul fiqh. Konsekuensinya, pengingkaran terhadap satu amal secara ijma’, tidaklah mungkin menjadi sunnah selamanya.
Kembali ke permasalahan awal, yaitu tentang Majelis Dzikir. Jika kita tengok riwayat-riwayat di atas, sangat jelas bagi kita bahwa Dzikir Jama’iy itu tidak dikenal di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhu, sehingga, membawa pengertian Majelis Dzikir kepada pelaksanaan halaqah dzikir jama’iy – sebagaimana dipahami sebagian orang – sangatlah tidak tepat. Oleh karena itu, tiga hadits yang dibawakan di awal tulisan ini pun sama sekali tidak bisa diarahkan sebagai penunjuk disyariatkannya dzikir jama’iy.[12]
Hadits pertama, misalnya. Makna ‘majelis dzikir’ yang di dalamnya terdapat ucapan tasbiih, tahmiid, tahliil, atau takbiir tidak harus berkonsekuensi pada dzikir jama’i. Bukankah jika kita sedang mengikuti ta’lim yang di dalamnya terdapat pengajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah di dalamnya juga mengandung takbiir, tahmiid, tahliil, ataupun takbiir ? Bukankah ketika kita sedang shalat berjama’ah di dalam masjid kita tercinta ini di dalamnya juga terdapat takbiir, tahmiid, tahliil, ataupun takbiir ? Bukankah ketika kita sedang menghafalkan Al-Qur’an dan hadits bersama teman-teman kita di dalamnya lafadh-lafadh takbiir, tahmiid, tahliil, ataupun takbiir ?
Hadits kedua yang di dalamnya terdapat kalimat : “Jika dia mengingat-Ku di tengah orang banyak, maka Aku juga mengingatnya di tengah orang banyak yang lebih baik dari mereka” ; ini pun tidak harus dikonsekuensikan dengan dzikir jama’iy. Pendalilan dengan hadits kedua ini lebih jauh daripada hadits pertama. Sebab, makna mengingat Allah di tengah/bersama orang banyak itu adalah ketika ia merasa ingat kepada Allah, takut akan larangannya, semangat dalam mengerjakan apa yang diperintahnya, dan yang lain sebagainya; saat ia bersama manusia.
Begitu pula dengan hadits yang ketiga.
Majelis Dzikir yang ada di jaman Nabi dan para shahabat adalah majelis penyampaian ilmu, ta’lim, pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, serta saling nasihat-menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Begitu juga pendirian shalat-shalat wajib ataupun sunnah. Tidak terkecuali, berdzikir dengan dzikir yang disyari’atkan setelah shalat atau di waktu-waktu lain - tanpa berjama’ah. Majelis Dzikir inilah yang ternukil dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah.
Demikianlah secara ringkas yang dapat dituliskan. Masih banyak hal yang tertinggal dan belum tertulis dalam pembahasan ini. Dari yang sedikit, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Wal-‘ilmu ‘indallah. Wallaahu ta’ala bish-shawwaab.
[Abu ‘Aisyah Al-Jauzaa’, abul.jauzaa@gmail.com – http://abul-jauzaa.blogspot.com]. [1] Al-Mu’jamul-Wasith hal. 130.
[2] Al-Qamus Al-Muhith hal. 507 dan Lisaanul-‘Arab 5/48.
[3] Al-Mufradaat, hal. 328.
[4] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 21/220 dan Al-Futuuhaat Ar-Rabbaniyyah, 1/18.
[5] Fathul-Baariy, 11/209.
[6] Jaami’ul-Ulum wal-Hikam hal. 325.
[7] Hilyatul-Auliyaa’ 3/313.
[8] Seorang Khalifah ketujuh Bani ‘Abbasiyyah, putra dari Khalifah Harun Ar-Rasyid.
[9] Telah berkata Al-Imam Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm :
وأختار للإمام والمأموم أن يذكرا الله بعد الانصراف من الصلاة ، ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعُلِّم منه ثم يُسِرُّ ، فإن الله عز وجل يقول : { ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها } [ الإسراء : 110 ] يعني - والله تعالى أعلم - الدعاء ، ولا تجهر : ترفع . ولا تخافت : حتى لا تسمع نفسك
“Dan aku memilih bagi imam dan makmum agar berdoa kepada Allah setelah selesai melakukan shalat, dan melembutkan suara dalam berdzikir kecuali seorang imam yang ingin mengajarkan kepada makmum. Hendaknya ia mengeraskan bacaan dzikir sehingga makmum mengetahui bahwa mereka telah diajarkan, kemudian setelah itu imam harus melembutkan suaranya dengan pelan ketika berdoa, sebagaimana firman Allah : “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam doamu dan jangan pula merendahkannya. Carilah jalan tengah di antara keduanya” (QS. Al-Israa’ : 110). Dan yang dimaksud dengan ayat ini adalah doa” [selesai].
Apa yang ditegaskan oleh Asy-Syafi’i adalah benar lagi mencocoki firman Allah ta’ala : { وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ } “Dan berdzikirlah/sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai” [QS. Al-A’raaf : 205].
[10] Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 10/296. Lihat pula Tarikh Al-Umam wal-Mulk oleh Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, 10/281.
[11] Lihat takhrij riwayat ini selengkapnya dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 2005 oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Takhrij Al-I’tisham lisy-Syaathibi oleh Asy-Syaikh Masyhuur bin Hasan Alu Salmaan 2/323-325, dan Tahqiq Sunan Ad-Daarimiy oleh Husain Saliim Asad.