Berikut ini kami kutipkan bagaimana Ustadz Novel berdalil untuk membenarkan perayaan maulid Nabi SAW.;
Kemuliaan hari jum’at
Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ahmad, disebutkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا
Hari terbaik di mana matahari terbit adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu Adam dimasukkan ke dalam Surga, dan pada hari itu juga Adam dikeluarkan dari Surga. (HR Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad).
Dalam hadis di atas Rasulullah SAW. menyebutkan tiga alasan penyebab kemuliaan hari Jumat, dan salah satunya adalah sebagai hari penciptaan Nabi Adam AS. Hari itu menjadi mulia karena di dalamnya terjadi banyak peristiwa mulia. Nah, jika di hari penciptaan Nabi Adam kita diperintahkan untuk banyak bershalawat kepada Rasulullah SAW., lalu apakah kita tidak boleh merayakan hari kelahiran beliau SAW. dengan menyelenggarakan majelis shalawat? [1])
Saya katakan: mana dalilnya bahwa kita diperintahkan untuk shalawat di hari kelahiran beliau? Hadits di atas sama sekali tidak menyinggung-nyinggung tentang kelahiran beliau, maupun dianjurkannya shalawat ketika itu.
Rasulullah Shalat di Tempat Kelahiran Nabi Isa AS
Di halaman 27 dan 28, Ustadz Novel mengutip sebuah hadits yang cukup panjang, di antaranya hadits itu menyebutkan bahwa Rasulullah SAW. ketika Isra’ mampir di Bait Al Lahm (Bethlehem), tempat kelahiran Nabi ‘Isa AS … dst. Kemudian Ustadz Novel menyimpulkan: Jika tempat kelahiran Nabi Isa AS dishalati oleh Nabi, lalu bagaimana kiranya dengan tempat kelahiran beliau SAW.?
Saya katakan: ini adalah analogi (qiyas) yang batil, mengapa? Karena dalam menetapkan suatu ibadah harus pakai dalil yang sahih dan sharih (jelas), bukan main qiyas seperti ini. Kalaulah tempat kelahiran beliau memang dianjurkan untuk dijadikan tempat shalat, mengapa beliau tidak memerintahkannya secara langsung? Apakah beliau tidak tahu dan lupa, namun justru Ustadz Novel yang tahu dan ingat? Mengapa pula tidak ada riwayat yang sampai kepada kita bahwa para sahabat shalat di tempat kelahiran Nabi SAW.? Apakah Ustadz Novel lebih semangat dan lebih tahu tentang ittiba’ Nabi dari pada para sahabat?
Peringatan Maulid Dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Di halaman 39 Ustadz Novel mendasarkan anggapannya ini pada sebuah hadits yang intinya ketika Nabi SAW. ditanya mengenai puasa hari Senin beliau menjawab:
فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ
“Pada hari itu aku dilahirkan dan di hari itu pula aku memperoleh wahyu”
(H.R. Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad)
Lalu katanya: Coba perhatikan hadis di atas, para sahabat bertanya tentang puasa, tapi Nabi SAW. berbicara tentang kelahiran beliau dan turunnya wahyu kepada beliau SAW.. Artinya Rasulullah SAW. ingin menunjukkan kepada para sahabat bahwa hari Senin itu mulia karena dirinya, karena ada peristiwa-peristiwa yang dikaitkan dengan beliau SAW.… dst. Kemudian katanya (hal 41): hadis di atas beliau SAW. sampaikan tentunya karena beliau ingin umatnya mengenang dan memperingati hari-hari yang berhubungan dengan diri beliau SAW.. Oleh karena itu, sungguh aneh jika ada orang yang tidak mau memperingati hari kelahiran Nabi SAW.. Dan sungguh aneh pula jika ada orang yang berpuasa Sunah di hari Senin tetapi tidak berniat untuk memuliakan hari kelahiran Nabi SAW.. Mengapa demikian, sebab Nabi SAW. secara terang-terangan menyatakan bahwa puasanya adalah karena hari itu adalah hari kelahirannya.[2])
Saya katakan: ini termasuk syubhat andalan mereka… akan tetapi alhamdulillah, syubhat ini sangatlah lemah ditinjau dari beberapa segi [3]):
Pertama: Kalaulah benar Nabi berpuasa pada hari Senin demi memperingati kelahiran beliau, maka mengapa anda justeru melakukannya sekali dalam setahun, yaitu pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal saja? Padahal dalam satu bulan minimal kita melalui empat kali hari senin…
Kedua: Kalaulah Nabi berpuasa pada hari itu karena rasa syukur kepada Allah atas nikmat lahirnya Nabi akhir zaman [4]), maka mestinya kita bersyukur pada hari itu dengan tata cara Rasulullah ketika mensyukuri nikmat, yaitu dengan berpuasa. Bukannya dengan main ketipungan, makan-makan, mendendangkan qasidah-qasidah, dan berbagai macam bid’ah lainnya…
Ketiga: ketika Nabi mensyukuri hari kelahirannya, adakah beliau juga menambah hal-hal yang kita saksikan dalam peringatan maulid sekarang ini; seperti tabuhan rebana, nyanyi-nyanyian, shalawatan, dan lain-lain? Ataukan beliau hanya mencukupkan dengan puasa saja…? Subhaanallaah… Nabi merasa cukup hanya dengan puasa, akan tetapi mereka tidak merasa cukup dengan sekedar puasa…!! Mereka tidak puas dengan apa yang memuaskan Rasulullah SAW.…
Ustadz Novel juga mengatakan (hal 36) … ternyata apa yang tidak dicontohkan atau diperintahkan Nabi Muhammad SAW. secara langsung belum tentu haram atau sesat. Selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka ia tidaklah haram.
Dari penjelasan di atas, Anda sendiri dapat menyimpulkan bahwa peringatan hari besar Islam apa pun itu tidaklah terlarang, meskipun tidak diperintahkan atau dicontohkan Nabi Muhammad SAW., dengan syarat, acara penyelenggaraannya tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah. Selama kegiatan tersebut diisi dengan ceramah agama, pembacaan Al Qur’an, shalawat, dzikir, lantunan nasyid dan qasidah, serta kegiatan ibadah sejenisnya, maka ia merupakan sebuah bid’ah hasanah yang perlu kita lestarikan dan sebarluaskan.
Saya katakan: cara berdalil ala Ustadz Novel Alaydrus -hadaahullaah- ini sungguh nyeleneh. Pasalnya, dengan pola pikir seperti ini setiap orang bisa membikin syari’at sendiri semau gue… yang penting tidak dilarang khan?? Kalau begitu kenapa dia tidak shalat subuh empat, atau delapan roka’at sekalian, kan tidak ada larangannya? Kenapa pula dia hanya shalat sunnah fajar dua roka’at, kan tidak dilarang untuk lebih dari itu? Kenapa shalat maghrib harus tiga roka’at, kok tidak lima sekalian? Kenapa kita hanya diperintah thawaf dan sa’i sebanyak tujuh kali, kok tidak sepuluh aja sekalian? Kenapa kita hanya wukuf di Arafah sampai tenggelam matahari tanggal 9 Dzul Hijjah? Kenapa lempar jumrah cukup dengan tujuh kerikil, kok tidak lebih supaya ‘setan’-nya makin kesakitan [5]), kan tidak dilarang? Kenapa kok shalat Ied hanya dua roka’at… kenapa dan kenapa….?
Bukankah pola pikir semacam ini yang ingin dia ajarkan kepada pengikutnya? Alias jangan sembarangan membid’ahkan setiap yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW., kalau beliau sendiri tidak melarangnya!!
Saya tidak habis pikir, apakah dia tak tahu bahwa setiap bentuk peribadatan itu sifatnya tauqify [6]), alias harus ada perintah terlebih dahulu baru dilakukan? Atau ada tendensi lain di balik itu semua? Wallaahu a’lam…
Tapi yang jelas, pola pikir semacam ini jelas sesat dan menyesatkan karena bertentangan dengan kaidah umum usul fiqih yang berbunyi:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ
Hukum asal setiap ibadah itu tauqiefy.[7]) Atau:
الأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْحَظْرُ وَالْمَنْعُ حَتىَّ يَقُوْمَ دَلِيْلٌ تَثْبُتُ بِهِ مَشْرُوْعِيَّتُهَا.
Hukum asal setiap ibadah itu terlarang, sampai ada dalil yang menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut [8]).
Ketahuilah, bahwa kaidah ini dirumuskan berdasarkan dalil-dalil syar’i baik dari Al Qur’an maupun Hadits Nabi SAW.. Dalil-dalil tersebut ialah firman Allah yang maknanya:
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (Asy Syura: 21).
Artinya, setiap bentuk ajaran agama itu haruslah disyariatkan oleh Allah terlebih dahulu. Jadi, dalam beribadah seseorang harus bertolak dari ada perintah atau tidak. Kalau ada ya dikerjakan, kalau tidak ya jangan… bukan bertolak dari ada larangan atau tidak.
Apa lagi dengan main qiyas-qiyasan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya tanpa ada dalil yang jelas, padahal dalam hadits disebutkan:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأَشْجَعِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ: « تَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلىَ بِضْعٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، أَعْظَمُهَا فِتْنَةً عَلىَ أُمَّتِي: قَوْمٌ يَقِيْسُونَ الأُمُوْرَ بِرَأْيِهِمْ . فَيُحِلُّوْنَ الْحَرَامَ وَيُحَرِّمُونَ الْحَلاَلَ »
Dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i ra, katanya: Rasulullah SAW. bersabda: “Ummatku akan berpecah menjadi tujuh puluh sekian golongan. Golongan yang paling besar fitnahnya bagi umatku ialah kaum yang mengqiyaskan (menilai) berbagai masalah menurut pendapat mereka. Kemudian mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal” [9]) (lihat Adhwaa’ul Bayan, 4/280. hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqity dan semua perawinya tsiqah).
Dalil lainnya ialah Sabda Nabi SAW. yang memang sejak semula selalu jadi ‘target operasional’ Ustadz Novel Alaydrus -hadaahullaah-. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengaburkan makna hadits ini yang sebenarnya. Karena memang hadits inilah senjata pamungkas setiap orang yang menolak bid’ah dan menjunjung sunnah… hadits inilah yang jadi momoknya Ustadz Novel cs… semua propagandanya tak akan laku sebelum ia berhasil menundukkan hadits ini menurut hawa nafsunya…
…. Ya, sebuah hadits yang menjadi salah satu pilar penopang Islam, dan sumbu putar setiap permasalahan dalam dien ini…. Sebuah hadits yang sangat agung dan menjadi kaidah universal dalam menilai mana bid’ah dan mana sunnah… dan bahwa Allah dan Rasul-Nya menolak semua jenis bid’ah tanpa kecuali…
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البخاري ومسلم, وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, yang bukan dari padanya, maka perbuatannya itu tertolak” (H.R. Bukhari no 2499 dan Muslim no 3242). Dalam riwayat Muslim lainnya (no 3243) disebutkan: “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan urusan kami, maka amalan itu tertolak” (lihat hadits no 5 dalam Al Arba’in An Nawawiyyah).
Makna dari ‘urusan kami’ ialah agama & syari’at yang beliau SAW. bawa. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya: Jaami’ul ‘Uluumi wal Hikam, yang insya Allah akan penulis jabarkan lebih lanjut dalam tulisan khusus mengenai ‘bid’ah’. Wallaahu a’lamu bisshawab…
Bersambung ke Syubhat kedua…
[1]) Mana Dalilnya 2, hal 22-23.
[2]) Ibid, hal 41.
[3]) Lihat: Al Inshaf, hal 58-59 oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy.
[4]) Seperti yang dikatakan As Suyuthi dalam fatawa-nya, yang dinukil oleh Novel di Mana Dalilnya 2, hal 44-45.
[5]) Seperti keyakinan mayoritas jama’ah haji. Padahal tak lain kita melempar jumrah, tawaf di Ka’bah, dan sa’i antara Shafa dan Marwah hanyalah agar kita selalu dzikrullah, sebagaimana yang tersebut dalam hadits Aisyah y dalam Sunan At Tirmidzi, Abu Dawud, dan lainnya.
[6]) Berasal dari kata: waqqafa – yuwaqqifu – tauqiefan, yang artinya ‘menghentikan’. Maksudnya setiap ibadah harus dihentikan sampai ada perintah dari si empunya syari’at (Allah dan Rasul-Nya).
[7]) Kaidah ini berlaku pada setiap mazhab, lihat: Syarh Al Bahjatul Wardiyah, bab shalat, fasal: bayanu shalatin nafli karya Al ‘Allaamah Abu Yahya Zakaria bin Muhammad Al Anshary Asy Syafi’i. Lihat juga dalam Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah 6/452; Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah, 4/394 – 8/74 -9/134 – 10/303 – 10/500; dan Shalaatut Tarawih hal 34 oleh Syaikh Al Albani.
[8]) Lihat: Kitaabul ‘Ilm hal 161 oleh Syaikh Al Utsaimin; Taisirul Lathiful Mannan fi Khulashati Tafsiril Ahkam, fasal: fil ahkamis syar’iyyah wal bayyinah, oleh Syaikh Abdurrahman As Sa’dy.
[9]) H.R. Ibnu Baththah dalam Al Ibanatul Kubra, 1/289,334; Al Hakim dalam Al Mustadrak bab Dzikru manaqibi ‘Auf ibni Malik; dan At Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir di musnad ‘Auf bin Malik.
Sumber:
basweidan.wordpress.com