Friday, January 14, 2011

Mengkritisi Kisah Kedatangan Badui ke Kubur Nabi

Kisah kedatangan Arab Badui ke kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangatlah populer di telinga kita. Kisah ini banyak dijadikan oleh sebagian kalangan sebagai dalil untuk melegalkan praktek meminta do’a kepada para wali, meskipun jasad mereka telah dikubur. Melalui artikel ini, Syaikh Ali Hasyisy memaparkan keabsahan kisah ini dan patutkah dijadikan dalil untuk hal tersebut.


Redaksi Kisah

Diriwayatkan dari Abu Harb Al Hilali, dia berkata,

حج أعرابي فلما جاء إلى باب مسجد رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم أناخ راحلته فعقلها ثم دخل المسجد حتى أتى القبر ووقف بحذاء وجه رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم فقال: السلام عليك يا رسول الله، ثم سلم على أبي بكر وعمر ثم أقبل على رسول الله ، فقال : بأبي أنت وأمي يا رسول الله ، جئتك مثقلاً بالذنوب والخطايا مستشفعًا بك على ربك لأنه قال في محكم كتابه: ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما {النساء : 64} . وقد جئت بأبي أنت وأمي مثقلاً بالذنوب والخطايا أستشفع بك على ربك أن يغفر لي ذنوبي وأن تشفع فيَّ ثم أقبل في عرض الناس وهو يقول :
يا خيرَ مَنْ دُفِنَتْ في الأرضِ أَعْظُمُهُ
فطابَ مِن طِيبِهِ القَاعُ والأَكَمُ
نفسي الفداءُ لقبرٍ أنتَ ساكِنُهُ
فيه العفافُ وفيه الجودُ والكرمُ

Seorang Arab badui pergi berhaji dan ketika sampai di pintu masjid rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menderumkan tunggangannya dan mengikatnya. Kemudian, dia pun masuk ke dalam masjid dan mendatangi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdiri di hadapan wajah rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, “Assalamu ‘alaika, wahai rasulullah. Saya datang kepadamu dengan membawa setumpuk dosa sembari meminta syafa’at kepada Rabb-mu dengan perantaraan dirimu, karena Dia berfirman dalam kitab-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (An Nisaa: 64). Dan sungguh saya telah datang kepadamu dengan setumpuk dosa dan kesalahan, meminta syafa’at kepada Rabb-mu dengan perantaraan dirimu agar dia mengampuni dosaku dan agar dirimu (wahai rasulullah) memintakan syafa’at bagiku.
Kemudian, orang itu pun pergi ke kerumunan manusia sembari berdendang,

Wahai pribadi terbaik yang jasadnya disemayamkan di permukaan bumi ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat bersemayammu
Yang disanalah terdapat kesucian, kemurahan, dan kemuliaan

Komentar saya: Riwayat ini dikeluarkan dengan redaksi di atas oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/495; hadits nomor 4178). Dia mengatakan, “Abu ‘Ali Ar Rudibari memberitakan kepada kami bahwa ‘Amru bin Muhammad bin ‘Amru bin Al Husain bin Baqiyah menceritakan kepada kami secara imlak (dikte) bahwa Sakr al Harawi memberitakan kepada kami bahwa Abu Yazid Ar Raqasy menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Rauh bin Yazid Al Bashri, dia mengatakan bahwa Abu Harb al Hilali menceritakan kepadaku, dia berkata dan selanjutnya menyebutkan kisah tersebut.

Kisah dengan redaksi dan jalur periwayatan yang lain
Diriwayatkan dari Muhammad bin Harb al Hilali, dia berkata,

“دخلت المدينة فأتيت قبر النبي صلى الله عليه وسلم ، فزرته وجلست حذاءه ، فجاء أعرابي فزاره ثم قال : يا خير الرسل إن الله أنزل عليك كتابًا صادقًا ، قال فيه : ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما {النساء: 64}، وقد جئتك مستغفرًا من ذنبي مستشفعًا بك إلى ربي ثم بكى وأنشأ يقول :
يا خيرَ مَنْ دُفِنَتْ بالقاعِ أَعْظُمُهُ
فطابَ مِن طِيبِهِنَ القَاعُ والأَكَمُ
نفسي الفداءُ لقبرٍ أنتَ ساكِنُهُ
فيه العفافُ وفيه الجودُ والكرمُ
ثم استغفر وانصرف ، فرقدت فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم في نومي وهو يقول : إلحق الرجل فبشره أن الله قد غفر له بشفاعتي ، فاستيقظت فخرجت أطلبه فلم أجده”

“Saya memasuki kota Madinah, kemudian saya mendatangi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya menziarahinya dan duduk di hadapannya. Kemudian, datanglah seorang badui menziarahi kubur beliau dan berkata, “Wahai rasul terbaik! Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu sebuah kitab suci yang benar. Dia berfirman di dalamnya (yang artinya), “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (An Nisaa: 64). Sungguh, saya telah datang kepadamu sembari memohon ampun atas dosaku serta meminta syafa’at dengan perantaraanmu kepada Rabb-ku. Dia pun menangis dan bersenandung,

Wahai pribadi terbaik yang jasadnya disemayamkan di permukaan bumi ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat bersemayammu
Yang disanalah terdapat kesucian, kemurahan, dan kemuliaan

Kemudian badui tadi beristighfar dan pergi. Saya kemudian tertidur dan melihat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi. Beliau berkata, “Kejarlah pria tersebut dan kabarkanlah bahwa Allah telah mengampuninya dengan sebab syafa’atku!” Saya pun terbangun lalu keluar mencarinya, namun tidak menemukannya.
Komentar saya: As Subki menisbatkan riwayat ini kepada Ibnu ‘Asakir dalam kitab Tarikh-nya dan Ibnul Jauzi dalam Matsirul ‘Azmis Sakin. Nanti, kami akan menjelaskan bantahan riwayat ini dan yang sebelumnya kepada sidang pembaca yang mulia.

Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dia mengatakan,

قدم علينا أعرابي بعدما تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم بثلاثة أيام فرمى بنفسه إلى قبر النبي صلى الله عليه وسلم ، وحثى على رأسه من ترابه، وقال : يا رسول الله ، قلت فسمعنا قولك ، ووعيت عن الله عز وجل فوعينا عنك، وكان فيما أنزل الله عز وجل عليك : ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما {النساء : 64} . وقد ظلمت نفسي وجئتك تستغفر لي ، فنودي من القبر أنه قد غفر لك

Seorang Arab badui mendatangi kami tiga hari setelah wafatnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendatangi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menaburkan tanah di atas kepalanya, kemudian berkata, “Wahai rasulullah, engkau telah bersabda dan kami pun mendengar sabdamu. Engkau telah memelihara firman-Nya dan kami pun memeliharanya darimu. Dan salah satu firman Allah yang diturunkannya kepadamu adalah (yang artinya), Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (An Nisaa: 64). Sungguh, saya telah menzhalimi diri sendiri dan datang kepadamu agar engkau memintakan ampun bagi diriku.” ‘Ali berkata, “Kemudian, tiba-tiba ada seruan dari dalam kubur bahwa dirinya telah diampuni.”
Komentar saya: Abul Hasan ‘Ali bin Ibrahim bin ‘Abdillah bin ‘Abdirrahman Al Kurkhi meriwayatkan jalur periwayatan ini dari ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali, dia mengatakan, Ahmad bin Muhammad bin Al Haitsam At Thai menceritakan kepada kami, dia berkata, ayahku menceritakan kepadaku dari Salamah bin Kuhail, dari Abu Shadiq dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dia berkata kemudian menceritakan (kisah di atas) sebagaimana disebutkan dalam Ash Sharimul Manki hlm. 323. Al Qurthubi memaparkan juga kisah ini dalam kitab tafsirnya 2/1929.

Diriwayatkan dari Al ‘Utbi, dia mengatakan,

كنت جالسًا عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فجاء أعرابي فقال : السلام عليك يا رسول الله ، سمعت الله يقول: ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاءوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما {النساء : 64} ، وقد جئتك مستغفرًا لذنبي مستشفعًا بك إلى ربي ، ثم أنشأ يقول :
يا خيرَ مَنْ دُفِنَتْ بالقاعِ أَعْظُمُهُ
فطابَ مِن طِيبِهِنَ القَاعُ والأَكَمُ
نفسي الفداءُ لقبرٍ أنتَ ساكِنُهُ
فيه العفافُ وفيه الجودُ والكرمُ
ثم انصرف الأعرابي فغلبتني عيني ، فرأيت النبي صلى الله عليه وسلم في النوم ، فقال : يا عُتْبي ، إلحق الأعرابي فبشره أن الله قد غفر له

“Saya tengah duduk di samping kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, datanglah seorang badui dan mengatakan, “Semoga keselamatan tercurah kepadamu wahai rasulullah! Saya telah mendengar Allah berfirman (yang artinya), Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (An Nisaa: 64). Sungguh saya telah datang kepadamu seraya memohon ampun atas dosaku dan meminta syafa’at dengan perantaraanmu kepada Rabb-ku.” Dia pun bersenandung,

Wahai pribadi terbaik yang jasadnya disemayamkan di permukaan bumi ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat bersemayammu
Yang disanalah terdapat kesucian, kemurahan, dan kemuliaan

Badui itu pun pergi dan kantuk pun menyerangku. Di dalam mimpi, saya bertemu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Wahai ‘Utbi, kejarlah Badui tadi dan berilah kabar gembira kepadanya bahwa Allah telah mengampuninya.”
Komentar saya: Ibnu Katsir meriwayatkan hikayat ini dalam tafsirnya (1/520). Dia mengatakan, “Sejumlah ulama, diantaranya adalah Asy Syaikh Abu Nashr Ash Shibagh dalam kitabnya Asy Syamil menyebutkan hikayat yang masyhur dari Al ‘Utbi yang mengatakan, “”Saya tengah duduk di samping kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam….”

Faedah 

Sebagian besar khatib, pemberi wejangan, dan tukang cerita terpedaya dengan keberadaan kisah semacam ini di beberapa kitab tafsir dan beranggapan kisah tersebut shahih. Mereka pun menceritakan kisah ini kepada orang-orang awam yang tidak mengetahui ilmu hadits dan menyebutkan bahwa kisah tersebut diriwayatkan oleh Al Qurthubi atau Ibnu Katsir dalam tafsir mereka, sehingga orang-orang tersebut meyakini kebenarannya dan kisah itu pun tersebar luas.
Imam Ibnu Katsir telah memaparkan kisah ini dan mendiamkannya sembari menjelaskan sumber riwayat tersebut, sebagaimana tindakan beliau yang memaparkan dan mendiamkan kisah Tsa’labah bin Hathib. Akibatnya, peringkas tafsir Ibnu Katsir, Syaikh Ash Shabuni, tertipu dengan diamnya Ibnu Katsir tersebut. Beliau tetap mencantumkan riwayat tersebut dalam (ringkasan yang dibuatnya) dan berisyarat akan keabsahannya, karena dalam mukaddimah kitab tersebut disampaikan bahwa dalam meringkas, beliau hanya mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih saja.

Para penuntut ilmu harus mengetahui beberapa hal berikut

Pertama, Ibnu Katsir telah menempuh metode ahli hadits yang telah menetapkan kaidah dalam ilmu hadits, yaitu kaidah man asnada fa qad ahaal, barangsiapa yang telah memaparkan sanad bagi suatu riwayat, telah terlepas tanggung jawabnya, karena telah menyebutkan wasilah bagi orang lain untuk mengetahui derajat riwayat tersebut.
Kedua, menilik metode Ibnu Katsir dalam mentakhrij hadits-hadits yang terdapat dalam tafsir beliau, maka beliau memiliki dua metode takhrij terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan oleh selain Syaikhain dalam kitab Shahih mereka, yaitu:
a. Menyebutkan hadits dan mentakhrijnya dengan cara menisbatkannya pada penyusun kitab-kitab hadits tanpa memaparkan sanadnya.
b. Memaparkan hadits tersebut dengan menyebutkan sanad yang dikeluarkan oleh para penyusun kitab-kitab hadits.
Pada kedua metode ini, beliau terkadang menyebutkan derajat hadits tersebut secara tegas dan terkadang mendiamkannya. Hal ini menyebabkan seorang yang tidak memiliki bekal dalam ilmu hadits, memahami bahwa diamnya beliau tersebut menandakan riwayat tersebut shahih sebagaimana hikayat (badui) ini.

Tahqiq terhadap Kisah

Bagian Pertama : 

Kisah ini berstatus mungkar dan Al Hafizh Ibnu ‘Abdil Hadi telah menjelaskan kemungkarannya. Beliau adalah Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdil Hadi, seorang ahli fiqih madzhab Hambali, peneliti, ahli hadits, kritikus, dan pakar nahwu yang sangat berkompeten.
Beliau telah menjelaskan kemungkaran riwayat ini dalam kitabnya, Ash Sharimul Manki fi Raddi ‘alas Subki. Beliau merupakan salah satu murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Di dalam kitab tersebut, beliau membela gurunya tersebut dari tuduhan As Subki yang menganggap beliau mengharamkan berziarah ke kubur rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah 7 generasi berlalu, tuduhan serupa ternyata juga muncul dari salah seorang quburiyyun (pengkultus kubur) yang namanya tidak penting untuk disebutkan disini. Kejadian ini terjadi pada tanggal 25 Agustus 2003 dengan menyalakan api fitnah dalam rangka “memperbaru” tuduhan tersebut pada sebuah artikel yang berjudul : “Jama’ah Ansharus Sunnah: Ziarah ke Kubur Rasul adalah Haram.” Quburi ini menyebutkan kisah di atas dalam artikelnya tersebut sebagaimana perbuatan As Subki terdahulu.
Ibnu ‘Abdil Hadi rahimahullah telah memberikan bantahan kepada As Subki dalam kitabnya Ash Sharimul Manki fir Raddi ‘alas Subki” dengan meneliti berbagai permasalahan yang terkait dengan ziarah kubur. Beliau juga menjelaskan kebenaran dan kedustaan yang terdapat dalam permasalahan tersebut serta menampakkan ketidaktahuan As Subki terhadap ilmu hadits dan kekurangpahaman beliau terhadap maqashidusy syari’ah.
Beliau (Ibnu ‘Abdil Hadi) mengatakan dalam kitabnya tersebut hlm. 246: “Hikayat ini diriwayatkan para perawinya dalam beberapa bentuk:
Pertama
Diriwayatkan dari Al ‘Utbi tanpa sanad
Kedua
Sebagian dari mereka meriwayatkan dari Muhammad bin Harb al Hilali
Ketiga
Sebagian meriwayatkannya dari Muhammad bin Harb dari Abul Hasan Az Za’farani dari seorang Arab Badui
Keempat
Dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman menyebutkan kisah ini dengan sanad yang gelap dari Muhammad bin Rauh bin Yazid al Bashri.
Kelima
Sebagian pendusta telah memalsukan sanad bagi riwayat ini sampai kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu”.
Komentar saya: Setelah beliau menjelaskan seluruh jalur periwayatan dari kisah tersebut berikut lafadznya, beliau berkata di hlm. 247: “Kesimpulannya, hikayat ini tidak mengandung hujjah, sanadnya gelap, kontradiktif, dan lafadznya bertentangan. Tidak boleh berhujjah dengan hikayat ini atau hikayat yang serupa menurut ulama hadits. Wa billahit taufiq.”
Beliau berkata di hlm. 323: “Adapun hikayat Al ‘Utbi yang diisyaratkan oleh As Subki merupakan hikayat yang disebutkan oleh sebagian fuqaha dan muhaddits, (namun) hikayat tersebut tidak shahih dan tidak benar berasal dari Al ‘Utbi, karena hikayat ini telah diriwayatkan dari selainnya (Al ‘Utbi) dengan sanad yang gelap sebagaimana penjelasan kami sebelumnya. Kesimpulan dari penjelasan itu, hikayat tersebut tidak dapat dijadikan landasan untuk menetapkan suatu hukum syar’i dalam perkara ini. Seandainya perkara yang dilakukan Al ‘Utbi dalam kisah tersebut disyari’atkan atau dianjurkan, tentu para sahabat dan tabi’in akan lebih tahu dan bersegera mengamalkannya daripada selain mereka. Wa billahit taufiq.
Kemudian Ibnu ‘Abdil Hadi memaparkan kisah yang berasal dari ‘Ali bin Abi Thalid dan beliau menjelaskan kemungkarannya. Ibnu ‘Abdil Hadi berkata dalam Ah Sharim hlm. 323: “Riwayat ini adalah mungkar, palsu, direkayasa, tidak patut dijadikan pegangan. Sanadnya dipenuhi kegelapan.”
Setelah itu, dalam 15 paragraf, beliau menjelaskan cacat riwayat tersebut, berupa perawi yang berstatus majhul maupun matruk. Dan yang lebih buruk dari cacat tersebut adalah ternyata terdapat keterputusan sanad (inqitha’) dalam riwayat tersebut.
Abu Shadiq (salah seorang perawi kisah tersebut) dikomentari oleh imam Adz Dzahabi dalam Al Mizan (4/538/10300), “Muhammad bin Sa’ad mengatakan bahwa para ulama memperbincangkan keabsahan riwayat Abu Shadiq Al Azdi dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, sedangkan yang lain menyatakan bahwa dia tidak mendengar riwayat dari ‘Ali.”
Oleh karena itu, Al Hafizh Al Mizzi berkata dalam Tahdzibul Kamal (12/299/8027), “Apabila (Abu Shadiq) meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib maka status riwayatnya adalah mursal.” Hal ini disetujui oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam At Tahdzib (12/143). Beliau berkata, “Abu Shadiq membawa riwayat mursal dari ‘Ali bin Abi Thalib.”
Riwayat yang membawa kisah ini pun mudhtharib (goncang), karena diriwayatkan secara bertentangan yang tidak mungkin untuk dikompromikan. Jalur periwayatannya gelap dan lemah, tidak mungkin melakukan pentarjihan terhadap satu riwayat atas riwayat yang lain, karena sebagian perawi meriwayatkan kisah tersebut dari Al ‘Utbi tanpa sanad. Dan Al ‘Utbi adalah Muhammad bin ‘Ubaidillah bin ‘Amru bin Mu’awiyah bin ‘Amru bin ‘Utbah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah Abu ‘Abdirrahman Al ‘Utbi, penduduk Bashrah.
Al Khathib dalam Tarikh Baghdad (3/324) mengatakan, “Dia adalah perawi untuk kitab Al Adab dan telah sampai kepadaku bahwa Al’ Utbi wafat pada tahun 228 H.”
Komentar saya: Al Khathib tidak menyebutkan jarh maupun ta’dil terhadap Al ‘utbi, dengan demikian statusnya adalah majhul hal. Dan terdapat idhthirab yang sangat jelas, karena (berdasarkan tahun wafatnya), ternyata Al ‘Utbi terletak setelah thabaqat kedelapan. Hal ini dijelaskan oleh Al Hafizh dalam muqaddimah At Taqrib. Beliau mengatakan, [Dan dalam kitab ini disebutkan tahun wafat para perawi yang saya ketahui.
- Apabila perawi tersebut berada pada thabaqat pertama dan kedua, maka mereka wafat sebelum tahun 100 H.
- Apabila perawi tersebut berada pada thabaqat ketiga sampai kedelapan, maka mereka wafat setelah tahun 100 H.
- Apabila perawi itu berada pada thabaqat kesembilan hingga thabaqat yang terakhir, maka mereka wafat di atas tahun 200 H.]
Dengan menerapkan kaidah ini terhadap Al ‘Utbi dan tahun wafatnya, maka dapat diketahui dia berada setelah thabaqat kedelapan, yaitu thabaqat sughra dari atba’ut tabi’in atau setelahnya.
Maka anda dapat menjumpai bahwa hikayat Arab Badui ini ada yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib yang notabene berada pada thabaqat pertama, yaitu thabaqat para shabat. Sebagian lagi meriwayatkannya dari Al ‘Utbi yang berada pada thabaqat sughra, yaitu thabaqat tabi’ut tabi’in. Diantara mereka ada yang meriwayatkannya dari Muhammad bin Harb al Hilali dan ada yang meriwayatkan kisah tersebut dari Al Hilali yang berasal dari Az Za’farani. Sebagian lagi ada yang meriwayatkan kisah itu dari Abu Harb al Hilali.
Inilah idhthirab yang terdapat dalam sanad kisah ini yang disertai dengan sanad yang lemah, bahkan terdapat riwayat yang tidak jelas asal-usulnya, seperti riwayat yang berasal dari Al ‘Utbi sebagaimana yang telah dijelaskan. Demikian pula terdapat idhthirab dalam matannya sebagaimana nampak dalam perbedaan lafadz di masing-masing riwayat.

Bagian Kedua:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ al Fatawa (1/241):

وَأَيْضًا فَإِنَّ طَلَبَ شَفَاعَتِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَعِنْدَ قَبْرِهِ لَيْسَ مَشْرُوعًا عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلَا ذَكَرَ هَذَا أَحَدٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَأَصْحَابِهِ الْقُدَمَاءِ وَإِنَّمَا ذَكَرَ هَذَا بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ : ذَكَرُوا حِكَايَةً عَنْ العتبي أَنَّهُ رَأَى أَعْرَابِيًّا أَتَى قَبْرَهُ وَقَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ وَأَنَّهُ رَأَى فِي الْمَنَامِ أَنَّ اللَّهَ غَفَرَ لَهُ . وَهَذَا لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ مِنْ الْمُجْتَهِدِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَذَاهِبِ الْمَتْبُوعِينَ . الَّذِينَ يُفْتَى النَّاسُ بِأَقْوَالِهِمْ وَمَنْ ذَكَرَهَا لَمْ يَذْكُرْ عَلَيْهَا دَلِيلًا شَرْعِيًّا . وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ لَوْ كَانَ طَلَبُ دُعَائِهِ وَشَفَاعَتِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ عِنْدَ قَبْرِهِ مَشْرُوعًا لَكَانَ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ لَهُمْ بِإِحْسَانِ أَعْلَمَ بِذَلِكَ وَأَسْبَقَ إلَيْهِ مِنْ غَيْرِهِمْ وَلَكَانَ أَئِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ يَذْكُرُونَ ذَلِكَ وَمَا أَحْسَنَ مَا قَالَ مَالِكٌ ” لَا يُصْلِحُ آخِرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ إلَّا مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا ” قَالَ : وَلَمْ يَبْلُغْنِي عَنْ أَوَّلِ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَصَدْرِهَا أَنَّهُمْ كَانُوا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ . فَمِثْلُ هَذَا الْإِمَامِ- يقصد العتبي- كَيْفَ يَشْرَعُ دِينًا لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدِ السَّلَفِ وَيَأْمُرُ الْأُمَّةَ أَنْ يَطْلُبُوا الدُّعَاءَ وَالشَّفَاعَةَ وَالِاسْتِغْفَارَ – بَعْدَ مَوْتِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ – مِنْهُمْ عِنْدَ قُبُورِهِمْ وَهُوَ أَمْرٌ لَمْ يَفْعَلْهُ أَحَدٌ مِنْ سَلَفِ الْأُمَّةِ ؟

Demikian pula, sesungguhnya meminta syafa’at, do’a dan istighfar dari rasulullah setelah beliau wafat dan dilakukan di samping kubur beliau tidaklah disyari’atkan menurut para imam kaum muslimin. Tidak seorang imam dari imam yang empat serta para rekan mereka yang menyebutkan hal ini, cuma beberapa ulama kontemporer yang menyebutkannya. Mereka menyebutkan sebuah hikayat dari Al ‘Utbi bahwa dia melihat seorang Arab Badui yang mendatangi kubur nabi dan menyebutkan ayat ini, kemudian Al ‘Utbi bermimpi bahwa Allah telah mengampuninya.
Kisah ini tidak pernah disebutkan oleh seorang mujtahid dari berbagai madzhab yang empat, yaitu mereka yang perkataannya dijadikan sebagai sumber rujukan fatwa oleh manusia. Adapun mereka yang menyebutkan kisah ini, tidak menyebutkan satu dalil syar’i yang mendukung kisah tersebut.
Sudah maklum, jika meminta do’a, syafa’at dan istighfar nabi di samping kubur beliau, tentu para sahabat dan orang-rang yang mengikuti mereka dengan baik lebih tahu akan hal tersebut dan lebih dahulu mengerjakannya daripada yang lain. Para imam kaum muslimin juga akan menyebutkan hal tersebut . alangkah bagus apa yang diucapkan oleh imam Malik rahimahullah, “Tidak ada yang bisa memperbaiki kondisi generasi akhir umat ini kecuali ajaran yang telah memperbaiki generasi awalnya.” Beliau mengatakan, “Tidak ada satupun kabar yang sampai kepadaku dari generasi awal umat ini maupun setelahnya yang menunjukkan bahwa mereka melakukan hal tersebut.”
Maka, semisal imam ini, yaitu Al ‘Utbi, bagaimana beliau bisa mensyari’atkan suatu ajaran yang tidak pernah dinukil dari salah seorang salaf dan memerintahkan umat untuk meminta do’a, syafa’at, dan istighfar dari para nabi dan orang shalih -sesudah mereka wafat- di samping kuburan mereka, padahal hal itu tidak pernah dilakukan oleh generasi awal umat ini?

Bagian Ketiga:

Tafsir yang shahih dari ayat ini menunjukkan kemungkaran kisah tersebut. Al ‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata mengenai tafsir ayat surat An Nisa ayat 64 dalam Taisir Karim Ar Rahman hlm 185, “Mendatangi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dapat dilakukan semasa beliau hidup. Redaksi ayat menunjukkan hal itu, karena meminta bantuan beliau untuk memintakan ampun kepada Allah tidak bisa terealisasi kecuali ketika beliau hidup. Adapun, setelah beliau wafat, maka tidak boleh meminta sesuatu apapun dari beliau, bahkan itu termasuk kesyirikan.”
Komentar saya:
Inilah yang benar, karena mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafat tidak mungkin dilakukan, yang hanya bisa dilakukan adalah mendatangi kubur beliau (redaksi ayat menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah mendatangi nabi bukan mendatangi kubur beliau-pen), dan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied (tempat yang rutin dikunjungi pada momen-momen tertentu-pen). Beliau memohon agar sepeninggal beliau, Allah tidak menjadikan kuburnya sebagai sembahan yang diibadahi sebagaimana sabdanya, “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian layaknya kuburan, janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai ‘ied, dan bershalawatlah kalian kepadaku, karena shalawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada.” [An Nawawi menshahihkan riwayat ini dalam Al Adzkar hlm. 93 dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami' : 7226. Al Hafizh Ibnu 'Abdil Hadi mengatakan, "Hadits ini hasan dan sanadnya jayyid, memiliki berbagai syawahid yang membuatnya berderajat shahih sebagaimana terdapat dalam Fadl Ash Shalat 'ala an Nabiy hadits nomor 20 karya Al Jahmadhi dan Mushannaf AbdurRazzaq (3/577/6694)].

Bantahan terhadap Tuduhan Pengharaman Menziarahi Kubur Nabi

Tuduhan ini dialamatkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Jama’ah Ansharus Sunnah Al Muhammadiyah.
Komentar saya: Hal ini merupakan kedustaan yang amat besar terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Berbagai kitab dan fatwa beliau secara tegas menyatakan bahwa menziarahi kubur kaum muslimin secara umum dan khususnya kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara yang disyari’atkan. Hal ini diketahui oleh mereka yang telah meneliti kitab-kitab Syaikhul Islam dan berbagai pelajaran beliau.
Diantara kitab beliau tersebut adalah kitab Ar Raddu ‘alal Akhna-i”, lihat pula kitab beliau Majmu’ul Fatawa (27/214-313), Al Jawabul Bahir fi Zawaril Maqabir yang tercantum dalam Majmu’ul Fatawa (27/314-444). Beliau mengatakan dalam kitab Majmu’ul Fatawa (27/329):
Saya telah menyebutkan sebagaimana tulisan saya mengenai manasik bahwa bersafar menuju masjid nabi dan kemudian menziarahi kubur beliau –sebagaimana yang disebutkan oleh imam kaum muslimin ketika membicarakan kegiatan manasik haji- merupakan amal shalih yang dianjurkan. Saya telah menyebutkan berbagai perkara sunnah terkait hal tersebut, bagaimana cara mengucapkan salam kepada beliau, apakah ketika mengucapkan salam menghadap ke arah hujrah ataukah kiblat, berdasarkan dua pendapat dalam masalah ini.
Beliau kemudian melanjutkan dalam Majmu’ul Fatawa (27/330),
Tidak boleh seorang pun melarang untuk bersafar ke masjid beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun seorang yang bersafar ke masjid beliau tersebut berziarah ke kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini termasuk amal shalih yang utama. Dalam perkataan saya dan selain saya, tidak terdapat larangan akan hal itu, tidakpula larangan terhadap pensyari’atan ziarah ke kubur para nabi dan orang shalih, dan kubur lainnya.
Bahkan, di banyak tempat, saya telah menyebutkan dianjurkannya ziarah kubur sebagaimana perbuatan nabi yang menziarahi ahli Baqi’ dan syuhada perang Uhud. Beliau juga telah mengajari para sahabat apabila berziarah kubur untuk mengucapkan do’a berikut,

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وِالْمُسْلِمِيْنَ وِإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ . نَسْأَلُ اللهِ لَنَا وَلَكُمُ العَافِيَةَ وَيَرْحَمُ اللَّهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَالْمُسْتَأْخِرِين نَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمْ الْعَافِيَةَ . اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُمْ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُمْ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُمْ
 
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, penghuni kampung kediaman, dari kalangan muslimin dan mukminin. Sesungguhnya kami akan menyusul kalian. Kami memohon kepada Allah agar keselamatan diberikan kepada kami serta kalian. Semoga Allah merahmati pendahulu kami, kalian, dan generasi setelahnya. Kami memohon keselamatan bagi kami dan kalian. Ya Allah, janganlah Engkau mengharamkan pahala mereka bagi kami dan janganlah Engkau membuat kami terfitnah setelah mereka, ampunilah kami dan mereka.”
 Komentar saya: Inilah tuntunan yang sesuai dengan pemahaman salaful ummah dan diikuti oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ansharus Sunnah al Muhammadiyah yang berpendapat disyari’atkannya bersafar ke masjid beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengikuti sabda nabi yang telah kami paparkan sebelumnya dan merealisasikan keutamaan yang disebutkan dalam hadits muttaafaq ‘alaih, hadits Abu Hurairah, dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu shalat yang dilaksanakan di masjid lain selain Masjidil Haram.” Kemudian, seorang musafir yang pergi ke masjid beliau lalu mengunjungi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah kami jelaskan, merupakan amal shalih yang dianjurkan. Demikian pula anjuran berziarah kubur sebagaimana tindakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengunjungi kuburan Baqi’ dan syuhada perang Uhud tanpa mencampurkan antara perkara bersafar dan berziarah kubur.
Inilah pemaparan sebagai hasil taufik yang diberikan Allah kepadaku dan hanya Dia-lah yang berada di balik segala niat.

Sumber: