لا حرج في ذلك؛ لأن الرأس ليس من العورة، وإنما الواجب أن يصلي بالإزار والرداء؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: ((لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء))؛ لكن إذا أخذ زينته واستكمل لباسه كان ذلك أفضل؛ لقول الله جل وعلا: يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ[1]، أما إن كان في بلاد ليس من عادتهم تغطية الرأس فلا بأس عليه في كشفه
“Tidak mengapa, karena kepala tidak termasuk aurat. Yang wajib ketika shalat adalah mengenakan kain yang menutupi pusar ke bawah dan kain yang menutupi pundak hingga pusar. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء
‘Janganlah kalian shalat dengan satu kain saja sehingga pundak kalian tidak tertutup‘Namun jika seseorang memperbagus pakaiannya (dengan penutup kepala) itu lebih afdhal. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31)Adapun jika seseorang berada di suatu daerah yang di sana tidak biasa memakai penutup kepada, maka tidak mengapa shalat tanpa penutup kepala”
[ http://www.binbaz.org.sa/mat/2472 ]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimahullah- juga menyatakan hal yang sama:
وقد سبق في أثر ابن عمر أنه قال لمولاه نافع: «أتخرجُ إلى النَّاس حاسرَ الرَّأس؟ قال: لا، قال: فالله أحقُّ أن يُستحى منه» وهو يدلُّ على أن الأفضل ستر الرأس، ولكن إذا طبَّقنا هذه المسألة على قوله تعالى:)يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ )(لأعراف: من الآية31) تبيَّن لنا أن ستر الرأس أفضل في قوم يعتبر ستر الرأس عندهم من أخذ الزِّينة، أما إذا كُنَّا في قوم لا يُعتبر ذلك من أخذ الزينة، فإنَّا لا نقول: إنَّ ستره أفضل، ولا إنَّ كشفه أفضل
“Telah kami sampaikan sebuah atsar dari Ibnu Umar, beliau berkata kepada maula-nya, Nafi’:‘Apakah engkau keluar menemui orang-orang dengan tanpa penutup kepala? Nafi’ berkata: Tidak. Ibnu Umar berkata: Sungguh malu kepada Allah adalah lebih layak daripada kepada yang lain‘
Hal ini menunjukkan bahwa menutup kepada itu lebih afdhal. Namun jika kita terapkan hal ini pada firman Allah Ta’ala:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai manusia, gunakanlah perhiasanmu ketika memasuki setiap masjid” (QS. Al A’raf: 31)Akan jelas bagi kita bahwa menutup kepala itu lebih afdhal bagi kaum yang menganggap penutup kepala itu sebagai penghias penampilan. Namun jika kita berada di suatu kaum yang tidak menganggap demikian maka tidak kita katakan bahwa memakai penutup kepala itu afdhal, dan juga tidak dikatakan bahwa tidak memakainya itu afdhal.” (Syarhul Mumthi’, 2/137)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- berpandangan berbeda:
والذي أراه في هذه المسألة أن الصلاة حاسر الرأس مكروهة ذلك أنه من المسلم به استحباب دخول المسلم في الصلاة في أكمل هيئة إسلامية للحديث المتقدم في الكتاب : ” . . فإن الله أحق أن يتزين له ” وليس من الهيئة الحسنة في عرف السلف اعتياد حسر الرأس والسير كذلك في الطرقات والدخول كذلك في أماكن العبادات بل هذه عادة أجنبية تسربت إلى كثير من البلاد الإسلامية حينما دخلها الكفار وجلبوا إليها عاداتهم الفاسدة فقلدهم المسلمون فيها فأضاعوا بها وبأمثالها من التقاليد شخصيتهم الإسلامية فهذا العرض الطارئ لا يصلح أن يكون مسوغا لمخالفة العرف الإسلامي السابق ولا اتخاذه حجة لجواز الدخول في الصلاة حاسر الرأس
“Hemat saya dalam permasalahan ini, shalat tanpa memakai penutup kepala itu makruh. Karena setiap muslim dianjurkan ketika hendak shalat untuk berpenampilan sebagus dan seislami mungkin, berdasarkan hadits yang kami bawakan di awal kitab ini:فإن الله أحق أن يتزين له
‘Sungguh berhias untuk Allah adalah lebih layak daripada untuk yang lain‘Dan tidak memakai penutup kepala bukan termasuk penampilan yang bagus menurut kebiasaan para salaf, baik dalam perjalanan, di dalam dan di luar rumah, juga di tempat-tempat ibadah. Bahkan kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya merupakan tradisi dari orang-orang di luar Islam. Ide ini sengaja disusupkan ketika mereka mulai memasuki negara-negara muslim. Mereka mengajarkan kebiasaan buruk ini lalu diikuti oleh umat Islam yang telah mengenyahkan jatidiri mereka dan tradisi Islam yan ada pada diri mereka. Inilah sebenarnya tujuan buruk yang dipoles dengan sangat halus untuk merusak tradisi Islami yang ada sejak dahulu. Sehingga hal ini tentu tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan shalat tanpa memakai tutup kepala”. (Tamaamul Minnah Fii Ta’liq Ala Fiqhis Sunnah, 164)
Dengan demikian, yang lebih baik adalah memakai penutup kepala ketika shalat, karena beberapa alasan:
- Mengamalkan firman Allah Ta’ala surat Al A’raf ayat 31.
- Mengamalkan hadits: فإن الله أحق أن يتزين له‘Sungguh berhias untuk Allah adalah lebih layak daripada untuk yang lain‘ (HR. Ath Thabrani 7262 dalam Al Ausath, sanadnya dishahihkan Al Albani dalam Ats Tsamar Al Mustathab 286)
- Juga mengamalkan hadits: فالله أحق أن يستحى منه‘Sungguh malu kepada Allah adalah lebih layak daripada kepada yang lain‘ (HR. Ibnu Majah 1920, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah)
- Keluar dari khilaf
- Memakai penutup kepala pada asalnya adalah kebiasaan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat, para ulama dan orang-orang shalih, baik di luar atau di dalam shalat. Beberapa riwayat menunjukkan hal ini, diantaranya: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ، فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ ، وَعَلَى الْعِمَامَةِ ، وَعَلَى الْخُفَّيْنِ“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berwudhu, beliau mengusap ubun-ubunnya, mengusap imamahnya, dan mengusap khufnya” (HR. Bukhari 182, Muslim 274)أنه كان يُصلِّي في العِمامة“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya shalat dengan memakai imamah” (HR. Bukhari 205, Muslim 1359)
Dan juga atsar dari Ibnu ‘Umar yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad Ibnu Utsaimin di atas
kangaswad.wordpress.com