Jaman sekarang banyak para ibu yang bekerja membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.
Lalu bagaimana bila suami menggunakan gaji yang didapat oleh istri tersebut.
Sebagaian ulama menjawab diperbolehkan menggunakan gaji isti asalkan ia ridha dan tanpa paksaan. Begitu juga segala sesuatu yang diberikan merupakan bantuan yang dapat diambilnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT,
"..kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya."
(QS. An Nisa).
Meskipun hal itu tanpa tanda bukti, namun jika Anda memberikan tanda bukti, maka akan lebih aman jika sewaktu-waktu diminta oleh keluarga dan kerabatnya, atau ia memintanya kembali.
Wednesday, June 29, 2011
Makna Al-Afuww
Kata Al Afuww bermakna superlatif, yakni bahwa Allah banyak memaafkan. Sedangkan kata Al-Afw berarti memaafkan dosa-dosa dan tidak membalas orang-orang yang berbuat salah. Satu pendapat menyatakan bahwa Al-Afuww merupakan kata bentukan dari Araf ar-riih al-atsara, yang bermakna angin itu menyapu dan menghilangkan bekas.
Seakan-akan orang yang memaafkan dosa itu menghapuskan dosa itu dengan maafnya.
Makna kata ini juga merujuk pada arti meninggalkan sesuatu dan memintanya.
Karenanya, Afwu adalah meninggalkan sanksi pada yang bersalah, seperti kita meninggalkan amarah kepada orang yang melakukan kesalahan terhadap kita.
Sejalan dengan makna ini adalah afiat yang bermakna perlindungan Allah atas keburukan. Perlindungan adalah penutupan, karenanya Afwu juga berarti menutup.
Dalam tafsirnya, Imam Al Ghazali mengatakan bahwa Al-Afuww berarti yang menghapuskan keburukan-keburukan dan mengampuni kekejian.
Al Afuww ini juga merupakan nama indah Alllah SWT yang berarti Maha Pemaaf kepada hamba-Nya.
Allah SWT berfirman,
"Jika kamu menampakkan suatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa."
(QS. An-Nisa: 149).
Seakan-akan orang yang memaafkan dosa itu menghapuskan dosa itu dengan maafnya.
Makna kata ini juga merujuk pada arti meninggalkan sesuatu dan memintanya.
Karenanya, Afwu adalah meninggalkan sanksi pada yang bersalah, seperti kita meninggalkan amarah kepada orang yang melakukan kesalahan terhadap kita.
Sejalan dengan makna ini adalah afiat yang bermakna perlindungan Allah atas keburukan. Perlindungan adalah penutupan, karenanya Afwu juga berarti menutup.
Dalam tafsirnya, Imam Al Ghazali mengatakan bahwa Al-Afuww berarti yang menghapuskan keburukan-keburukan dan mengampuni kekejian.
Al Afuww ini juga merupakan nama indah Alllah SWT yang berarti Maha Pemaaf kepada hamba-Nya.
Allah SWT berfirman,
"Jika kamu menampakkan suatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa."
(QS. An-Nisa: 149).
Tuesday, June 28, 2011
Kisah Seorang Sahabat Yang Rela Menukar Kebunnya Dengan Satu Pohon Kurma
Diriwayatkan dari Tsabit bin al-Bunani dari Anas bahwasanya seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, Fulan mengakui pohon kurma sebagai miliknya, padahal pohon itu ada dalam kebun saya." Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan supaya dia memberikan pohon itu kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "Berikan kepadanya, kamu akan mendapatkan ganti pohon kurma di Surga." Sayang sekali, lelaki itu tidak mau mengikuti saran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tiba-tiba Abu Dahdah datang dia berkata, "Juallah pohon kurmamu kepadaku, aku tukar dengan kebunku." Dia menyetujuinya. Lalu Abu Dahdah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, aku telah membeli pohon kurma itu, aku bayar dengan kebunku. Sekarang pohon kurma itu aku berikan kepadamu." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Alangkah banyaknya tandan kurma yang harum baunya milik Abu Dahdah di Surga kelak." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan kata-kata tersebut berulang kali.
Abu Dahdah kemudian menemui isterinya, dia berkata, "Wahai Ummu Dahdah, infakkan hartaku, aku telah membelinya dengan pohon kurma di Surga." Isterinya menjawab, "Alangkah beruntungnya jual beli (perniagaan) itu," atau dia mengucapkan dengan kalimat yang sejenisnya.
(HR. Ibnu Hibban, no. 2271/Mawarid; Al-Muntakhab karya Ibnu Hamid, no. 1332)
Sumber : 99 Kisah Orang Shalih
http://en-gb.facebook.com/note.php?note_id=151497254880961Wanita Terbaik
Islam memberikan balasan kepada istri yang salehah, yakni surga.
Karena surga merupakan tempat yang paling mulia untuk orang-orang yang beriman kepada Allah dan selalu menjaga harga dirinya.
Rasulullah SAW bersabda kepada Umar bin Khattab,
"Maukah aku beritahukan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri salehah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi, si istri akan menjaga dirinya."
(HR. Abu Dawud).
Karena surga merupakan tempat yang paling mulia untuk orang-orang yang beriman kepada Allah dan selalu menjaga harga dirinya.
Rasulullah SAW bersabda kepada Umar bin Khattab,
"Maukah aku beritahukan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri salehah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi, si istri akan menjaga dirinya."
(HR. Abu Dawud).
Monday, June 27, 2011
NAMA ISTRI-ISTRI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
NAMA ISTRI-ISTRI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Pertanyaan :
ما هي أسماء زوجات رسول الله صلى الله عليه وسلم؟
Siapa saja nama istri-istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?
Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjawab :
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba’du,
ما هي أسماء زوجات رسول الله صلى الله عليه وسلم؟
Siapa saja nama istri-istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?
Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjawab :
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, keluarganya dan para sahabatnya. Amma ba’du,
فأسماء زوجات النبي صلى الله عليه وسلم هي كالتالي:
1- خديجة بن خويلد رضي الله عنها.
2- سودة بنت زمعه رضي الله عنها.
3- عائشة بنت أبي بكر الصديق رضي الله عنها.
4- حفصة بنت عمر رضي الله عنها.
5- زينب بنت خزيمة رضي الله عنها.
6- أم سلمة هند بنت أبي أمية المخزومية رضي الله عنها.
7- أم حبيبة رملة بنت أبي سفيان رضي الله عنها.
8- جويرية بنت الحارث وكان اسمها برة، فسماها رسول الله صلى الله عليه وسلم جويرية.
9- ميمونة بنت الحارث الهلالية رضي الله عنها.
10- صفية بنت حيي بن أخطب رضي الله عنها.
11- زينب بنت جحش رضي الله عنها.
واختلف في ريحانة بنت زيد النضرية هل كانت من زوجاته أم من إمائه؟
2- سودة بنت زمعه رضي الله عنها.
3- عائشة بنت أبي بكر الصديق رضي الله عنها.
4- حفصة بنت عمر رضي الله عنها.
5- زينب بنت خزيمة رضي الله عنها.
6- أم سلمة هند بنت أبي أمية المخزومية رضي الله عنها.
7- أم حبيبة رملة بنت أبي سفيان رضي الله عنها.
8- جويرية بنت الحارث وكان اسمها برة، فسماها رسول الله صلى الله عليه وسلم جويرية.
9- ميمونة بنت الحارث الهلالية رضي الله عنها.
10- صفية بنت حيي بن أخطب رضي الله عنها.
11- زينب بنت جحش رضي الله عنها.
واختلف في ريحانة بنت زيد النضرية هل كانت من زوجاته أم من إمائه؟
Nama istri-istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:
1. Khadijah binti Khuwailid Radhiallahu’anha.
2. Saudah binti Zam’ah Radhiallahu’anha.
3. ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu’anha.
4. Hafshah binti Umar Radhiallahu’anha.
5. Zainab binti Khuzaimah Radhiallahu’anha.
6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah Al Makhzumiyyah Radhiallahu’anha.
7. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan Radhiallahu’anha.
8. Juwairiyyah binti Al Harits Radhiallahu’anha, aslinya bernama Barrah, namun diganti oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadi Juwairiyyah.
9. Maimunah binti Al Harits Al Hilaliyyah Radhiallahu’anha.
10. Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab Radhiallahu’anha.
11. Zainab binti Jahsy Radhiallahu’anha.
Para ulama berbeda pendapat mengenai Raihanah binti Zaid An Nadhriyyah, apakah termasuk istri ataukah budak Rasulullah?
فهؤلاء نساؤه المعروفات اللاتي دخل بهن، أما من خطبها ولم يتزوجها، ومن وهبت نفسها له، ولم يتزوجها، فنحو أربع أو خمس، وقال بعضهم هن ثلاثون امرأة.
Inilah nama-nama shahabiyyah yang sudah ma’ruf digolongkan ke dalam deretan istri-istri beliau. Adapun beberapa shahabiyyah yang dilamar oleh Rasulullah namun belum dinikahi, serta para shahabiyyah yang menawarkan diri kepada Rasulullah dan tidak dinikahi, yang semacam ini ada empat atau lima orang. Sebagian orang ada yang mengatakan mencapai tiga puluh orang wanita.
وأهل العلم بسيرته وأحواله لا يعرفون هذا، بل ينكرونه، والمعروف عندهم أنه بعث إلى الجونية ليتزوجها، فدخل عليها ليخطبها فاستعاذت منه فأعاذها ولم يتزوجها، وكذلك الكلبية، وكذلك التي رأى بكشحها بياضاً فلم يدخل بها، والتي وهبت نفسها له فزوجها غيره على سور القرآن، وهذا هو المحفوظ. وراجع زاد المعاد 1/79. والله أعلم
Para ulama yang memahami sirah Rasulullah tidak ada yang mengetahui adanya pendapat ini (mencapai 30 orang). Bahkan para ulama mengingkari pendapat ini. Adapun yang ma’ruf adalah:
■ Rasulullah datang kepada Al Juniyyah (الجونية) untuk menikahinya. Ketika dilamar oleh Rasulullah, Al Juniyyah malah berlindung dari Rasulullah (menyatakan keengganan), maka Rasulullah pun menghindarinya dan tidak menikahinya.
■ Demikian juga Al Kalbiyyah
■ Juga shahabiyyah yang antara pinggang dan tulang rusuk belakangnya ada bercak putih di kulitnya, tidak dinikahi oleh Rasulullah
■ Juga shahabiyyah yang menawarkan dirinya kepada Rasulullah lalu Rasulullah menikahkan dia dengan orang lain dengan mahar hafalan Qur’an
Inilah beberapa kisah yang dapat diterima riwayatnya. Silakan merujuk pada kitab Zaadul Ma’ad (1/79).
Wallahu’alam.
[http://www.islamweb.net/ver2/fatwa/showfatwa.php?Option=FatwaId&lang=A&Id=24581]
Sumber : http://kangaswad.wordpress.com/2010/09/16/nama-istri-istri-rasulullah-shallallahualaihi-wasallam/
PERTEMANAN DENGAN NON MUSLIM
PERTEMANAN DENGAN NON MUSLIM
Pertanyaan :
Saya tinggal bersama seorang teman yang beragama Nasrani. Kadang ia berkata kepada saya: “Ya akhi (wahai saudaraku)“, atau berkata “Kita khan saudara“, kami juga makan dan minum bersama, apakah dibolehkan melakukannya?
Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Baaz -rahimahullah- menjawab:
Orang kafir bukanlah saudaranya orang muslim. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sungguh orang mu’min itu bersaudara” (QS. Al Hujurat: 10)
Saya tinggal bersama seorang teman yang beragama Nasrani. Kadang ia berkata kepada saya: “Ya akhi (wahai saudaraku)“, atau berkata “Kita khan saudara“, kami juga makan dan minum bersama, apakah dibolehkan melakukannya?
Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Baaz -rahimahullah- menjawab:
Orang kafir bukanlah saudaranya orang muslim. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sungguh orang mu’min itu bersaudara” (QS. Al Hujurat: 10)
Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
المسلم أخو المسلم
“Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain“
Maka yang saudara itu adalah sesama muslim, bukan orang kafir, baik dia Nasrani, Yahudi, penyembah berhala, Majusi atau pun Syi’ah. Dan seorang muslim tidak boleh menjadikan mereka sebagai sahabat karib. Namun bila sekedar makan bersama sesekali, atau secara kebetulan kalian bertemu ketika makan, atau kalian makan bersama dalam sebuah acara jamuan yang sifatnya umum, ini semua dibolehkan.
Adapun jika anda menjadikannya teman karib, teman yang sering jalan bersama, sering makan bersama, ini tidak dibolehkan. Karena Allah telah memutuskan tali cinta dan loyalitas antara kita dan mereka. Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah: 4)
Allah Ta’ala juga berfirman:
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يعني يحبون وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka” (QS. Al Mujaadalah: 22)
Kesimpulannya, seorang muslim wajib untuk berlepas diri dari orang-orang musyrik dan membenci mereka karena Allah. Namun, tidak boleh mengganggu mereka, meneror mereka, atau berbuat yang melebihi batas padahal anda tidak memiliki hak. Walau demikian, tetap tidak boleh menjadikan mereka teman karib atau orang yang sangat disayangi. Adapun jika secara kebetulan anda makan bersama dalam sebuah jamuan, atau secara kebetulan menonton sesuatu bersama, tanpa menganggap dia sebagai teman karib dan tanpa ada rasa loyal terhadapnya, hukumnya boleh. [http://www.binbaz.org.sa/mat/4872]
Sumber : http://kangaswad.wordpress.com/2011/04/05/pertemanan-dengan-non-muslim/
HARTA HARAM BERUBAH MENJADI HALAL
HARTA HARAM BERUBAH MENJADI HALAL
Oleh : Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.
Bismillah,
Syekh Shalih Alu Syaikh, Menteri Agama KSA saat ini, mengatakan, “Di antara permasalahan yang disinggung oleh para ulama ketika membahas hadits keenam dalam kitab Arbain An-Nawawiyyah (yaitu hadits yang berisi perintah untuk menjauhi sesuatu yang belum jelas kehalalannya, pent.) adalah permasalahan memakan harta orang yang pendapatannya bercampur antara sumber yang halal dengan sumber yang haram.
Misalnya : Tetangga yang kita ketahui memiliki sumber pendapatan yang haram, berupa menerima uang suap, memakan riba, atau semisalnya, namun di sisi lain dia memiliki sumber pendapatan yang halal. Apa hukum harta orang semisal ini?
Bismillah,
Syekh Shalih Alu Syaikh, Menteri Agama KSA saat ini, mengatakan, “Di antara permasalahan yang disinggung oleh para ulama ketika membahas hadits keenam dalam kitab Arbain An-Nawawiyyah (yaitu hadits yang berisi perintah untuk menjauhi sesuatu yang belum jelas kehalalannya, pent.) adalah permasalahan memakan harta orang yang pendapatannya bercampur antara sumber yang halal dengan sumber yang haram.
Misalnya : Tetangga yang kita ketahui memiliki sumber pendapatan yang haram, berupa menerima uang suap, memakan riba, atau semisalnya, namun di sisi lain dia memiliki sumber pendapatan yang halal. Apa hukum harta orang semisal ini?
Dalam masalah ini, ada beberapa pendapat ulama :
Pertama : Ada ulama yang memasukkan kasus di atas ke dalam hadits keenam Arbain An-Nawawiyyah. Sehingga, bentuk sikap wara’ (baca: hati-hati, pent.) untuk masalah ini adalah menjauhi harta (misalnya: hadiah, jamuan ketika bertamu ke rumahnya, dan sebagainya, pent.) orang tersebut. Namun, hukum sikap ini adalah dianjurkan, tidak wajib, karena dengan sikap ini, kita menjadi lebih bersih dari kemungkinan yang tidak diharapkan.
Kedua : Sejumlah (ulama lain) berpendapat bahwa yang menjadi tolak ukur adalah jenis harta yang paling dominan. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang haram maka kita jauhi harta tersebut. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang halal maka kita boleh memakannya, selama kita tidak mengetahui secara pasti bahwa harta yang dia suguhkan atau dia hadiahkan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram.
Ulama yang lain, semisal Ibnu Mas’ud, mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut, sedangkan tentang jalan haram--yang ditempuh orang tersebut dalam memperoleh hartanya--itu menjadi tanggung jawabnya, karena cara mendapatkan harta itu antara kita dengan dia berbeda. Orang tersebut mendapatkan harta itu melalui profesi yang haram, namun ketika dia memberikan harta tersebut kepada kita, dia memberikannya sebagai hadiah, hibah, jamuan tamu, atau semisalnya kepada kita.
Perbedaan cara mendapatkan harta menyebabkan berbedanya status hukum harta tersebut. Sebagaimana dalam kisah Barirah. Barirah mendapatkan sedekah berupa daging, lalu daging tersebut dia hadiahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah diperkenankan untuk memakan harta sedekah. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Daging tersebut adalah sedekah untuk Barirah, namun hadiah untuk kami.' (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)
Meski daging yang dihadiahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah daging yang disedekahkan kepada Barirah, tetapi status hukumnya berbeda karena terdapat perbedaan cara mendapatkannya. Berdasarkan pertimbangan ini, sejumlah shahabat dan ulama mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut, sedangkan tentang adanya dosa, maka itu menjadi tanggungan orang yang memberikan harta tersebut kepada kita. Alasannya, kita mendapatkan harta tersebut dengan status hadiah, sehingga tidak ada masalah jika kita memakannya.
Keempat : Sejumlah ulama yang lain mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut selama kita tidak mengetahui bahwa harta tertentu yang dia berikan kepada kita adalah harta yang haram. Jika kita mengetahui bahwa harta yang dia berikan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram, kita tidak boleh memakan harta tersebut saja, sedangkan hartanya yang lain tetap boleh kita makan.
Dalilnya adalah orang-orang Yahudi yang memberi makanan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal mereka adalah para rentenir. Meski demikian, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memakan makanan yang diberi oleh orang-orang Yahudi itu.
Inti kasus ini adalah: apakah contoh masalah yang diperselisihkan para ulama termasuk dalam hadits keenam Arbain Nawawiyyah ataukah tidak? Sebagian ulama mengatakan bahwa kasus di atas termasuk dalam hadits keenam Arbain Nawawiyyah, sebagai bentuk kehati-hatian, bukan karena orang yang memakan harta orang yang sumber pendapatannya bercampur itu berarti telah memakan harta yang haram. Meski demikian, sejumlah ulama peneliti menguatkan pendapat Ibnu Mas’ud.
Dari sisi dalil, pendapat Ibnu Mas’ud adalah pilihan yang tepat. Di antara ulama yang menguatkan pendapat Ibnu Mas’ud adalah Ibnu Abdil Bar Al-Maliki, dalam kitabnya 'At-Tamhid'.” (Syarah Arbain Nawawiyyah karya Syekh Shalih Alu Syekh, hlm. 153--155, terbitan Dar Al-‘Ashimah, Riyadh, cetakan pertama, 1431 H)
عن ذر بن عبد الله عن ابن مسعود قال : جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ، فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه
Dari Dzar bin Abdullah, dia berkata, “Ada seseorang yang menemui Ibnu Mas’ud lalu orang tersebut mengatakan, 'Sesungguhnya, aku memiliki tetangga yang membungakan utang, namun dia sering mengundangku untuk makan di rumahnya.' Ibnu Mas’ud mengatakan, 'Untukmu enaknya (makanannya) sedangkan dosa adalah tanggungannya.'” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 14675)
عن سلمان الفارسي قال: إذا كان لك صديق عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه.
Dari Salman Al-Farisi, beliau mengatakan, “Jika Anda memiliki kawan, tetangga, atau kerabat yang profesinya haram, lalu dia memberi hadiah kepada Anda atau mengajak Anda makan di rumahnya, terimalah! Sesungguhnya, rasa enaknya adalah hak Anda, sedangkan dosanya adalah tanggung jawabnya.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 14677)
Ringkasnya, harta haram itu ada dua macam :
Pertama : Haram karena bendanya. Misalnya: Babi dan khamar; mengonsumsinya adalah haram atas orang yang mendapatkannya maupun atas orang lain yang diberi hadiah oleh orang yang mendapatkannya.
Kedua : Haram karena cara mendapatkannya. Misalnya: Uang suap, gaji pegawai bank, dan penghasilan pelacur; harta tersebut hanyalah haram bagi orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Akan tetapi, jika orang yang mendapatkannya dengan cara haram tersebut menghadiahkan uang yang dia dapatkan kepada orang lain, atau dia gunakan uang tersebut untuk membeli makanan lalu makanan tadi dia sajikan kepada orang lain yang bertamu ke rumahnya, maka harta tadi berubah menjadi halal untuk orang lain tadi, karena adanya perbedaan cara mendapatkannya antara orang yang memberi dengan orang yang diberi.
Inilah pendapat ulama yang paling kuat dalam masalah ini, sebagaimana pendapat ini adalah pendapat dua shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Ibnu Mas’ud dan Salman Al-Farisi.
[Artikel www.pengusahamuslim.com]
Sumber : http://www.pengusahamuslim.com/baca/artikel/1100/harta-haram-berubah-menjadi-halal
Sunday, June 26, 2011
Di Surga Bersama Nabi
Orang yang membaca Al Qur'an, lagi pula ia mahir, kelak akan mendapat tempat dalam surga bersama-sama dengan rasul-rasul yang mulia lagi baik.
Dan orang membaca Al Qur'an, tetapi tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan tampak agak berat lidahnya (belum lancar), ia akan mendapat dua pahala.
(HR. Bukhari-Muslim).
Dan orang membaca Al Qur'an, tetapi tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan tampak agak berat lidahnya (belum lancar), ia akan mendapat dua pahala.
(HR. Bukhari-Muslim).
Saturday, June 25, 2011
Dasar Hukum Puasa Senin Kamis
Senin dan kamis merupakan dua nama hari dalam kalender Hijriyah dan Masehi. Namun hari itu memiliki keistimewaan tersendiri, karena pada harh itu Rasulullah Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk melaksanakan puasa sunnah pada hari-hari itu.
Puasa Senin dan Kamis adalah puasa yang paling sering dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah,
"Bahwasanya Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Ketika ditanya tentang alasannya, Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya segala amal perbuatan dipersembahkan pada hari Senin dan Kamis, maka Allah akan mengampuni dosa setiap orang muslim atau setiap orang mukmin, kecuali dua orang yang bermusuhan. Maka Allah berfirman,
"Tangguhkan keduanya."
(HR. Ahmad).
Puasa Senin dan Kamis adalah puasa yang paling sering dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana sabda Rasulullah dari Abu Hurairah,
"Bahwasanya Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Ketika ditanya tentang alasannya, Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya segala amal perbuatan dipersembahkan pada hari Senin dan Kamis, maka Allah akan mengampuni dosa setiap orang muslim atau setiap orang mukmin, kecuali dua orang yang bermusuhan. Maka Allah berfirman,
"Tangguhkan keduanya."
(HR. Ahmad).
Barangsiapa Mengambil Rukhsah Dari Setiap Ketergelinciran Ulama Maka Akan Rusak Agamanya
Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan tentang biografi Khalifah al-Mu'tadhidh Billah:
bahwa Isma'il al-Qadhi, dia berkisah: Satu kali aku masuk menemui Khalifah. Kemudian beliau menyodorkan kepadaku sebuah kitab. Akupun melihatnya. Ternyata kitab itu berisi kumpulan rukhsah-rukhsah (hukum-hukum yang paling ringan) dari pendapa ulama yang keliru.
bahwa Isma'il al-Qadhi, dia berkisah: Satu kali aku masuk menemui Khalifah. Kemudian beliau menyodorkan kepadaku sebuah kitab. Akupun melihatnya. Ternyata kitab itu berisi kumpulan rukhsah-rukhsah (hukum-hukum yang paling ringan) dari pendapa ulama yang keliru.
Maka aku berkata: "Penulis kitab ini zindiq (orang ingin merusak islam, tapi menampakkan diri sebagai muslim)."
Khalifah menjawab: "Bukankah hadits-hadits yang jadi landasan ini shahih?"
Aku jawab: "Ya, namun ulama yang membolehkan khamr tidak membolehkan mut'ah. Ulama yang membolehkan mut'ah, tak membolehkan nyanyian. Tidaklah seorang alim ulama melainkan punya satu ketergelinciran (pendapat yang keliru). Barangsiapa yang mengambil pendapat yang keliru dari setiap ulama, agamanya akan hilang."
Kemudian Khalifah memerintahkan kitab itu untuk dibakar.
(Sumber: Siyar A'lam an-Nubala 13/465)
Pelajaran:
1. Para ulama dulu sangat perhatian untuk membela agamanya, sampaipun ketika ada seorang yang mengumpulkan hukum-hukum yang paling ringan dari berbagai permasalahan, mereka pun langsung memperingatkannya.
2. Orang-orang yang merusak agama Islam, dulu mengumpulkan pendapat paling ringan dari pendapat ulama yang keliru, tapi sekarang orang-orang yang ingin merusak agama Islam juga memakai perkataan tokoh-tokoh non muslim yang kafir.
3. Para umara' (penguasa) dulu sangat dekat dengan para ulama, setiap bimbingan ulama untuk membela agama Islam, mereka ikuti.
4. Hendaknya kaum muslimin berhati-hati terhadap orang zindiq, yang menampakkan diri sebagai tokoh muslim, tapi ucapan-ucapannya dan pendapatnya selalu meruntuhkan tuntunan agama Islam yang indah.
5. Hendaknya kita dalam berbagai hukum-hukum syariat mengikuti para ulama yang sudah terkenal ketaqwaannya, seperti: para shahabat, para tabii, tabiut tabiin, imam yang empat dan penerus mereka sampai hari kiamat nanti. Tidak mengikuti orang yang disebut sebagai tokoh agama, tetapi tidak terlihat amaliah (praktek) yang menunjukkan ketakwaannya, taatnya dia kepada Allah, dan keshalihan dia. Wallahu a'lam.
Friday, June 24, 2011
BAB 11: TABIR CAHAYA DAN KEGELAPAN
KITAB SIRRUL ASROR BAB 11
TABIR CAHAYA DAN KEGELAPAN
اَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ اْلشَّيْطَا نِ الْرَجِيْم بِسْمِ اللهِ اْلَرّحْمنِ اْلرَحِيْمِ
اَشْهَدُ اَنْ لا َاِلَهَ اِلا الله وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
اَلله ُوَحْدهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ مُحَمَّدٌ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهْ حَقُّ الله - رَحْمَةُ الله – رِضَأ الله
TABIR CAHAYA DAN KEGELAPAN.
Allah berfirman:
وَمَن كانَ فى هٰذِهِ أَعمىٰ فَهُوَ فِى الءاخِرَةِ أَعمىٰ وَأَضَلُّ سَبيلًا
“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”. (Surah Al-Isra, ayat 72).
Bukan buta mata yang di kepala tetapi buta mata yang di hati yang menghalangi seseorang dari melihat cahaya hari akhirat. Firman Allah:
فَإِنَّها لا تَعمَى الأَبصٰرُ وَلٰكِن تَعمَى القُلوبُ الَّتى فِى الصُّدورِ
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (Surah Hajj, ayat 46).
Hati menjadi buta disebabkan oleh kelalaian, yang membuat seseorang lupa kepada Allah dan lupa kepada kewajiban mereka, tujuan mereka, ikrar mereka dengan Allah, ketika mereka masih berada di dalam dunia. Sebab utama kelalaian adalah kebodohan terhadap hakikat (kebenaran) undang-undang dan peraturan Tuhan. Apa yang menyebabkan seseorang itu tetap di dalam kebodohan ialah kegelapan yang menyeluruh menutupi seseorang dari luar dan sepenuhnya menguasai batinnya. Sebagian dari nilai-nilai itu yang mendatangkan kegelapan ialah sifat-sifat angkuh, sombong, megah, dengki, bakhil, dendam, bohong, mengumpat, fitnah dan lain-lain sifat keji. Sifat-sifat yang keji itulah yang merendahkan ciptaan Tuhan yang sangat mulia hingga jatuh kepada tahap yang paling rendah.
Untuk membebaskan seseorang dari kejahatan itu dia perlu menyucikan dan menyinarkan cermin hatinya. Penyucian ini dilakukan dengan mendapatkan pengetahuan, dengan beramal menurut pengetahuan itu, dengan usaha dan keberanian, melawan ego diri, menghapuskan yang banyak pada diri, mencapai keesaan. Perjuangan ini terus diperjuangkan hingga hati menjadi hidup dengan cahaya keesaan – dan dengan cahaya keesaan itu mata hati yang suci akan melihat hakikat sifat-sifat Allah di sekeliling dan pada dirinya.
Baru setelah itu kamu ingat akan kediaman kamu yang sebenarnya yang darinya kamu datang. Kemudian kamu akan ada rasa kerinduan dan keinginan untuk kembali kepada rumah kediaman yang sebenarnya itu, dengan pertolongan Yang Maha Mengasihani roh suci pada diri kamu akan menyatu dengan-Nya.
Bila sifat-sifat kegelapan terangkat, cahaya mengambil alih tempatnya dan orang yang memiliki mata rohani akan melihat. Dia mengenali apa yang dia lihat dengan cahaya nama-nama sifat Ilahiah. Kemudian dirinya dibanjiri oleh cahaya dan bertukar menjadi cahaya. Cahaya ini masih lagi hijab menutupi cahaya suci Zat, tetapi masanya akan sampai bila ini juga akan terangkat, yang tinggal hanya cahaya suci Zat itu sendiri.
Hati mempunyai dua mata, satu yang sempit dan satu lagi yang luas. Dengan mata yang sempit seseorang boleh melihat kenyataan sifat-sifat dan nama-nama Allah.
Penglihatan ini berterusan sepanjang perkembangan kerohaniannya. Mata yang luas melihat hanya kepada apa yang dijadikan kelihatan oleh cahaya keesaan dan yang esa. Hanya bila seseorang sampai kepada daerah maqom dengan Allah dia akan melihat, di dalam alam penghujung bagi kenyataan Zat Allah, Yang Esa dan yang Mutlak.
Bagi yang mencapai maqom-maqom ini ketika masih di dalam dunia, di dalam kehidupan ini kamu mestilah membersihkan diri kamu dari sifat-sifat keduniaan, yang ego dan keegoan. Jarak kamu mengembara di dalam kenaikan kamu ke arah makam-makam tersebut tergantung kepada sejauh mana kamu mengasingkan diri darihawa nafsu yang rendah dan ego diri kamu.
Pencapaian kamu kepada maqom yang kamu inginkan bukanlah seperti barang kebendaan sampai ke tempat kebendaan. Ia juga bukan ilmu yang membawa seseorang kepada sesuatu yang menjadi diketahui (dari tidak tahu), juga bukan pertimbangan yang memperoleh apa yang difikirkan, bukan juga khayalan yang menyatu dengan apa yang dikhayalkan. maqom yang kamu ingin capai ialah kesadaran tentang ketiadaan (kekosongan) kamu dari segala sesuatu kecuali Zat Allah. Pencapaian ini adalah perubahan suasana yang terjadi, bukan perubahan pada sesuatu yang nyata. Di sana tiada jarak, tiada dekat atau jauh, tiada kesampaian, tiada ukuran, tiada arah, tiada ruang.
Dia Maha Besar, segala puji untuk-Nya. Dia Maha Pengampun. Dia menjadi nyata dalam apa yang Dia sembunyikan darikamu. Dia menyatakan Diri-Nya sebagaimana Dia melabuhkan tirai di antara Dia dengan kamu. Pengenalan tentang Diri-Nya tersembunyi di dalam ketidak upayaan mengenali-Nya.
Jika ada di antara kamu yang sampai kepada cahaya yang diterangkan dalam buku ini, ketika kamu masih lagi berada di dalam dunia, buatlah muhasabah (hisab) terhadap diri kamu, buku catatan kamu tentang amalan kamu. Hanya di bawah cahaya, kamu boleh melihat apa yang kamu sudah buat dan sedang buat; buat perkiraan kamu. Kamu akan membaca buku catatan kamu di hadapan Tuhan kamu pada hari pembalasan. Itu adalah muktamad.
Di sana kamu tidak ada peluang menolaknya. Jika kamu lakukan di sini ketika kamu masih ada waktu, kamu akan termasuk ke dalam golongan yang diselamatkan. Jika tidak, azab dan siksa menjadi bagian kamu di akhirat. Hidup ini akan berakhir. Di sana ada azab di dalam kubur, ada hari pembalasan, ada neraka yang menimbang hingga dosa yang paling kecil dan kebaikan yang paling kecil. Kemudian ada jambatan yang lebih kecil dari rambut dan lebih tajam dari mata pedang, penghujungnya ialah taman, sementara di bawahnya ialah neraka yang penuh dengan kecelakaan, penderitaan, semuanya akan terbentang apabila kehidupan yang singkat ini berakhir.
رَبَّنَا اَتِنَا فِى اْلدُنْيَاحَسَنَةً وَفِى اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ اْلنَّارِ. وَاْلحَمْدُ للهِ رَبّ ِاْلعَالَمِيْنَ
رِضَــا يَاالله ……….. الفاتحة
TABIR CAHAYA DAN KEGELAPAN
اَعُوْذُ بِااللهِ مِنَ اْلشَّيْطَا نِ الْرَجِيْم بِسْمِ اللهِ اْلَرّحْمنِ اْلرَحِيْمِ
اَشْهَدُ اَنْ لا َاِلَهَ اِلا الله وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
اَلله ُوَحْدهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ مُحَمَّدٌ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهْ حَقُّ الله - رَحْمَةُ الله – رِضَأ الله
TABIR CAHAYA DAN KEGELAPAN.
Allah berfirman:
وَمَن كانَ فى هٰذِهِ أَعمىٰ فَهُوَ فِى الءاخِرَةِ أَعمىٰ وَأَضَلُّ سَبيلًا
“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”. (Surah Al-Isra, ayat 72).
Bukan buta mata yang di kepala tetapi buta mata yang di hati yang menghalangi seseorang dari melihat cahaya hari akhirat. Firman Allah:
فَإِنَّها لا تَعمَى الأَبصٰرُ وَلٰكِن تَعمَى القُلوبُ الَّتى فِى الصُّدورِ
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”. (Surah Hajj, ayat 46).
Hati menjadi buta disebabkan oleh kelalaian, yang membuat seseorang lupa kepada Allah dan lupa kepada kewajiban mereka, tujuan mereka, ikrar mereka dengan Allah, ketika mereka masih berada di dalam dunia. Sebab utama kelalaian adalah kebodohan terhadap hakikat (kebenaran) undang-undang dan peraturan Tuhan. Apa yang menyebabkan seseorang itu tetap di dalam kebodohan ialah kegelapan yang menyeluruh menutupi seseorang dari luar dan sepenuhnya menguasai batinnya. Sebagian dari nilai-nilai itu yang mendatangkan kegelapan ialah sifat-sifat angkuh, sombong, megah, dengki, bakhil, dendam, bohong, mengumpat, fitnah dan lain-lain sifat keji. Sifat-sifat yang keji itulah yang merendahkan ciptaan Tuhan yang sangat mulia hingga jatuh kepada tahap yang paling rendah.
Untuk membebaskan seseorang dari kejahatan itu dia perlu menyucikan dan menyinarkan cermin hatinya. Penyucian ini dilakukan dengan mendapatkan pengetahuan, dengan beramal menurut pengetahuan itu, dengan usaha dan keberanian, melawan ego diri, menghapuskan yang banyak pada diri, mencapai keesaan. Perjuangan ini terus diperjuangkan hingga hati menjadi hidup dengan cahaya keesaan – dan dengan cahaya keesaan itu mata hati yang suci akan melihat hakikat sifat-sifat Allah di sekeliling dan pada dirinya.
Baru setelah itu kamu ingat akan kediaman kamu yang sebenarnya yang darinya kamu datang. Kemudian kamu akan ada rasa kerinduan dan keinginan untuk kembali kepada rumah kediaman yang sebenarnya itu, dengan pertolongan Yang Maha Mengasihani roh suci pada diri kamu akan menyatu dengan-Nya.
Bila sifat-sifat kegelapan terangkat, cahaya mengambil alih tempatnya dan orang yang memiliki mata rohani akan melihat. Dia mengenali apa yang dia lihat dengan cahaya nama-nama sifat Ilahiah. Kemudian dirinya dibanjiri oleh cahaya dan bertukar menjadi cahaya. Cahaya ini masih lagi hijab menutupi cahaya suci Zat, tetapi masanya akan sampai bila ini juga akan terangkat, yang tinggal hanya cahaya suci Zat itu sendiri.
Hati mempunyai dua mata, satu yang sempit dan satu lagi yang luas. Dengan mata yang sempit seseorang boleh melihat kenyataan sifat-sifat dan nama-nama Allah.
Penglihatan ini berterusan sepanjang perkembangan kerohaniannya. Mata yang luas melihat hanya kepada apa yang dijadikan kelihatan oleh cahaya keesaan dan yang esa. Hanya bila seseorang sampai kepada daerah maqom dengan Allah dia akan melihat, di dalam alam penghujung bagi kenyataan Zat Allah, Yang Esa dan yang Mutlak.
Bagi yang mencapai maqom-maqom ini ketika masih di dalam dunia, di dalam kehidupan ini kamu mestilah membersihkan diri kamu dari sifat-sifat keduniaan, yang ego dan keegoan. Jarak kamu mengembara di dalam kenaikan kamu ke arah makam-makam tersebut tergantung kepada sejauh mana kamu mengasingkan diri darihawa nafsu yang rendah dan ego diri kamu.
Pencapaian kamu kepada maqom yang kamu inginkan bukanlah seperti barang kebendaan sampai ke tempat kebendaan. Ia juga bukan ilmu yang membawa seseorang kepada sesuatu yang menjadi diketahui (dari tidak tahu), juga bukan pertimbangan yang memperoleh apa yang difikirkan, bukan juga khayalan yang menyatu dengan apa yang dikhayalkan. maqom yang kamu ingin capai ialah kesadaran tentang ketiadaan (kekosongan) kamu dari segala sesuatu kecuali Zat Allah. Pencapaian ini adalah perubahan suasana yang terjadi, bukan perubahan pada sesuatu yang nyata. Di sana tiada jarak, tiada dekat atau jauh, tiada kesampaian, tiada ukuran, tiada arah, tiada ruang.
Dia Maha Besar, segala puji untuk-Nya. Dia Maha Pengampun. Dia menjadi nyata dalam apa yang Dia sembunyikan darikamu. Dia menyatakan Diri-Nya sebagaimana Dia melabuhkan tirai di antara Dia dengan kamu. Pengenalan tentang Diri-Nya tersembunyi di dalam ketidak upayaan mengenali-Nya.
Jika ada di antara kamu yang sampai kepada cahaya yang diterangkan dalam buku ini, ketika kamu masih lagi berada di dalam dunia, buatlah muhasabah (hisab) terhadap diri kamu, buku catatan kamu tentang amalan kamu. Hanya di bawah cahaya, kamu boleh melihat apa yang kamu sudah buat dan sedang buat; buat perkiraan kamu. Kamu akan membaca buku catatan kamu di hadapan Tuhan kamu pada hari pembalasan. Itu adalah muktamad.
Di sana kamu tidak ada peluang menolaknya. Jika kamu lakukan di sini ketika kamu masih ada waktu, kamu akan termasuk ke dalam golongan yang diselamatkan. Jika tidak, azab dan siksa menjadi bagian kamu di akhirat. Hidup ini akan berakhir. Di sana ada azab di dalam kubur, ada hari pembalasan, ada neraka yang menimbang hingga dosa yang paling kecil dan kebaikan yang paling kecil. Kemudian ada jambatan yang lebih kecil dari rambut dan lebih tajam dari mata pedang, penghujungnya ialah taman, sementara di bawahnya ialah neraka yang penuh dengan kecelakaan, penderitaan, semuanya akan terbentang apabila kehidupan yang singkat ini berakhir.
رَبَّنَا اَتِنَا فِى اْلدُنْيَاحَسَنَةً وَفِى اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ اْلنَّارِ. وَاْلحَمْدُ للهِ رَبّ ِاْلعَالَمِيْنَ
رِضَــا يَاالله ……….. الفاتحة
Menyambut Ramadhan
Bulan Ramadhan sudah semakin dekat. Mari kita sambut bulan yang penuh hikmah dengan limpahan berkah dan maghfirah tersebut dengan persiapan fisik dan mental yang prima.
Sebenarnya dengan menyambut bulan Ramadhan dan senang akan datangnya bulan mulia tersebut, kita sudah termasuk hamba Allah yang selamat dari neraka.
Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siap bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka."
Sebenarnya dengan menyambut bulan Ramadhan dan senang akan datangnya bulan mulia tersebut, kita sudah termasuk hamba Allah yang selamat dari neraka.
Rasulullah SAW bersabda,
"Barang siap bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan jasadnya masuk neraka."
Benarkah Nabi Isa Masih Hidup
Nabi Isa a.s disebut Yesus Kristus dalam agama Kristen.
Dalam bahasa Ibrani, Isa adalah Yesyu dan dalam Injil disebut Yesus.
Dalam Islam, Isa hanya manusia biasa, bukan Tuhan. Ia hanya seorang utusan Allah seperti para rasul lainnya.
Nabi Isa diutus Allah hanya untuk bangsa Israil.
Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman'
"Dan (sebagai) rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka):
'Sungguh aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung, kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak, dan aku menghidupkan orang mata dengan seizin Allah. Dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman."
(QS. Ali Imran: 49).
Sekalipun Isa adalah Yesus dalam pandangan Kristen, namun sebaiknya umat Islam memanggilnya Isa sesuai dengan panggilan dalam Al Qur'an.
Karena manusia biasa, maka ia juga mati seperti manusia pada umumnya.
Bagaimana peristiwa kematiannya?
Dalam Al Qur'an ia tidak mati di tiang salib.
Allah SWT berfirman,
"Dan karena ucapan mereka: 'Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang pembunuhan Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu.
Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa."
(QS. An Nisa': 157-158).
Menurut sebagian ulama, Nabi Isa masih hidup dengan cara yang dirahasiakan Allah.
Suatu saat nanti ia akan turun ke bumi untuk meluruskan kepercayaan manusia yang salah terhadap dirinya.
Sedangkan menurut ulama yang lain, ia telah benar-benar wafat.
Perbedaan pendapat itu berpangkal pada firman Allah SWT,
"Ingatlah ketika Allah berfirman,
'Hai Isa, sesungguhnya kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang kafir hingga hari kiamat.
Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya."
(QS. Ali Imran: 55).
Sekalipun kepercayaan kita berbeda dengan saudara kita yang Kristen tentang Nabi Isa a.s, kita wajib tetap menghormati keyakinan mereka dan memberi hak sepenuhnya untuk beribadah menurut keimanan tersebut.
Wallahu A'lam.
Dalam bahasa Ibrani, Isa adalah Yesyu dan dalam Injil disebut Yesus.
Dalam Islam, Isa hanya manusia biasa, bukan Tuhan. Ia hanya seorang utusan Allah seperti para rasul lainnya.
Nabi Isa diutus Allah hanya untuk bangsa Israil.
Dalam Al Qur'an, Allah SWT berfirman'
"Dan (sebagai) rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka):
'Sungguh aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung, kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak, dan aku menghidupkan orang mata dengan seizin Allah. Dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu.
Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman."
(QS. Ali Imran: 49).
Sekalipun Isa adalah Yesus dalam pandangan Kristen, namun sebaiknya umat Islam memanggilnya Isa sesuai dengan panggilan dalam Al Qur'an.
Karena manusia biasa, maka ia juga mati seperti manusia pada umumnya.
Bagaimana peristiwa kematiannya?
Dalam Al Qur'an ia tidak mati di tiang salib.
Allah SWT berfirman,
"Dan karena ucapan mereka: 'Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang pembunuhan Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu.
Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa."
(QS. An Nisa': 157-158).
Menurut sebagian ulama, Nabi Isa masih hidup dengan cara yang dirahasiakan Allah.
Suatu saat nanti ia akan turun ke bumi untuk meluruskan kepercayaan manusia yang salah terhadap dirinya.
Sedangkan menurut ulama yang lain, ia telah benar-benar wafat.
Perbedaan pendapat itu berpangkal pada firman Allah SWT,
"Ingatlah ketika Allah berfirman,
'Hai Isa, sesungguhnya kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang kafir hingga hari kiamat.
Kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya."
(QS. Ali Imran: 55).
Sekalipun kepercayaan kita berbeda dengan saudara kita yang Kristen tentang Nabi Isa a.s, kita wajib tetap menghormati keyakinan mereka dan memberi hak sepenuhnya untuk beribadah menurut keimanan tersebut.
Wallahu A'lam.
DOA DAN KEAJAIBANNYA
DOA DAN KEAJAIBANNYA
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku ini dekat, (yakni) Aku mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku jika mereka berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ ( وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ )
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
“Dan jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku ini dekat, (yakni) Aku mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Ku jika mereka berdoa kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ ( وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ )
“Sesungguhnya doa adalah ibadah.” Kemudian beliau membaca ayat, “Dan Rabb kalian berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan (doa) kalian.” (QS. Ghafir: 60) (HR. Abu Daud no. 1479, At-Tirmizi no. 2969, Ibnu Majah no. 3873, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 3407)
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الْعِبَادَةِ هُوَ الدُّعَاءُ
“Ibadah yang paling utama adalah doa.” (HR. Al-Hakim no. 1805 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1122)
Dari Salman Al-Farisi radhiallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ
“Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebajikan.” (HR. At-Tirmizi no. 3373, Ibnu Majah no. 3872, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2418)
Penjelasan ringkas :
Doa merupakan salah satu dari bentuk-bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala, bahkan dia merupakan ibadah yang paling utama secara mutlak. Hal itu karena tidak ada satu pun ibadah kecuali di dalamnya terkandung doa (permintaan), yakni tidaklah seseorang beribadah kecuali di dalam hatinya dia menginginkan dengan ibadahnya tersebut agar dia mendapat pahala dan masuk surga atau tidak masuk neraka. Tatkala semua ibadah mengandung doa, maka ibadah juga dinamakan sebagai doa tapi doa ibadah.
Sungguh Allah Ta’ala telah berjanji akan mengabulkan semua doa yang ditujukan kepada-Nya dan sebaliknya Dia mengancam semua makhluk yang enggan untuk berdoa kepada-Nya, dan ini menunjukkan rahmat dan kedekatan Allah kepada para hamba-Nya. Adapun bentuk pengabulannya:
Dari Abu Said -radhiallahu anhu- dia berkata bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, “Tidak ada seorang muslim pun yang berdoa dengan satu doa kepada Allah, yang mana doanya tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahmi, kecuali karenanya Allah akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga perkara: Akan disegerakan pengabulan doanya, ataukah akan disimpankan untuknya di akhirat, ataukah akan dihindarkan darinya kejelekan yang semisalnya.” Mereka (para sahabat) berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak doa,” maka beliau bersabda, “Allah akan lebih banyak lagi memberikan.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad: 3/18. Diriwayatkan oleh At-Tirmizi dari Jabir bin Abdillah no. 3381 dan dari Ubadah bin Ash-Shamit no. 3573, dan keduanya dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmizi: 3/140,181)
Dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- dari Nabi -shallallahu alaihi wasallam- beliau bersabda, “Doa itu bermanfaat untuk musibah yang sudah turun dan musibah yang belum turun, karenanya wahai hamba-hamba Allah hendaknya kalian berdoa.” ( HR. Al-Hakim: 1/493 dan Ahmad: 5/234. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’no. 3402)
Dan para ulama menyebutkan bahwa doa mempunyai 3 keadaan bersama musibah:
1. Doanya lebih kuat daripada musibah, maka dia akan menolak datangnya.
2. Doanya lebih lemah daripada musibah yang datang, maka musibah itu akan menimpa hamba tersebut, akan tetapi doa itu akan memperingan musibah tersebut walaupun doanya lemah.
3. Kekuatan keduanya berimbang sehinga keduanya saling menahan.
[Lihat Al-Jawab Al-Kafi karya Imam Ibnu Al-Qayyim hal. 22,23,24 cet. Daar At-Turats]
Tambahan :
Doa secara bahasa bermakna meminta dan merendah.
Adapun secara istilah, doa adalah permintaan hamba kepada Rabbnya dengan cara merendah. Misalnya dikatakan: دَعَوْتُ اللهَ – أَدْعُو – دُعَاءً (saya telah berdoa kepada Allah – saya akan berdoa – doa) maka maknanya adalah: Saya merendah kepada-Nya dengan meminta dan saya mengharapkan kebaikan yang ada di sisi-Nya. (Al-Mishbah Al-Munir: 1/194)
Doa di dalam syariat ada dua jenis: Doa ibadah dan doa mas`alah. Doa mas`alah mengandung doa ibadah dan doa ibadah melazimkan adanya doa mas`alah. Dan kata ‘doa’ di dalam Al-Qur`an terkadang bermakna doa ibadah, terkadang bermakna doa mas`alah, dan terkadang bermakna keduanya. (Lihat Fath Al-Majid hal. 180)
Berikut uraiannya :
Jenis pertama: Doa ibadah, yaitu meminta pahala dengan menggunakan (baca: bertawassul) amalan-amalan saleh seperti: Pengucapan dua kalimat syahadat dan pengamalan konsekuensi keduanya, shalat, puasa, zakat, haji, menyembelih untuk Allah, dan bernazar untuk-Nya. Barangsiapa yang mengerjakan ibadah-ibadah ini dan ibadah fi’liyah (yang berupa perbuatan) lainnya maka berarti dia telah berdoa dan meminta kepada Rabbnya -dengan keadaannya ketika itu (sedang beribadah)- agar Dia mengampuni dirinya. Kesimpulannya, doa ibadah adalah seorang beribadah kepada Allah untuk meminta pahala-Nya dan karena takut terhadap siksaan-Nya.
Jenis doa (ibadah) ini tidak boleh diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala, dan barangsiapa yang memalingkan sedikit pun darinya kepada selain Allah maka sungguh dia telah kafir dengan kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama. Inilah yang disinyalir dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Rabb kalian berfirman: “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)
Jenis kedua: Doa mas`alah atau doa berupa permintaan. Dia adalah permintaan akan sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi orang yang berdoa berupa mendapatkan manfaat dan terhindar dari mudharat, serta meminta sesuatu yang merupakan kebutuhannya. Adapun hukum doa mas`alah, maka terdapat rincian sebagai berikut:
a. Jika doa mas`alah ini berasal dari seorang hamba dan ditujukan kepada yang semisalnya dari para makhluk sementara makhluk tersebut (yang ditujukan permintaan kepadanya, pent.) mampu memenuhi permintaannya, hidup, dan berada di dekatnya maka ini bukanlah kesyirikan. Misalnya kamu berkata kepada seseorang: Berikan saya air minum, atau kamu katakan: Wahai fulan, berikan saya makanan, atau ucapan semacamnya, maka yang seperti ini tidak bermasalah. Karenanya beliau -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
“Barangsiapa yang meminta perlindungan dengan nama Allah maka lindungilah dia, barangsiapa yang meminta dengan menggunakan nama Allah maka berikanlah permintaannya, barangsiapa yang mengundang kalian maka penuhilah undangannya, dan barangsiapa yang berbuat kebaikan kepadamu maka balaslah dia, tapi jika kalian tidak mempunyai sesuatu untuk membalasnya maka doakanlah kebaikan untuknya sampai kalian menyangka kalian sudah membalas kebaikannya.” (HR. Abu Daud no. 1672, An-Nasai: 5/82, dan Ahmad dalam Al-Musnad: 2/68,99)
b. Seseorang berdoa dan meminta kepada makhluk sesuatu yang tidak ada yang sanggup memenuhinya kecuali Allah semata. Maka orang ini musyrik lagi kafir, baik makhluk tempat dia berdoa adalah orang yang masih hidup maupun telah meninggal, baik dia ada maupun tidak berada di dekatnya. Misalnya orang yang berdoa: Wahai tuanku, sembuhkanlah penyakitku, kembalikanlah barangku yang hilang, berikanlah kelapangan-berikanlah kelapangan, berikanlah aku anak. Ini adalah kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-An’am: 17)
Jadi, doa ibadah tidak boleh ditujukan kepada selain Allah secara mutlak. Adapun doa mas`alah, maka dia bisa ditujukan kepada selain Allah dengan 3 syarat: Selain Allah itu hidup, hadir/mendengar permintaannya, dan sanggup untuk memenuhinya. Jika salah satu dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi maka menyerahkan doa mas`alah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Karenanya siapa saja yang beristighatsah kepada selain Allah atau berdoa kepada selain Allah dengan doa ibadah atau mas`alah pada sesuatu yang tidak ada yang sanggup memenuhinya kecuali Allah maka dia adalah orang yang musyrik lagi murtad.
Wallahu a'lam.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/doa-keajaibannya.html
http://www.abuayaz.co.cc/2011/06/doa-dan-keajaibannya.html
3. Kekuatan keduanya berimbang sehinga keduanya saling menahan.
[Lihat Al-Jawab Al-Kafi karya Imam Ibnu Al-Qayyim hal. 22,23,24 cet. Daar At-Turats]
Tambahan :
Doa secara bahasa bermakna meminta dan merendah.
Adapun secara istilah, doa adalah permintaan hamba kepada Rabbnya dengan cara merendah. Misalnya dikatakan: دَعَوْتُ اللهَ – أَدْعُو – دُعَاءً (saya telah berdoa kepada Allah – saya akan berdoa – doa) maka maknanya adalah: Saya merendah kepada-Nya dengan meminta dan saya mengharapkan kebaikan yang ada di sisi-Nya. (Al-Mishbah Al-Munir: 1/194)
Doa di dalam syariat ada dua jenis: Doa ibadah dan doa mas`alah. Doa mas`alah mengandung doa ibadah dan doa ibadah melazimkan adanya doa mas`alah. Dan kata ‘doa’ di dalam Al-Qur`an terkadang bermakna doa ibadah, terkadang bermakna doa mas`alah, dan terkadang bermakna keduanya. (Lihat Fath Al-Majid hal. 180)
Berikut uraiannya :
Jenis pertama: Doa ibadah, yaitu meminta pahala dengan menggunakan (baca: bertawassul) amalan-amalan saleh seperti: Pengucapan dua kalimat syahadat dan pengamalan konsekuensi keduanya, shalat, puasa, zakat, haji, menyembelih untuk Allah, dan bernazar untuk-Nya. Barangsiapa yang mengerjakan ibadah-ibadah ini dan ibadah fi’liyah (yang berupa perbuatan) lainnya maka berarti dia telah berdoa dan meminta kepada Rabbnya -dengan keadaannya ketika itu (sedang beribadah)- agar Dia mengampuni dirinya. Kesimpulannya, doa ibadah adalah seorang beribadah kepada Allah untuk meminta pahala-Nya dan karena takut terhadap siksaan-Nya.
Jenis doa (ibadah) ini tidak boleh diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala, dan barangsiapa yang memalingkan sedikit pun darinya kepada selain Allah maka sungguh dia telah kafir dengan kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama. Inilah yang disinyalir dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Rabb kalian berfirman: “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)
Jenis kedua: Doa mas`alah atau doa berupa permintaan. Dia adalah permintaan akan sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi orang yang berdoa berupa mendapatkan manfaat dan terhindar dari mudharat, serta meminta sesuatu yang merupakan kebutuhannya. Adapun hukum doa mas`alah, maka terdapat rincian sebagai berikut:
a. Jika doa mas`alah ini berasal dari seorang hamba dan ditujukan kepada yang semisalnya dari para makhluk sementara makhluk tersebut (yang ditujukan permintaan kepadanya, pent.) mampu memenuhi permintaannya, hidup, dan berada di dekatnya maka ini bukanlah kesyirikan. Misalnya kamu berkata kepada seseorang: Berikan saya air minum, atau kamu katakan: Wahai fulan, berikan saya makanan, atau ucapan semacamnya, maka yang seperti ini tidak bermasalah. Karenanya beliau -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ اسْتَعَاذَ بِاللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَ بِاللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ دَعَاكُمْ فَأَجِيبُوهُ وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ
“Barangsiapa yang meminta perlindungan dengan nama Allah maka lindungilah dia, barangsiapa yang meminta dengan menggunakan nama Allah maka berikanlah permintaannya, barangsiapa yang mengundang kalian maka penuhilah undangannya, dan barangsiapa yang berbuat kebaikan kepadamu maka balaslah dia, tapi jika kalian tidak mempunyai sesuatu untuk membalasnya maka doakanlah kebaikan untuknya sampai kalian menyangka kalian sudah membalas kebaikannya.” (HR. Abu Daud no. 1672, An-Nasai: 5/82, dan Ahmad dalam Al-Musnad: 2/68,99)
b. Seseorang berdoa dan meminta kepada makhluk sesuatu yang tidak ada yang sanggup memenuhinya kecuali Allah semata. Maka orang ini musyrik lagi kafir, baik makhluk tempat dia berdoa adalah orang yang masih hidup maupun telah meninggal, baik dia ada maupun tidak berada di dekatnya. Misalnya orang yang berdoa: Wahai tuanku, sembuhkanlah penyakitku, kembalikanlah barangku yang hilang, berikanlah kelapangan-berikanlah kelapangan, berikanlah aku anak. Ini adalah kekafiran akbar yang mengeluarkan dari agama. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-An’am: 17)
Jadi, doa ibadah tidak boleh ditujukan kepada selain Allah secara mutlak. Adapun doa mas`alah, maka dia bisa ditujukan kepada selain Allah dengan 3 syarat: Selain Allah itu hidup, hadir/mendengar permintaannya, dan sanggup untuk memenuhinya. Jika salah satu dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi maka menyerahkan doa mas`alah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Karenanya siapa saja yang beristighatsah kepada selain Allah atau berdoa kepada selain Allah dengan doa ibadah atau mas`alah pada sesuatu yang tidak ada yang sanggup memenuhinya kecuali Allah maka dia adalah orang yang musyrik lagi murtad.
Wallahu a'lam.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/doa-keajaibannya.html
HUKUM BEROBAT KEPADA DUKUN
HUKUM BEROBAT KEPADA DUKUN
Oleh : Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
Pertanyaan :
Di sini terdapat segolongan manusia yang berobat dengan penyembuhan yang terkenal -menurut mereka-, dan suatu saat saya mendatangi salah seorang dari mereka, dia berkata kepada saya, “Tulislah namamu dan nama ibumu!.” Kemudian kami kembali lagi keesokan harinya. Dan pada saat seseorang kembali kepada mereka, mereka akan mengatakan, “Sesungguhnya yang yang menimpamu adalah perkara ini dan itu, sedangkan obatnya adalah ini dan itu….”
Berkata pula salah seorang dari mereka, “Sesungguhnya mereka menggunakan kalamullah (Al-Quran) dalam melakukan pengobatan.” Apa pandangan Anda dalam permasalahan seperti ini? Dan apa hukum mendatangi mereka?
Pertanyaan :
Di sini terdapat segolongan manusia yang berobat dengan penyembuhan yang terkenal -menurut mereka-, dan suatu saat saya mendatangi salah seorang dari mereka, dia berkata kepada saya, “Tulislah namamu dan nama ibumu!.” Kemudian kami kembali lagi keesokan harinya. Dan pada saat seseorang kembali kepada mereka, mereka akan mengatakan, “Sesungguhnya yang yang menimpamu adalah perkara ini dan itu, sedangkan obatnya adalah ini dan itu….”
Berkata pula salah seorang dari mereka, “Sesungguhnya mereka menggunakan kalamullah (Al-Quran) dalam melakukan pengobatan.” Apa pandangan Anda dalam permasalahan seperti ini? Dan apa hukum mendatangi mereka?
Jawaban :
Barangsiapa yang melakukan perkara tersebut dalam mengobati, ini menunjukkan bahwa dia meminta bantuan jin dan mengaku-aku tahu tentang ilmu gaib. Maka tidak boleh berobat kepada mereka, dan tidak poleh pula mendatangi serta bertanya kepada mereka, karena sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang manusia semacam mereka:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا
‘Barangsiapa mendatangi ‘arraaf’ (tukang ramal)) kepadanya, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim dalam sahihnya)
Dan telah sahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam hadits-hadits yang melarang untuk datang kepada dukun, peramal serta tukang sihir serta larangan untuk bertanya dan membenarkan mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا نَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi kahin (dukun) dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.”
Dan setiap orang yang mengaku-aku tahu tentang perkara gaib menggunakan seperti kerikil, rumah kerang, menggaris-garis di tanah atau bertanya kepada si sakit namanya, dan nama ibu atau kerabatnya, maka semua ini merupakan petunjuk bahwa dia seorang paranormal dan dukun yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang untuk bertanya dan membenarkannya.
Maka wajib memperingatkan dari mereka, dari bertanya serta berobat kepada mereka. Apabila mereka mengira bahwa mereka mengobati dengan Al-Quran, telah menjadi kebiasaan para pelaku kebatilan, mereka menggunakan kedok dan tipu daya. Maka tidak boleh membenarkan apa-apa yang mereka katakan, dan wajib bagi orang yang mengetahui tentang keadaan mereka untuk mengangkat permasalahan ini kepada pihak yang berwenang seperti hakim, pemerintah, serta kepada kantor urusan agama pada setiap negeri sampai mereka dihukum dengan hukum Allah serta sampai kaum muslimin selamat dari kejahatan, kerusakan, serta pengambilan mereka terhadap harta-harta manusia dengan cara yang batil.
Allah-lah tempat meminta pertolongan, dan tiada daya dan upaya melainkan milik Allah.
(Diterjemahkan dari حكم السحر و الكهانة وما يتعلق بهما karya Asy Syaikh Ibn Baaz untuk blog www.ulamasunnah.wordpress.com)
Sumber : http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/02/11/hukum-berobat-kepada-dukun/
Thursday, June 23, 2011
ANAK KECIL YANG BELUM BALIGH DARI ANAK ORANG KAFIR , JIKA MENINGGAL, MASUK SURGA ATAU NERAKA?
ANAK KECIL YANG BELUM BALIGH DARI ANAK ORANG KAFIR , JIKA MENINGGAL, MASUK SURGA ATAU NERAKA?
Oleh : Ust. Yulian Purnama
Banyak kaum muslimin yang bingung menghadapi pertanyaan semacam ini. Tidak jarang pula yang berangkat dari pertanyaan ini kemudian meragukan keadilan Islam lalu akhirnya menganggap semua agama benar. Padahal andaikan mereka sedikit berusaha mempelajari Islam dengan benar, mereka akan menemukan para ulama kita sudah menjelaskan dengan panjang-lebar jawaban dari pertanyaan semacam ini. Berikut ini kami kutipkan penjelasan bagus dari Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Wuhaibi dalam kitabnya, Nawaqidhul Iman Wa Dhawabitut Takfir ‘Indas Salaf (1/294):
Banyak kaum muslimin yang bingung menghadapi pertanyaan semacam ini. Tidak jarang pula yang berangkat dari pertanyaan ini kemudian meragukan keadilan Islam lalu akhirnya menganggap semua agama benar. Padahal andaikan mereka sedikit berusaha mempelajari Islam dengan benar, mereka akan menemukan para ulama kita sudah menjelaskan dengan panjang-lebar jawaban dari pertanyaan semacam ini. Berikut ini kami kutipkan penjelasan bagus dari Syaikh Muhammad bin Abdillah Al Wuhaibi dalam kitabnya, Nawaqidhul Iman Wa Dhawabitut Takfir ‘Indas Salaf (1/294):
Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah tentang hukum di akhirat, bukan hukum di dunia. Tidak ada satupun para ulama yang mengatakan bahwa orang yang tidak pernah mendengar Islam itu adalah muslim, atau pada mereka diberlakukan hukum orang muslim di dunia. Oleh karena itu, perbedaan pendapat yang ada bukanlah tentang hukum di dunia. Al Imam Ibnu Qayyim Rahimahullah berkata: “Wajib bagi setiap orang untuk meyakini bahwa setiap manusia yang tidak beragama dengan agama Islam adalah kafir. Namun wajib juga meyakini bahwa Allah Ta’ala (di akhirat) tidak akan mengadzab orang yang belum disampaikan hujjah. Ini secara umum. Adapun secara khusus per individu, hanya Allah yang mengetahuinya. Ini semua berkaitan dengan balasan dan hukuman di akhirat. Sedangkan hukum di dunia, diterapkan berdasarkan apa yang nampak. Oleh karena itu, anak-anak kecil orang kafir dan orang gila yang kafir, di dunia diberlakukan hukum orang kafir kepada mereka” (Thariqul Hijratain, 384).
Pembahasan mengenai nasib orang yang belum pernah mendengar Islam di akhirat, adalah permasalahan ijtihadiyah yang banyak dibahas para ulama. Namun bahasan ini tidak termasuk ushuluddin (pokok agama) dan bukan ‘ijma. Oleh karena itu tidak dibahas pada kebanyakan kitab aqidah yang terkenal. Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini:
Pendapat pertama : Orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, masuk surga
As Suyuthi Rahimahullah berkata: “Para imam Asy ‘ariyah yang termasuk ahlul kalam dan ahlul ushul, serta ulama ahli fiqih madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, ia masuk surga” (Al Haawi Lil Fatawa, 2/202). Sebagian ulama juga berpendapat bahwa anak-anak kecil orang musyrik masuk surga, sebagaimana pendapat Ibnu Hazm, beliau berkata: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak-anak kecil orang musyrik masuk surga, dan saya juga berpendapat demikian” (Al Fashl, 4/73). Juga Imam An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 16/208), Ibnu Hajar Al Asqalani juga mengatakan bahwa pendapat ini adalah pilihan Al Bukhari (Fathul Baari, 3/246), juga Imam Al Qurthubi (At Tadzkirah, 612) dan Imam Ibnul Jauzi (Majmu’ Fatawa Syaikhil Islam, 24/372).
Pendapat kedua : Orang yang mati dalam keadaan belum pernah mendengar Islam, masuk neraka
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Ini adalah pendapat dari sejumlah ulama ahlul kalam, ulama ahli tafsir, juga salah satu pendapat dari murid-murid Imam Ahmad. Al Qadhi membawakan riwayat dari Imam Ahmad tentang hal ini, namun telah dibantah oleh guru kami (Syaikhul Islam)” (Thariqul Hijratain, 362). Pendapat ini juga diambil oleh sejumlah murid Abu Hanifah (Jam’ul Jawami’ Imam As Subki, 1/62).
Pendapat ketiga : Tawaqquf (Abstain), dan menyatakan nasib mereka terserah pada kehendak Allah
Ini adalah pendapat Al Hamidain, Ibnul Mubarak, Ishaq Ibnu Rahawaih. Ibnu Abdil Barr berkata: “Nasib mereka tergantung kepada keputusan Al Malik, dan dalam hal ini tidak ada nash yang menjelaskan, kecuali riwayat dari para sahabat yang menegaskan bahwa anak-anak kecil muslim akan masuk surga dan anak-anak kecil kafir tergantung pada keputusan Allah” (At Tamhid, 18/111-112).
Pendapat keempat : Mereka akan dites di depan pintu neraka
Allah memerintahkan mereka masuk ke dalamnya. Jika mereka patuh, mereka akan merasakan hawa dingin dan mereka selamat. Namun yang enggan masuk, berarti ia telah membangkang kepada Allah Ta’ala dan dimasukkan ke dalam neraka.
Pendapat ini adalah pendapat mayoritas para ulama salaf, sebagaimana disampaikan oleh Abul Hasan Al Asy’ari (Al Ibanah, 33). Pendapat ini dipilih oleh Muhammad bin Nashir Al Marwazi, Al Baihaqi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dan Ibnu Katsir. Syaikhul Islam berkata: “Manusia yang belum ditegakkan hujjah padanya, seperti anak-anak kecil, orang gila, ahlul fathrah, nasih mereka sebagaimana terdapat pada banya atsar, yaitu mereka akan dites pada hari qiamat. Ada yang diutus untuk memerintahkan mereka pada ketaatan. Jika mereka taat, mereka diberi surga. Jika mereka enggan taat, diberi neraka”. Imam Ibnu Qayyim setelah menjelaskan perbedaan pendapat dan dalil-dalilnya, beliau berkata: “Pendapat ke delapan, mereka berpendapat bahwa naka-naka kecil orang kafir akan dites di sebuah dataran di hari kiamat. Setiap orang dikirimkan Rasul (utusan). Orang yang mematuhi utusan tersebut, akan dimasuk surga. Yang membangkang akan masuk neraka. Dengan kata lain, sebagain mereka ada yang masuk surga dan sebagiannya ada yang masuk neraka. Pendapat ini yang mencakup dalil-dalil yang ada, dan didukung oleh banyak hadits” (Thariqul Hijratain, 369). Kemudian Ibnu Qayyim memaparkan dalil-dalil yang mendukung pendapat ini, lalu berkata: “Hadits-hadits ini saling menguatkan. Dikuatkan juga dengan ushul dan kaidah syariat. Dan pendapat yang sesuai dengan hadits-hadits ini adalah mazhab salafush shalih, sebagaimana dinukil oleh Al ‘Asy’ari Rahimahullah” (Thariqul Hijratain, 371)
Al Hafidz Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: “Para ulama terdahulu dan ulama masa sekarang berbeda pendapat mengenai anak kecil yang meninggal dalam keadaan kafir, bagaimana statusnya? Demikian juga orang gila, orang tuli, orang tua yang pikun dan ahlul fatrah yang belum pernah mendengar dakwah, terdapat beberapa hadits yang membahas status mereka. Dengan inaayah dan taufiq Allah, akan saya sampaikan kepada anda”. Kemudian beliau memaparkan hadits-hadits tersebut, lalu menjelaskan pendapat-pendapat yang ada, dan memilih pendapat yang menyatakan bahwa mereka akan dites kelak di hari kiamat. Beliau berkata: “Pendapat inilah yang mencakup semua dalil yang ada. Dan hadits-hadits yang telah saya sebutkan pun menegaskannya dan saling menguatkan” (Tafsir Ibni Katsir, 3/30).
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, setelah menyatakan memilih pendapat ini, beliau berkata: “Ulama bersepakat bahwa selagi masih mungkin, wajib hukumnya untuk menggabungkan dalil-dalil yang ada. Karena mengamalkan dua dalil lebih utama daripada beramal dengan salahsatu saja. Dan tidak ada pendapat yang bisa mencakup seluruh dalil kecuali pendapat ini, yaitu mereka akan diberi udzur lalu dites” (Adhwa’ul Bayan, 3/440)
Dalil penting yang mendasari pendapat ini ada 2 macam:
1. Dalil Al Qur’an
Para ulama yang berpegang pada pendapat yang terakhir ini berdalil dengan keumuman ayat-ayat tentang tidak adanya azab sebelum disampaikan hujjah. Contohnya firman Allah Ta’ala:
كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ. قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا
“Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan? Mereka menjawab: “Benar ada”, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami mendustakan(nya)” (QS. Al Mulk: 8-9)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Sungguh Kami tidak akan mengadzab sebelum mengutus seorang Rasul” (QS. Al Isra: 15)
Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan adanya udzur bagi ahlul fatrah, karena utusan yang memberi peringatan belum datang kepada mereka (Dalil Al Qur’an yang lain silakan lihat Adhwa’ul Bayan, 3/429-433). Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini: “Allah Ta’ala Maha Adil. Allah tidak akan mengadzab seseorang, kecuali orang tersebut sudah ditegakkan hujjah padanya lalu ia menentang. Sedangkan orang yang belum disampaikan hujjah, maka ia tidak akan diadzab. Ayat ini dijadikan dalil bahwa Ahlul Fatrah dan anak-anak kecil kafir tidak akan diadzab oleh Allah, sampai seorang utusan datang kepada mereka. Karena Allah tidak mungkin berbuat zhalim” (Tafsir As Sa’di, 4/266)
2. Dalil Hadits
Para ulama yang berpegang pada pendapat ini berdalil dengan hadits-hadits yang tegas menunjukkan bahwa orang yang belum pernah disampaikan hujjah akan dites kelak di hari kiamat. Hadits yang paling terkenal dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Aswad bin Sari’, bahwa NabiShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يكون يوم القيامة رجل أصم لا يسمع شيئاً، ورجل أحمق، ورجل هرم ورجل مات في فترة فأما الأصم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أسمع شيئاً، وأما الأحمق فيقول: رب لقد جاء الإسلام والصبيان يحذفونني بالبعر، وأما الهرم فيقول: رب لقد جاء الإسلام وما أعقل شيئاً، وأما الذي مات في الفترة فيقول: رب ما أتاني لك رسول، فيأخذ مواثيقهم ليطيعنه، فيرسل إليهم أن ادخلوا النار، قال: فوالذي نفس محمد بيده لو دخلوها لكانت عليهم برداً وسلاماً
“Di hari kiamat ada seorang yang tuli, tidak mendengar apa-apa, ada orang yang idiot, ada orang yang pikun, ada yang mati pada masa fatrah. Orang yang tuli berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang saat itu aku tuli, tidak mendengar Islam sama sekali’. Orang yang idiot berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang, saat itu anak-anak nakal sedang memasung aku di dalam sumur’. Orang yang pikun berkata: ‘Ya Rabb, ketika Islam datang aku sedang hilang akal’. Orang yang mati pada masa fatrah berkata: ‘Ya Rabb, tidak ada utusan yang datang untuk mengajakku kepada Islam’. Lalu diuji kecenderungan hati mereka pada ketaatan. Diutus utusan untuk memerintahkan mereka masuk ke neraka. Nabi bersabda: ‘Demi Allah, jika mereka masuk ke dalamnya, mereka akan merasakan dingin dan mereka mendapat keselamatan‘” (HR. Ahmad no. 16344, Thabrani 2/79. Di-shahih-kan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 1434)
Terdapat juga hadits semisal yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, namun lafadz akhirnya berbunyi:
فمن دخلها كانت عليه برداً وسلاماً، ومن لم يدخلها سحب إليها
“Diantara mereka yang patuh memasuki neraka akan merasakan dingin dan akhirnya selamat. Sedangkan yang enggan memasukinya justru akan diseret ke dalamnya” (HR. Ahmad no. 16345)
Pendapat yang didasari hadits ini merupakan pendapat yang mencakup keseluruhan dalil, sebagaimana nukilan dari para imam. Syaikhul Islam berkata: “Dengan penjelasan hadits ini, maka tuntaslah perdebatan yang berupa pembicaraan panjang lebar sampai menimbulkan perdebatan. Karena bagi yang berpendapat bahwa mereka semua masuk neraka, terdapat nash yang menyalahkannya. Dan bagi yang berpendapat bahwa mereka semua masuk surga, juga terdapat nash yang menyalahkannya” (Dar’ut Ta’arudh, 8/401). Syaikh Asy Syinqithi Rahimahullah setelah memilih pendapat ini ia berkata: “Hadits in shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan keshahihan hadits adalah solusi dari perdebatan. Maka tidak ada lagi sisi yang dapat didebat dengan adanya hadits ini” (Adhwa’ul Bayan, 3/438).
[muslim.or.id]
Sumber : http://abangdani.wordpress.com/2011/05/12/orang-yang-belum-pernah-mendengar-islam-apakah-kafir/
BOLEHKAH DAHI TERHALANG PECI/PENUTUP KEPALA KETIKA SHALAT?
BOLEHKAH DAHI TERHALANG PECI/PENUTUP KEPALA KETIKA SHALAT?
Bismillah,
Ada yang mengatakan : ”Sujud Tidak boleh kepada yang ditanggung badan atau yang segerak dengan badan (mahmul) atau segala sesuatu yang ada ditubuh misalnya sorban yang ada dikepala atau kain yang panjang menutupi tempat sujud. Sah jika diletakkan sapu tangan di tempat sujud, juga sah jika rambut menutup dahi dan tidak sah jika dahi tertutup oleh kopiah atau peci. Dari Ibnu ‘Abbas: “Sesungguhnya Nabi bersabda: ‘Saya diperintahkan bersujud dengan tujuh (anggota badan) dan aku tidak boleh merintanginya dengan rambut atau kain’ ” (HR. Ibnu Hibban)
Kesimpulannya: Karena dahi bukan aurat maka tidak boleh terhalang kain (sejenisnya). Sedangkan lutut termasuk aurat, maka boleh tertutup kain celana, sarung, ghamis, dll.
Mohon penjelasan dari keterangan diatas? Jazakumullah.
(Abu Nafilah)
Ada yang mengatakan : ”Sujud Tidak boleh kepada yang ditanggung badan atau yang segerak dengan badan (mahmul) atau segala sesuatu yang ada ditubuh misalnya sorban yang ada dikepala atau kain yang panjang menutupi tempat sujud. Sah jika diletakkan sapu tangan di tempat sujud, juga sah jika rambut menutup dahi dan tidak sah jika dahi tertutup oleh kopiah atau peci. Dari Ibnu ‘Abbas: “Sesungguhnya Nabi bersabda: ‘Saya diperintahkan bersujud dengan tujuh (anggota badan) dan aku tidak boleh merintanginya dengan rambut atau kain’ ” (HR. Ibnu Hibban)
Kesimpulannya: Karena dahi bukan aurat maka tidak boleh terhalang kain (sejenisnya). Sedangkan lutut termasuk aurat, maka boleh tertutup kain celana, sarung, ghamis, dll.
Mohon penjelasan dari keterangan diatas? Jazakumullah.
(Abu Nafilah)
Ustadz M. Subhan Khadafi, Lc. menjawab:
Bukanlah karena dahi termasuk aurat atau bukan seperti halnya lutut yang merupakan aurat dan harus tertutup ketika shalat berdasarkan kesepakatan para ulama. Masalah ini yang sesungguhnya adalah:
“Apakah dahi wajib menyentuh tanah atau lantai secara langsung tanpa terhalangi oleh kain yang dipakai oleh orang yang sholat tersebut seperti tertutup peci, surban, atau ‘imamah?”
Adapun bila dahi yang terhalangi alas seperti tikar yang melekat pada lantai atau tanah maka para ulama sepakat akan kebolehannya.
Dengan demikian maka pendapat yang kuat adalah: diutamakan dahi untuk tidak terhalang ketika sujud dengan kain yang dikenakan oleh orang yang sedang shalat tersebut berdasarkan atsar Ibnu Umar yang tidak suka melihat orang yang sujud sedangkan dahinya terhalangi oleh surbannya: “Sungguh Ubadah bin Shamit melepaskan sorbannya ketika hendak melaksanakan shalat“.
An Nakha’i juga berkata: “Sujud dengan menempelkan dahiku lebih aku sukai“. Demikian pula sudah menjadi kebiasaan Nabi -shallallaahu ‘alaihi wasallam- bersujud dengan menempelkan dahinya ke lantai atau tanah sampai diriwayatkan bahwa lumpur yang basah menempel pada dahi beliau –shallallaahu’alaihi wasallam- (HR Bukhari dan Muslim).
Sekalipun demikian jumhur ulama menganggap sah bila seseorang sujud sedangkan dahinya tertutup surban atau peci yang dikenakannya bila dikarenakan sebab tertentu seperti dinginnya atau panasnya lantai. Hal ini karena hadits Anas –rodhiallahu ‘anhu- yang dikeluarkan oleh Imam Al Bukhori dan Imam Muslim:
مَا رَوَى أَنَسٌ ، قَالَ : { كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَضَعُ أَحَدُنَا طَرَفَ الثَّوْبِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ فِي مَكَانِ السُّجُودِ } رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ .
“Sungguh kita pernah sholat bersama Nabi –shallallaahu’alaihi wasallam-, maka sebagian diantara kita ada yang menjulurkan ujung pakaian yang dikenakannya sebagai alas sujudnya karena panas yang sangat menyengat“.
Adapun hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban:
« أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ ، لاَ أَكُفُّ شَعَرًا وَلاَ ثَوْبًا »
“Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Saya diperintahkan bersujud dengan tujuh (anggota badan) dan aku tidak boleh merintanginya dengan rambut atau kain’ ” ,
maka terjemahan yang tepat adalah bukan merintangi tapi melipat. Jadi hadits Ibnu Hibban diatas bukanlah dalil yang melarang seseorang menutup dahinya dengan rambut, surban atau peci yang dikenakannya.
Wallahu a'lam.
Penulis: Ustadz M.Subhan Khadafi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com
Sumber : http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/fiqih-ibadah/bolehkah-dahi-terhalang-peci-ketika-shalat/
SIAPA SAJAKAH ULAMA YANG BERGELAR SYAIKHUL ISLAM ?
SIAPA SAJAKAH ULAMA YANG BERGELAR SYAIKHUL ISLAM ?
Bismillah,
Tidak sembarang ulama yang memperoleh gelar Syaikh al-Islam. Ulama yang memiliki ketinggian ilmu saja yang pantas menyandangnya.
Gelar Syaikh al-Islam biasanya diberikan oleh beberapa ulama kepada seorang ulama atas ketinggian ilmunya. Ada beberapa kriteria untuk dapat menyandangnya.
Ibnu Nashiruddin, dalam kitab Radd al-Wafir, mencatat beberapa kriteria tersebut. Pertama, seorang tokoh yang paham al-Qur’an dan as-Sunnah dengan perbedaan qira’ah dan asbab an-nuzul-nya. Kedua, menguasai bahasa Arab secara sempurna. Ketiga, menguasai masalah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) dalam Islam. Juga, ia adalah ulama yang menjaga ibadahnya, tawadhu, dan tak menganggap diri manusia maksum.
Tidak sembarang ulama yang memperoleh gelar Syaikh al-Islam. Ulama yang memiliki ketinggian ilmu saja yang pantas menyandangnya.
Gelar Syaikh al-Islam biasanya diberikan oleh beberapa ulama kepada seorang ulama atas ketinggian ilmunya. Ada beberapa kriteria untuk dapat menyandangnya.
Ibnu Nashiruddin, dalam kitab Radd al-Wafir, mencatat beberapa kriteria tersebut. Pertama, seorang tokoh yang paham al-Qur’an dan as-Sunnah dengan perbedaan qira’ah dan asbab an-nuzul-nya. Kedua, menguasai bahasa Arab secara sempurna. Ketiga, menguasai masalah ushul (pokok) dan furu’ (cabang) dalam Islam. Juga, ia adalah ulama yang menjaga ibadahnya, tawadhu, dan tak menganggap diri manusia maksum.
Walhasil, tak banyak ulama yang menyandang gelar tersebut. Berikut ulama yang bergelar Syaikh al-Islam.
1. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
Pemilik nama lengkapnya Asy-Syaikh Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali al-Maqdisi ini lahir di Nablusi, dekat Baitul Maqdis, Palestina, pada 541 Hijriah. Usia 10 tahun, ia sudah menghafal al-Qur`an.
Menginjak usia 20 tahun, Ibnu Qudamah, pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu kepada beberapa ulama, antara lain: Abu Zur’ah bin Thahir, Ahmad bin Muqarib, dan ulama perempuan Khadijah an-Nahrawaniyah. Merasa belum puas, ia lanjutkan perjalanan menuntut ilmu pada ulama di Damaskus dan Makkah.
Beberapa ulama, seperti Hafidz Dziya’ al-Maqdisi dan Hafidz al-Mizzi mengakui gelar Syaikh al-Islam pantas melekat pada Ibnu Qudamah al-Maqdisi.
Semasa hidupnya, Ibnu Qudamah telah menelurkan berbagai karya. Di antara nya al- Mughni (fiqih), al- I’tiqad (aqidah), ar- Raudhah, dan al-Burhan. Selain itu ia menulis biografi para ulama yang telah menjadi gurunya.
Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu, bertepatan dengan hari Ied pada 620 Hijriah.
2. Izzudin bin Abdissalam
Izzudin, lahir tahun 577 hijriyah. Ia berguru pada ulama ternama, seperti Hafidz Ibnu Asakir dan Saif al-Amidi.
Ia adalah ulama yang berani berkata haq di hadapan penguasa. Sikap beraninya ini membuat beberapa penguasa Mesir di waktu itu tidak mampu menentangnya, termasuk ketika Izzudin meminta agar mereka menyiapkan pasukan untuk menghadapi pasukan Tatar di Syam.
Beberapa karya yang pernah ditulisnya adalah al-Qawa’id al-Kubra, Majaz al-Qur’an, Tafsir al-Qur’an, Muhtashar Shahih Muslim, dan Al Fatawa al-Mishriyah.
Itulah makanya, Tajuddin as-Subki, Ibnu al-Imad, Tilmitsani, dan Imam as-Suyuthi memberikan gelar Syaikh al-Islam kepada Izzudin. Ia wafat tahun 660 H dan dimakamkan di Cairo, Mesir.
3. Imam Nawawi
Lahir di Nawa, sebuah desa yang berada di Propinsi Dar’an Suriah pada 631 H. Keluarganya sangat menghargai ilmu dien.
Di tahun 649 hijriyah, ia melakukan perjalanan ke Damaskus, Syria untuk mempelajari kitab Tanbih dan al-Muhadzab. Kitab rujukan dalam madzhab Syafi’i itu berhasil ia lahap dalam tempo 4,5 bulan. Dalam sehari ia menghadiri 12 majelis ilmu dalam berbagai macam disiplin ilmu.
Beliau juga termasuk ulama yang produktif, beberapa karya beliau antara lain, Syarah Shahih Muslim, Syarah Muhadzab, dan Riyadh as-Shalihin.
Banyak ulama yang mengakui Imam Nawawi sebagai Syaikh al-Islam. Di antaranya, Tajuddin As Subki dalam Thabaqat-nya, Imam Sakhawi dalam al-Ihtimam, serta Syaikh Abdul Ghani Daqqar dalam karyanya Imam an-Nawawi Syaikh al-Islam wa al-Muslimin.
Beliau wafat pada tahun 676 H dan dikebumikan di Nawa.
4. Taqiyuddin Ibnu Daqiq al-Ied
Lahir pada 625 hijriyah, berasal dari keluarga terpandang. Melalui ayahnya, Abu Hasan Ali bin Wahab yang juga seorang ulama ia mendalami fikih mazhab Syafi’i. Ia juga mempelajari hal yang sama kepada murid ayahnya, Al Baha’ al-Qufthi. Sedangkan, ilmu bahasa Arab ia berguru kepada Muhammad bin Fadh al-Mursi.
Semangatnya dalam menuntut ilmu begitu kuat. Taqiyuddin terbang ke Cairo dan berguru kepada Izzudin bin Abdissalam.
Ia pernah mengajar di Dar al-Hadits, Qahira. Banyak ulama yang mengakui ketinggian ilmunya. Al Adfawi pernah berkata, ”Tidak ragu lagi bahwa ia adalah seorang mujtahid, tak ada yang menyanggah, kecuali orang-orang yang keras kepala.”
Karya yang telah dihasilkan, di antaranya Ihkam al-Ahkam, Syarh Umdah al-Ahkam, al-Iqtirah (Musthalah Hadits), dan Syarh Muqadimah Mathruzi (ushul fikih).
Beberapa ulama telah menyebutnya sebagai Syaikh al-Islam, antara lain Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat-nya, Imam ad-Dzahabi dalam Tadzkirah al-Huffadz, dan Ibnu Hajar al-Haitami al-Maki. Taqiyuddin wafat pada 716 H.
5. Taqiyuddin Ibnu Taimiyah
Setelah pasukan Tatar menguasai Harran (kini berada di Turki), ia yang lahir di tahun 661 hijriyah, diajak ayahnya hijrah ke Damaskus. Di sana ia berguru kepada beberapa ulama, salah satunya Ibnu Abdu al-Qawi at-Thufi.
Penguasaan terhadap ilmu tidak diragukan lagi, selain menguasai masalah ushul dan furu’, ia juga seorang hafidz, faqih, dan mufassir. Tak heran pada umur 19 tahun beliau sudah berfatwa.
Guru dari Ibnu Qayim al-Jauziyah, dan Ibnu Katsir ini pernah membuat karya yang cukup fenomenal, Majmu’ah al- Fatawa, Jawab As Shahih, Iqtidha’ Sirath al-Mustaqim, dan Qawa’id Nuraniyah.
Para ulama yang menjulukinya sebagai Syaikh al-Islam antara lain, Imam Dzahabi, Ibnu Qayim al-Jauziyah, dan Hafidz al-Mizzi.
Ibnu Taimiyah Wafat pada 20 Dzulhijjah 728 H, ketika beliau dalam penjara Qal’ah Dimasyq yang disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnu Qayyim.
6. Taqiyuddin as-Subki
As Subki lahir di tahun 683 hijriyah. Ayahnya, Zainuddin adalah sekaligus gurunya itu adalah seorang hakim. Ia diboyong orang tuanya ke Mesir, untuk berguru kepada beberapa ulama, seperti Hafidz Dimyathi dan Syaikh al-Islam Ibnu Daqiq al-Ied.
Para ulama semasanya, seperti Al Baji, Ibnu Rif’ah, dan Dimyathi menjulukinya dengan Imam Muhaditsin, Imam Fuqaha, dan Imam Ushuliyin. Tajuddin as-Subki dan Hafidz al-Mizzi pun memberikan gelar Syaikh al-Islam.
Beberapa karyanya antara lain, Tafsir Durar an-Nadzim, Al Ibhaj Syarh Minhaj, dan Majmu’ Syarh al-Muhadzab.
Jasad as-Subki, yang wafat pada tahun 756 di Cairo ini diiringi ribuan umat Islam. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menandingi jumlah petakziyah Imam Ahmad bin Hanbal, kecuali jumlah petakziyah as-Subki.
7. Ibnu Hajar al-Atsqalani
Ia lahir dalam keadaan yatim pada tahun 733 hijriyah di Mesir. Di usia 9 tahun, beliau sudah mempu menghafal al-Qur’an, hafal al-’Umdah (kumpulan Hadits-Hadits hukum), Alfiyah Hadits Iraqi (ilmu Hadits).
Imam Syaukani menyebutkan bahwa guru-guru Ibnu Hajar adalah para pakar di bidang masing-masing, antara lain: Hafidz al-Iraqi (ahli Hadits), Ibnu Mulaqqin (ulama terbanyak berkarya), dan Al Bulqini (ahli fikih). Ia pun telah melakukan perjalanan ke Hijaz, Yaman, Syam, dan Makkah untuk mecari ilmu.
Guru dari Imam Sakhawi dan Imam Suyuthi ini menghasilkan karya fenomenal Fathu al-Bari, dalam waktu 25 tahun. Juga beberapa buku yang berhubungan dengan kedudukan periwayat Hadits, seperti Lisan al-Mizan dan Tahdzib at- Tahdzib.
Ulama yang menggelarinya dengan Syaikh al-Islam adalah Imam as Suyuthi. Imam Sakhawi pun mengarang buku khusus yang berjudul Jawahir ad Dhurar fi Tarjamah Syaikh al Islam Ibnu Hajar. Beliau wafat tahun 852 H di Mesir.
Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=79851919927&ref=n
LAGI, MENYOROT ESQ
LAGI, MENYOROT ESQ
Oleh : Ust. Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah
Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul ESQ Kecerdasan Emosi dan Spiritual yang ditulis oleh Ary Ginanjar Agustian.
Buku ini dikatakan oleh penulis di dalam kata pengantarnya akan membahas bagaimana cara membangun suatu prinsip hidup dan karakter, berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, sehingga akan diharapkan akan tercipta suatu kecerdasan emosi dan spiritual sekaligus langkah pelatihan yang sistematis dan jelas.
Akan tetapi, setelah kami telaah buku ini, ternyata di dalamnya terdapat banyak sekali hal-hal yang menyimpang dari agama Islam yang haq, agama yang dibawa oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassallam dan disampaikan kepada para sahabatnya rodliyallohu anhum dan kemudian disampaikan oleh para sahabatnya kepada generasi sesudah mereka. Karena itulah, insya Alloh di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan sebagian catatan-catatan terhadap buku ini sebagai nasihat untuk para pembaca buku ini dan kaum muslimin secara umum.
Penulis dan Penerbit Buku Ini
Buku ini memiliki judul lengkap Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, diterbitkan oleh Penerbit Arga Jakarta cetakan kedua puluh dua, November 2005 M.
Talbis Penulis
Penulis berkata di dalam hal. xxxviii–xl :
Mengutip pemikiran EQ (Emotional Quotient) milik Stephen R. Covey tentang Fabel Aesop…Kecerdasan spriritual (SQ), yang merupakan temuan terkini secara ilmiah, pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan oleh Zohar dan Marshall dalam SQ, Spiritual Quotient, The Ultimate Intelegence (London, 2000), dua di antaranya adalah: Pertama, riset ahli psikologi/syaraf, Michael Persinger pada awal 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California University yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia. Ini sudah built-in sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di jaringan syaraf dan otak … ESQ Model adalah software (isi) dari God Spot atau Spiritual Center secara transedental…
Meskipun keduanya berbeda, ternyata EQ dan SQ memiliki muatan yang sama-sama penting untuk dapat bersinergi antara satu dengan yang lain. Dan melalui perenungan yang panjang, akhirnya dengan izin Allah saya meminjam suara-suara hati milik-Nya untuk menggagas bentuk sinergi keduanya ke dalam ESQ (Emotional and Spititual Quotient).
Kami katakan: Penulis telah melakukan talbis (mencampuradukkan) Islam dengan pemikiran-pemikiran orang kafir, karena ESQ penemuannya adalah sinergi dari pemikiran EQ (Emotional Quotient) milik Stephen R. Covey dan SQ (Spiritual Quotient) yang pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dan didukung oleh V. S. Ramachandran dengan teori God-Spot-nya. Talbis (pencampuradukan) antara haq dan batil adalah warisan jelek orang-orang Yahudi, Alloh subhanahu wata’ala telah mencela mereka di dalam kitab-Nya: Dan janganlah kalian campur adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kalian sembunyikan yang haq itu sedang kalian mengetahui. (QS. al-Baqoroh [2]: 42)
Qotadah rohimahulloh berkata tentang tafsir ayat ini:
“Janganlah kalian campur adukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam, dalam keadaan kalian mengetahui bahwa agama Alloh yang haq adalah Islam dan bahwasanya agama Yahudi dan Nasrani yang kalian pegang sekarang ini adalah agama yang bid’ah bukan dari Alloh!” (Tafsir Ibnu Katsir 1/109)
Talbis (pencampuradukan) antara haq dan batil juga merupakan cara-cara ahli bid’ah dari masa ke masa, karena suatu bid’ah jika berupa kebatilan yang murni maka tidak akan mungkin diterima oleh manusia, bersegeralah setiap orang membantah dan mengingkarinya. Seandainya bid’ah itu kebenaran yang murni maka bukanlah merupakan bid’ah, melainkan adalah sunnah. Karena itu, bid’ah tersebar di kalangan manusia karena mengandung kebenaran dan kebatilan.
Suara Hati Sebagai Landasan Islam?!
Penulis berkata di dalam hlm. xxxix :
Kebenaran sejati, sebenarnya terletak pada suara hati yang bersumber dari spiritual center ini, yang tidak bisa ditipu oleh siapa pun, atau oleh apa pun, termasuk diri kita sendiri. Mata hati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak di hadapan mata…
Penulis juga berkata di dalam hlm. xlv :
Jadi, saya berani mengambil suatu kesimpulan bahwa agama Islam bisa dijadikan sebagai landasan pembangunan kecerdasan emosi dan spiritual, di mana suara hati adalah menjadi landasannya.
Penulis juga berkata di dalam hlm. liv:
Tidak perlu berpikir bahwa ini adalah buku dakwah atau buku agama, atau jangan berpikir bahwa buku ini akan mendoktrin anda tentang suatu agama. Pergunakan suara hati anda yang terdalam sebagai sumber kebenaran, yang merupakan karunia Tuhan.
Kami katakan: Demikianlah penulis menjadikan suara hati sebagai landasan Islam. Ini adalah metode agama Sufi yang sesat. Seorang tokoh Sufi, Abu Yazid al-Busthomi berkata kepada para ulama zamannya: “Kalian mengambil ilmu dari tulisan para ulama dari yang sudah mati dari yang sudah mati, sedangkan kami mengambil ilmu dari Dzat Yang Maha Hidup yang tidak pernah mati, kami katakan: Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Tuhanku!” (Thobaqoh Sya’roni 1/5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh membantah perkataan ini dengan mengatakan: “Adapun yang dinukil dari orang-orang tsiqoh dari Nabi shollallho alahi wassallam yang ma’shum maka dia adalah haq, seandainya bukan karena penukilan yang ma’shum maka sungguh kamu dan orang-orang yang semisalmu boleh jadi termasuk orang-orang musyrik dan boleh jadi termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani. Adapun yang datang kepadamu maka dari mana kamu tahu bahwa itu adalah wahyu dari Alloh dan dari mana kamu tahu bahwa itu bukan wahyu dari setan? Sedangkan wahyu ada dua: wahyu dari Alloh dan wahyu dari setan.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Sesungguhnya setan itu mewahyukan (membisikkan) kepada sekutu-sekutunya (dari manusia) agar mereka membantah kamu". [QS. al-An’am : 121].
Dan Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)". [QS. al-An’am: 112]
Dan Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? "[QS. asy-Syu’aro‘ : 221].” (Majmu’ Fatawa 13/73)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh juga berkata: “Di antara pokok-pokok yang disepakati di kalangan para sahabat dan para pengikut mereka di dalam kebaikan bahwasanya tidak diterima dari siapa pun yang menentang al-Qur‘an dengan pemikirannya atau perasaannya atau akalnya atau qiyasnya … tidak ada dari salaf yang mengatakan bahwa dia memiliki perasaan atau pembicaraan atau mukasyafah yang menyelisihi al-Qur‘an dan al-Hadits.” (Majmu’ Fatawa 13/28 dan untuk bahasan lebih lanjut di dalam masalah ini silakan merujuk kepada kitab al-Muqoddimatul ’Asyr fi Naqdhi Ushul Shufiyyatil ’Ashr oleh Syaikh Abdul Aziz bin Royyis ar-Royyis)
Adapun Islam maka sumber pengambilannya adalah wahyu yang diturunkan Alloh kepada NabiNya yang berupa al-Qur‘an dan as-Sunnah yang shohihah—dengan pemahaman para sahabat— kemudian Ijma’ yang mu’tabar dan Qiyas yang shohih.
Al-Imam asy-Syafi’i rohimahulloh berkata: “Tidak boleh orang yang memiliki kemampuan sebagai hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dari arah kabar yang lazim yaitu al-Kitab kemudian as-Sunnah, atau yang disepakati oleh ahli ilmu (ijma’) atau qiyas (analogi) atas sebagian hal ini.” (al-Umm 7/298)
Metode Rasionalis Penulis
Buku ini secara global adalah kesimpulan-kesimpulan “olah akal” penulis di dalam menafsirkan dalil-dalil agama. Demikian juga, penulis begitu gandrung dengan teori-teori ilmu pengetahuan masa kini sehingga dia seret ayat-ayat al-Qur‘an untuk bisa berjalan di belakang teori-teori ilmu pengetahuan tersebut. Dari awal sampai akhir buku ini pembaca akan banyak dikejutkan dengan tafsir-tafsir nyeleneh (ganjil) dari penulis yang menyelisihi al-Qur‘an, Sunnah, dan Ijma’.
Maka penulis telah terjatuh ke dalam kesalahan yang fatal di dalam metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‘an. Sungguh, merupakan hal yang dimaklumi oleh setiap orang yang memiliki perhatian terhadap ilmu tafsir bahwa metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur‘an adalah al-Qur‘an ditafsirkan dengan al-Qur‘an, karena yang global di suatu ayat diperinci di ayat lain, dan jika ada yang diringkas dalam suatu ayat maka dijabarkan di ayat yang lainnya. Jika hal itu menyulitkan maka wajib dicari di dalam sunnah Rosululloh sholallahhu ‘alahi wassallam, karena Sunnah adalah syarah (penjelas) bagi al-Qur‘andan penjelas dalam al-Qur‘an. Dan jika kita tidak menjumpai tafsir di dalam Kitab dan Sunnah maka kita kembalikan hal itu kepada perkataan para sahabat f karena mereka lebih tahu tentang hal itu. (Lihat Muqoddimah fi Ushuli Tafsir hlm. 93)
Adapun tafsir dengan sekadar akal manusia— apalagi dengan teori-teori orang-orang kafir— maka hukumnya adalah haram sebagaimana dalam atsar yang shohih dari Ibnu Abbas rodliyallohu anhuma: “Barang siapa yang berkata tentang al-Qur‘an dengan akalnya atau dengan tanpa ilmu maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/10 cet. Darul Fikr)
Di antara contoh-contoh penafsiran rasionalistik yang dilakukan penulis adalah :
1. Di dalam hlm. 10 dia menafsirkan ayat 9 dari Surat as-Sajdah:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya.
Penulis berkata:
Artinya sifat-sifat mulia itu juga ditiupkan ke dalam jiwa manusia. Maksud contoh-contoh yang dikemukakan di atas adalah bahwa manusia sebenarnya memiliki suara hati yang sama. Itulah yang disebut God Spot atau fitrah.
2. Di dalam hlm. 11 penulis membawakan ayat 172 dari Surat al-A’rof:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”
Penulis berkata:
Kita sering mengangguk-angguk sebagai tanda pengakuan, disadari atau tanpa disadari. Itulah makna dan bukti dari pengakuan manusia, sesuai dengan perjanjian jiwa antara manusia dan Tuhan, sebelum manusia dilahirkan. Ketika itu jiwa manusia menjawab dan mengaku, “Betul Engkau Tuhan kami.” Jiwa manusia mengangguk. Inilah sebuah anggukan universal.
3. Penulis berkata di dalam hlm. 46 :
Ucapan Subhanallah, Maha Suci Allah, harus diterapkan untuk membangun kekuatan pikiran bawah sadar, sehingga akan mendarah daging di dalam diri kita menjadi suatu kekuatan, itulah yang disebut “Repetitive Magic Power” yang akan menghilangkan pengaruh pikiran-pikiran buruk, paradigma, dan ketujuh belenggu di atas, yang membuat manusia menjadi buta hati, tidak peka, atau memiliki kecerdasan hati yang minim. Repetitive Magic Power adalah dzikir, dan bertasbih.
Mengingkari Mukjizat Nabi
Penulis berkata di dalam hlm. 100 :
Menurut ahli sejarah, Muhammad Husein Haikal bahwa: “Perikehidupan Muhammad sifatnya manusia semata-mata dan bersifat perikemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.” Itulah tanda bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan nabi penutup, atau yang terakhir, yang begitu mengandalkan logika dan suara hati, bukan mukjizat-mukjizat ajaib semata yang tidak bisa diterima oleh akal sehat saat ini.
Kami katakan: Penulis telah mengingkari mukjizat dan menganggapnya tidak dapat diterima oleh akal dan tidak bisa diterima oleh akal sehat saat ini. Mengingkari mukjizat adalah kufur dengan ijma’ para ulama, karena berarti mengingkari nash-nash al-Qur‘an dan Hadits Mutawatir yang menetapkan mukjizat bagi para Nabi ’alaihimushsholatu wassalam. Begitu banyak ayat-ayat Alloh dan hadits-hadits shohih yang menjelaskan mukjizat para nabi seperti air bah yang diturunkan pada masa Nabi Nuh alahi salam, unta pada Tsamud kaum Nabi Sholih alahi salam, tongkat Nabi Musa alahi salam, Nabi Isa alahi salam yang menghidupkan orang yang sudah mati, Nabi Muhammad sholallahhu ‘alahi wassallam yang membelah bulan, dan banyak lagi kejadian-kejadian luar biasa yang ditampakkan oleh Alloh sebagai bukti-bukti kebenaran para nabi dan risalah yang mereka bawa.
Alloh subhanahu wata’ala telah mengancam siapa saja yang mengingkari ayat-ayat-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [QS. an-Nisa‘: 56].
Al-Imam Ibnu Hazm rohimahulloh berkata: “Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang beriman kepada Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya dan semua yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam dari apa-apa yang dinukil darinya dengan penukilan secara keseluruhan, dan dia ragu di dalam tauhid atau di dalam kenabian atau pada Muhammad sholallahhu ‘alahi wassallam atau di dalam satu huruf dari apa yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam atau di dalam syari’at yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam dari apa-apa yang dinukil darinya dengan penukilan secara keseluruhan, maka sesungguhnya barang siapa yang mengingkari sesuatu dari yang telah kami sebutkan atau ragu di dalam sesuatu darinya dan mati atas hal itu maka dia kafir musyrik kekal di neraka selamanya.” (Marotibul Ijma’ hlm. 177)
Kesimpulan dan Penutup
Dari uraian di atas maka kami simpulkan bahwa:
1. Penulis telah melakukan talbis (mencampuradukkan) Islam dengan pemikiran-pemikiran orang kafir.
2. Penulis menjadikan suara hati sebagai landasan Islam, padahal sebenarnya ini adalah metode agama Sufi yang sesat.
3. Penulis memakai metode tafsir rasionalis.
4. Penulis mengingkari mukjizat para nabi.
Inilah yang bisa kami sampaikan dari telaah ringkas terhadap buku ini dan semoga Alloh selalu memberikan taufiq kepada kita semua agar bisa selalu menempuh jalan yang lurus di dalam semua segi kehidupan. Amiin.
Wallohu A’lamu bishshowab
Sumber : http://www.majalahalfurqon.com/index.php/kitab/146-esq
http://www.abuayaz.co.cc/2011/05/lagi-menyorot-esq.html
Telah sampai kepada kami sebuah buku yang berjudul ESQ Kecerdasan Emosi dan Spiritual yang ditulis oleh Ary Ginanjar Agustian.
Buku ini dikatakan oleh penulis di dalam kata pengantarnya akan membahas bagaimana cara membangun suatu prinsip hidup dan karakter, berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam, sehingga akan diharapkan akan tercipta suatu kecerdasan emosi dan spiritual sekaligus langkah pelatihan yang sistematis dan jelas.
Akan tetapi, setelah kami telaah buku ini, ternyata di dalamnya terdapat banyak sekali hal-hal yang menyimpang dari agama Islam yang haq, agama yang dibawa oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassallam dan disampaikan kepada para sahabatnya rodliyallohu anhum dan kemudian disampaikan oleh para sahabatnya kepada generasi sesudah mereka. Karena itulah, insya Alloh di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan sebagian catatan-catatan terhadap buku ini sebagai nasihat untuk para pembaca buku ini dan kaum muslimin secara umum.
Penulis dan Penerbit Buku Ini
Buku ini memiliki judul lengkap Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, diterbitkan oleh Penerbit Arga Jakarta cetakan kedua puluh dua, November 2005 M.
Talbis Penulis
Penulis berkata di dalam hal. xxxviii–xl :
Mengutip pemikiran EQ (Emotional Quotient) milik Stephen R. Covey tentang Fabel Aesop…Kecerdasan spriritual (SQ), yang merupakan temuan terkini secara ilmiah, pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui riset yang sangat komprehensif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual yang dipaparkan oleh Zohar dan Marshall dalam SQ, Spiritual Quotient, The Ultimate Intelegence (London, 2000), dua di antaranya adalah: Pertama, riset ahli psikologi/syaraf, Michael Persinger pada awal 1990-an, dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California University yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia. Ini sudah built-in sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di jaringan syaraf dan otak … ESQ Model adalah software (isi) dari God Spot atau Spiritual Center secara transedental…
Meskipun keduanya berbeda, ternyata EQ dan SQ memiliki muatan yang sama-sama penting untuk dapat bersinergi antara satu dengan yang lain. Dan melalui perenungan yang panjang, akhirnya dengan izin Allah saya meminjam suara-suara hati milik-Nya untuk menggagas bentuk sinergi keduanya ke dalam ESQ (Emotional and Spititual Quotient).
Kami katakan: Penulis telah melakukan talbis (mencampuradukkan) Islam dengan pemikiran-pemikiran orang kafir, karena ESQ penemuannya adalah sinergi dari pemikiran EQ (Emotional Quotient) milik Stephen R. Covey dan SQ (Spiritual Quotient) yang pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dan didukung oleh V. S. Ramachandran dengan teori God-Spot-nya. Talbis (pencampuradukan) antara haq dan batil adalah warisan jelek orang-orang Yahudi, Alloh subhanahu wata’ala telah mencela mereka di dalam kitab-Nya: Dan janganlah kalian campur adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kalian sembunyikan yang haq itu sedang kalian mengetahui. (QS. al-Baqoroh [2]: 42)
Qotadah rohimahulloh berkata tentang tafsir ayat ini:
“Janganlah kalian campur adukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam, dalam keadaan kalian mengetahui bahwa agama Alloh yang haq adalah Islam dan bahwasanya agama Yahudi dan Nasrani yang kalian pegang sekarang ini adalah agama yang bid’ah bukan dari Alloh!” (Tafsir Ibnu Katsir 1/109)
Talbis (pencampuradukan) antara haq dan batil juga merupakan cara-cara ahli bid’ah dari masa ke masa, karena suatu bid’ah jika berupa kebatilan yang murni maka tidak akan mungkin diterima oleh manusia, bersegeralah setiap orang membantah dan mengingkarinya. Seandainya bid’ah itu kebenaran yang murni maka bukanlah merupakan bid’ah, melainkan adalah sunnah. Karena itu, bid’ah tersebar di kalangan manusia karena mengandung kebenaran dan kebatilan.
Suara Hati Sebagai Landasan Islam?!
Penulis berkata di dalam hlm. xxxix :
Kebenaran sejati, sebenarnya terletak pada suara hati yang bersumber dari spiritual center ini, yang tidak bisa ditipu oleh siapa pun, atau oleh apa pun, termasuk diri kita sendiri. Mata hati ini dapat mengungkap kebenaran hakiki yang tak tampak di hadapan mata…
Penulis juga berkata di dalam hlm. xlv :
Jadi, saya berani mengambil suatu kesimpulan bahwa agama Islam bisa dijadikan sebagai landasan pembangunan kecerdasan emosi dan spiritual, di mana suara hati adalah menjadi landasannya.
Penulis juga berkata di dalam hlm. liv:
Tidak perlu berpikir bahwa ini adalah buku dakwah atau buku agama, atau jangan berpikir bahwa buku ini akan mendoktrin anda tentang suatu agama. Pergunakan suara hati anda yang terdalam sebagai sumber kebenaran, yang merupakan karunia Tuhan.
Kami katakan: Demikianlah penulis menjadikan suara hati sebagai landasan Islam. Ini adalah metode agama Sufi yang sesat. Seorang tokoh Sufi, Abu Yazid al-Busthomi berkata kepada para ulama zamannya: “Kalian mengambil ilmu dari tulisan para ulama dari yang sudah mati dari yang sudah mati, sedangkan kami mengambil ilmu dari Dzat Yang Maha Hidup yang tidak pernah mati, kami katakan: Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Tuhanku!” (Thobaqoh Sya’roni 1/5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh membantah perkataan ini dengan mengatakan: “Adapun yang dinukil dari orang-orang tsiqoh dari Nabi shollallho alahi wassallam yang ma’shum maka dia adalah haq, seandainya bukan karena penukilan yang ma’shum maka sungguh kamu dan orang-orang yang semisalmu boleh jadi termasuk orang-orang musyrik dan boleh jadi termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani. Adapun yang datang kepadamu maka dari mana kamu tahu bahwa itu adalah wahyu dari Alloh dan dari mana kamu tahu bahwa itu bukan wahyu dari setan? Sedangkan wahyu ada dua: wahyu dari Alloh dan wahyu dari setan.
Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Sesungguhnya setan itu mewahyukan (membisikkan) kepada sekutu-sekutunya (dari manusia) agar mereka membantah kamu". [QS. al-An’am : 121].
Dan Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka mewahyukan (membisikkan) kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)". [QS. al-An’am: 112]
Dan Alloh subhanahu wata’ala berfirman:
"Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? "[QS. asy-Syu’aro‘ : 221].” (Majmu’ Fatawa 13/73)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh juga berkata: “Di antara pokok-pokok yang disepakati di kalangan para sahabat dan para pengikut mereka di dalam kebaikan bahwasanya tidak diterima dari siapa pun yang menentang al-Qur‘an dengan pemikirannya atau perasaannya atau akalnya atau qiyasnya … tidak ada dari salaf yang mengatakan bahwa dia memiliki perasaan atau pembicaraan atau mukasyafah yang menyelisihi al-Qur‘an dan al-Hadits.” (Majmu’ Fatawa 13/28 dan untuk bahasan lebih lanjut di dalam masalah ini silakan merujuk kepada kitab al-Muqoddimatul ’Asyr fi Naqdhi Ushul Shufiyyatil ’Ashr oleh Syaikh Abdul Aziz bin Royyis ar-Royyis)
Adapun Islam maka sumber pengambilannya adalah wahyu yang diturunkan Alloh kepada NabiNya yang berupa al-Qur‘an dan as-Sunnah yang shohihah—dengan pemahaman para sahabat— kemudian Ijma’ yang mu’tabar dan Qiyas yang shohih.
Al-Imam asy-Syafi’i rohimahulloh berkata: “Tidak boleh orang yang memiliki kemampuan sebagai hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dari arah kabar yang lazim yaitu al-Kitab kemudian as-Sunnah, atau yang disepakati oleh ahli ilmu (ijma’) atau qiyas (analogi) atas sebagian hal ini.” (al-Umm 7/298)
Metode Rasionalis Penulis
Buku ini secara global adalah kesimpulan-kesimpulan “olah akal” penulis di dalam menafsirkan dalil-dalil agama. Demikian juga, penulis begitu gandrung dengan teori-teori ilmu pengetahuan masa kini sehingga dia seret ayat-ayat al-Qur‘an untuk bisa berjalan di belakang teori-teori ilmu pengetahuan tersebut. Dari awal sampai akhir buku ini pembaca akan banyak dikejutkan dengan tafsir-tafsir nyeleneh (ganjil) dari penulis yang menyelisihi al-Qur‘an, Sunnah, dan Ijma’.
Maka penulis telah terjatuh ke dalam kesalahan yang fatal di dalam metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‘an. Sungguh, merupakan hal yang dimaklumi oleh setiap orang yang memiliki perhatian terhadap ilmu tafsir bahwa metode terbaik dalam menafsirkan al-Qur‘an adalah al-Qur‘an ditafsirkan dengan al-Qur‘an, karena yang global di suatu ayat diperinci di ayat lain, dan jika ada yang diringkas dalam suatu ayat maka dijabarkan di ayat yang lainnya. Jika hal itu menyulitkan maka wajib dicari di dalam sunnah Rosululloh sholallahhu ‘alahi wassallam, karena Sunnah adalah syarah (penjelas) bagi al-Qur‘andan penjelas dalam al-Qur‘an. Dan jika kita tidak menjumpai tafsir di dalam Kitab dan Sunnah maka kita kembalikan hal itu kepada perkataan para sahabat f karena mereka lebih tahu tentang hal itu. (Lihat Muqoddimah fi Ushuli Tafsir hlm. 93)
Adapun tafsir dengan sekadar akal manusia— apalagi dengan teori-teori orang-orang kafir— maka hukumnya adalah haram sebagaimana dalam atsar yang shohih dari Ibnu Abbas rodliyallohu anhuma: “Barang siapa yang berkata tentang al-Qur‘an dengan akalnya atau dengan tanpa ilmu maka hendaknya mengambil tempat duduknya di neraka.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/10 cet. Darul Fikr)
Di antara contoh-contoh penafsiran rasionalistik yang dilakukan penulis adalah :
1. Di dalam hlm. 10 dia menafsirkan ayat 9 dari Surat as-Sajdah:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya.
Penulis berkata:
Artinya sifat-sifat mulia itu juga ditiupkan ke dalam jiwa manusia. Maksud contoh-contoh yang dikemukakan di atas adalah bahwa manusia sebenarnya memiliki suara hati yang sama. Itulah yang disebut God Spot atau fitrah.
2. Di dalam hlm. 11 penulis membawakan ayat 172 dari Surat al-A’rof:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”
Penulis berkata:
Kita sering mengangguk-angguk sebagai tanda pengakuan, disadari atau tanpa disadari. Itulah makna dan bukti dari pengakuan manusia, sesuai dengan perjanjian jiwa antara manusia dan Tuhan, sebelum manusia dilahirkan. Ketika itu jiwa manusia menjawab dan mengaku, “Betul Engkau Tuhan kami.” Jiwa manusia mengangguk. Inilah sebuah anggukan universal.
3. Penulis berkata di dalam hlm. 46 :
Ucapan Subhanallah, Maha Suci Allah, harus diterapkan untuk membangun kekuatan pikiran bawah sadar, sehingga akan mendarah daging di dalam diri kita menjadi suatu kekuatan, itulah yang disebut “Repetitive Magic Power” yang akan menghilangkan pengaruh pikiran-pikiran buruk, paradigma, dan ketujuh belenggu di atas, yang membuat manusia menjadi buta hati, tidak peka, atau memiliki kecerdasan hati yang minim. Repetitive Magic Power adalah dzikir, dan bertasbih.
Mengingkari Mukjizat Nabi
Penulis berkata di dalam hlm. 100 :
Menurut ahli sejarah, Muhammad Husein Haikal bahwa: “Perikehidupan Muhammad sifatnya manusia semata-mata dan bersifat perikemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat kenabiannya itu tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang dilakukan oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib.” Itulah tanda bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan nabi penutup, atau yang terakhir, yang begitu mengandalkan logika dan suara hati, bukan mukjizat-mukjizat ajaib semata yang tidak bisa diterima oleh akal sehat saat ini.
Kami katakan: Penulis telah mengingkari mukjizat dan menganggapnya tidak dapat diterima oleh akal dan tidak bisa diterima oleh akal sehat saat ini. Mengingkari mukjizat adalah kufur dengan ijma’ para ulama, karena berarti mengingkari nash-nash al-Qur‘an dan Hadits Mutawatir yang menetapkan mukjizat bagi para Nabi ’alaihimushsholatu wassalam. Begitu banyak ayat-ayat Alloh dan hadits-hadits shohih yang menjelaskan mukjizat para nabi seperti air bah yang diturunkan pada masa Nabi Nuh alahi salam, unta pada Tsamud kaum Nabi Sholih alahi salam, tongkat Nabi Musa alahi salam, Nabi Isa alahi salam yang menghidupkan orang yang sudah mati, Nabi Muhammad sholallahhu ‘alahi wassallam yang membelah bulan, dan banyak lagi kejadian-kejadian luar biasa yang ditampakkan oleh Alloh sebagai bukti-bukti kebenaran para nabi dan risalah yang mereka bawa.
Alloh subhanahu wata’ala telah mengancam siapa saja yang mengingkari ayat-ayat-Nya:
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [QS. an-Nisa‘: 56].
Al-Imam Ibnu Hazm rohimahulloh berkata: “Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang beriman kepada Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya dan semua yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam dari apa-apa yang dinukil darinya dengan penukilan secara keseluruhan, dan dia ragu di dalam tauhid atau di dalam kenabian atau pada Muhammad sholallahhu ‘alahi wassallam atau di dalam satu huruf dari apa yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam atau di dalam syari’at yang dibawa oleh Nabi sholallahhu ‘alahi wassallam dari apa-apa yang dinukil darinya dengan penukilan secara keseluruhan, maka sesungguhnya barang siapa yang mengingkari sesuatu dari yang telah kami sebutkan atau ragu di dalam sesuatu darinya dan mati atas hal itu maka dia kafir musyrik kekal di neraka selamanya.” (Marotibul Ijma’ hlm. 177)
Kesimpulan dan Penutup
Dari uraian di atas maka kami simpulkan bahwa:
1. Penulis telah melakukan talbis (mencampuradukkan) Islam dengan pemikiran-pemikiran orang kafir.
2. Penulis menjadikan suara hati sebagai landasan Islam, padahal sebenarnya ini adalah metode agama Sufi yang sesat.
3. Penulis memakai metode tafsir rasionalis.
4. Penulis mengingkari mukjizat para nabi.
Inilah yang bisa kami sampaikan dari telaah ringkas terhadap buku ini dan semoga Alloh selalu memberikan taufiq kepada kita semua agar bisa selalu menempuh jalan yang lurus di dalam semua segi kehidupan. Amiin.
Wallohu A’lamu bishshowab
Sumber : http://www.majalahalfurqon.com/index.php/kitab/146-esq
Subscribe to:
Posts (Atom)