Friday, June 17, 2011

TANYA JAWAB SAFAR

Dalam kondisi safar atau bukan ?

Assalamu`alaikum warohmatullohi wabarokaatuh,
Ustadz Dzulqornain semoga Allah menjaga anda,
Saya ingin bertanya tentang beberapa hal yang juga hal ini sangat penting bagi kami (para karyawan perusahaan) dengan kondisi sebagai berikut :

1. Kami diberikan fasilitas perusahaan berupa bus karyawan yang setiap hari antar jemput dari pool bus ke perusahaan tempat kami bekerja.
2. Jarak dari pool bus ke perusahaan tempat kami bekerja lebih kurang 65 KM ditempuh lebih kurang 1,5 jam sekali perjalanan.
3. Perjalanan ini kami lakukan setiap hari selama hari kerja dari Senin sampai dengan Jum`at dan berangkat dari jam 05.20 (ba`da shubuh) dan pulang kembali sampai di pool bus jam 19.10. Bagi karyawan yang rumahnya dekat pool mereka ini langsung pulang ke rumahnya, dan bagi yang jauh mereka sholat mangrib dulu di musholla pool bus tersebut.
4. Jumlah bus yang kami diberikan fasilitas atasnya ada 3 unit, dimana 2 unit bus tidak mau berhenti saat tibanya sholat maghrib di perjalanan dan 1 bus mau berhenti saat tiba sholat maghrib di perjalanan.  Kami sebenarnya ingin pindah di bus yang 1 tersebut akan tetapi jumlah penumpang yang ada di bus 1 ini sudah penuh quotanya.

Pertanyaan yang kami ajukan kepada ustadz adalah  :

1. Apakah kondisi kami tersebut dapat dikatakan sebagai musafir (safar)  ?
2. Apakah kami diperbolehkan menjama` sholat maghrib dengan sholat Isyaa` sebab sopir bus yang kami bersamanya, dia ini tidak mau berhenti untuk sholat maghrib di jalan, dengan alasan di dalam bus kami ini juga ada karyawan yang tidak beragama Islam, sementara sopir dan kondektur bus tersebut adalah seorang muslim. Bagaimnakah kami semestinya beramal dengan ilmu yang benar dalam kondisi tersebut  ?
3. Jika misalnya kami tidak boleh menjama` sholat, beberapa teman-teman muslim yang lainnya sholat maghribnya sering dilakukan setelah sampai di pool  bus dan dalam keadaan waktu sudah mendekati Isyaa` (dipenghujung waktu Isyaa`).  Apakah kondisi ini mendapatkan rukhshoh (keringanan) dan dikatakan sebagai keadaan yang darurot  ?

Kami sangat mengharapkan penjelasan dan nashihat  ustadz akan masalah ini sesegera mungkin sebab kami mewakili bebrapa rekan kerja sangat memerlukan kejelasan masalah tersebut dengan disertai dalil-dalil yang shohih yang bersumber dari Qur`an dan Sunnah.  Atas penjelesan yang ustadz berikan semoga Allah Ta`ala memberikan keluasan ilmu kepada anda dan memberikan keberkahan atas ilmu tersebut.  Dan kami ucapkan Jazakalloh khairan.
Wassalamu`alaikum warohmatullohi wabarokaatuh,
Soemardi

Jawaban Al-Ustadz Dzulqornain Abu Muhammad

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Kalau jarak 65 km yang disebutkan adalah berada di kota lain dan telah lazim di tempat kebiasaan manusia di tempat antum bahwa hal tersebut tergolong safar, maka antum terhitung musafir, walaupun berbolak-balik ke sana  setiap harinya.

Bila jarak tersebut masih dalam hitungan kota atau belum terhitung jarak safar dalam kebiasaan manusia di tempat antum, maka antum tidak terhitung musafir dan wajib sholat pada waktunya sesuai dengan kemampuan.
Wallahu A’lam

* * *

Antara Depok dan Jakarta, Safarkah?

Bismillaah, assalaamu ‘alaikum..
Mau tanya, apakah menurut keumuman masyarakat jakarta perjalanan dari Depok menuju Jakarta termasuk safar atau tidak..? Secara administrasi kota, Depok dan Jakarta berbeda propinsi, namun secara letak kota, ngak kerasa sebagai kota yg berbeda ketika melintasinya. .

Atas penjelasan ikhwah wa asatidz saya ucapkan jazaakumulloohu khoiron…

Jawaban Al-Ustadz Abu Zakariya Abdurrahman Rizki al-Makassari

Bismillahirrahmanirrahim,
Terdapat beberapa keterangan dari hadits berkaitan dengan safar/perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  keluar kota Madinah hingga beliau melakukan shalat qashar. Baik pada penyebutan jarak yang berbeda-beda, maupun waktu/lama perjalanan tersebut.

Hal mana juga menyebabkan banyaknya riwayat yang berbeda-beda, baik dari sahabat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga ulama tabi’in, berkaitan dengan jarak safar. Didalam al-Muhalla, Imam Ibnu Hazm rahimahullah berpanjang lebar menyebutkan atsar-atsar tersebut.

Pendapat yang shahih -insya Allah- berkaitan dengan jarak diperbolehkannya safar didasarkan kembali kepada keumuman dan kebiasaan masyarakat setempat. Apakah orang tersebut telah dianggap melakukan suatu perjalanan safar, dengan adanya bekal dan persiapan yang ia bawa -sebagaimana terdapat pada atsar Utsman bin Affan-, ataukah juga kondisi/keadaan orang tersebut dalam keumuman pandangan masyarakat -apakah dikategorikan musafir atau tidak-.

Adapun hadits-hadits safar/perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan jarak yang berbeda-beda, hanyalah menunjukkan pembolehan shalat qashar -dan juga ifthaar/berbuka puasa- pada jarak tersebut. Dan tidak menunjukkan pengkhususan jarak tertentu. Wallahu a’lam bish-shawab.
Abu Zakariya al-Makassari

VILLANI II – Bekasi

* * *

Termasuk Safar atau Bukan?

Assalamu’alaikum,
Ustadz Dzulqornain hafidzokalloh, jika seseorang yang mukim di Jakarta melakukan perjalanan ke salah satu pulau di kepulauan seribu yang berjarak kurang lebih 86 km dari pantai utara Jakarta, apakah bisa dikategorikan sebagai safar? mengingat kepulauan seribu masih termasuk propinsi DKI Jakarta.
Jazakumulloh khoiron,
Abu Hammad

Jawaban Al-Ustadz Dzulqornain Abu Muhammad

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Suatu perjalanan dikatakan safar atau tidak, itu kembali kepada Al-’Urf (kebiasaan, hal yang dimaklumi) di tempat tersebut. Tapi perkira saya bahwa jarak yang sedemikian rupa sudah terhitung ke dalam jarak safar.
Wallahu A’lam

* * *

Tentang Qashar Sholat Ketika Safar

Bismillah…
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu

Ustadz ana ingin bertanya
Ana dan keluarga sekarang ini sedang dalam perantauan (Sulawesi) dan masih mempunyai kampung halaman ditanah Jawa.
Sampai saat ini ana dan keluarga sudah hampir 4 tahun diperantauan tersebut karena tugas.
Kadang hampir setiap 6 bulan atau 1 tahun ana ambil cuti 1 atau 2 minggu untuk pulang kampung.
Yang ana tanyakan:
1. Bagaimanakah sholat ana apakah qoshor sampai suatu waktu tertentu selama diperantauan ataukah ada ketentuan lain ?
2. Bagaimanakah jika ana pulang kampung untuk cuti selama 1 atau 2 minggu dan kembali lagi ke perantauan, apakah bisa dikatakan qoshor ?
3. Apakah bisa disebut sudah bermukim tetap jika ana hanya sekedar investasi sebidang tanah di tempat perantauan tersebut..?
Jazakumullohu khoiran wa Barakallohu fiik
Abu Fadhl Mulyana

Jawaban Al-Ustadz Dzulqornain Abu Muhammad

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
1. Seorang yang memiliki dua tempat tinggal, terhitung mukim pada keduanya. Yang dianggap safar hanyalah perjalanan antara keduanya.
2. Kalau seorang musafir turun ke suatu tempat, maka tidak boleh meng-qoshsar kecuali 4 hari. Demikian fatwa banyak ulama di masa ini. Dan pendapat ini insya Allah lebih berhati-hati.
Wallahu A’lam

* * *

Shalat Berjama’ah Ketika Safar

Assalamu’alaikum warahmatulllahi wabarakatuh,
Saya ingin menanyakan beberapa hal terkait dengan shalat pada saat  safar yang sering saya temukan:

1. Apakah pada saat safar untuk laki-laki masih dikenakan kewajiban sholat berjamaah di masjid pada awal waktu, mengingat dalam perjalanan/safar yang agak jauh, meskipun dengan membawa mobil sendiri, sulit untuk bisa mendatangi masjid tepat atau menjelang pada waktu sholat, karena kondisi perjalanan yang tidak dapat dipastikan dan tidak tahu secara persis di mana saja masjid bisa ditemukan.

Kalau dipaksakan untuk tetap sholat berjamaah bersama imam mukim di waktu sholat, dapat menghambat perjalanan yang bisa dirasakan, kalau misal menunggu sampai 1 jam atau lebih waktu sholat (mengingat jarak saat menemukan suatu masjid dengan masjid lain saat safar, bisa saja 1 jam atau lebih).

2. Bilamana berjamaah sesama safar, apakah masih afdol untuk dilakukan di masjid, ataukah justru lebih afdol tidak di masjid, mengingat di masjid pada umumnya ada imam tetapnya atau imam atau marbot yang ditunjuk, sementara ada yang mengatakan makruh mengadakan jamaah ke-2 di masjid seperti ini.

3. Bilamana akan menjama’ sholat pada saat safar sendirian, katakanlah kita sholat pertama berjamaah bersama imam mukim (otomatis tidak qoshor), kemudian kita jama’ sholat berikutnya, maka adakah cara untuk tetap bisa mendapatkan pahala jamaah pada shalat yang dijama’ tersebut, apakah kita bisa sholat yang dijama’ tersebut di belakang orang yang melaksanakan sholat sunnah atau sholat apa pun?

Bila demikian, apakah niat diqoshor ataukan tidak, karena kita tidak tahu siapa yang dijadikan imam tersebut (mukim atau safar), dan kalaupun dia safar, pada umumnya orang awam tidak selalu mengqoshor sholat. Dari cara 1, 2, 3, manakah yang lebih afdol pada saat terjadi kesulitan dalam melaksanakannya?
Jazakallah khoiron atas pencerahannya.
Wassalamu’alaikum warahmatulllahi wabarakatuh,
Ervin L

Jawaban Al-Ustadz Dzulqornain Abu Muhammad

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Al-Akh Ervin -semoga dirahmati Allah-, jawaban pertanyaan antum -dengan memohon taufiq dari Allah- adalah sebagai berikut:

1. Bagi seorang musafir yang sedang berjalan ada keringanan untuk tidak menghadiri sholat berjama’ah sebab keringanan-keringanan syari’at bagi musafir asalnya untuk hal ini. Dengan selalu mengingat bahwa sholat berjama’ah itu lebih afdhal.

2. Pembicaraan tentang jama’ah kedua yang dianggap makruh oleh sebagian ulama -walaupun yang terkuatnya menurut kebanyakan ulama dahulu dan sekarang adalah bolehnya- adalah jama’ah kedua untuk sholat wajib_ itu bukan untuk sholat yang dijamak dengannya. Dalil-dalil tentang keutamaan sholat berjama’ah dan pelaksaannya di masjid tetap berlaku padanya.

3.Insya Allah boleh saja. Karena imam dan makmum tidak harus sama niatnya. Dan tidak ada masalah dengan imam yang tidak mengqoshar. Tidak ada perlunya membicarakan tentang bagaimana niatnya bagi seorang musafir yang menjamak karena itu perbicaraan pada hal yang pasti terjadi dan telah ada.
Wallahu A’lam

* * *

Puasa Sunnah Ketika  Safar

Bismillah,
Assalamu’alaikum warohmatulloh wabarokaatuh
Kepada Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi yang semoga Allohu Ta’aala senantiasa menjaganya dan menjaga kita istiqomah diatas Al Haq.

Ana ada pertanyaan sebagai berikut:

“Bagaimana yang afdhol bagi orang yang ingin bersafar bersamaan dengan itu dia ingin mengerjakan puasa sunnah, Apakah dia bersafar dengan tetap berpuasa atau meninggalkannya/ membatalkan puasanya?”
Jazaakumullohu khoiron

Jawaban Al-Ustadz Dzulqornain Abu Muhammad

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Seorang musafir boleh untuk tidak berpuasa menurut kesepakatan ulama. Hal tersebut berdasarkan ayat dalam surah Al-Baqarah.

Tentang mana yang lebih afdhol, kembali kepada kondisi perjalanannya.

Kalau perjalanannya meletihkan, maka afdholnya dia berbuka. Walaupun siapa yang punya kesanggupan boleh baginya berpuasa dalam kondisi ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah safar perang di bulan Ramadhon.

Kalau perjalanannya tidak meletihkan, maka bagi siapa yang berpuasa Ramadhon sebaiknya dia berpuasa. Sebab itu lebih melepaskan kewajibannya.

Demikian kesimpulan dalam masalah ini berdasarkan banyak dalil yang berkaitan dengannya.
Wallahu A’lam.


SUMBER : milinglist nashihah@yahoogroups.com versi offline dikumpulkan kembali oleh dr.Abu Hana untuk http://kaahil.wordpress.com
http://kaahil.wordpress.com/2009/12/11/tanya-jawab-seputar-jarak-safar-bepergian-sholat-puasa-ketika-safar/