ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Umat Islam di Eropa dan Amerika masih menghadapi tantangan berat. Kendati pertumbuhan dan perkembangan umat Islam meningkat, namun tantangan yang mereka hadapi sangat berat. Penyebabnya adalah munculnya gerakan Islamophobia atau kebencian terhadap Islam.
Sebuah hasil survei yang dipublikasikan harian The Guardian akhir Januari lalu menyebutkan, kalangan politisi dan media massa di Inggris adalah penyebab kebencian masyarakat luas terhadap Islam. Menurut hasil survei yang dilakukan wartawan Inggris bernama Peter Oborne itu, politisi dan media Inggris kerap mengobarkan kebencian terhadap umat Islam dengan menggambarkan umat Islam sebagai teroris yang berusaha melakukan Islamisasi di Inggris.
Studi serupa juga dilakukan oleh pusat penelitian Muslim Eropa di Universitas Exeter London. Dari hasil studi yang disusun oleh perguruan tinggi ini ditemukan beberapa bukti empiris yang menjelaskan perilaku para politisi dan media Inggris itu. Menurut penelitian ini, meningkatnya sentimen masyarakat Inggris terhadap umat Islam dikarenakan pandangan dan pencitraan buruk yang dilakukan oleh keduanya, politisi dan media massa.
Hasil survei dan studi itu dibenarkan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS), baru-baru ini. Menurut laporan tahunan tentang hak asasi manusia (HAM) yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri AS, umat Muslim di seluruh daratan Eropa masih mengalami diskriminasi. Bahkan, dari tahun ke tahun diskriminasi yang dirasakan umat Islam di Eropa semakin mengkhawatirkan.
“Kami melihat diskriminasi dan kebencian terhadap umat Islam di Eropa,” ungkap Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Demokrasi, HAM, dan Buruh, Michael Posner, saat mengumumkan laporan tahunan tentang HAM yang berjudul Country Reports on Human Rights Practices seperti dikutip situs Islamonline. Tak hanya di Inggris, fenomena serupa juga terjadi di negara Eropa lainnya, seperti Swiss, Denmark, dan Belanda. Bahkan, hampir di seluruh negara Barat.
Di AS, misalnya, kekhawatiran hingga kini masih menghinggapi sebagian Muslim di negara adidaya tersebut. Perasaan itu muncul setelah sembilan tahun mereka merasa terus menerus diawasi oleh pemerintah federal. Semua bermuara pada sikap Pemerintah AS pascaperistiwa serangan 11 September 2001.
Direktur Muslim American Society’s Freedom Foundation di North Carolina, Khalilah Sabra, seperti dikutip Associated Press, belum lama ini mengungkapkan, perasaan itu masih dirasakan oleh komunitas Muslim di wilayah Raleigh-Durham, North Carolina. Peristiwa terakhir yang mengganggu perasaan mereka adalah saat Juli 2009 lalu sebanyak tujuh orang Muslim ditangkap. Tuduhannya, merencanakan aksi teror.
Kebencian terhadap Islam dan pemeluknya itu ditunjukkan oleh masyarakat Eropa dan AS, melalui beragam cara. Baik melalui ajang kreativitas (karikatur, kartun, demonstrasi) maupun peraturan perundang-undangan. Sebut saja sejumlah kasus yang terjadi di Belanda, Denmark, Swedia, Swiss, Prancis, dan Jerman lima tahun terakhir.
Kebebasan berekspresi
Dengan mengusung dalih kebebasan berekspresi, surat kabar terbesar di Denmark, Jyllands-Posten, memuat gambar 12 karikatur Nabi Muhammad SAW pada 30 September 2005 silam. Langkah serupa ini diikuti oleh Nerikes Allehanda, sebuah harian lokal yang terbit di Orebro, sebelah timur Stockholm, Swedia.
Dalam salah satu halaman surat kabarnya terbitan edisi 18 Agustus 2007, harian Nerikes Allehanda memuat gambar kartun kepala Nabi Muhammad berada di badan seekor anjing. Kartun ini digambar oleh Lars Vilks.
Lain lagi yang dilakukan oleh seorang politisi di Belanda bernama Geert Wilders. Politikus sayap ultra kanan Belanda ini membuat sebuah film berjudul Fitna. Film yang di dalamnya berisikan hinaan, melecehkan, dan memprovokasi pemeluk agama Islam ini akhirnya menyulut kemarahan dunia Islam.
Pada bagian akhir film tersebut dimunculkan gambar karikatur Nabi Muhammad SAW dengan surban berbentuk bom di kepala, dengan bersumber dari karikatur yang pernah dimuat oleh Jyllands- Posten. Setelah berapa detik tampil, sorban itu digambarkan meledak.
Ketakutan yang berlebihan terhadap perkembangan Islam juga terjadi di Swiss. Masyarakat non-Muslim di sana memberlakukan larangan pembangunan menara masjid. Hasil referendum yang diselenggarakan pada 29 November 2009 lalu menyatakan, lebih dari 57,5 persen pemilih dari 2,67 juta warga yang memberikan suara mendukung pelarangan itu. Sedangkan 42,5 persen lainnya menentang. Sebanyak 22 dari 26 provinsi di Swiss memilih pelarangan pembangunan menara masjid.
Padahal, di negara yang terkenal dengan sebutan Euro-Islam ini terdapat beberapa masjid, seperti di Jenewa dan Zurich. Penolakan terhadap simbol-simbol komunitas Muslim juga pernah terjadi pada 2007 silam. Saat itu dewan Kota Bern menolak rencana untuk membangun salah satu Islamic Center terbesar di Eropa. Bahkan, Partai Rakyat Swiss (SVP), yang merupakan partai terbesar di negara tersebut, dan the Federal Democratic Union mengumpulkan tanda tangan guna mendukung pelarangan pembangunan pusat kebudayaan Islam ini.
Tak hanya isu-isu dan simbol keislaman, kebencian juga ditujukan terhadap kaum Muslimah. Sejumlah negara di Eropa seakan berlomba membenci Islam dan Muslimah. Secara simultan, mereka mengusung pelarangan cadar dan jilbab. Bahkan, pelarangan tersebut mendapatkan dukungan politik penuh.
Sebuah hasil survei yang dipublikasikan harian The Guardian akhir Januari lalu menyebutkan, kalangan politisi dan media massa di Inggris adalah penyebab kebencian masyarakat luas terhadap Islam. Menurut hasil survei yang dilakukan wartawan Inggris bernama Peter Oborne itu, politisi dan media Inggris kerap mengobarkan kebencian terhadap umat Islam dengan menggambarkan umat Islam sebagai teroris yang berusaha melakukan Islamisasi di Inggris.
Studi serupa juga dilakukan oleh pusat penelitian Muslim Eropa di Universitas Exeter London. Dari hasil studi yang disusun oleh perguruan tinggi ini ditemukan beberapa bukti empiris yang menjelaskan perilaku para politisi dan media Inggris itu. Menurut penelitian ini, meningkatnya sentimen masyarakat Inggris terhadap umat Islam dikarenakan pandangan dan pencitraan buruk yang dilakukan oleh keduanya, politisi dan media massa.
Hasil survei dan studi itu dibenarkan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS), baru-baru ini. Menurut laporan tahunan tentang hak asasi manusia (HAM) yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri AS, umat Muslim di seluruh daratan Eropa masih mengalami diskriminasi. Bahkan, dari tahun ke tahun diskriminasi yang dirasakan umat Islam di Eropa semakin mengkhawatirkan.
“Kami melihat diskriminasi dan kebencian terhadap umat Islam di Eropa,” ungkap Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Demokrasi, HAM, dan Buruh, Michael Posner, saat mengumumkan laporan tahunan tentang HAM yang berjudul Country Reports on Human Rights Practices seperti dikutip situs Islamonline. Tak hanya di Inggris, fenomena serupa juga terjadi di negara Eropa lainnya, seperti Swiss, Denmark, dan Belanda. Bahkan, hampir di seluruh negara Barat.
Di AS, misalnya, kekhawatiran hingga kini masih menghinggapi sebagian Muslim di negara adidaya tersebut. Perasaan itu muncul setelah sembilan tahun mereka merasa terus menerus diawasi oleh pemerintah federal. Semua bermuara pada sikap Pemerintah AS pascaperistiwa serangan 11 September 2001.
Direktur Muslim American Society’s Freedom Foundation di North Carolina, Khalilah Sabra, seperti dikutip Associated Press, belum lama ini mengungkapkan, perasaan itu masih dirasakan oleh komunitas Muslim di wilayah Raleigh-Durham, North Carolina. Peristiwa terakhir yang mengganggu perasaan mereka adalah saat Juli 2009 lalu sebanyak tujuh orang Muslim ditangkap. Tuduhannya, merencanakan aksi teror.
Kebencian terhadap Islam dan pemeluknya itu ditunjukkan oleh masyarakat Eropa dan AS, melalui beragam cara. Baik melalui ajang kreativitas (karikatur, kartun, demonstrasi) maupun peraturan perundang-undangan. Sebut saja sejumlah kasus yang terjadi di Belanda, Denmark, Swedia, Swiss, Prancis, dan Jerman lima tahun terakhir.
Kebebasan berekspresi
Dengan mengusung dalih kebebasan berekspresi, surat kabar terbesar di Denmark, Jyllands-Posten, memuat gambar 12 karikatur Nabi Muhammad SAW pada 30 September 2005 silam. Langkah serupa ini diikuti oleh Nerikes Allehanda, sebuah harian lokal yang terbit di Orebro, sebelah timur Stockholm, Swedia.
Dalam salah satu halaman surat kabarnya terbitan edisi 18 Agustus 2007, harian Nerikes Allehanda memuat gambar kartun kepala Nabi Muhammad berada di badan seekor anjing. Kartun ini digambar oleh Lars Vilks.
Lain lagi yang dilakukan oleh seorang politisi di Belanda bernama Geert Wilders. Politikus sayap ultra kanan Belanda ini membuat sebuah film berjudul Fitna. Film yang di dalamnya berisikan hinaan, melecehkan, dan memprovokasi pemeluk agama Islam ini akhirnya menyulut kemarahan dunia Islam.
Pada bagian akhir film tersebut dimunculkan gambar karikatur Nabi Muhammad SAW dengan surban berbentuk bom di kepala, dengan bersumber dari karikatur yang pernah dimuat oleh Jyllands- Posten. Setelah berapa detik tampil, sorban itu digambarkan meledak.
Ketakutan yang berlebihan terhadap perkembangan Islam juga terjadi di Swiss. Masyarakat non-Muslim di sana memberlakukan larangan pembangunan menara masjid. Hasil referendum yang diselenggarakan pada 29 November 2009 lalu menyatakan, lebih dari 57,5 persen pemilih dari 2,67 juta warga yang memberikan suara mendukung pelarangan itu. Sedangkan 42,5 persen lainnya menentang. Sebanyak 22 dari 26 provinsi di Swiss memilih pelarangan pembangunan menara masjid.
Padahal, di negara yang terkenal dengan sebutan Euro-Islam ini terdapat beberapa masjid, seperti di Jenewa dan Zurich. Penolakan terhadap simbol-simbol komunitas Muslim juga pernah terjadi pada 2007 silam. Saat itu dewan Kota Bern menolak rencana untuk membangun salah satu Islamic Center terbesar di Eropa. Bahkan, Partai Rakyat Swiss (SVP), yang merupakan partai terbesar di negara tersebut, dan the Federal Democratic Union mengumpulkan tanda tangan guna mendukung pelarangan pembangunan pusat kebudayaan Islam ini.
Tak hanya isu-isu dan simbol keislaman, kebencian juga ditujukan terhadap kaum Muslimah. Sejumlah negara di Eropa seakan berlomba membenci Islam dan Muslimah. Secara simultan, mereka mengusung pelarangan cadar dan jilbab. Bahkan, pelarangan tersebut mendapatkan dukungan politik penuh.