Akar dan Wajah Pemikiran Islam Liberal
Rimbun Natamarga
Banyak orang menyangka, Jaringan Islam liberal muncul belakangan ini akibat kemunculan kelompok-kelompok Islam fundamentalis di Indonesia. Buktinya, ketika pemerintah Orde Baru masih berkuasa, belum ada Jaringan Islam Liberal. Demikian pula dengan kelompok-kelompok Islam fundamentalis, pada waktu itu belum menjamur atau, katakanlah, belum muncul dan tersebar seperti sekarang ini.
Jika dicermati, anggapan itu, ternyata, tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya pula salah. Dalam sejarah, pemikiran Islam liberal, kalau istilah ini bisa dan boleh dipakai, selalu muncul sebagai reaksi atas kemunculan pemikiran Islam fundamentalis. Semakin menjamur kelompok-kelompok Islam fundamentalis, semakin kuat pula dorongan untuk mengorganisasikan jejaring Islam liberal.
Menariknya, seolah-olah kemunculan Islam liberal di Indonesia terjadi setelah adanya persentuhan secara intens dengan Barat dan demokrasi yang ada di sana, sedangkan Islam fundamentalis muncul di Indonesia setelah terjadi persentuhan dengan Arab dan puritanisme di sana. Artinya, kemunculan masing-masing disebabkan oleh pengaruh yang datang dari luar, bukan dua hal yang murni dari Indonesia.
Dalam satu resensi terhadap buku Wajah Liberal Islam Di Indonesia (Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal, Jakarta, 2002), Daniel Lev, salah seorang pengamat Indonesia mengatakan, ada beberapa sebab di balik kemunculan pandangan Islam liberal di Indonesia di awal milenium kedua ini dan sulit untuk menjawab kenapa sekarang. Yang jelas, kemunculan yang dimaksud adalah hasil rangkaian panjang pergulatan pemikiran Islam di Indonesia. Sebab-sebab pendorong kemunculan itu pun tergolong ke dalam “kebetulan-kebetulan sejarah” yang sulit untuk diprediksi.
Kordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla, ketika diwawancarai Tempo terkait tulisan-tulisannya tentang wacana Islam liberal di media-media massa, mengakui, pemikiran dan kritiknya selama ini ditujukannya kepada kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, radikalisme Islam di Indonesia mulai bangkit ketika reformasi digulirkan pada 1998 yang lalu. Sejak saat itu, kelompok-kelompok Islam radikal bermunculan. Masing-masing menyeru agar umat Islam di Indonesia menegakkan syariat Islam. Oleh sebagian orang, mereka disebut dengan Islam fundamentalis.
***
Albert Hourani adalah salah seorang pengajar di Oxford’s Middle East Centre. Ia banyak mengkaji dan menulis tentang Timur Tengah. Ketika menulis Arabic Thought in the Liberal Age 1798 – 1939, ia menegaskan, dalam masyarakat Arab era liberal pernah muncul dan hidup selama beberapa waktu, sebelum kemudian tenggelam dan mengalami pertempuran sengit yang tak selesai-selesai sampai sekarang.
Pemikiran-pemikiran Islam yang liberal, menurutnya, didorong pertama kali pada tahun 1798. Tahun ini adalah tahun ketika pasukan Napoleon Bonaparte menginjakkan kaki di Mesir. Dunia Arab kemudian menyaksikan era liberal yang ditandai dengan berkembangnya respon yang positif terhadap kemajuan Barat. Indutrialisasi, rasionalisasi, dan modernisasi adalah pilar-pilar kehidupan Barat yang menjadi perhatian bersama sebagian besar orang-orang Arab. Bagi mereka, ketiga pilar itu penting untuk kehidupan manusia.
Dalam semangat seperti itu, para pemikir muslim dan non-muslim bersama-sama mengadakan dialog secara bebas. Mereka tidak merasa khawatir untuk berlomba-lomba mengekspresikan secara bebas pemahaman mereka terhadap agama dan budaya di tengah-tengah masyarakat Arab. Berbagai wacana liberal silih berganti memenuhi tahun-tahun itu. Meski beberapa tokoh pemikir di antara mereka dikafirkan oleh tokoh-tokoh agama waktu itu, semangat kebebasan berpikir liberal tidak surut di antara mereka.
Era liberal seperti itu baru berakhir pada 1939. Selama rentang 1798 – 1939, era itu dihuni oleh tiga generasi pemikir.
Generasi pertama muncul dan mewarnai pemikiran-pemikiran pada 1830 – 1870. Mereka berpikir untuk menjawab pertanyaan “Mengapa dunia Barat maju?” dan “Mengapa pula dunia Arab dan Islam mundur?”. Dari pertanyaan-pertanyaan itu, muncul beberapa pemikir yang mencoba memberi jawab. Di antara mereka yang terkenal adalah Rifa’ah Badawi Rafi’ Ath-Thahthawi (1801 – 1873), Khairuddin Pasya At-Tunisi (1825 (?) – 1889), Faris Asy-Syidyaq (1804 – 1887) dan Butrus Al-Bustani (1819 – 1883).
Generasi kedua muncul pada rentang 1870 – 1900. Mereka mulai muncul dengan beberapa wacana yang lebih berani. Soal ketertinggalan Arab dan Islam dari Barat masih dibicarakan oleh generasi ini. Mereka juga memikirkan rasionalisme Barat yang perlu diterapkan dalam menjalankan Islam. Artinya, akal perlu dipakai untuk menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits. Selain itu, wacana yang mulai muncul adalah masalah persamaan gender. Pada rentang waktu inilah, dibahas isu-isu emansipasi wanita di tengah-tengah masyarakat Arab pada umumnya dan masyarakat muslim secara khusus. Di antara pemikir-pemikir generasi kedua ini adalah Jamaluddin Al-Afghani (1839 – 1897), Muhammad Abduh (1848 – 1905), dan Qasim Amini (1865 – 1908).
Generasi ketiga merentang pada 1900 – 1939. Rentang ini adalah puncak era liberal di dunia Arab sekaligus menandai akhir era itu. Berbagai wacana liberal muncul dan dipikirkan. Namun, tema tentang kekhalifahan Islam (Apakah kekhalifahan Islam perlu bagi masyarakat Arab dan Islam?) adalah yang sering mendatangkan perdebatan sengit di antara mereka. Memasuki dasawarsa 1920-an, wacana mulai mengerucut menjadi wacana-wacana politis. Muncul isu-isu tentang nasionalisme, baik itu nasionalisme Arab, nasionalisme Turki atau bahkan nasionalisme Mesir. Keadaan ini kemudian diikuti wacana-wacana yang bersifat fundamental; mereka mulai meninggalkan upaya-upaya rasionalisasi dan modernisasi dalam beragama. Di antara tokoh-tokoh pemikir pada generasi ketiga adalah Muhammad Rasyid Ridha (1865 – 1935), Ali Abdurraziq (1888-1966), dan Thaha Husain (1889 – 1973).
***
Akhir generasi ketiga era liberal itu bukan berarti matinya pemikiran liberal dalam Islam selama-lamanya. Kemunculan gerakan Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Takfir wal Hijrah, dan juga negara Israel adalah beberapa sebab signifikan yang mendorong kebangkitan kembali pemikiran liberal di dunia Arab dan terkhusus lagi di tengah-tengah kaum muslimin di dunia. Tampil dengan corak yang lebih baru, era liberal yang kedua dimulai ketika negara-negara Arab kalah dalam Perang Tujuh Hari melawan Israel pada 1967.
Yang jelas, setelah kekalahan itu, muncul tulisan-tulisan dengan semangat yang sama ketika era liberal pertama berlangsung. Di antara nama terkenal yang membawa semangat ini adalah Zaki Najib Mahmud, Najib Mahfouz, Nawal el Sadawi, Hassan Hanafi, Muhammad Arkoun, Adonis, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Khalid Abul Fadhl. Pemikiran-pemikiran mereka menyebar ke negara-negara Islam seperti Indonesia. Tulisan-tulisan mereka dikaji dalam diskusi-diskusi, bahkan kadang kala beberapa pemikir itu pun diundang untuk berbicara langsung.
Di Indonesia sendiri, menurut Ulil Abshar Abdalla, tradisi liberal sebenarnya sudah ada di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Sejak 1980-an, banyak isu-isu sensitif dalam Islam yang dipecahkan oleh NU dengan tidak biasa. Mulai dari Pancasila sebagai asas tunggal, bunga bank, bank konvensional, sampai ke isu insklusivisme Islam Indonesia. Wajar, jika citra NU sebagai organisasi Islam tradisionalis sudah lama, kiranya, harus ditinggalkan. Sejak 1970-an, mereka sudah dapat dikata mengisi posisi yang pernah ditempati Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) pada 1920-an dulu. Greg Burton, penulis biografi Gus Dur, malah yakin, posisi sebagai kelompok Islam konservatif sekarang ini justru dipegang oleh Muhammadiyah dan Persis.
***
Jauh sebelum wacana Islam liberal—yang akan melahirkan Jaringan Islam Liberal—muncul pertama kali dalam bentuk mailing list di islamliberal@yahoogroups.com pada tahun 2001, istilah Islam liberal sendiri muncul pertama kali waktu Greg Barton menyebut istilah itu dalam bukunya, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Paramadina: 1999). Mailing list Islam liberal yang muncul dua tahun setelah itu, ternyata, mampu bertahan lama dan menjadi wadah diskusi yang aman antara mereka. Dari diskusi-diskusi yang terjadi, tergagaslah keinginan untuk membentuk suatu wadah yang bernama Jaringan Islam Liberal.
Seiring tahun-tahun yang berlalu, wadah yang dimaksud berkembang dan mendapat simpati dari banyak pihak di dalam dan luar negeri, baik dari kalangan muslim sendiri maupun kalangan non-muslim. Mereka memiliki kegiatan yang beragam. Diskusi-diskusi, penerjemahan dan penerbitan buku-buku, pengadaanwebsite islamlib.com (?) adalah beberapa kegiatan pokok yang kerap dilakukan. Mereka yang tergabung ke dalam Jaringan Islam Liberal pun banyak menuangkan pemikiran-pemikiran mereka ke berbagai media massa.
Di Indonesia, buku-buku yang mengangkat wacana Islam liberal telah terbit sejak 1999. Seperti yang telah lewat, buku Gagasan Islam Liberal Greg Barton, agaknya, yang menempati urutan pertama kemunculan. Menyusul setelah itu karya Charles Kurzman yang berjudul Wacana Islam Liberal dan diterbitkan Paramadina pada 2001. Beberapa bulan setelah berdirinya Jaringan Islam Liberal, terbitWajah Liberal Islam di Indonesia yang disunting oleh Lutfi Asysyaukanie, seorang kontributor tulisan diwebsite Jaringan Islam Liberal, dan diterbitkan Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal pada 2002.
Menjelang akhir 2002, terbit rangkaian tulisan Ulil Abshar Abdalla di Kompas yang banyak menuai reaksi dari berbagai pihak. Sebagian reaksi-reaksi yang dimaksud berupa artikel-artikel di media massa. Ada yang mendukung, ada pula yang menentang. Pada Februari 2003, antologi tulisan-tulisan itu, termasuk tulisan Ulil Abshar Abdalla, dibukukan dengan judul Islam Liberal dan Fundamental (Sebuah Pertarungan Wacana) oleh penerbit ElsaQ di Yogyakarta.
Doktor Abd. A’la mencoba merekonstruksi akar Islam liberal sejak kemunculan wacana neo-modernisme dalam pentas pemikiran Islam di Indonesia pada 1970-an lewat bukunya, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia yang diterbitkan Paramadina pada 2003. Ia melihat jejak-jejak pemikiran Fazlur Rahman, seorang tokoh pemikir dari Pakistan, dalam semua wacana itu.
Setelah menerbitkan Wajah Liberal Islam di Indonesia pada 2001, Jaringan Islam Liberal bekerjasama dengan The Asia Foundation kembali membukukan kumpulan tulisan yang berjudul Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal pada 2003. Buku ini berisi pandangan-pandangan Al Asymawi, Saiful Mujani, Azyumardi Azra, Taufik Adnan Amal, Ulil Abshar-Abdalla dan sejumlah penulis lain tentang syariat Islam. Tulisan-tulisan tersebut muncul sebagai tanggapan terhadap menguatnya keinginan untuk memformalkan syariat Islam di Indonesia.
Dari ruang sejarah pemikiran, akhirnya, pentas pemikiran Islam liberal diramaikan kembali oleh bukuPemikiran Liberal di Dunia Arab yang ditulis oleh Albert Hourani. Buku ini adalah terjemahan Arabic Thought in the Liberal Age 1798 – 1939 yang diterbitkan atas kerjasama antara Freedom Institute, Royal Danish Embassy, dan penerbit Mizan pada Juli 2004. Luthfi Assyaukani yang memberikan kata pengantar penerbitan buku ini mengatakan, buku Arabic Thought in the Liberal Age 1798 – 1939 yang diterbitkan sejak 1962 adalah karya klasik tentang akar-akar pemikiran para pemikir liberal di dunia Arab dan Islam.
***
Melihat wajah Islam liberal di Indonesia akan mengantarkan kita pada wajah Islam radikal atau Islam fundamentalis di sisi lain. Meski Islam fundamentalis, yang pada masa Orde Baru sering disebut dengan kelompok ekstrem kanan, sudah ada sejak dulu, kemunculannya dua belas tahun belakangan ini memberi warna tersendiri dalam sejarah Islam di Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melihat kemunculan mereka itu sebagai sebuah fenomena yang mesti diperhitungkan dan, karena itu, didokumentasikan. Lewat penelitian yang dilakukan tim ilmuwan sosial LIPI, dokumentasi itu ada untuk kemudian dibukukan menjadi Islam dan Radikalisme di Indonesia pada April 2005. Buku ini terbit atas kerjasama antara LIPI Press dan Yayasan Obor Indonesia.[]