وَمَا أُضِيْفَ لِلنَّبِي الْمَرْفُـوْعُ وَمَا لَتَابِـعٍ هُوَ الْمَقْطُوْعُ
Dan yang disandarkan kepada Nabi adalah marfu’
Dan yang disandarkan kepada tabi’in adalah maqthu’
Pada bait ini penulis menjelaskan dua istilah hadis yang hanya terkait dengan matn; ia adalah marfu’ dan maqthu’. Khabar, dari sisi kepada siapa ia disandarkan memiliki beberapa kondisi:
- Disandarkan kepada Nabi. Inilah yang disebut marfu’
- Disandarkan kepada Shahabat. Inilah yang disebut mauquf (sebagaimana akan datang dalam nadzm ini)
- Disandarkan kepada tabi’in dan yang setelahnya. Inilah yang disebut maqthu’
Hadis marfu’ terbagi dua: (1) marfu’ sharih; marfu’ yang jelas, seperti “Nabi bersabda”, atau “Nabi melakukan ini” (2) marfu’ hukmi; marfu’ yang tidak secara terang menunjukkan dari Nabi, karena lafadznya dinisbatkan kepada sahabat. Seperti jika salah seorang sahabat mengabarkan sesuatu yang berkaitan dengan perkara ghaib, atau hal-hal yang tidak mungkin keluar dari sekedar pendapat.
وَالْمُسْنَدُ الْمُتَّصِـلُ الْإِسْنَادِ مِنْ رَاوِيْهِ حَتَّى الْمُصْطَفَى وَلَمْ يَبِنْ
Dan musnad adalah yang muttashil (bersambung) sanadnya dari
Perawinya hingga sampai ke Mushthafa (Nabi) dan tidak terputus
Pada bait ini, penulis menjelaskan istilah musnad. Ia adalah hadis yang sanadnya bersambung (muttashil) dan sampai kepada nabi (marfu’). Ini adalah pendapat yang dipilih oleh penulis sesuai dengan pendapat al-Hakim an-Naisaburi.[1]
وَمَا بِسَمْعِ كُلِّ رَاوٍ يَتَّصِـلْ إِسْنَادُهُ لِلْمُصْطَفَى فَالْمُتَّصِلْ
Dan Hadis yang dengan mendengarnya setiap rawi, bersambung
Sanadnya sampai ke al-Mushthafa (Nabi), maka ia disebut muttashil
Pada bait ini, al-Baiquny menjelaskan istilah muttashil; ia adalah hadis yang sanadnya bersambung sampai ke Nabi, karena setiap rowi mendengar langsung dari syaikhnya. Namun definisi al-Baiquny ini dapat dikritik. Pertama, dari sisi penggunaan sama’ (mendengar). Ketersambungan sanad tidak hanya disahkan oleh cara penerimaan hadis dengan sama’ saja, melainkan juga dengan cara penerimaan hadis yang lain (wujuh tahammul), seperti ard’ (membaca di depan syaikh), ijazah, dan yang lainnya yang terdapat dalam kitab-kitab musthalah.
Kedua, dari sisi penggunaan kata mushthafa (Nabi). Hadis muttashil tidak disyaratkan matnnya hanya sampai kepada Nabi saja (marfu’), melainkan juga yang sampai kepada sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’).
مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى مِثْلُ أَمَا وَاللهِ أَنْبَانِي الْفَتَى
Musalsal –katakanlah- adalah hadis yang datang dengan sifat tertentu
Seperti telah mengabarkan kepadaku seorang yang adil
Hadis muslasal adalah hadis yang secara berturut-turut diriwayatkan oleh masih-masih perowinya dengan sifat periwayatan tertentu. Musalsal ada dua macam:
Pertama, musalsal qauly (dalam perkataan). Contohnya adalah yang disebutkan penulis, “mengabarkan kepadaku seorang yang adil”. Disebut musalsal karena setiap rowi dalam sanadnya mengatakan ungkapan tersebut ketika meriwayatkan kepada perawi yang dibawahnya.
كَـذَاكَ قـَدْ حَدَّثَنِيهِ قَـائِمَا أَوْ بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِيْ تَبَسّـَمَا
Begitu juga “ia telah menyampaikan kepadaku dalam keadaan berdiri”
Atau “setelah menyampaikan kepadaku ia tersenyum”
Bait ini contoh untuk jenis musalsal yang kedua, musalsal fi’ly (dalam perbuatan). Setiap rowi yang meriwayatkan hadis mengatakan “ia telah menyampaikan kepadaku dalam keadaan berdiri”, atau, “setelah menyampaikan kepadaku ia tersenyum”
عَزِيْزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةْ مَشْهُوْرُ مَرْوِيْ فَوْقَ مَا ثَلَاثَةْ
Aziz adalah (hadis) yang dirwayatkan dua atau tiga
Masyhur adalah (hadis) yang diriwayatkan lebih dari tiga
Pada bait ini, penulis menjelaskan istilah hadis aziz dan masyhur. Sebelum masuk pembahasan ini, mari kita petakan dulu klasifikasi hadis dari sisi jumlah jalur periwayatannya. Hadis, dari sisi ini terbagi menjadi dua[2]:
Pertama, mutawatir[3]. Ia adalah hadis yang diriwayatkan dengan jalur periwayatan yang banyak yang seluruh perowinya tidak mungkin bersepakat dalam kedustaan.
Kedua, ahad. Ia adalah hadis yang diriwayatkan dengan jalur periwayatan yang terbatas, yang tidak sampai kepada derajat mutawatir. Hadis ahad ini kemudian dibagi menjadi tiga:
1. Gharib
Hadis gharib adalah hadis yang hanya diriwayatkan dengan satu jalur periwayatan. (akan datang penyebutannya dalam nadzm ini)
2. Aziz
Hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga jalur periwayatan. ini sebagaimana pendapat yang dipilih penulis[4]. Pendapat lain, yang merupakan pendapat terkenal dikalangan mutaakhirin adalah: aziz adalah hadis yang diriwayatkan dengan dua jalur periwayatan saja.
3. Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan dengan lebih dari tiga jalur periwayatan namun tidak sampai derajat mutawatir. Ini juga pendapat yang dipilih penulis[5]. Pendapat yang terkenal di kalangan mutakhirin adalah; masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga jalur periwayatan atau lebih, dan tidak sampai pada derajat mutawatir.
Maksud dari jumlah jalur periwayatan ini adalah jumlah minimal yang ada dalam tingkatan-tingkatan sanad (thabaqat as-sanad). Artinya, untuk menentukan suatu hadis apakah ia gharib, aziz atau masyhur, cukup melihat jumlah terkecil yang ada dalam tingkatan sanad tersebut, dan tidak disyaratkan adanya jumlah tersebut dalam semua tingkatan (thabaqah).
مُعَنْعَنٌ كَعَنْ سَعِيْدٍ عَنْ كَرَمْ وَمُبْهَمٌ مَا فِيْهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ
Mu’an’an seperti ‘an (dari) Sa’id ‘an (dari) Karam
Dan Mubham adalah hadis yang padanya ada rowi yang tidak bernama
Pada potongan bait pertama, penulis menyebutkan istilah mu’an’an hanya dengan menyebutkan contohnya, tanpa mendefinisikan. Hadis mu’an’an adalah hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan lafadz ‘an (dari), yang dalam istilah ilmu hadis termasuk bentuk penyimakan yang tidak secara jelas memberi faidah sama’ (mendengar) secara langsung (shighah muhtamilah).
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum sanad mu’an’an ini. Apakah ‘an’anah itu memberi faidah ittishal (ketersambungan) antara kedua rowi tersebut atau tidak. Dikatakan, bahwa sanadnya munqathi’/mursal (tidak bersambung). Adapun pendapat masyoritas ulama adalah bahwa sanadnya muttashil, selama si mu’an’in (rawi yang meriwayatkan dengan lafadz ‘an) ini selamat dari sifat tadlis dan adanya kemungkinan bertemu atau satu zaman antara keduanya. Ibnu Shalah dan Abdilbarr mengklaim ijma atas hal ini.[6]
Pada potongan bait yang kedua, penulis menyebutkan istilah mubham. Ia adalah hadis yang terdapat padanya seorang rowi yang tidak disebutkan namanya. Baik ia terjadi pada sanad atau pata matn. Contoh pada sanad adalah “dari Sufyan, dari seorang laki-laki”. Contoh dalam matn adalah, “datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”. jika terjadi pada sanad, maka ia berpengaruh pada hukum hadisnya. Namun jika terjadi pada matn, maka ia tidak berpengaruh pada hukum hadisnya.
Bersambung, Insha Allah.
[1] Ada tiga pendapat untuk istilah musnad. Pertama, pendapat al-Hakim, sebagaimana dalam nadzm al-Baiquny. Kedua, pendapat al-Khathib, musnad adalah yang sanadnya bersambung sampai ke matn. Pendapat ini mengandaikan bahwa musnad sama dengan muttashil. Ketiga, pendapat Ibnu abdil barr, musnad adalah yang sampai kepada Nabi, baik sanadnya muttashil atau munqathi’. Pendapat ini mengandaikan bahwa musnad sama dengan marfu’. Lihat al-Baits al-hatsits, hal. 42
[2] Lihat Nukhbah al-Fikar dengan Syarhnya Nuzhatu An-Nadzhar, Al-Hafidz Ibnu Hajar, hal. 37 – 53.
[3] Hadis mutawatir merupakan bahasan yang pada asalnya tidak termasuk dalam cakupan ilmu musthalah, karena sifatnya yang tidak membutuhkan penelitian lagi terhadap sanadnya. Yang pertama kali memasukan mutawatir dalam ilmu musthalah hadis adalah al-Khatib al-Baghdadi dalam “al-Kifayah”, Lihat al-Manhaj al-Muqtarah li fahmi al-Musthalah, DR. As-Syarif Hatim al-Auni, hal. 82
[4] Ia adalah pendapat Ibnu Mandah dan Ibnu Thahir, Hawasyi al-Baiquniyyah, hal. 14
[5] Idem
[6] Lihat Tadrib al-Rawi, hal. 113
= Ada tiga pendapat dalam soal syarat kedua (selain selamat dari tadlis) untuk ketersambungan sanadnya. Pertama, pendapat Imam Bukari yang menyatakan tetapnya pertemuan (tsubut al-Liqa). Kedua, pendapat Imam Muslim yang menyatakan bahwa syarat tetapnya pertemuan (tsubut al-liqa) adalah pendapat yang tidak pernah ada pendahulunya. Imam Muslim berpendapat bahwa kemungkinan bertemu (imkan al-liqa) dan satu zaman sudah cukup untuk menetapkan bahwa si mu’an’in mengambil langsung hadis yang bersangkutan dari rowi yang diatasnya. Ketika, pendapat Abu al-Mudzaffar yang menyatakan bahwa selain bertemu, harus dengan lamanya penyertaan (thuul as-shuhbah). Lihat al-baits al-Hatsits, hal. 49
http://sabilulilmi.wordpress.com/2010/12/14/syarh-ringkas-al-mandzumah-al-baiquniyyah-2/
= Ada tiga pendapat dalam soal syarat kedua (selain selamat dari tadlis) untuk ketersambungan sanadnya. Pertama, pendapat Imam Bukari yang menyatakan tetapnya pertemuan (tsubut al-Liqa). Kedua, pendapat Imam Muslim yang menyatakan bahwa syarat tetapnya pertemuan (tsubut al-liqa) adalah pendapat yang tidak pernah ada pendahulunya. Imam Muslim berpendapat bahwa kemungkinan bertemu (imkan al-liqa) dan satu zaman sudah cukup untuk menetapkan bahwa si mu’an’in mengambil langsung hadis yang bersangkutan dari rowi yang diatasnya. Ketika, pendapat Abu al-Mudzaffar yang menyatakan bahwa selain bertemu, harus dengan lamanya penyertaan (thuul as-shuhbah). Lihat al-baits al-Hatsits, hal. 49
http://sabilulilmi.wordpress.com/2010/12/14/syarh-ringkas-al-mandzumah-al-baiquniyyah-2/