Krisis Perkawinan
Oleh Abu Muhammad Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
Assalamu’alaikum ya ustadz, Mohon bimbingannya, ustadz. Saya sedang mengalami ‘krisis’ perkawinan. Sebenarnya tidak ada masalah di antara saya dan pasangan. Tapi…kadang saya merasa jenuh dengan pernikahan kami. Hingga suatu saat saya bertemu dengan teman lama saya. Kami sering bincang2 memakai segala fasilitas teknologi yg ada sekarang ini. Sebenarnya tidak ada apa2 diantara kami (saya dan teman saya itu). Karena diapun sudah berkeluarga, seperti saya. Tapi pada akhirnya, kadang, terselip juga rasa “yang lain” terhadapnya.
Saya tidak mau menghianati suami saya, juga tidak ingin meninggalkannya. Tapi saya juga suka dengan teman saya itu (diapun sedang mengalami krisis perkawinan, seperti saya. Dan merasakan hal yg sama dengan yg saya rasakan)
Tapi kami menyadari, bahwa tidak mungkin akan melangkah lebih jauh, karena kondisi masing2 yg sudah sama2 mempunyai pasangan. Akhirnya ya hanya sekedar berteman, tapi mungkin lebih dari sekedar teman. Bagaimana dengan “rasa” yg tumbuh di hati ini, ustadz? Bukankah dia datang sendiri?
Apa tidak boleh, seseorang yg sudah menikah, mencintai orang lain, sebagai sesama saudara, berkasih sayang karena Alloh? Bagaimana makna “mencintai karena Alloh”, untuk 2 orang yg berlainan jenis, tapi bukan mahram?
Saya tidak mau menghianati suami saya, juga tidak ingin meninggalkannya. Tapi saya juga suka dengan teman saya itu (diapun sedang mengalami krisis perkawinan, seperti saya. Dan merasakan hal yg sama dengan yg saya rasakan)
Tapi kami menyadari, bahwa tidak mungkin akan melangkah lebih jauh, karena kondisi masing2 yg sudah sama2 mempunyai pasangan. Akhirnya ya hanya sekedar berteman, tapi mungkin lebih dari sekedar teman. Bagaimana dengan “rasa” yg tumbuh di hati ini, ustadz? Bukankah dia datang sendiri?
Apa tidak boleh, seseorang yg sudah menikah, mencintai orang lain, sebagai sesama saudara, berkasih sayang karena Alloh? Bagaimana makna “mencintai karena Alloh”, untuk 2 orang yg berlainan jenis, tapi bukan mahram?
Mohon pencerahannya, ustadz. Tapi rasanya saya belum bisa meninggalkannya. Kami hanya merasakan, hubungan diantara kami adalah hubungan saudara (dia menganggap saya adiknya, dan sayapun menganggapnya sebagai kakak saja).
Sekian saja ustadz, jawaban dan bimbingan ustadz sangat saya harapkan.
Jazakallahu khoiron katsiiron
Wassalamu’alaikum
Sekian saja ustadz, jawaban dan bimbingan ustadz sangat saya harapkan.
Jazakallahu khoiron katsiiron
Wassalamu’alaikum
Ummu Fulanah
Jawaban :
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Ukhti fillah, ketahuilah bahwa pernikahan adalah mahkota kehormatan dan mahligai kesucian dari seorang perempuan. Dan itu adalah salah satu nikmat Allah patut untuk disyukuri sehingga kita bertambah anugerah dan tertolak dari kejelekan dan bencana.
Adanya kejenuhan dalam pernikahan adalah perkara yang lumrah dan banyak menimpa manusia. Namun dalam kejenuhan tersebut janganlah seseorang menjadi mangsa syaithon dalam menjerumuskannya dalam lembah kehinaan dan kenistaan.
Adanya kejenuhan dalam pernikahan adalah perkara yang lumrah dan banyak menimpa manusia. Namun dalam kejenuhan tersebut janganlah seseorang menjadi mangsa syaithon dalam menjerumuskannya dalam lembah kehinaan dan kenistaan.
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan,
“Setiap amalan ada semangat padanya, dan dibelakangan setiap setiap semangat ada kejenuhan padanya. Siapa yang kejenuhannya kepada sunnahku maka dia telah mendapat petunjuk. Siapa yang kejenuhannya kepada selain itu maka sunggu dia telah binasa.”
(Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan selainnya dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu anhuma.)
Hadits di atas berlaku umum untuk pernikahan maupun seluruh amalan lainnya.
Maksudnya, bila seorang jenuh -dalam pernikahan misalnya-, maka hendaknya ia melihat bagaimana tuntunan agama dalam menghilangkan hal tersebut, dan bagaimana menumbuhkan semangatnya serta mengarahkannya kepada hal yang baik, misalnya mungkin saya ada kekurangan dalam menunaikan hak suami, atau sebagai istri masih banyak hal belum saya jalankan dan seterusnya.
Dan apa yang ukhti sebutkan adalah merupakan kejenuhan yang bukan kepada sunnah Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Maksudnya, bila seorang jenuh -dalam pernikahan misalnya-, maka hendaknya ia melihat bagaimana tuntunan agama dalam menghilangkan hal tersebut, dan bagaimana menumbuhkan semangatnya serta mengarahkannya kepada hal yang baik, misalnya mungkin saya ada kekurangan dalam menunaikan hak suami, atau sebagai istri masih banyak hal belum saya jalankan dan seterusnya.
Dan apa yang ukhti sebutkan adalah merupakan kejenuhan yang bukan kepada sunnah Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Syaithon memang pandai dalam menjerat anak manusia. Tadi ukhti hanya memandangnya sebagai teman bisa, kemudian terselip ‘perasaan lain’, Kemudian hanya dianggap sebatas saudara…. dan ukhti belum tahu apa yang akan dilakukan oleh Syaithon berikutnya sehingga berhasil menjerumuskan hamba kepada dosa yang lebih besar dari itu.
Dan ingatlah bahwa penyesalan itu datangnya belakangan, saat tidak arti sebuah penyesalan terhadap amalan yang telah menodai kesucian dan kebaikan ukhti. Dan di hari kiamat…hari perhitungan, hari mempertanggung jawabkan seluruh amalan.
Dan ingatlah bahwa penyesalan itu datangnya belakangan, saat tidak arti sebuah penyesalan terhadap amalan yang telah menodai kesucian dan kebaikan ukhti. Dan di hari kiamat…hari perhitungan, hari mempertanggung jawabkan seluruh amalan.
Karena itu, nasehat ana :
Satu : Bertakwalah kepada Allah pada segala keadaan.
Dua : Ketahuilah bahwa dosa membawa berbagai kepedihan dan kepiluan bagi seorang hamba.
Tiga : Saya yakin bila apa yang terjadi pada ukhti terjadi pada suami ukhti sehingga dia juga punya “perasaan” kepada perempuan lain, tentu ukhti sangat tidak menerimanya dan merasa sangat dikhianati.
Empat : Sewajibnya, untuk tidak berhubungan dengan “orang lain itu” dan memutuskan segala ketarkaitan dengannya. Dan jangan membuka pintu bagi syaithon.
Lima : Ridho dan syukuri nikmat pernikahan yang Allah berikan kepada ukhti niscaya Allah akan menambah kenikmatan itu.
Satu : Bertakwalah kepada Allah pada segala keadaan.
Dua : Ketahuilah bahwa dosa membawa berbagai kepedihan dan kepiluan bagi seorang hamba.
Tiga : Saya yakin bila apa yang terjadi pada ukhti terjadi pada suami ukhti sehingga dia juga punya “perasaan” kepada perempuan lain, tentu ukhti sangat tidak menerimanya dan merasa sangat dikhianati.
Empat : Sewajibnya, untuk tidak berhubungan dengan “orang lain itu” dan memutuskan segala ketarkaitan dengannya. Dan jangan membuka pintu bagi syaithon.
Lima : Ridho dan syukuri nikmat pernikahan yang Allah berikan kepada ukhti niscaya Allah akan menambah kenikmatan itu.
Wallahu A’lam
Sumber : dikirim via email (milis Nashihah) oleh Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi) http://ummuammar88.wordpress.com/2009/01/29/krisis-perkawinan/