Tuesday, March 8, 2011

Maju Tak Gentar, Membela yang Bayar (Nasihat Bagi Para Pengacara)

Maju Tak Gentar, Membela yang Bayar (Nasihat Bagi Para Pengacara)

 
Oleh Ustadz Aris Munandar, S.S., M.A.
Itulah prinsip sebagian orang yang berprofesi sebagai pengacara atau advokat. Jika demikian, bolehkah profesi semisal ini? Halalkah upah yang didapat oleh seorang advokat dari kliennya, jika advokat tersebut menganut prinsip di atas?
Dibolehkan bagi seorang advokat untuk mewakili kliennya di pengadilan dalam memberikan pembelaan dengan sejumlah upah tertentu, dengan syarat:
1. Tidak menolong orang yang salah.
2. Pembelaan yang dilakukan tidak menjadi sebab si klien mengambil sesuatu yang bukan haknya atau menyebabkan orang yang berhak atas sesuatu malah menjadi kehilangan haknya.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah:2)
Syekh Ali Mahfuzh mengatakan, “Di antara kebiasaan buruk adalah perasaan santai saat berprofesi sebagai pengacara. Sebagian pengacara menangani kasus seorang klien meski dia tidak menguasai duduk permasalahan sebenarnya. Bahkan, banyak pengacara yang menerima permintaan kliennya untuk memberikan advokasi, padahal dia tahu bahwa kliennya tidaklah berada di pihak yang benar. Pengacara ini akhirnya menjadi penyokong orang yang zalim agar bisa terus berbuat kezaliman. Sering kali, para pengacara memberikan pembelaan yang mengada-ada untuk mengalahkan fakta senyatanya. Sehingga, orang yang berhak malah menjadi tidak mendapatkan haknya. Pada akhirnya, para pengacara ini memakan harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan.
Para pengacara ini, dengan santainya, mendorong kliennya untuk mendatangkan para saksi palsu. Kepada kliennya dan para saksi palsu tersebut, mereka (para pengacara ini) membisikkan berbagai trik pemalsuan yang dahulu tidak mereka kenal sama sekali.
Hendaknya, para pengacara yang seperti di atas merasa takut kepada Allah, terutama orang-orang yang mengerti agama di antara mereka. Mereka adalah orang yang paling layak untuk menghindari perbuatan haram ini.
Hendaknya, mereka tidak tertipu dengan dunia. Sesungguhnya, upah yang mereka dapatkan dari klien mereka itu tidak ada apa-apanya dengan kemuliaan agama dan ngerinya berdiri di hadapan Allah saat orang-orang yang dizalimi haknya menuntut orang-orang yang menzaliminya.
Upah dunia yang didapatkan itu tidak ada nilainya dengan dampak negatif tindakan pengacara dengan perangai seperti itu. Dampak negatifnya adalah hilangnya keadilan, hilangnya kehormatan, dan timbulnya akhlak yang tercela.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَعَانَ عَلَى خُصُومَةٍ بِظُلْمٍ – أَوْ يُعِينُ عَلَى ظُلْمٍ – لَمْ يَزَلْ فِى سَخَطِ اللَّهِ حَتَّى يَنْزِعَ
Siapa saja yang membantu salah satu pihak yang bersengketa dengan cara-cara yang tidak benar, maka dia selalu akan berada dalam murka Allah, sampai dia tidak lagi menolong orang tersebut.’ (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim; Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits tersebut sahih)
Dari Ummu Salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku hanyalah manusia biasa. Kalian melaporkan sengketa kepadaku. Boleh jadi, salah satu pihak yang bersengketa tersebut lebih pandai dalam beralasan–sehingga kukira dia berada di pihak yang benar–. Akhirnya, kuputuskan sebagaimana alasan yang kudengar. Maka, siapa saja yang kepadanya kuserahkan sesuatu yang sebenarnya adalah hak saudaranya, maka pada hakikatnya aku memberikan sepotong api neraka kepada orang tersebut.‘ (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, sebagian orang yang bersengketa itu lebih mengerti dan lebih menguasai argumen yang diperlukan dan cara yang bagus untuk menyampaikannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memutuskan setelah menimbang klaim, jawaban klaim, bukti, dan sumpah. Oleh karena itu, boleh jadi putusan yang dihasilkan itu sebenarnya keliru. Dalam kondisi semisal ini, hakim sebenarnya memberikan potongan api neraka kepada pihak yang menang. Artinya, perbuatan ini mengantarkan kepada siksa api neraka.
Dengan bahasa lain, jika–berdasarkan data yang ada–hakim memenangkan pihak yang sebenarnya salah, maka kemenangan yang didapatkan oleh pihak yang dimenangkan adalah suatu hal yang haram, yang akan mengantarkan orang yang mengambilnya ke dalam neraka.
Hadits di atas adalah dalil mengenai berdosanya orang yang berdebat dalam rangka membela klaim-klaim yang tidak benar. Walau di dunia dia berhak atas hal yang dia klaim, namun hal tersebut tetaplah haram sisi Allah. Sehingga, keputusan seorang hakim itu tidaklah mengubah sesuatu yang haram menjadi halal.
Wahai para pengacara, janganlah kalian tolong orang yang zalim agar bisa mewujudkan kezalimannya! Janganlah kalian mau menangani suatu kasus, kecuali setelah kalian mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya! Hendaknya, pembelaan yang kalian berikan adalah pembelaan yang proposional, tanpa ngotot dan tanpa berteriak-teriak.” (Al-Ibda’ fi Madhar Al-Ibtida’, hlm. 26)
Jika dalam menjalankan profesinya, seorang advokat bisa terbebas dari hal-hal terlarang sebagaimana uraian di atas, maka profesi yang dia jalankan adalah pekerjaan yang hukumnya mubah dan upah yang dia dapatkan adalah upah yang halal.
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan mendasar: bisakah syarat-syarat di atas direalisasikan di dunia nyata?