Kerugian yang Nyata
At Tauhid edisi VII/09
Oleh: Yhouga Ariesta
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, nasehat menasehati supaya menaati kebenaran, dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al Ashr : 1-3)
Makna Umum Surat Al Ashr
Allah Ta’ala bersumpah (dengan waktu –pent) bahwa semua manusia berada dalam kerugian dan kebinasaan. “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh”. Kemudian Allah mengecualikan orang-orang yang beriman dengan amalan hati mereka dan beramal shalih dengan perbuatan mereka. “nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran”, yaitu mengerjakan ketaatan dan meninggalkan keharaman. “Dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”, yaitu bersabar menghadapi musibah, taqdir, dan gangguan orang-orang yang menentang amar ma’ruf nahi munkar. (Tafsir Al Quranul ‘Azhim, Ibnu Katsir)
Keutamaan Surat Al Ashr
Imam Syafi’i rahimahullah berkata mengenai surat Al Ashr, “Seandainya manusia merenungkan surat ini, niscaya mencukupi bagi mereka”. (Tafsir Al Quranul ‘Azhim dalam Hushulul Ma’mul, Syaikh Abdullah Al Fauzan). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kesempurnaan seorang manusia ialah ketika ia mampu menyempurnakan dirinya sendiri, dan kemudian menyempurnakan orang lain. Maka surat ini meringkas makna seluruh surat dalam Al Qur’an bagi orang-orang yang ingin memperoleh kebaikan.” (Miftah Dar As Sa’adah, dalam Taisirul Wushul Syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Abdul Muhsin Al Qasim). Yang dimaksud kesempurnaan diri sendiri adalah iman dan amal saleh, dan menyempurnakan orang lain ialah dalam wasiat kebenaran (yaitu dakwah) dan wasiat dalam kesabaran. Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Surat ini merupakan timbangan amal yang seharusnya setiap mukmin menimbang dirinya sendiri.” (Latha’iful Ma’arif dalam Taisirul Wushul). Yaitu apakah ia telah melaksanakan hal-hal yang disebutkan dalam surat tersebut agar tidak termasuk orang-orang yang merugi.
Antara Iman dan Ilmu
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal yang paling utama adalah beriman kepada Allah, kemudian jihad” (HR. Muslim). Maka iman merupakan perkara yang paling pokok, dibandingkan amalan-amalan lain dalam hal tingkatan maupun keutamaannya. Adapun iman memiliki dua rukun : [1] mengenal (ma’rifah) apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengilmuinya, dan [2] membenarkannya (tashdiq) dengan perkataan dan perbuatan. Tanpa ilmu, hal ini adalah mustahil. Kedudukan ilmu dengan iman laksana ruh dengan jasad, demikian pula pohon iman tidak akan dapat tegak kecuali dengan batangnya, yaitu ilmu dan ma’rifah. (Al ‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, Ibnul Qayyim). Iman tidak dapat diperoleh melainkan dengan ilmu, yaitu mengenal Allah ‘Azza wa Jalla, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal Islam beserta dalil-dalilnya. (Syarh Ushul Ats Tsalatsah, Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah).
Ilmu : Mengenal Allah, Nabi-Nya, dan Islam
Disebutkan dalam hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab lainnya, dari Al Bara’ bin ‘Azib dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum, yaitu mengenai pertanyaan yang ditujukan kepada mayat dalam kuburnya. Pertanyaan tersebut yaitu : “Siapa Rabbmu?”, “Apa agamamu?” dan “Siapa laki-laki ini yang diutus kepada kalian (untuk membawa risalah Islam – yaitu siapa Nabimu)?” Seorang mukmin akan menjawab dengan tegas bahwa Allah adalah Rabbnya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabinya, dan Islam adalah agamanya. Adapun seorang munafiq atau seorang yang ragu akan berkata, “Hah! Hah! Aku tidak tahu! Aku mendengar manusia berkata demikian maka aku pun berkata demikian!” Kemudian ia dipukul dengan gada dari besi yang didengar oleh seluruh makhluk kecuali manusia. Seandainya manusia mendengarnya, pasti dia akan jatuh pingsan.” (At Tanbihatul Muhtasharah, Syaikh Ibrahim Al Khuraishi)
Mengenal Allah yaitu mengenal-Nya melalui sifat-sifat-Nya yang Allah terangkan dalam Kitab-Nya, dan sifat-sifat-Nya yang Allah jelaskan dengan perantara Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui nama-nama, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala mencela siapa saja yang tidak mengagungkan-Nya dengan sebenar-benar pengagungan, tidak mengenal-Nya dengan sebenar-benar pengenalan, dan tidak mensifati-Nya dengan sifat yang benar” (Ash Shawa’iqul Mursalat dalam Taisirul Wushul).
Mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mulai dari nasab beliau, yaitu Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf hingga sampai kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, mengenal bagaimana kehidupan beliau sebelum menjadi Rasul, bagaimana ketika datangnya wahyu dari Allah, dan bagaimana amal perbuatan beliau semenjak diutus menjadi Rasul. Hal ini dapat diketahui dengan mempelajari sirah/perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentunya konsekuensi dari mempelajari hal ini adalah menerima segala yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya, berupa petunjuk dan dinul haq. Mengenal Islam beserta dalil-dalilnya. Hal ini hanya dapat diperoleh dengan menuntut ilmu syar’i sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Ilmu Apa Yang Wajib?
Ilmu dibagi menjadi dua jenis. Pertama, ilmu yang wajib dituntut oleh setiap individu. Tidak ada seorang pun yang diberi udzur (dispensasi) atas ketidaktahuannya. Ilmu ini mencakup setiap hal yang agama dapat tegak dengannya. Contoh, rukun-rukun Islam yaitu syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, dan haji ke Baitullah. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Wajib (bagi seorang muslim –pent) untuk menuntut ilmu yang agamanya dapat tegak dengan ilmu tersebut” Beliau kemudian ditanya, “Apa saja contohnya?”. Beliau menjawab, “Yaitu apa saja yang dapat segera menghilangkan kebodohan dari dirinya, semisal (ilmu tentang) shalat, shaum, dan semacam itu.” (Al Furu’ li Ibni Muflih dalam Taisirul Wushul)
Termasuk dalam hal ini mengenal lawannya, seperti mengenal pembatal-pembatal syahadat. Begitu pula mempelajari secara rinci rukun-rukun shalat, syarat-syarat shalat, yang wajib dilakukan dalam shalat, sunnah-sunnah dalam shalat, dan pembatal-pembatal shalat. Perincian ini juga wajib diketahui bagi poin-poin rukun-rukun Islam yang lain.
Kedua, yaitu ilmu tentang hukum- hukum syariah yang dibutuhkan oleh ummat, dan bukan oleh masing-masing individu. Semisal hukum jual beli dan muamalat, hukum terkait wakaf, ilmu waris, dan wasiat, hukum-hukum pernikahan, jinayat. Hukum-hukum tersebut apabila dipelajari oleh sekelompok dari ummat hingga menjadi seorang ‘alim di bidangnya, niscaya mencukupi. Karena tugasnya bagi ummat adalah memutuskan hukum, memberi fatwa, dan mengajarkan ilmu tersebut. Oleh karena itu ilmu ini hukumnya fardhu kifayah, apabila semua individu meninggalkannya mereka akan berdosa. (diringkas dari Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Sholih Fauzan)
Ilmu Membuahkan Amal
Tujuan ilmu adalah untuk diamalkan. Ilmu adalah sesuatu yang dituntut ketika seseorang akan beramal dan merealisasikan ‘ubudiyah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka merealisasikan ubudiyah kepada Allah dilakukan dengan dua perkara : Ilmu yang bermanfaat, dan amalan yang shalih. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar” (QS. At Taubah : 33). “Al Huda” ialah ilmu yang bermanfaat, sementara “dinul haq” ialah amalan yang shalih yang dapat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Disyariatkan pula kepada kita untuk membaca surat Al Fatihah hingga doa yang paling penting dan paling agung, “Tunjukilah Kami jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat, dan bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat” (QS. Al Fatihah : 6). Orang-orang yang diberi nikmat ialah ahli ilmu dan amal. Orang-orang yang diberi murka adalah ahli ilmu namun tanpa amal, yaitu Yahudi. Orang-orang yang tersesat ialah ahli amal namun tanpa ilmu, yaitu Nashara.
Demikian pula datang dari hadits Abu Barzah Al Aslami radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan beranjak kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia akan ditanya empat hal : kemudian beliau ‘alaihi shalatu wa sallam menyebutkan : tentang ilmunya apa yang telah ia amalkan dengannya?” (dalam hadits riwayat Tirmidzi, hasan shahih).
Oleh karena itu, wajib bagi seorang yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya. Sekadar apa yang telah ia ketahui, diamalkan. Karena demikianlah dahulu para ulama menjaga hafalan ilmu mereka. Demikian pula tanda seorang yang berilmu diketahui lewat amalannya. Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Senantiasa seorang yang berilmu menjadi orang yang bodoh, hingga ia mengamalkan ilmunya. Jika ia telah beramal dengannya, barulah ia menjadi orang yang berilmu.” (diambil dari Tsamaratul ‘Ilmi Al ‘Amal, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr)
Keutamaan Dakwah Tauhid
Belumlah cukup bagi seorang manusia untuk sekedar menuntut ilmu dan beramal dengannya. Akan tetapi ia juga dituntut untuk mendakwahkan ilmunya agar ia dapat memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain. Hal ini dilakukan dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” (QS. Yusuf : 108). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu dakwah kepada syahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.”
Oleh karena itu tingkatan tertinggi dalam dakwah yaitu dakwah menyeru kepada tauhid dan menjauhkan umat dari syirik. Karena tidaklah seluruh Nabi diutus melainkan untuk berdakwah mengajak umat manusia untuk menaati Allah, mengesakannya dalam ibadah, melarang mereka dari syirik dan sarana-sarana yang dapat menjerumuskan mereka dalam kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut” (QS. An Nahl : 36)
Sabar, Kunci Sukses Dakwah
Merupakan sesuatu yang wajar dan lumrah bahwa mayoritas manusia tidaklah menginginkan kebaikan (pada awalnya), bahkan syahwat, hal-hal yang diharamkan, dan hawa nafsu yang bathil telah menguasai mereka. Maka ketika datang seseorang yang menyeru kepada mereka dan menghendaki kebaikan, sementara mereka sendiri dalam kondisi larut dalam syahwat dan keharaman, terjadilah penentangan baik lewat lisan maupun tindakan. Maka wajib bagi setiap da’i untuk bersabar menghadapi gangguan tersebut, sebagaimana bersabarnya para Rasul menghadapai gangguan yang jauh lebih hebat.
Adakah seorang da’i telah dikatakan sebagai pendusta, tukang sihir, bahkan orang gila? Dilempar dengan batu sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau tengah berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla? Dilempari kotoran ketika beliau tengah bersujud di sisi Ka’bah? Diancam dengan pembunuhan? Mengalami kekalahan bersama para shahabat dalam perang Uhud sebagaimana dialami Rasulullah hingga dua mata rantai penutup kepala menancap ke pipi beliau? Jika belum, maka tentu kita lebih layak lagi untuk bersabar. (diringkas dari Syarh Al Ushul Ats Tsalatsah, Syaikh Shalih Al Fauzan)
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” (QS. Al An’am : 34). Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata mengenai ayat ini, “Maka bersabarlah sebagaimana mereka bersabar, niscaya kamu akan mendapat pertolongan sebagaimana mereka mendapat pertolongan” (Taisir Karimirrahman)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberi taufik kepada kita dalam melaksanakan keempat hal tersebut [Yhouga Ariesta*] *Penulis adalah alumnus Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta, aktif mengurus Ma’had, dan sedang menyelesaikan studi S1 di jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM.
Sumber: Buletin At-Tauhid