Wednesday, August 31, 2011

Letak Perbedaan Penentuan Lebaran

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriyah.
Tim hisab dan rukyat dari ormas Islam sebenarnya sudah bertemu dan sudah menyepakati soal penentuan kalender hijriyah. Ada tiga kesepakatan yang dicapai.

Ketiga kesepakatan tersebut adalah:
  • Letak wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

  • Metode penentuan kalender hijriyah, yakni dengan hisab dan rukyat.

  • Posisi hilal dengan ketinggian 1.5 derajat.


Selama ini, pemerintah berpedoman dengan rukyat bil fi'il, sehingga sangat sulit untuk melihat bulan pada ketinggian 1.5 derajat, apalagi awan mendung seringkali menghalangi tim rukyat dari Kementerian Agama.

Hialal 1.5 derajat itu sebenarnya sudah bisa dilihat oleh kasat mata. Cuma sayangnya bentuk bulan belum sempuerna dan usia bulan masih muda, yakni kemunculannya tidak lama hanya berkisar 10-15 menit saja.

Friday, August 26, 2011

Pembagian Shalat Sunnah Imam Syafi'i

Pembagian shalat sunnah menurut Imam Syafi'i dapat dibagi menjadi 5 macam istilah. Imam Syafi'i tidak membedakan arti dari istilah-istilah ini, ia hanya menyebut shalat sunnah adalah shalat-shalat yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW baik yang mengiringi shalat fardhu dan yang dilakukan secara mandiri seperti shalat tahajud, shalat hajat dan sebagainya.

Kelima istilah mengenai shalat sunnah menurut Imam Syafi'i tersebut adalah:
  • Tathawu' (sukarela).

  • Raghibah (dianjurkan).

  • Mustahab (disarankan).

  • Mandub (sangat didorong/sangat dianjurkan).

  • Nafilah (disunnahkan sebagai nilai tambah).

Wednesday, August 24, 2011

Dasar Hukum Puasa Senin Kamis

Puasa senin dan kamis sangat dianjurkan oleh Rasululah SAW.
Senin dan kamis merupakan dua nama hari dalam kalender Hijriyah maupun Masehi. Namun, hari itu memiliki keistimewaan tersendiri, karena pada kedua hari itu, Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk melaksanakan puasa sunnah. Pada dua hari itu, umat islam disunnahkan untuk berpuasa.

Puasa Senin dan Kamis adalah puasa yang paling sering dilakukan Nabi Muhammad SAW sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari Abu Hurairah,
"Bahwasanya Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak berpuasa pada hari Senin dan Kamis.




Ketika ditanya tentang alasannya, Rasulullah SAW bersabda,
"Sesungguhnya segala amal perbuatan dipersembahkan pada hari Senin dan Kamis, maka Allah akan mengampuni dosa setiap orang muslim atau setiap orang mukmin, kecuali dua orang yang bermusuhan."
(HR. Ahmad0>

Rasulullah SAW sangat menganjurkan kepada umatnya untuk melaksanakan puasa Senin-Kamis. Di samping Nabi menganjurkan, Nabi swndiri mengerjakannya. Hal ini dapat terungkap lewat sebuah hadits dari Aisyah binti Abu Bakar.

Ummul Mukminin Aisyah berkata,
"Nabi Muhammad SAW sangat antusias senang melaksanakan puasa Senin dan Kamis."
(HR. Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah).

Tuesday, August 23, 2011

Nasehat Syaikh Sholeh Fauzan di Akhir Ramadhan

Segala puji hanya bagi Alloh yang dengan nikmat-Nya sempurnalah amal-amal sholeh, Dialah yang menjadikan setiap yang ada di dunia ini ada kalanya lenyap, dan menjadikan sesuatu yang tetap ada saatnya berpindah, agar orang-orang yang beriman mengambil pelajaran dari yang demikian, sehingga mereka bersegera untuk beramal ketika berada di masa lapang dan tidak tertipu dengan panjangnya angan-angan. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah atas Nabi kita Muhammad dan para sahabatnya yang merupakan sebaik-baik sahabat serta keluarganya. Amma ba’du:

Wahai para hamba Alloh!
Berfikirlah tentang cepatnya berlalu siang dan malam. Dan ketahuilah bahwa umur kalian berkurang seiring dengan berlalunya siang dan malam. Dan lembaran-lembaran amal kalian telah dibalik seiring dengannya, maka bersegeralah bertaubat dan mengerjakan amal sholih sebelum habisnya kesempatan yang ada.

Wahai para hamba Alloh!
Beberapa saat yang lalu kalian menyambut datangnya bulan Ramadhan yang penuh berkah, dan pada hari ini kalian akan berpisah dengannya yang akan pergi meninggalkan kalian dengan apa-apa yang kalian tinggalkan padanya, ia akan menjadi saksi atas kalian terhadap apa-apa yang telah kalian amalkan, maka bergembiralah bagi siapa yang bulan Ramadhan menjadi saksi atas kebaikannya di sisi Alloh, yang akan menjadi pemberi syafa’at baginya untuk memasuki surga dan dibebaskannya dari neraka. Dan celakalah bagi siapa yang bulan Ramadhan menjadi saksi atas keburukan perbuatannya, yang ia (bulan Ramadhan,pent) pun mengeluh kepada Robb-Nya tentang sikap peremehannya dan penyia-nyiaannya terhadap bulan Ramadhan.
Maka berpisahlah dengan bulan Ramadhan dan Qiyam Ramadhan dengan sebaik-baik penutup. Barang siapa yang telah berbuat kebaikan dalam bulan Ramadhan, maka hendaklah ia menyempurnakannya. Dan barangsiapa yang telah berbuat buruk di bulan ini, maka hendaknya ia bertaubat dan mengerjakan amal sholeh di hari-hari yang tersisa, karena bisa jadi bulan Ramadhan tidak kembali kembali lagi padanya setelah tahun ini, Maka tutuplah Ramadhan dengan kebaikan dan teruskanlah mengerjakan amal sholeh yang telah kalian kerjakan di dalamnya di sisa-sisa bulan ini, sesungguhnya pemilik bulan ini adalah satu dan Dia mengawasi dan menyaksikan kalian. Dan Dia telah memerintahkan kalian untuk taat kepadanya seumur hidup. Barang siapa yang menyembah bulan Ramadhan, sesungguhnya bulan Ramadhan telah berlalu dan hilang. Dan barang siapa yang menyembah Alloh maka sesungguhnya Alloh itu Maha Hidup dan tidak akan mati, maka teruskanlah beribadah kepada-Nya di setiap waktu.
Sesungguhnya sebagian orang hanya beribadah di bulan Ramadhan, maka merekapun menjaga sholat mereka di masjid dan memperbanyak membaca al-Qur’an serta bershodaqoh dengan harta mereka. Tapi ketika Ramadhan telah berakhir merekapun malas untuk melakukan ketaatan, dan terkadang merekapun meninggalkan sholat Jum’at dan sholat berjama’ah, maka sesungguhnya mereka telah menghancurkan yang telah mereka bangun di bulan Ramadhan dan mengurai yang telah mereka jalin, seolah-olah mereka mengira bahwa kesungguhan mereka dalam beribadah di bulan Ramadhan akan menggugurkan keburukan-keburukan, perbuatan meninggalkan kewajiban dan perbuatan haram yang mereka lakukan selama setahun. Padahal mereka tidak mengetahui bahwa bulan Ramadhan dan yang selainnya hanya akan menggugurkan dosa-dosa kecil yang disyaratkan dengan menjauhi dosa-dosa besar. Alloh ta’ala berfirman :
إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفر عنكم سيئاتكم
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar yang kamu dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)” [QS. An-Nisaa’ : 31]
Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
الصلوات الخمس والجمعة إلى الجمعة ورمضان إلى رمضان كفارة لما بينهن إذا اجتنبت الكبائر
“Sholat yang lima waktu, jum’at yang satu sampai jum’at berikutnya, dan bulan Ramadhan sampai bulan Ramadhan berikutnya adalah kafaroh atas apa-apa (dosa-dosa kecil, pent) yang diantaranya, jika dosa-dosa besar dijauhi.” [HR Muslim 16/233]
Dan dosa besar apa selain syirik yang lebih besar daripada menyia-nyiakan sholat? Dan sekarang menyia-nyiakan sholat ini menjadi kebiasaan yang biasa bagi sebagian orang.
Sesungguhnya bersungguh-sungguhnya mereka dalam beribadah di bulan Ramadhan tidak bermanfaat bagi mereka sama sekali di sisi Alloh dikarenakan mereka setelah selesainya Ramadhan kembali mengerjakan maksiat berupa meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mengerjakan yang haram.
Sebagian Salaf pernah ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh ibadah di bulan Ramadhan, tapi setelah Ramadhan berlalu mereka kembali berbuat jelek lagi. Maka dijawab:
“mereka adalah seburuk-buruk kaum yang tidak mengenal Alloh melainkan hanya di bulan Ramadhan saja. Ya, karena orang yang mengenal Alloh, ia akan takut kepada-Nya disetiap waktu.”
Dan sebagian orang kadang-kadang berpuasa Ramadhan dan sholat di dalamnya, menampakkan kebaikan dan meninggalkan maksiat bukan karena Iman dan mencari pahala, dan mereka melakukan hal tersebut hanyalah karena ingin terlihat baik dan mengikuti masyarakat, karena dia melakukannya dengan sebab taklid kepada masyarakat. Dan itu termasuk nifaq akbar karena orang-orang munafiq mereka berbuat riya’ di hadapan manusia dengan menampak-nampakkan ibadahnya.
Dan orang seperti ini menganggap bulan Ramadhan sebagai penjara waktu yang membatasinya melakukan maksiat dan keharoman yang ia tunggu-tunggu waktu berakhirnya. Dan iapun bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena ia telah keluar dari penjaranya.
Dan seorang mukmin bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena ia telah menggunakan waktunya untuk beribadah dan melakukan ketaatan, maka iapun mengharapkan pahala dan keutamaannya. Adapun seorang munafik, ia bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena ia bisa kembali bermaksiat dan mengumbar syahwat yang mana ia dipenjara darinya selama Ramadhan. Oleh karena itu, seorang mukmin setelah bulan Ramadhan melanjutkan dengan istighfar, takbir dan ibadah.
Sedangkan orang munafik setelah Ramadhan melanjutkan dengan kemaksiatan, perbuatan sia-sia, pesta nyayian dan musik karena bergembira dengan berlalunya bulan Ramadhan.
Maka bertakwalah kepada Alloh wahai para hamba Alloh dan berpisahlah dengan bulan kalian ini dengan bertaubat dan istighfar.
وصلى الله على نبينا محمد
***
Diterjemahkan dari: Ittihafu Ahlil Iman bi Durusi Syahri Romadhon (Pelajaran ke-27), oleh Syaikh Sholeh Fauzan hafidzohulloh, dengan sedikit perubahan. Download kitab di sini.
***
الدرس السابع والعشرون: في بيان ما يُشرع في ختام الشهر
الحمد لله الذي تتم بنعمته الصالحات، جعل لكل موجود في هذه الدنيا زوالا ولكل مقيم انتقالا، ليعتبر بذلك أهل الايمان، فيبادروا بالأعمال ماداموا في زمن الإمهال، ولا يغتروا بطول الآمال، وصلى الله على نبينا محمد وأصحابه خير صحب وآل، وسلم تسليما كثيرا، أما بعد:
عباد الله تفكروا في سرعة مرور الليالي والأيام، واعلموا أنها تنقص بمرورها أعماركم، وتطوى بها صحائف أعمالكم، فبادروا بالتوبة والأعمال الصالحة قبل انقضاء الفرصة السانحة.
عباد الله: كنتم بالأمس القريب تستقبلون شهر رمضان المبارك، واليوم تودعونه مرتحلا عنكم بما أودعتموه، شاهدا عليكم بما عملتموه، فهنيئا لمن كان شاهدا له عند الله بالخير، شافعا له بدخول الجنة والعتق من النار وويل لمن كان شاهدا عليه بسوء صنيعه، شاكيا إلى ربه من تفريطه فيه وتضييعه، فودعوا شهر رمضان والقيام بخير ختام، فإن الأعمال بالخواتيم، فمن كان مُحسنا في شهره فعليه الإتمام، ومن كان مسيئا فعليه بالتوبة والعمل الصالح فيما بقي له من الأيام فربما لا يعود عليه رمضان بعد هذا العام، فاختموه بخير واستمروا على مواصلة الأعمال الصالحة التي كنتم تؤدونها فيه في بقية الشهور، فإن رب الشهور واحد، وهو مطلع عليكم وشاهد، وقد أمركم بطاعته مدى الحياة، ومن كان يعبد شهر رمضان فإن شهر رمضان قد انقضى وفات، ومن كان يعبد الله فإن الله حي لا يموت فليستمر على عبادته في جميع الأوقات، فإن بعض الناس يتعبدون في شهر رمضان خاصة، فيحافظون فيه على الصلوات في المساجد ويُكثرون من تلاوة القرآن ويتصدقون من أموالهم، فإذا انتهى رمضان تكاسلوا عن الطاعة، وربما تركوا الجمعة والجماعة فهدّموا ما بنوه، ونقضوا ما أبرموه وكأنهم يظنون أن اجتهادهم في رمضان يكفر عنهم ما يجري منهم في السنة من القبائح و الموبقات، وترك الواجبات وفعل المحرمات، ولم يعلموا أن تكفير رمضان وغيره للسيئات مقيد باجتناب الكبائر والموبقات، قال تعالى: {إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفر عنكم سيئاتكم} [النساء 31].
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: “الصلوات الخمس والجمعة إلى الجمعة ورمضان إلى رمضان كفارة لما بينهن إذا اجتنبت الكبائر” [أخرجه مسلم 233/ 16].
وأي كبيرة عدا الشرك أعظم من إضاعة الصلاة، وقد صارت إضاعتها عادة مألوفة عند بعض الناس.
إن اجتهاد هؤلاء في رمضان لا ينفعهم شيئا عند الله إذا هم أتبعوه بالمعاصي من ترك الواجبات وفعل المحرمات.
قد سئل بعض السلف عن قوم يجتهدون في شهر رمضان، فإذا انقضى ضيعوا وأساءوا، فقال: بئس القوم لا يعرفون الله إلا في رمضان، نعم لأن من عرف الله خافه في كل الزمان.
وبعض الناس قد يصوم رمضان ويصلي فيه ويُظهر الخير ويترك المعاصي لا إيمانا واحتسابا، وإنما يفعل ذلك من باب المجاملة والمجاراة للمجتمع، لأنه يعتبر هذا من التقاليد الاجتماعية، وهذا هو النفاق الأكبر فإن المنافقين كانوا يراءون الناس فيما يتظاهرون به من العبادة.
وهذا يعتبر شهر رمضان سجنا زمنيا ينتظر انقضاءه لينقض على المعاصي والمحرمات، يفرح بانقضاء رمضان لأجل الإفراج عنه من سجنه.
روى ابن خزيمة في صحيحه عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “أظلكم شهركم هذا بمحلوف رسول الله صلى الله عليه وسلم، ما مر بالمسلمين شهر خير لهم منه، ولا مر بالمنافقين شهر شر لهم منه، بمحلوف رسول الله صلى الله عليه وسلم، إن الله ليكتب أجره ونوافله قبل أن يدخله ويكتب وزره وشقاءه قبل أن يدخله، وذلك أن المؤمن يُعد فيه القوت والنفقة لعبادة الله، ويعد فيه المنافق اتباع غفلات المؤمنين واتباع عوراتهم فغنم يغنمه المؤمن” الحديث [أخرجه ابن خزيمة في صحيحه رقم 1884، وأحمد في المسند 2 / 524، والبيهقي في سننه الكبرى 4 / 304 وشعب الايمان 7 / 214 ـ 215 رقم 3335].
والمؤمن يفرح بانتهاء الشهر لأنه استعمله في العبادة والطاعة فهو يرجو أجره وفضائله، والمنافق يفرح بانتهاء الشهر لينطلق إلى المعاصي والشهوات التي كان مسجونا عنها في رمضان، ولذلك فإن المؤمن يتبع شهر رمضان بالاستغفار والتكبير والعبادة.
والمنافق يتبعه بالمعاصي واللهو وحفلات الغناء والمعازف والطبول فرحا بفراقه، فاتقوا الله عباد الله وودعوا شهركم بالتوبة والاستغفار.
وصلى الله على نبينا محمد.

Monday, August 22, 2011

Penjelasan Seputar Shalat Dengan Sajadah Bergambar

Pertanyaan:
Bagaimana hukum sholat beralaskan sajadah bergambar kubah hijau (yang ada di masjid Nabawi, pent) atau ka’bah atau yang semisalnya?

Jawaban:
Pertama-tama, gambar-gambar ini menyibukkan orang dalam sholat. Dan Rosul shollallohu alaihi wa sallam melepas baju yang ada gambarnya dan berkata :
Sungguh gambar tersebut tadi telah menyibukkanku dalam sholatku.”
Maka kalau Nabi shollallohu alaihi wa sallam saja mengatakan bahwa gambar tersebut menyibukkannya, maka bagaimana dengan kita yang lemah ini?
Kemudian gambar kubah hijau dan gambar ka’bah di sajadah-sajadah adalah termasuk bid’ah yang besar dan khurofat. Pertama-tama kubah hijau merupakan syi’arnya orang-orang yang suka dengan khurofat dan itu bukanlah syi’ar Islam, dan tidak boleh menjadikannya sebagai syi’ar bagi masjid Rosul shollallohu alaihi wa sallam (masjid Nabawi, pent). Dan bukan Rosul shollallohu alaihi wa sallam yang membangunnya, bukan pula para shahabat, bukan pula Umar bin Abdil Aziz dan bukan pula yang datang setelahnya selama masa tertentu. Akan tetapi yang membangunnya adalah raja Abdul Majid at-Turki sekitar 200 tahun yang lalu. Seandainya bukan karena dikhawatirkan timbulnya fitnah, tentu kubah itu sudah dihilangkan. artikel ummushofi.wordpress.com
Aku ingat ketika aku masih kecil sebagian anak kecil bersumpah dengannya dan mengatakan : “Demi kubah hijau”, ini (bersumpah dengan selain nama Alloh, pent) adalah syirik kepada Alloh azza wa jalla. Begitu pula gambar ka’bah di sajadah-sajadah.
Oleh karena itu, ketika guru kami Syaikh bin Baz rohimahulloh memberi fatwa haramnya gambar-gambar ini, ada salah seorang pengusaha –sepertinya ia adalah as-Subai’iy- yang memproduksi sajadah bersegera menghilangkan gambar-gambar tersebut –jazahullohu khoiron-, lalu memproduksi sajadah-sajadah yang tidak ada gambar-gambarnya. Maka yang wajib adalah kita menjauhi gambar-gambar ini karena ini merupakan bid’ah dan khurofat, dan karena ini juga menyibukkan orang yang sedang sholat dari sholatnya.
Kemudian sholat di atas sajadah dilihat dari hukum memakai sajadah itu sendiri tidak ada yang menganggapnya sunnah, akan tetapi (anehnya) sebagian orang menggunakannya sebagai alas walaupun di tempat yang sudah ada alasnya. artikel ummushofi.wordpress.com
Tetapi terkadang seseorang membutuhkannya di tempat-tempat yang tidak ada alasnya, karena adanya panas, dingin, debu, air atau yang selainnya. Dan terkadang ada orang  yang membutuhkannya dikarenakan ada sebagian alas yang terdapat bulu-bulu halus yang bisa mengganggu pernafasan orang yang memiliki alergi atau penyakit asma. Orang yang seperti ini terkadang membutuhkan sajadah, akan tetapi sajadah tersebut wajib untuk tidak bercorak-corak, tidak bergambar-gambar ataupun segala sesuatu yang menarik perhatian. Hendaknya ia memakai sajadah yang biasa saja tanpa gambar, na’am.
-
Sumber: Rekaman Fatwa di link ini, diterjemahkan dari http://www.al-menhag.net/vb/showthread.php?t=2795. artikel ummushofi.wordpress.com
ما حكم الصلاة على السجادات التى فيها صورة القبة الخضراء والكعبة وما أشبه ذلك؟
أولا هذه الرسوم تشغل الناس عن الصلاة
والرسول صلى الله عليه و سلم قد خلع القميص التي كان فيها بعض الصور و قال قد أشغلتني أنفاً عن صلاتي

و إذا كان النبي صلى الله عليه و سلم يقول بأنها أشغلته فكيف بنا نحن الضعفاء ؟
ثم إن رسم القبة الخضراء ورسم الكعبة على السجادات من أكبر البدع و الخرافات ,أولاً القبة الخضراء شعار الخرافيين و ليست شعاراً إسلاميا, ولا يجوز أن تكون شعارا لمسجد الرسول صلى الله عليه وسلم ,والرسول لم يبنها ولم يبنها الصحابة و لم يبنها عمر بن عبد العزيز و لا من جاء بعدهم بقرون, وإنما بناها السلطان عبد المجيد التركي قبل نحو 200 سنة, و لولا الفتنة لأزيلت.
أذكر وأنا صغير بعض الأولاد الصغار يحلف بها يقول :والقبة الخضراء هذا شرك بالله عز وجل و كذلك رسم الكعبة على السجادات , و لذلك لما افتى شيخنا الشيخ بن باز رحمه الله بتحريم هذه الرسوم ,بادرأحد أصحاب المصانع و أظنه السبيعي الذي يصنع السجاد جزاه الله خيرا, إلى إلغاء تلك الرسوم و إنتاج سجادات ليس فيهن رسوم فالواجب البعد عن هذه الرسوم لأنها من البدع و الخرافات و لأنها تشغل المصلي عن صلاته , يضاف إلى هذا أن تخصيص الصلاة على السجادة من حيث هو لا يظنن أحد أنه سنة , والبعض قد يفرشها حتى على المكان المفروش .

لكن قد يحتاج إليها المرء في الاماكن الغير مفروشة نظرا لوجود حر أو قر أوغبار أو مياه أو نحو ذلك و قد يحتاج إليها احياناً على بعض الفرش الذي فيه بعض الزغب الذي قيد يؤذي الصدر من الناس الذين عندهم حساسية أو ربو في الصدر هذا قد يحتاج إليها لكن يجب أن تكون بدون رسومات وبدون تصاوير وبدون أي شيء يلفت النظر بل تجعل عادية بدون رسوم نعم .

Rukun Iktikaf

Iktikaf dianggap sah apabila dilakukan di masjid dan memenuhi rukun-rukunnya sebagai berikut:

Pertama: Niat.
Niat adalah kunci segala amal hamba Allah yang benar-benar mengharap ridha dan pahala dari-Nya.

Kedua: Berdiam di masjid.
Maksudnya dengan diiringi dengan tad=fakkur, zikir, berdoa dan lain sebagainya.

Ketiga: Di dalam masjid.
Iktikaf dianggap sah apabila dilakukan di dalam masjid, yang biasa digunakan untuk shalat Jum'at.
Hal ini berdasarkan hadits berikut.

Rasululah SAW bersabda,
"Dan tiada iktikaf kecuali di masjid jami'."
(HR. Abu Daud).

Keempat: Islam dan suci serta akil baligh.

Kesalahan Yang Sering Terjadi Terkait Dengan Lailatul Qadar

Berikut ini, kami ketengahkan sebuah karya tulis perihal beberapa kesalahan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin berkaitan dengan Lailatul Qadar. Makalah yang ditulis oleh Syaikh Masyhur bin Hasan, kami terjemahkan dari Al-Ashalah, Edisi 3/15 Sya’ban 1413 H halaman 76-78. Semoga bermanfaat dan sebagai peringatan bagi kami serta segenap kaum muslimin. (Redaksi).

Kesalahan-kesalahan dan pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh beberapa kaum muslimin dalam masalah puasa dan shalat tarawih sangat banyak; baik dalam masalah keyakinan, hukum atau perbuatan. Sebagian mengira, bahkan meyakini beberapa masalah yang bukan dari Islam, sebagai rukun Islam. Mereka mengambil sesuatu yang rendah (dalam urusan puasa dan lainnya), sebagai pengganti yang lebih baik, karena mengikuti orang-orang Yahudi. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyerupai mereka. Bahkan beliau menekankan serta menegaskan, agar (kaum Muslimin) menyelisihi mereka.

Diantara kesalahan ini, ada yang khusus berkaitan dengan lailatul qadar. Kesalahan ini kami bagi menjadi dua bagian.

Pertama : Salah Dalam Berpandangan Dan Berkeyakinan.
Diantaranya:
1. Keyakinan sebagian orang, bahwa lailatul qadar itu memiliki beberapa tanda yang dapat diraih oleh sebagian orang. Lalu orang-orang ini merangkai cerita-cerita khurafat dan khayal. Mereka mengaku melihat cahaya dari langit, atau mereka dibukakan pintu langit dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar, ketika beliau rahimahullah menyebutkan dalam Fathul Bari 4/266, bahwa hikmah disembunyikannya lailatul qadar, ialah agar timbul kesungguh-sungguhan dalam mencarinya. Berbeda jika malam qadar tersebut ditentukan, maka kesungguhansungguhan hanya sebatas pada malam tertentu itu.
Kemudian Ibnu Hajar menukil riwayat dari Ath-Thabari rahimahullah, bahwa beliau rahimahullah memilih pendapat (yang menyatakan, pent.), semua tanda itu tidaklah harus terjadi. Dan diraihnya lailatul qadar itu tidak disyaratkan harus dengan melihat atau mendengar sesuatu.
Ath Thabari lalu mengatakan,”Dalam hal dirahasiakannya lailatul qadar, terdapat bukti kebohongan orang yang beranggapan, bahwa pada malam itu akan ada hal-hal yang dapat terlihat mata, apa yang tidak dapat terlihat pada seluruh malam yang lain. Jika pernyataan itu benar, tentu lailatul qadar itu akan tampak bagi setiap orang yang menghidupkan malam-malam selama setahun, utamanya malam-malam Ramadhan.”
2. Perkataan sebagian orang, bahwa lailatul qadar itu sudah diangkat (sudah tidak ada lagi, pent). Al Mutawalli, seorang tokoh madzhab Syafi’i dalam kitab At Tatimmah telah menceritakan, bahwa pernyataan itu berasal dari kaum Rafidhah (Syi’ah). Sementara Al Fakihani dalam Syarhul Umdah telah menceritakan, bahwasanya berasal dari madzhab Hanafiyah.
Demikian ini merupakan gambaran rusak dan kesalahan buruk, yang dilandasi oleh pemahaman keliru terhadap sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada dua orang yang saling mengutuk pada lailatul qadar,
أِنَّّها رُفِعتْ
“Sesungguhnya lailatul qadar itu sudah terangkat”

Pendalilan (kesimpulan) ini terbantah dari dua segi.
a. Para ulama mengatakan, yang dimaksud dengan kata “terangkat”, yaitu terangkat dari hatiku, sehingga aku lupa waktu pastinya; karena sibuk dengan dua orang yang bertengkar ini.
Dikatakan juga (maksud kata terangkat, pent.), yaitu terangkat barakahnya pada tahun itu. Dan maksudnya, bukanlah lailatul qadar itu diangkat sama sekali. Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang dikeluarkan Imam Abdur Razaq rahimahullah dalam Mushannaf-nya 4/252, dari Abdullah bin Yahnus, dia berkata,”Aku berkata kepada Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,‘Mereka menyangka, bahwa lailatul qadar itu sudah diangkat’,” Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Orang yang mengatakan hal itu telah berbuat bohong.”
b. Keumuman hadits yang mengandung dorongan untuk menghidupkan malam qadar dan penjelasan tentang keutamaannya.
Seperti hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dan lainnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَة القَدرِ أِعيمَا نًا واحتسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّّّمَ مِنْ ذَنْبهِ
“Barangsiapa yang shalat pada lailatul qadar karena iman dan karena mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat”.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,”Ketahuilah,bahwa lailatul qadar itu ada. Dan lailalatul qadar itu terlihat. Dapat dibuktikan oleh siapapun yang dikehendaki dari keturunan Adam, (pada) setiap tahun di bulan Ramadhan, sebagaimana telah jelas melalui hadits-hadits ini, dan melalui beritaberita dari orang shalih tentang lailatul qadar. Penglihatan orang-orang shalih tersebut tentang lailatul qadar tidak bisa dihitung.”
Saya (Syaikh Masyhur) mengatakan: Ya, kemungkinan diketahuinya lailatul qadar itu ada. Banyak tanda-tanda yang telah diberitahukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa lailatul qadar itu, adalah satu malam diantara malam-malam Ramadhan. Dan mungkin, demikian ini maksud perkataan Aisyah radhiyallahu a’nha pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dan beliau menshahihkannya,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّّهِ أَرَأَيْت أِنْ عَلِمْتُ أَيَّّ لَيْلةُ الْقَدْر مَا أَقُو لُ فِيهَا
“Aku Katakan,”Wahai Rasulullah, jika aku mengetahui (adanya) malam itu (sebagai) lailatul qadar, apa yang kuucapkan pada malam itu?”
Dalam hadits ini -sebagaimana dikatakan Imam Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar 3/303 terdapat bukti, kemungkinan lailatul qadar dapat diketahui dan (juga bukti, pent.) tentang tetap adanya malam itu.”
Az Zurqani rahimahullah mengatakan dalam syarah Muwaththa’ 2/491, “Barangsiapa yang menyangka, bahwa makna –yang terdapat pada hadits di atas, (yaitu) lailatul qadar sudah diangkat- yakni sudah tidak ada lagi, maka dia keliru. Kalau seandainya benar seperti itu, tentulah kaum muslimin tidak diperintahkan untuk mencarinya. Hal ini dikuatkan oleh kelanjutan hadits,
عَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكمْ
“Semoga (dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, pent.) [1] menjadi lebih baik bagi kalian”.
Karena dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, menyebabkan orang tertuntut untuk melaksanakan qiyamul lail selama satu bulan penuh. Hal ini berbeda jika pengetahuan tentang waktunya dapat diketahui secara jelas”.
Kesimpulannya, lailatul qadar tetap ada sampai hari kiamat. Sekalipun penentuan tepatnya kejadian tersebut dirahasiakan, dalam arti, tetap tidak dapat menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan tentang waktunya.
Meskipun pendapat yang rajih (terkuat), bahwa lailatul qadar ada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan dalil-dalil menguatkan, bahwasanya dia adalah malam duapuluh tujuh, akan tetapi memastikannya dengan cara yang yakin merupakan perkara sulit. Allahu a’lam.

Kedua : Kesalahan-Kesalahan Dalam Amal Perbuatan Dan Tingkah Laku.
Kesalahan-kesalahan yang dilakukan manusia pada lailatul qadar itu banyak sekali. Hampir tidak ada yang bisa selamat, kecuali yang dipelihara Allah.
Diantaranya,
1. Mencari dan menyelidiki keberadaannya dan tersibukkan dengan mengintai tanda-tanda lailatul qadar, sehingga lalai beribadah ataupun berbuat taat pada malam itu.
Betapa banyak orang-orang yang shalat, kita lihat diantara mereka lupa membaca Al Qur’an, dzikr dan lupa mencari ilmu karena urusan ini. Engkau dapati salah seorang diantara mereka –menjelang terbitnya matahari memperhatikan matahari untuk mengetahui, apakah sinar matahari ini terik ataukah tidak? Mestinya, orang-orang ini memperhatikan pesan yang terdapat pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكمْ
“Semoga (dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu, pent.) menjadi lebih baik bagi kalian”.
Dalam hadits ini terdapat isyarat, bahwa malam itu tidak ditentukan. Para ahli ilmu menarik kesimpulan dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dirahasiakannya waktu lailatul qadar itu lebih baik. Mereka mengatakan, “Hikmah dalam hal itu, agar seorang hamba bersungguh-sungguh dan memperbanyak amal pada tiap-tiap malam dengan harapan agar bertepatan dengan lailatul qadar. Berbeda jika lailatul qadar itu (telah) ditentukan. Maka, sungguh amal itu hanya akan diperbanyak (pada) satu malam saja, sehingga ia luput dari beribadah pada malam lainnya, atau berkurang. Bahkan sebagian ahli ilmu mengambil satu faidah dari sabda Nabi Shallallalhu ‘alaihi wa sallam tersebut, bahwa sebaiknya orang yang mengetahui lailatul qadar itu menyembunyikannya -berdasarkan dalil- bahwa Allah Azza wa Jalla telah mentaqdirkan kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi was allam untuk tidak memberitakan ketepatan waktunya. Sedangkan semua kebaikan ada pada apa yang telah ditaqdirkan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, merupakan sunnah untuk mengikuti beliau dalam hal ini.
Dari uraian di atas, dapat diketahui kekeliruan orang-orang dalam giatnya mereka shalat secara khusus, atau beribadah secara umum pada malam ke duapuluh tujuh, dengan memastikan atau seakan memastikan, bahwa malam itu adalah lailatul qadar, kemudian meninggalkan shalat dan tidak bersungguhsungguh berbuat taat pada malam-malam lainnya.
Persangkaannya, bahwa mereka hanya akan mendapatkan ganjaran ibadah lebih dari seribu bulan ketika menghidupkan malam ini (malam duapuluh tujuh, pent.) saja.
Kekeliruan ini membuat banyak orang melampaui batas dalam berbuat taat pada malam ini. Anda bisa lihat, diantara mereka ada yang tidak tidur, bahkan tidak henti-hentinya shalat dengan memaksakan diri tanpa tidur. Bahkan mungkin ada sebagian yang shalat, lalu memperlama shalatnya, sementara dia berjuang keras melawan kantuknya. Dan sungguh, kami pernah melihat diantara mereka ada yang tidur dalam sujud.
Dalam hal ini, satu sisi merupakan pelanggaran terhadap petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam yang melarang kita melakukan hal itu. Pada sisi lainnya, itu merupakan beban dan belenggu yang telah dihilangkan dari kita -berkat karunia dan nikmatNya Azza wa Jalla .
2. Diantara kesalahan sebagian kaum muslimin pada malam ini, yaitu sibuk mengatur acara, menyampaikan ceramah. Sebagian lagi sibuk dengan nasyid-nasyid dan nyanyian puji-pujian, sehingga lalai berbuatan taat. Anda bisa saksikan, ada orang yang begitu bersemangat, berkeliling ke masjid-masjid dengan menyampaikan berita terkini, serta bagaimana upaya pemecahannya. Itu dilakukan hingga menyebabkan pemanfaatan malam itu keluar dari apa yang dimaksudkan syari’at.
3. Diantara kekeliaruan mereka juga, yaitu mengkhususkan sebagian ibadah pada malam itu seperti shalat khusus lailatul qadar.
Sebagian lagi senantiasa mengerjakan shalat Tasbih secara berjama’ah tanpa hujjah. Sebagian lagi -pada malam ini- melaksanakan shalat hifzhul Qur’an, padahal tidak ada dasarnya.
Pelanggaran-pelanggaran dan kekeliruan yang berkaitan dengan lailatul qadar –yang dilakukan banyak kaum muslimin- sangat beragam dan banyak sekali. Kalau kita kumpulkan dan kita selidiki, maka tentu pembicaraan ini menjadi panjang. Apa yang kami sampaikan disini, baru sebagian kecil saja. (Insya Allah) bermanfaat bagi penuntut ilmu, pendamba kebenaran dan pencari al haq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Syarah shahih Muslim. Bab Fadlu Lailatul Qadar

Sah kah Shalat Di Shaf Yang Terputus Oleh Tiang Masjid?

A). Hadits – Hadits Tentang Larangan Memutus Shaf Dalam Sholat.
Pertama: Hadits Anas bin Malik radhiallaahu ‘ anhu

Dari Abdul Hamid bin Mahmud berkata: Aku sholat bersama Anas bin Malik radhiallahu anhu pada hari jum'at, maka kami pun terdesak diantara tiang-tiang, maka kami pun maju atau mundur,lalu berkata Anas:

(( كنا نتقي هذا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ))
"kami dahulu menghindari (tiang) ini dizaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam."


Takhrij hadits:

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1/229), Abu Dawud (673), An-Nasaai (2/821) dan dalam Al-Kubro (1/895), Ibnu Hibban (5/2218), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (1/793), Dhiyaa' dalam Al-Mukhtaroh (6/2287,2288), Al-Baihaqi (1/673), (3/104), Abdurrozzaq dalam mushonnaf-nya (2/2489), Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnaf-nya (2/7498), seluruhnya dari jalan Sufyan Ats-tsauri dari Yahya bin Hani' bin Urwah Al-Murodi dari Abdul Hamid bin Mahmud.Dan lafadz diatas berdasarkan riwayat Abu Dawud,Al-Baihaqi,dan Dhiya'.
Pada lafadz yang lain,Abdul Hamid berkata:
Adalah aku bersama Anas bin Malik akan menegakkan sholat, lalu mereka mendesak kami diantara dua tiang, maka Anas pun mundur.setelah kami sholat beliau berkata:
"sesungguhnya kami dahulu menghindari ini di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam". Lafadz ini berdasarkan riwayat Al-Baihaqi, Al-Hakim, Abdurrozzaq, dan Dhiya' dalam satu riwayatnya.

Pada lafadz lainnya Abdul Hamid menyebutkan:
Kami sholat dibelakang salah seorang penguasa, maka keadaan berdesakan, maka kamipun sholat diantara dua tiang.setelah kami sholat, berkata Anas bin Malik:
"sesunguhnya kami dahulu menghindari ini dizaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam".

Kedudukan Hadits

Hadits ini adalah hadits yang shohih, para perawinya adalah perawi yang tsiqoh (terpercaya). Abdul Hamid bin Mahmud Al-Bashri, adapula yang mengatakan Kufi telah ditsiqohkan oleh Ad-Daruquthni, An-Nasaai, dan Ibnu Hibban. Adapun apa yang disebutkan oleh Abdul Haq dalam kitabnya 'Al-Ahkam" bahwa beliau seorang yang tidak bisa dijadikan hujjah, adalah pendapat yang tertolak. Oleh karena itu pendapat ini dibantah oleh Ibnul Qhotthan dan berkata: "aku tidak melihat seorangpun menyebutkannya dalam daftar para perawi yang lemah".
Dan hadits ini telah dishohihkan oleh banyak dari kalangan para ulama, diantaranya:
At-Tirmidzi, berkata: hadits ini hadits hasan shohih juga dishohihkan oleh Al-Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Al-Fath, dan Al-Allamah Al-bani dalam shohih Abi Dawud (673).

Hadits kedua : Hadits Qurroh Bin Iyyas radhiallahu ‘anhu

Dari Qurroh bin Iyyas radhiallahu ‘anhu berkata:

(( كنا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم نطرد طردا أن نقوم بين السواري في الصلاة ))

"Adalah kami dizaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diusir sejauh-jauhnya dari berdiri diantara tiang-tiang (masjid) dalam sholat".

Takhrij hadits:

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1002), Abu Dawud At-Thoyalisi dalam "Al-Musnad" (1073), Ibnu Khuzaimah (1567), Al-Hakim (1/794), Ibnu Hibban (5/2219), Al-Baihaqi (3/104), At-thabroni (19/39), Al-Bazzar dalam musnad-nya (8/249/3312), seluruhnya dari jalan Harun Abu Muslim dari Qotadah dari Muawiyah bin Qurroh dari ayahnya Qurroh bin Iyyas radhiallahu anhu.
Berkata Al-Bazzar: hadits ini kami tidak mengetahui yang meriwayatkan dari Qotadah kecuali Harun Abu Muslim.

Kedudukan hadits:

Dalam sanad ini terdapat seorang perawi bernama Harun bin Muslim, Abu Muslim Al-Bashri. Abu Hatim Ar-Rozi berkata bahwa dia majhul (tidak dikenal). Namun telah dikuatkan dengan riwayat sebelumnya yaitu hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu, sehingga hadits ini adalah hadits yang shahih. Telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim. Dan Al-Allamah Al-Albani dalam Silsilah As-Shohihah: (1/335).


Hadits ketiga : Hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma

Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
(( عليكم بالصف الأول,وعليكم بالميمنة,وإياكم والصف بين السواري ))

"Hendaklah kalian berada di shaf yang pertama, dan carilah shaf sebelah kanan, dan jauhilah shaf yang ada diantara tiang-tiang".

Takhrij hadits:

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Thabroni dalam Al-Kabir (11/12004), dan dalam Al-Awsath (9/9293), dari jalan Ismail bin Muslim Al-Makki dari Abu Yazid Al-Madini dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.

Kedudukan hadits:

Dalam sanad hadits ini terdapat seorang yang bernama Ismail bin Muslim Al-Makki, dia adalah seorang perawi yang dha'if, bahkan sebagian para ulama sangat melemahkannya. Oleh karenanya hadits ini dilemahkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ad-Dho'ifah (6/2895).


B). Beberapa Atsar dari Para Shahabat
Pertama : Atsar Abdullah bin Mas'ud radhiallahu ‘anhu

Dari Abdullah bin Mas'ud radhiallahu anhu bahwa beliau berkata:
(( لا تصفوا بين السواري ))
"Jangan kalian ber-shaf diantara tiang-tiang"

Takhrij atsar:

Atsar ini dikeluarkan oleh Abdurrozzaq (2/2487,2488), Abu Bakar bin Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya (2/1750), At-Thabrani dalam Al-Kabir (9/9293,9295), Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabir (8/2081), Al-Baihaqi dalam Al-Kubro (3/104), Ibnul Ja'ad dalam Al-Musnad (1964), seluruhnya dari jalan Abu Ishaq dari Ma'dikarib Al-Hamdani berkata: aku mendengar Abdullah bin Mas'ud berkata………..Al-Atsar.

Kedua: Atsar Abdullah bin Abbas

Berkata Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma:

((عليكم بميامن الصفوف وإياكم وما بين السواري وعليكم بالصف الأول ))

"Hendaklah kalian mencari shaf bagian kanan, dan jauhilah shaf diantara tiang-tiang, dan carilah shaf yang pertama."

Takhrij atsar:

Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam Mushonnaf (2/2477), dari Ibnu Juraij berkata: berkata seseorang dari Ibnu Abbas.
Dan diriwayatkan pula oleh Al-Fakihi dalam "Akhbar Makkah" (2/1227), dari jalan Ismail bin Muslim dari Abdul Karim bin Abil Mukhoriq dari Sa'id bin Jubair berkata: berkata Ibnu Abbas radhiallahu anhuma.


Ketiga: Atsar Anas bin Malik radhiallahu anhu.

Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu:
(( نهينا أن نصلي بين الأساطين ))
"Kami dilarang shalat diantara tiang-tiang"

Takhrij atsar:

Dikeluarkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah dalam Mushonnaf (2/7499): telah memberitakan kepada kami Husyaim bahwa dia berkata: telah mengabari kami Kholid dari seseorang yang memberitakan padanya dari Anas radhiallahu anhu.


Keempat: Atsar Hudzaifah radhiallahu anhu

عن حذيفة رضي الله عنه أنه كره الصلاة بين الأساطين
Dari Hudzaifah radhiallahu anhu bahwa beliau membenci sholat diantara tiang-tiang.

Takhrij atsar:

Dikeluarkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah dalam mushonnaf (2/7501): telah memberitakan kami Fudhoil bin Iyyadh dari Hushain bin Hilal dari Hudzaifah radhiallahu anhu.


C).Pendapat Para Ulama
Dalam hal menjelaskan tentang hukum sholat diantara dua tiang masjid, ada beberapa hal yang menjadi titik persamaan, dan ada pula yang menjadi titik perbedaan dikalangan para ulama. Adapun yang menjadi titik persamaan dan tidak terjadi perselisihan dikalangan mereka adalah sebagai berikut:

1). Bolehnya sholat sendiri (tidak berjama’ah) diantara dua tiang.
2). Bolehnya Imam sholat jama'ah berdiri diantara dua tiang mesjid.
3). Bolehnya sholat diantara dua tiang apabila jumlah jama'ah sedikit yang tidak melewati apa yang terdapat diantara dua tiang tersebut.
4). Bolehnya membuat shaf bagi para makmum diantara dua tiang apabila jumlah jama'ah terlalu banyak yang apabila mereka tidak sholat diantara dua tiang akan menyebabkan mereka sholat diluar mesjid.
Keempat permasalahan ini telah dinukilkan oleh para ulama bahwa mereka sepakat akan bolehnya hal tersebut.

Adapun yang menjadi letak perselisihan adalah:
Para makmum membuat shaf diantara dua tiang dalam keadaan memungkinkan bagi mereka menghindarinya, dan tidak menyebabkan mereka sholat diluar masjid,
maka inilah yang akan saya jelaskan:

Ketahuilah –semoga Allah merahmati kita semua- bahwa telah terjadi perselisihan dikalangan para Ulama tentang hukum membuat shaf sholat jama'ah diantara tiang-tiang masjid menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama mengatakan :
Tidak disukai (makruh) Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq bin Rohawaih, Ibrohim bin Yazid An-Nakha'I, dan telah diriwayatkan dari beberapa shahabat seperti yang telah kita sebutkan diatas dan pendapat ini banyak dikuatkan oleh para ahli tahqiq seperti Asy-Syaukani, dan Al-Albani rahimahumullah Ta'ala.

Pendapat kedua mengatakan:
Boleh saja.Dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi'i, Ibnul Mundzir, dan diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrohim At-Taimi, Sa'id bin Jubair, Suwaid bin Ghoflah, dan pendapat orang-orang Kufah.

Hujjah masing-masing kedua pendapat:

Alasan pendapat pertama:
a) Dalil-dalil yang shohih yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang telah kami sebutkan di atas.
b). Beberapa perkataan para shahabat yang telah kita sebutkan pula, dan tidak ada dari kalangan shahabat yang lain menyelisihi pendapat tersebut.

Alasan pendapat kedua:
Pendapat ini berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (474) dan Muslim (2358), dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masuk kedalam ka'bah bersama Usamah bin Zaid, Bilal, dan Utsman bin Tholhah, lalu merekapun menutupnya. Tatkala mereka membukanya, aku orang yang pertama memasukinya. Lalu aku bertemu Bilal, maka aku bertanya kepadanya: apakah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sholat di dalamnya?, beliau menjawab: ya, diantara dua tiang depan."
Dalam riwayat yang lain: "beliau jadikan satu tiang sebelah kanannya dan satu tiang sebelah kirinya."
Kata mereka:ini menunjukkan boleh sholat diantara dua tiang secara mutlak tanpa membedakan antara sholat sendiri ataupun sholat jama'ah.

Bantahan terhadap pendapat yang kedua

Tidak ada hujjah bagi pendapat kedua dari hadits tersebut, sebab hadits ini hanyalah menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sholat diantara dua tiang dalam keadaan sendiri, dan bukan sholat jama'ah, sehingga berhujjah dengan hadits ini dalam permasalahan yang diperselisihkan bukanlah pada tempatnya.berkata Asy-Syaukani rahimahullah Ta'ala:
"Larangan tersebut khusus berkenaan tentang sholatnya para makmum di antara tiang-tiang, bukan sholatnya Imam ataukah sholat sendiri. Dan inilah yang terbaik untuk dikatakan, dan apa yang terdahulu dalam mengkiaskan para makmum dengan (sholatnya) imam dan (sholat) sendiri adalah qiyas yang rusak, karena bertentangan dengan hadits-hadits bab ini (tersebut diatas)." (Nailul authaar, Asy-Syaukani:3/187).

Maka kuatlah pendapat pertama yang mengatakan makruhnya membuat shaf bagi para makmum di antara tiang-tiang masjid. Bahkan AsySyaukani rahimahullah menyatakan bahwa dzahir dari hadits tersebut menunjukkan haromnya. (Nailul Authar:3/186).


Hikmah larangan membuat shaf di antara tiang-tiang

Telah disebutkan oleh para ulama, diantaranya Ibnul Arobi, Al-Baihaqi, Imam Ahmad, dan sebagian dari kalangan Hanabilah seperti Ibnu Muflih, Al-Mardawi, Ibnu Qudamah, dan yang lainnya bahwa hikmah dilarangnya membuat shaf di antara tiang-tiang masjid adalah disebabkan karena hal tersebut menyebabkan terputusnya shaf sholat.sedangkan merupakan suatu hal yang dituntut dalam barisan sholat adalah rapat, dan tidak terputus. Maka apabila shaf tersebut diputus oleh tiang-tiang masjid, maka menyebabkan hilangnya salah satu tujuan bershaf yaitu merapatkannya, sehingga menyatukan jasad kaum muslimin antara satu yang lainnya yang mengantarkan kepada menyatunya pula hati-hati mereka. Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
(( أقيموا الصفوف فإنما تصفون بصفوف الملائكة و حاذوا بين المناكب و سدوا الخلل و لينوا بأيدي إخوانكم و لا تذروا فرجات للشيطان و من وصل صفا وصله الله و من قطع صفا قطعه الله عز و جل)) .

"Luruskanlah shaf-shaf kalian, sesungguhnya kalian bershaf seperti shaf-shaf-nya para malaikat, dan sejajarkanlah diantara pundak-pundak kalian. tutuplah yang kosong, lembutlah pada tangan saudara kalian, dan jangan kalian biarkan adanya lubang-lubang syaithan. Barangsiapa yang menyambung shaf, maka Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya), dan barangsiapa yang memutus shaf, maka Allah akan memutusnya (menjauhkan dari rahmat-Nya)."
(HR.Ahmad, Abu Dawud, Thabrani, dari hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dishohihkan Al-Albani rahimahullah dalam shohih al-jami',no:1187).

Abu Dawud berkata:aku telah bertanya kepada Imam Ahmad tentang sholat di antara tiang-tiang maka beliau menjawab: sesungguhnya hal itu dibenci sebab membuat shaf terputus. Maka apabila berjauhan diantara kedua tiangnya maka aku berharap (tidak mengapa).
Oleh karena sebab terputusnya shaf sholat tersebut, maka termasuk pelanggaran yang terdapat disebagian masjid, terdapatnya mimbar yang terlalu panjang yang menyebabkan terputusnya shaf pertama. Sehingga pelanggaran dengan sebab mimbar tersebut dari dua perkara:
Pertama : menyelisihi mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam yang hanya terdiri dari tiga anak tangga.
Kedua : menyebabkan terputusnya shaf sholat.
(lihat kitab: ats-tsamar al-mustathab,karya Syekh Al-Albani rahimahullah Ta’ala:1/413)

Semoga Allah memberikan hidayah kepada kaum muslimin untuk beramal dengan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan menyatukan mereka diatasnya.Amin.


Ditulis oleh : Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi


Daftar rujukan:

1). Shohih Bukhari
2). Shohih Muslim
3). Jami' Tirmidzi
4). Sunan Abi Dawud
5). Sunan An-Nasaai
6). Sunan Ibnu Majah
7). Al-Ihsan litartib shohih Ibnu Hibban
8). Mustadrok Al-Hakim
9). Sunan Kubro,Al-Baihaqi
10). Sunan Kubro,An-Nasaai
11). Al-Mukhtaroh,Dhiyaa'
12). Mushonnaf Abdurrozzaq
13). Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah
14). Shohih Ibnu Khuzaimah
15). Musnad Abi Dawud At-Thoyalisi
16). Mu'jam kabir,At-Thobroni
17). Musnad Al-Bazzar
18). Mu'jam ausath,At-Thobroni
19). Tarikh Kabir,Imam Bukhari
20). Akhbar Makkah,al-Fakihi
21). Musnad Ibnul Ja'ad
22). Tahdzib at-tahdzib,Ibnu Hajar Al-Asqolani
23). Taqrib attahdzib,Ibnu Hajar
24). Nailul Authar,Asy-Syaukani
25). Al-Mughni,Ibnu Qudamah
26). Al-Mubdi',Ibnu Muflih
27). Al-Inshaf,Al-Mardawi
28). Ats-tsamar al-mustathab,Al-Albani
29). Asyarhul mumti',Ibnu Utsaimin
30). Silsilah As-shohihah,Al-Albani
31). Silsilah Ad-Dho'ifah,Al-Albani
32). Shohih Al-Jami',Al-Albani
33). Shohih Abi Dawud,Al-Albani

Sunday, August 21, 2011

Tiga Inti Ajaran Islam Yang Wajib Anda Ketahui

Diiringi panjatan do’a dan sanjungan serta pujian hanya bagi Alloh semata atas segala kenikmatan serta ma’unah (pertolongan) yang tercurah kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya. Kemudian diiringi panjatan sholawat bagi baginda Rosululloh Muhammad bin Abdulloh, bagi keluarga, para sahabat, serta seluruh pengikut beliau yang tulus setia meniti jalan hidup beliau dan menaati ajaran beliau sampai hari kiamat.
Pada majelis kita kali ini kami mengajak sidang pembaca untuk membahas “tiga inti ajaran Islam” yang merupakan salah satu karakteristik Islam yang paling pokok. Kami berharap semoga dengan mengenal serta mengilmui ketiganya kita bisa meluruskan pemahaman sekaligus amalan kita sebagai wujud ukhuwwah (persaudaraan) dan kebersamaan di bawah naungan panji agama Islam.

Pertama:
Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Mentauhidkan-Nya
Inti ajaran Islam pertama adalah berserah diri sepenuh jiwa dan raga hanya kepada Alloh yang didasari kemurnian tauhid kepada-Nya semata. “Berserah diri” di sini bermakna menghinakan dan merendahkan diri disertai ketundukan yang tulus dari setiap hamba kepada penciptanya. Sehingga secara utuh maknanya seorang hamba berserah diri, patuh lagi tunduk kepada Alloh untuk meninggikan keesaan-Nya dalam hak-hak berkehendak dan berbuat yang melazimkan keesaan-Nya dalam hak-hak peribadahan. Inilah hakikat mentauhidkan Alloh, yaitu yang disebut tauhid ibadah, bermakna diunjukkannya seluruh peribadahan hamba hanya kepada-Nya semata.
Ketahuilah, mentauhidkan Alloh dengan seluruh peribadahan merupakan hal yang paling besar dalam ajaran Islam. Keagungan peribadahan ini tersirat dari penyebutannya di dalam Kitabulloh (al-Qur’an) dan dalam hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia merupakan perintah Alloh yang pertama dan seruan awal para rosul utusan-Nya kepada manusia, bahkan para rosul itu diutus demi tujuan tauhid ibadah tersebut.[1] Demikian juga tidaklah didapati fi’il[2] yang pertama kali disebutkan dalam al-Qur’an selain peribadahan kepada-Nya[3]. Dan tidaklah Alloh memerintah manusia dengan fi’il amr[4] yang pertama kali disebutkan di dalam al-Qur’an selain fi’il amr untuk beribadah kepada-Nya[5]. Ini hanya sebagian hikmah Alloh yang mengisyaratkan pada keutamaan ketundukan seorang hamba dengan tauhid ibadah kepada-Nya semata.
Alloh menyebutkan bahwa tauhid adalah millah[6] Nabi Ibrohim alaihis salam, dan kita diwajibkan untuk menitinya. Sebagaimana Alloh menyebutkan teladan dalam berserah diri kepada-Nya pada diri Nabi Ibrohim dan anak-anak serta pengikutnya sehingga kita harus meneladaninya dan tidak membencinya.[7]
Berserah diri, tunduk, dan merendah yang dilakukan oleh seorang muslim merupakan kewajiban yang telah diperintahkan untuk senantiasa dilakukan selama hayat masih dikandung badan[8], dan dia harus melakukan seluruh ritual peribadahannya kepada Alloh disebabkan cinta dan rindunya yang mendalam kepada-Nya. Sebagaimana dia harus merendahkan diri serta menundukkan keangkuhannya di hadapan Alloh dengan harapan yang tinggi lagi besar kepada ridho dan rohmat-Nya serta dengan perasaan takut, cemas, dan khawatir akan murka dan siksa-Nya. Alloh telah berfirman:
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (QS. al-Anbiya’ [21]: 90)
Dalam ayat di atas disebutkan bahwa berserah dirinya seorang muslim kepada Alloh harus terwujud dalam bentuk amalan sholih dan kebaikan yang didasari keikhlasan hanya kepada-Nya semata. Itulah sesungguhnya hakikat khusyu’, yaitu sikap merendah seorang hamba di hadapan penciptanya yang ia yakin akan kebesaran dzat-Nya dan ketinggian serta keagungan sifat-Nya.
Nampak jelaslah bahwa berserah diri kepada Alloh yang dimaksudkan di sini tidak sama dengan berserah diri kepada taqdir; bila seseorang telah menerima taqdir Alloh—apapun bentuk dan cita rasanya—maka berarti ia telah berserah diri kepada-Nya. Bukan itu maksudnya! Akan tetapi, seseorang dikatakan telah berserah diri kepada Alloh bila ia telah mencurahkan waktu, daya, dan upayanya untuk beramal ibadah kepada Alloh semata, bahkan selama hayat masih dikandung badan ia harus melakukannya. Maka pahamilah wahai kaum!

Kedua:
Mewujudkan Ketaatan Atas Segala Perintah Alloh dan Menjauhi Larangan-Nya
Mengapa Islam memerintahkan manusia untuk taat kepada perintah Alloh dan Rosul-Nya, apa faedah yang akan didapati oleh mereka yang taat, apa pula celakanya bila mereka tidak taat? Pertanyaan seperti ini mungkin yang sering menutupi fithroh suci setiap orang yang enggan untuk taat.
Ada satu hal yang harus selalu kita ingat, yaitu bahwa Alloh telah mengutus para rosul kepada seluruh umat, bahkan tiada suatu umat pun melainkan Alloh telah mengutus kepada mereka seorang rosul. Alloh juga menyebutkan tujuan diutusnya mereka guna menyampaikan kabar gembira sekaligus peringatan serta ancaman. Alloh berfirman:
Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (QS. Fathir [35]: 24)
Kabar gembira dan peringatan tersebut disampaikan kepada seluruh umat ini, yaitu kabar gembira bagi umat yang taat dan peringatan serta ancaman bagi mereka-mereka yang enggan.
Ketahuilah, ketaatan apapun yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri dan bukan untuk membahagiakan Alloh dengan ditaati-Nya.[9] Sungguh, ketaatan manusia kepada Alloh dan rosul-Nya merupakan kebutuhan asasi disebabkan butuhnya mereka kepada rohmat Alloh, penciptanya. Oleh sebab itu, Alloh memerintahkan manusia untuk taat kepada-Nya dan taat kepada rosul-Nya, yaitu agar mereka dirohmati oleh Robb seru sekalian alam. Ini adalah sebagian kabar gembira yang dibawa oleh para rosul. Alloh berfirman:
Dan taatilah Alloh dan rosul, supaya kamu diberi rohmat. (QS. Ali Imron [3]: 132)
Telah kita ketahui bahwa Alloh telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita—sebagai umat terakhir—sebagaimana Dia pun telah menurunkan al-Qur’an bersama beliau. Seperti halnya para rosul sebelum beliau, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun diutus dengan membawa kabar gembira sekaligus peringatan bagi kita.[10] Maka perhatikanlah firman Alloh sebagai kabar gembira bagi kaum yang taat (yang artinya):
… barangsiapa taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (QS. an-Nisa’ [4]: 13)
Di dalam ayat selanjutnya Alloh berfirman tentang ancaman bagi mereka-mereka yang lalim lagi durhaka (yang artinya):
Dan barangsiapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. an-Nisa’ [4]: 14)
Mungkin ada yang mengatakan ancaman tersebut sekedar ancaman, sebagaimana kabar gembira itu hanya sekedar janji. Aduhai, sungguh besar kecelakaan dan sungguh gelap jalan mereka, yakinlah bahwa tiada seorang pun yang mengatakan demikian melainkan ia sangat jahil bahkan telah tersesat di lembah hitam kekufuran.
Sudahkah mereka belajar dari umat-umat yang terdahulu? Sudahkah mereka tahu bahwa Alloh pun telah memerintahkan supaya kita mengambil pelajaran dari umat-umat yang terdahulu?[11]
Ingatlah kesudahan kaum ‘Ad yang mengerikan, mengapa angin yang sangat dingin lagi sangat kencang menerpa mereka selama tujuh hari delapan malam sehingga mereka binasa sama sekali dan tidak menyisakan seorang pun? Ingatlah kesudahan kaum Tsamud yang celaka, mengapa petir yang sangat besar dengan suara mengguntur yang memekakkan lagi mematikan membinasakan mereka? Ingatlah pula kesudahan kaum Nabi Luth alaihis salam yang menjijikkan, gerangan apa sebabnya negeri tempat tinggal mereka dibalikkan sedangkan hujan batu yang panas membakar menerpa mereka hingga binasa? Sejarah telah menjadi saksi bahwa kaum ‘Ad telah durhaka kepada Nabi Hud alaihis salam, kaum Tsamud tidak taat kepada Nabi Sholih alaihis salam, sementara kaum Nabi Luth alaihis salam enggan dan berpaling dari seruan beliau.[12]
Ingatlah juga kapal penyelamat Nabi Nuh alaihis salam, bagaimana air telah menenggelamkan seluruh manusia dan tiada tersisa seorang pun di muka bumi ini selain yang taat mengikuti Nabi Nuh alaihis salam dan menumpang di atas kapal yang Alloh perintahkan Nabi Nuh alaihis salam untuk membuatnya?[13] Sungguh ini adalah keterangan yang nyata, maka ambillah pelajaran wahai kaum![14] Akankah kesombonganmu tetap mengalahkan fithrohmu?
Maka jelaslah bahwa hanya mereka yang enggan taat lantaran sombonglah yang menolak kejelasan perkara yang terang-benderang—laksana matahari di siang hari—ini. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan kejelasan masalah ini dalam sabda beliau:
“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan!” Para sahabat bertanya: “Siapa orang yang enggan (masuk surga), wahai Rosululloh?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang taat kepadaku niscaya akan masuk surga, dan siapa saja yang mendurhakaiku dialah orang yang enggan (masuk surga).” Dalam riwayat lain beliau bersabda: “… dan siapa saja yang mendurhakaiku niscaya akan masuk neraka.”[15]
Setelah semuanya jelas, kini ketahuilah bahwa “ketaatan” itu disebut “ketaatan” apabila berupa ketekunan melaksanakan perintah seiring dengan senantiasa waspada untuk meninggalkan larangan. Bila seseorang hanya melaksanakan perintah saja, dia masih belum dikatakan taat sehingga dia juga meninggalkan larangan. Demikian juga, bila seseorang hanya meninggalkan larangan namun tidak melaksanakan perintah tidaklah disebut orang yang taat sehingga dia menegakkan perintah-perintah.
Ketahuilah bahwa perintah yang paling awal, paling agung, dan paling utama adalah mentauhidkan Alloh dengan seluruh peribadahan sebagaimana hal ini telah jelas pada inti ajaran Islam yang pertama. Sebaliknya, larangan yang paling besar dan paling utama untuk ditinggalkan adalah menduakan Alloh dengan makhluk-Nya sebagai pemilik hak peribadahan, ialah dosa syirik, mempersekutukan Alloh dengan makhluk-Nya. Maka ketaatan seorang muslim yang paling utama ialah ia mengesakan Alloh dengan seluruh macam ibadah seiring dengan ia tinggalkan kesyirikan serta para pelakunya. Lebih lanjut hal ini akan kita pahami pada inti ajaran Islam yang ketiga berikut ini.

Ketiga:
Berlepas Diri dari Kesyirikan dan Pelakunya
Kewajiban awal bagi setiap muslim adalah bertauhid yang murni lagi tulus seiring dengan berlepas diri dan cuci tangan dari kesyirikan. Perhatikanlah apa yang telah Alloh perintahkan dan dari apa yang kita dilarang-Nya dalam ayat berikut:
Ibadahilah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun…. (QS. an-Nisa’ [4]: 36)
Di sini Alloh subhanahu wata’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya dan melarang mereka dari mempersekutukan-Nya. Hal ini mengandung penetapan hak peribadahan hanya bagi-Nya semata. Sehingga siapa yang tidak beribadah kepada-Nya maka ia kafir lagi congkak, dan siapa yang beribadah kepada Alloh disertai peribadahan kepada selain-Nya maka ia kafir lagi musyrik, sedangkan siapa saja yang hanya beribadah kepada-Nya semata ialah muslim yang mukhlish.[16]
Ketahuilah, berlepas diri dari kesyirikan itu mengharuskan berlepas diri dari para pelakunya. Tatkala seseorang berusaha menyucikan diri dari kesyirikan maka usahanya itu mengharuskannya membersihkan diri dari hubungan baik dengan para pelaku kesyirikan di atas kesyirikan mereka. Sungguh Alloh telah menunjuk teladan yang baik dalam masalah ini pada diri Nabi Ibrohim alaihis salam dan kaumnya.[17]
Akhirnya, semoga Alloh menuntun kita semua meniti jalan-Nya yang lurus dalam ber-Islam yang sesuai dengan kehendak-Nya.

[1] Lihat QS. al-Anbiya’ [21]: 25.
[2] Fi’il: kata kerja
[3] Fi’il yang pertama kali disebutkan dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Fatihah ayat 4, yaitu kata na’budu yang berarti “kami beribadah”. Dan tidak ada kata kerja lainnya yang mendahuluinya dalam surat tersebut yang merupakan surat pertama dalam al-Qur’an sesuai urutan dalam Mushhaf Utsmani.
[4] Fi’il amr dalam bahasa Indonesia disebut “kata perintah”.
[5] Fi’il amr yang pertama kali disebutkan dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Baqoroh ayat 21, yaitu kata u’budu yang berarti “beribadahlah kalian”. Dan tidak ada kata perintah lainnya yang mendahuluinya dari ayat-ayat sebelumnya sampai awal al-Qur’an.
[6] Millah: agama atau jalan hidup
[7] QS. al-Baqoroh [2]: 130–132
[8] QS. al-An’am [6]: 162–163
[9] QS. Fushshilat [41]: 46
[10] QS. al-Baqoroh [2]: 119
[11] QS. Yusuf [12]: 109
[12] Lihat QS. Hud [11]: 50–83, QS. al-Haqqoh [69]: 4–8.
[13] Lihat QS. Hud [11]: 25–49.
[14] Lihat QS. al-Hajj [22]: 46.
[15] Hadits shohih riwayat Bukhori, kitab al-I’tishom bil Kitab was Sunnah bab al-iqtida’ bi sunani Rosulillah shallallahu ‘alaihi wasallam.
[16] Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad al-Utsaimin, hlm. 42. Mukhlish artinya yang tulus ibadahnya hanya untuk Alloh subhanahu wata’ala.
[17] Lihat QS. al-Mujadilah [58]: 22 dan QS. al-Mumtahanah [60]: 4.


Penulis: Abu Ammar Al-Ghoyami
http://alghoyami.wordpress.com/2011/03/09/tiga-inti-ajaran-islam/

Indahnya Cinta

Pria mencintai wanita atau sebaliknya termasuk bagian dari nikmat dunia dari Allah SWT. Cinta memang indah dan ini semua yang telah Allah anugerahkan kepada semua insan. Namun tidak semua yang kita cintai pasti terpenuhi, karena kehendak manusia tergantung kehendak Allah SWT.

Allah SWT berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

Artinya:
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."
(QS. Ali Imran: 14).

Jika Allah SWT enghendaki maka pasti akan terjadi, tapi jika tidak maka tidak akan terjadi. Jika kita menerima prinsip ini, maka semua yang sulit akan menjadi mudah


Saturday, August 20, 2011

Penjelasan Tentang Larangan Bau Bawang Putih Masuk Masjid

Telah menyampaikan kepada saya Syaikhuna As-Syaikh Al Muhaddits Al Hafizh Al Faqih Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan, Ahmad bin Yahya bin Muhammad Syabir An-Najmi Alu Syabir Al Atsari rahimahullah dengan sanad yang bersambung sampai kepada Al Imam Al Hafizh Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al Maqdisi rahimahullah, beliau berkata dalam kitabnya Umdatul Ahkam :

Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam bahwa beliau bersabda :
"Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah, hendaknya menjauh dari kami dan menjauh dari masjid kami serta tinggal di rumah".
Dan dihidangkan kepada Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam sebuah periuk yang berisi sayuran dari sayuran bertunas. Kemudian tercium aromanya oleh beliau. Lalu beliau bertanya (tentangnya) . Kemudian beliau diberitahu tentang sayuran (bertunas) tersebut. Lalu beliau bersabda :
"Dekatkan ia kepada sebagian Shahabatku".



Tatkala Shahabat tersebut melihat demikian, maka dia menjadi enggan memakannya, beliau bersabda :

"Makanlah, sebab saya bermunajat dengan malaikat yang kalian tidak bermunajat dengannya".

Syaikhuna Ahmad An-Najmi –Hafizhahullah- berkata :

Tema Hadits :

Keringanan bagi orang yang memakan bawang putih dan bawang merah serta bawang bakung untuk meninggalkan shalat berjamaah selama dia tidak menjadikan hal tersebut sebagai alasan yang disengaja untuk meninggalkan shalat berjamaah. Jika dia melakukannya dengan sengaja untuk mendapatkan udzur dari berjamaah, maka perbuatannya adalah haram dan pelakunya berdosa.

Kosa Kata :

( الثُّوْمُ وَالبَصَلُ): Adalah dua tanaman yang sudah dikenal (bawang putih dan bawang merah), jika dimakan dapat menimbulkan aroma tidak sedap dari mulut orang yang memakannya. Dan akan hilang atau berkurang aromanya jika dimatikan dengan cara dimasak. Ahli kedokteran menyebutkan bahwa syidzab (jenis tanaman yang beraroma wangi), jika dikunyah setelah makan bawang putih dan bawang merah, maka ia dapat menghilangkan baunya.

( فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا) : Adalah idzin untuk tidak berjamaah atau ancaman tidak mendapatkan pahala berjamaah.

( بِقِدْرٍ ) : (القِدْرُ ) adalah bejana yang digunakan untuk memasak makanan.

( فِيْهِ خَُضَِرَاتٌ) : Dengan mendhammah kan yang pertama dan menfathahkan yang kedua atau menfathahkan yang pertama dan mengkasrahkan yang kedua. Hal ini disebutkan oleh Ash-Shan'ani dalam Al Uddah. Sementara Ibnul Atsir tidak menyebutkan dalam An-Nihayah selain dengan menfathahkan kha dan mengkasrahkan dhad. Dan ini yang termasyhur.

( فَأُخْبِرَ بِمَا فِيْهَا مِنَ البُقُوْلِ) : Yaitu bentuk jamak dari ( بَقْل), dan yang dimaksud dengan ( البَقْل) adalah sayuran (bertunas) yang dimakan sebagai lalapan dari daun-daunan.

Sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam : (كُلْ فَإِنِّي أُنَاجِي مَِنْ لاَ تُنَاجِي) : Maksudnya adalah bermunajat dengan malaikat. Dan (makna) munajat adalah berbincang-bincang dengan lirih. Dan perintah dalam hadits ini menunjukkan boleh (memakannya) .


Makna Umum :

Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam melarang orang yang memakan bawang putih dan bawang merah serta bawang bakung sebagai lalapan untuk masuk kedalam masjid dan memerintahkannya untuk menyendiri dan duduk tinggal di rumah.

Dan pernah dihidangkan kepada Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam makanan yang telah dimasak di dalam sebuah periuk yang di dalamnya terdapat bawang putih. Kemudian Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam meninggalkannya seraya bersabda : "Dekatkan ia kepada sebagian Shahabatku". Akan tetapi Shahabat tersebut enggan memakannya ketika melihat Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam meninggalkan makanan tersebut. Maka Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam berkata kepadanya : "Makanlah, sebab saya bermunajat dengan malaikat yang kalian tidak bermunajat dengannya". Yaitu bahwa beliau berbincang dengan malaikat.


Fikih Hadits :


1. Dipahami darinya makruhnya memakan sayuran yang memiliki aroma tidak sedap bagi yang berkewajiban shalat berjamaah, kecuali pada waktu yang memungkinkan baginya untuk pergi ke masjid setelah membersihkan aroma tersebut dari mulutnya. Seperti memakannya ba'da Isya' atau ba'da shalat Shubuh, berdasarkan riwayat Ibnu Khuzaimah di dalam Shahihnya 3/85 dari hadits Abu Said Al Khudri, di dalamnya terdapat lafazh :



((وَمَنْ أَكَلَهُ مِنْكُمْ فَلاَ يَقْرَبْ هَذَا المَسْجِدَ حَتَّى يَذْهَبَ رِيْحُهُ))( [2]) .


Artinya : "Dan barangsiapa diantara kalian yang memakannya, maka janganlah dia mendekati masjid ini sampai hilang aromanya".



2. Bahwa hukum makruh terbatas pada lalapannya (yaitu dimakan mentah). Sedangkan jika dimasak sampai hilang aromanya, maka tidak dimakruhkan. Kepadanya sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam berikut diarahkan :


((فَإِنِّي أُنَاجِي مَِنْ لاَ تُنَاجِي )).


Artinya : "Makanlah, sebab saya bermunajat dengan malaikat yang kalian tidak bermunajat dengannya".

Dan hal ini semakin diperjelas dengan ucapannya :



((وَأُتِيَ بِقِدْرٍ فِيْهِ خَضِرَاتٌ)).

Artinya : Dan dihidangkan kepada Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam sebuah periuk yang berisi sayuran.

Keberadaan sayuran tersebut di dalam periuk menunjukkan bahwa ia telah dimasak.

Sedangkan ucapannya :

((فَوَجَدَ لَهَا رِيْحاً)).


Artinya : Kemudian tercium aromanya oleh beliau.

Maksudnya adalah aroma sayuran yang telah dimasak berbeda dengan aromanya setelah dimakan.

Sedangkan Nabi Shalallahu Alaihi Wasalam meninggalkannya dan (beliau menganggapnya) makruh karena beliau selalu berbincang dengan Jibril. Dan yang menunjukkan hal ini adalah hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari hadits Ummu Ayyub, dia berkata :



((نَزَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ e فَتَكَلَّفْنَا لَهُ طَعَاماً فِيْهِ بَعْضُ البُقُوْلِ))

Artinya : Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam berkunjung ke tempat kami, maka kami menyajikan untuk beliau masakan yang di dalamnya terdapat beberapa sayuran bertunas.

Kemudian dia menyebutkan hadits. Dan di dalamnya terdapat lafazh :



((كُلُوْا فَإِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُمْ, إِنِّي أَخَافُ أَنْ أُوْذِيَ صَاحِبِي)).( [3])

Artinya : Makanlah, sebab sesungguhnya saya tidak seperti salah seorang diantara kalian. Sesungguhnya saya khawatir mengganggu Shahabat saya.

Dan diantara yang menunjukkan hal ini juga adalah hadits riwayat Muslim dan Ibnu Khuzaimah bahwa Umar bin Al Kaththab  berkhuthbah dihadapan manusia di hari jumat, kemudian dia berkata :


((أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَأْكُلُوْنَ شَجَرَتَيْنِ مَا أَرَاهُمَا إِلاَّ خَبِيْثَتَيْنِ : هَذَا الثُّوْمُ وَهَذَا البَصَلُ, وَقَدْ كُنْتُ أَرَى الرَّجُلَ يُوْجَدُ مِنْهُ رِيْحُهُ, فَيُؤْخَذُ بِيَدِهِ فَيُخْرَجُ إِلَى البَقِيْعِ، وَمَنْ كَانَ أَكَلَهَا فَلْيُمِتْهَا طَبْخاً)).( [4])

Artinya : Wahai manusia, sesungguhnya kalian memakan dua tanaman yang tidaklah saya melihatnya melainkan jelek keduanya. Yaitu bawang putih dan bawang merah. Dahulu saya melihat ada seseorang yang tercium bau darinya kemudian digandeng tangannya kemudian dikeluarkan ke Baqi'. Maka barangsiapa ingin memakannya maka matikanlah aromanya dengan cara dimasak.

Dan Abu Awanah mengeluarkan dari hadits Jabir, Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda :



مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ – يَعْنِي الثُّوْمَ – فَلاَ يَغْشَانَا فِي مَسْجِدِنَا، قَالَ : مَا يَعْنِي بِهِ ؟ قَالَ مَا أُرَاهُ إِلاَّ نَيِّئَهُ)).( [5])

Artinya : "Barangsiapa memakan tanaman ini –yaitu bawang putih- maka janganlah dia mendekati kami di masjid kami".

Atha' bertanya : "Apa yang dimaksud oleh beliau ?"

Jabir menjawab : "Tidaklah diperlihatkan kepada saya oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam melainkan tanaman yang dimakan mentah".

Oleh sebab itu Al Bukhari mengarahkannya seraya berkata dalam Shahihnya (بَابُ مَا جَاءَ فِي الثُّوْمِ النَّيِّئِ). Yaitu bab tentang bawang putih yang dimakan mentah.



3. Dipahami darinya makruhnya memasuki masjid-masjid dengan beraroma tidak sedap seperti ini. Barangsiapa melakukannya berarti dia hendak mengganggu hamba Allah dari para malaikat dan orang-orang shalih. Kepadanyalah larangan pada hadits berikut diarahkan :

((فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسَاجِدَنَا)).

Artinya : Janganlah dia mendekati masjid-masjid kami.

Sebagian Ulama' berdalil dengan hadits ini bahwa shalat jamaah bukanlah fardhu ain. Dan hal ini telah dibantah oleh Ibnu Daqiqil Id dan Al Hafizh dalam Fathul Bari serta Syaikh Abdul Aziz bin Baz pada ta'liqnya.



4. Terdapat dalam riwayat Ahmad bin Shalih dari Ibnu Wahb pada riwayat Syaikhain dengan lafazh (بِبَدْرٍ ). Dan ia diselisihi oleh Said bin Ufair pada riwayat Al Bukhari, Abu Thahir dan Harmalah bin Yahya pada riwayat Muslim. Mereka semua berkata : (بِقِدْرٍ ).

Sebagian Ulama' menguatkan riwayat pertama dengan alasan bahwa Ibnu Wahb menafsirkan (بِبَدْرٍ ) bahwa ia adalah mangkok. Sementara Al Hafizh menguatkan riwayat Jamaah. Dan iniliah yang tampak dari pendapat Al Bukhari dalam penshahihan larangan tersebut dengan (yang) dimakan mentah. Dengannya tercapailah kompromi diantara dalil-dalil.

Sedangkan keengganan Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam untuk memakannya (walaupun) dalam keadaan telah dimasak, maka ini merupakan kekhususan beliau. Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Ibnu Khuzaimah pada ucapannya :



((ذِكْرُ مَا خَصَّ اللهُ بِهِ نَبِيَّهُ مِنْ تَرْكِ أَكْلِ الثُّوْمِ وَنَحْوِهِ مَطْبُوْخاً)).


Penyebutan apa yang Allah khususkan kepada Nabi-Nya untuk meninggalkan makan bawang dan sejenisnya dalam keadaan telah dimasak.



5. Sebagian Ulama' mengkhususkan larangan tersebut berlaku pada masjid Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam . Mereka berdalil dengan lafazh :



((فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا )).


Artinya : "Maka janganlah dia mendekati masjid kami".



Pendapat ini lemah dengan beberapa alasan berikut :

Pertama : Bahwa penyebabnya tidak khusus pada masjid Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam, akan tetapi umum mencakup seluruh masjid .

Kedua : Terdapat lafazh (المَسَاجِد ) dan lafazh (المَسْجِد ), bahkan terdapat sebab terucapnya hadits yang akan datang pada saat perang Khaibar. Dengan demikian jelaslah bahwa maksudnya adalah tempat shalat dimana-pun berada. Wallahu a'lam.

http://abumusli.co.nr/2007/11/bau-bawang-masuk-masjid.html