Alhamdulillah. Shalawat dan Salam mudah-mudahan tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikutinya hingga akhir zaman. Amma ba’du:
Gadai menggadai adalah jenis transaksi yang telah lumrah dilakukan masyarakat manusia. Ini menunjukkan bahwa transaksi gadai dibutuhkan oleh manusia dalam hubungan interaksi (mu’amalah) mereka di dunia. Sejalan dengan ini, akad gadai adalah jenis transaksi yang dihalakan oleh syariat dengan dalil dari Alquran, sunnah dan ijma para ulama. Namun tentu saja transaksi itu harus dilakukan dengan aturan-aturan yang wajib diperhatikan. Karena ternyata dalam prakteknya, transaksi ini tidak jarang dilakukan dengan tanpa mengindahkan aturan-aturan syar’i, sehingga terjatuh pada perkara yang diharamkan dan menyimpang dari tujuan akad gadai itu sendiri.
Diantara permasalahan yang terkait dengan gadai adalah tentang memanfaatkan barang gadaian yang ada pada pemegang barang gadai/pemberi piutang. Penulis pun pernah ditanya: Apakah boleh menggadaikan barang seperti motor kepada orang yang memberi pinjaman uang (utang) dengan ketentuan bahwa barang itu boleh dipakai oleh pemberi pinjaman?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak beberapa nukilan dari para ulama berikut:
Madzhab Hanafy
Ulama Hanafiyyah berkata, “Tidak boleh bagi pemegang barang gadai (murtahin) memanfaatkan barang gadaian dengan memakai, mengendarai, menempati (tempat tinggal), memakai pakaian atau membaca kitab. Kecuali dengan izin penggadai. Karena ia hanya memiliki hak untuk menahan barang tersebut, bukan memanfaatkan.
Jika pemilik barang mengizinkan, menurut sebagian ulama hanafy boleh secara mutlak. Dan menurut sebagian lagi tidak boleh secara mutlak. Karena ia termasuk riba atau syubhat riba. Dan ridha atau izin tidak dapat melegalkan riba atau syubhat riba. Diantara mereka juga ada yang merinci. Jika disyaratkan pemanfaatan atas penggadai dalam akad maka tidak boleh, termasuk riba. Jika tidak disyariatkan maka boleh, karena termasuk pemberian dari penggadai kepada penerima gadai. Dan pensyaratan itu baik dalam bentuk yang terang atau jelas, begitu juga dalam bentuk yang sudah menjadi keumuman yang dikenal. Karena sesuatu yang telah dikenal sama seperti yang disyaratkan.”[1]
Madzhab Maliky
Sahnun berkata, “Aku berkata, “Apakah penerima gadai, boleh baginya mensyaratkan sesuatu dari manfaat barang gadaian?” ia (ibnul Qasim) berkata, “Jika itu karena utang perdagangan, maka boleh. Namun jika utang karena pinjaman, maka hal itu tidak boleh, karena ia menjadi pinjaman yang mendatangkan manfaat.”[2]
Madzhab Syafi’i
Asy-Syirazy berkata, “Jika seseorang mengajukan sebuah syarat dalam gadaiannya yang menegasikan tujuan dari akad gadai, seperti berkata, “saya menggadaikan barang untukmu tapi dengan syarat saya tidak akan menyerahkannya kepadamu, atau dengan syarat barang itu tidak boleh dijual untuk melunasi utang, atau dengan syarat kemanfaatannya untukmu, atau anaknya untukmu”, maka syarat tersebut batal. Karena sabda Nabi, “Setiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah adalah batil, walaupun seratus syarat.”[3]
Al Muthi’iy berkata, “Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Hutangi saja sebanyak seribu junaih dan saya memberikan mobil saya kepadamu sebagai gadaian dan kamu boleh memanfaatkannya.” Kemudian orang itu menghutangi. Maka akad pinjam meminjamnya batal. Karena ia adalah pinjaman yang mendatangkan manfaat.”[4]
Madzhab Hanbaly
Ibnu Qudamah berkata, “Diantara syarat-syarat gadai yang rusak: “…Atau agar penerima gadai memanfaatkan barang gadaian.”[5]
Al-Khiraqy berkata, “Dan penerima gadai tidak boleh sama sekali memanfaatkan barang gadaian, kecuali binatang tunggangan atau perahan, maka boleh ditunggangi atau diperah seukuran biaya makanannya.”
Ibnu Qudamah berkata: “Pembahasan atas permasalahan ini dalam dua keadaan: Pertama, pada barang gadaian yang tidak ada biaya tanggungannya. Seperti rumah atau barang berharga dan sejenisnya. Maka tidak boleh bagi penerima gadai memanfaatkannya sama sekali tanpa izin penggadai. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat dalam masalah ini. Karena barang gadaian milik penggadai, begitu juga tambahannya dan kemanfaatannya. Maka tidak boleh bagi selain penggadai mengambilnya (tambahan atau manfaat) tanpa seizinnya.
Adapun jika penggadai mengizinkan bagi penerima gadai untuk memanfaatkannya tanpa imbalan, sementara utang gadaian itu berupa pinjaman, maka ini pun tidak boleh. Karena hal ini mengakibatkan pinjaman yang mendatangkan manfaat, dan itu adalah haram. Ahmad berkata, “Saya membenci pinjaman ad-duur, ia adalah riba.” Maksudnya adalah jika sebuah rumah digadaikan dan dimanfaatkan oleh penerima gadai.
Akan tetapi jika utang itu adalah karena barang dagangan atau uang sewaan (yang belum dibayar), atau utang selain pinjaman, kemudian penggadai mengizinkannya, maka itu boleh.”
Fasal: “jika disyaratkan dalam gadaian penerima gadai memanfaatkan barang gadaian, maka syaratnya rusak, karena hal itu menegasikan tujuan dari penggadaian. Dari Ahmad, bahwa boleh dalam barang dagangan…”
Kedua, jika barang gadaiannya merupakan sesuatu yang membutuhkan biaya. Maka hukum penerima gadai dalam memanfaatkannya baik dengan imbalan atau tidak, dengan izin penggadai, hukumnya seperti yang sebelumnya. Jika penggadai mengizinkan bagi penerima untuk membiayai dan memanfaatkannya seukuran dengan biaya, maka boleh. Karena itu termasuk kompensasi.”[6]
Beberapa Kesimpulan
Dari nukilan-nukilan diatas, kita bisa menyimpulkan beberapa hal:
- Pemegang barang gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadaian yang ada padanya. Karena pemegang gadai hanya memiliki hak menahan barang, bukan memanfaatkan barang. Kepemilikan barang tetap menjadi hak penggadai.
- Haramnya pemanfaatan ini karena hal tersebut termasuk pinjaman yang mendatangkan manfaat. Hal ini dilarang karena termasuk riba. Sebagaimana dalam kaidah, “Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba.”[7]
- Izin pemilik barang gadai tidak dapat melegalkan pemanfaatan karena ia termasuk riba. Dan ridha atau izin tidak dapat menghalalkan riba. Karena haramnya riba tidak hanya terkait dengan hak sesama, tapi juga terkait dengan hak Allah.
- Jika izin pemanfaatan itu disyaratkan dalam akad maka ini jelas termasuk riba yang diharamkan. Begitu juga jika tidak disyaratkan secara terang (sharih) dalam akad akan tetapi sudah menjadi keumuman yang sudah diketahui. Karena sesuatu yang sudah menjadi keumuman hukumnya seperti sesuatu yang disyaratkan. Dan kebanyakan manusia biasanya ketika mereka memberikan pinjaman dengan barang gadaian, mereka ingin memanfaatkan barang tersebut.
- Jika tidak disyaratkan dalam akad, maka hukumnya boleh menurut sebagian para ulama di madzhab Hanafy. Dengan alasan bahwa itu termasuk pemberian dari pemilik barang gadai kepada penerima gadai. Akan tetapi yang benar adalah tetap tidak boleh. Karena ia termasuk pinjaman yang mendatangkan manfaat. [8]
- Akad pegadaian adalah jenis akad yang tujuannya adalah sebagai jaminan (tautsiq) yang jika peminjam tidak mampu melunasi utangnya, maka barang gadaian itu bisa dijual dan uangnya bisa dipakai untuk melunasi. Dan akad gadai itu bukan bertujuan untuk mencari keuntungan. Maka, jika pemegang barang memanfaatkan barang gadaian berarti ia telah melakukan sesuatu yang menegasikan tujuan dari akad gadai.
- Tujuan akad pinjam meminjam juga adalah tolong menolong/membantu (irfaaq), agar peminjam mendapat manfaat dari pinjaman yang ia butuhkan itu. Dan balasan bagi yang memberi pinjaman adalah perbuatannya itu bernilai kebaikan (ihsan) dan mengharap pahala dari Allah.[9] Oleh karena itu juga jika pemberi pinjaman mendapat manfaat dari barang gadaian peminjam, maka ia menegasikan tujuan dari akad gadai.
- Haramnya pemanfaatan itu hanya jika utang penggadai adalah utang pinjaman. Jika utang itu adalah utang jual beli atau sewa menyewa, maka hal itu dibolehkan dengan izin penggadai.
- Penerima gadai boleh memanfaatkan barang gadaian dengan izin penggadai dan imbalan, karena berarti itu termasuk kompensasi.
- Jika barang gadaiannya merupakan sesuatu yang membutuhkan biaya, seperti hewan ternak yang membutuhkan makanan, maka penerima gadai boleh memanfaatkannya dengan menunggangi atau memerah susunya seukuran dengan biaya yang dia keluarkan. Karena hal itu termasuk keadilan. Dan ini pendapat Madzhab Hanbaly.
Penutup
Itulah beberapa hal yang dapat penulis bahas dalam masalah ini. Khusus masalah pemanfaatan barang gadaian oleh pihak pemberi piutang/pemegang barang gadai.
Wallahu ‘alam, Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin.
Abu Khaleed –