Tuesday, August 2, 2011

Para Ulama Salaf di Bulan Ramadhan

Generasi as-salafush shalih mereka adalah orang-orang yang mengetahui betapa berharganya bulan yang penuh barakah ini, mereka melewati bulan tersebut dengan penuh keseriusan dan bersungguh-sungguh untuk melakukan amal shalih dengan mengharapkan ridha Allah dan mengharap ganjaran-Nya. Telah tetap bahwasanya mereka dahulu berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar Allah menyampaikan mereka kembali kepada Ramadhan kemudian mereka juga berdo’a kepada-Nya selama 6 bulan agar Dia menerima amalan-amalan mereka.
Generasi as-salafush shalih mereka adalah orang-orang yang mengetahui betapa berharganya bulan yang penuh barakah ini, mereka melewati bulan tersebut dengan penuh keseriusan dan bersungguh-sungguh untuk melakukan amal shalih dengan mengharapkan ridha Allah dan mengharap ganjaran-Nya. Telah tetap bahwasanya mereka dahulu berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar Allah menyampaikan mereka kembali kepada Ramadhan kemudian mereka juga berdo’a kepada-Nya selama 6 bulan agar Dia menerima amalan-amalan mereka.

Abdul Aziz bin Abi Daud berkata : “Aku mendapati mereka bersungguh-sungguh dalam beramal shalih. Ketika mereka telah melakukannya, mereka pun ditimpa kekhawatiran, apakah amalan mereka diterima atau tidak.”

Maka kemarilah wahai saudaraku yang mulia! Kita lihat sebagian keadaan para salaf ketika bulan Ramadhan dan bagaimana semangat, keinginan yang kuat, dan kesungguhan mereka dalam beribadah agar kita bisa berupaya meneladaninya, dan agar kita termasuk orang yang mengerti kedudukan bulan Ramadhan ini sehingga kita pun mau serius beramal shalih padanya.

Pertama : ‘Ulama Salaf dan Membaca Al-Quran.

Ibnu Rajab bekata: Dalam hadits Fathimah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau mengabarkan kepadanya:

أنّ جبريل عليه السلام كان يعارضه القرآن كل عام مرةً وأنّه عارضه في عام وفاته مرتين


Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam menyimak Al-Qur’an yang dibacakan Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan pada tahun wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dan dalam hadits Ibnu Abbas:

أنّ المدارسة بينه وبين جبريل كانت ليلاً


Bahwasanya pengkajian terhadap Al-Qur’an antara beliau dengan Jibril terjadi pada malam bulan Ramadhan. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Hadits ini menunjukkan disunnahkannya memperbanyak membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan, karena waktu malam terputus segala kesibukan, terkumpul pada malam itu berbagai harapan, hati dan lisan pada malam bisa berpadau untuk bertaddabur, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman

إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً


Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzammil: 6)

Bulan Ramadhan mempunyai kekhususan tersendiri dengan (diturunkannya) Al-Qur’an, sebagaimana Allah ta’ala berfirman

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ


Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (Al-Baqarah: 185) Latha’iful Ma’arif hal. 315.

Oleh kerena itulah para ‘ulama salaf rahimahumullah sangat bersemangat untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Siyar A’lamin Nubala’, di antaranya:

o        Dahulu Al-Aswad bin Yazid mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan setiap dua malam, beliau tidur antara Magrib dan Isya’. Sedangkan pada selain bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan Al Qur’an selama 6 hari.

o        Al-Imam Malik bin Anas jika memasuki bulan Ramadhan beliau meninggalkan pelajaran hadits dan majelis ahlul ilmi, dan beliau mengkonsentrasikan kepada membaca Al Qur’an dari mushaf.

o        Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri jika datang bulan Ramadhan beliau meninggalkan manusia dan mengkonsentrasikan diri untuk membaca Al Qur’an.

o        Said bin Zubair mangkhatamkan Al-Qur’an pada setiap 2 malam.

o        Zabid Al-Yami jika datang bulan Ramadhan beliau menghadirkan mushaf dan murid-muridnya berkumpul di sekitarnya.

o        Al-Walid bin Abdil Malik mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 3 malam sekali, dan mengkhatamkannya sebanyak 17 kali selama bulan Ramadhan.

o        Abu ‘Awanah berkata : Aku menyaksikan Qatadah mempelajari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.

o        Qatadah mengkhatamkan Al-Qur’an pada hari-hari biasa selama 7 hari, jika datang bulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya selama 3 hari, dan pada 10 terakhir Ramadhan beliau mengkhatamkannya pada setiap malam.

o        Rabi’ bin Sulaiman berkata: Dahulu Al-Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan sebanyak 60 kali, dan pada setiap bulannya (selain Ramadhan) sebanyak 30 kali.

o        Waki’ bin Al-Jarrah membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan serta mengkhatamkannya ketika itu juga dan ditambah sepertiga dari Al Qur’an, shalat 12 rakaat pada waktu dhuha, dan shalat sunnah sejak ba’da zhuhur  hingga ashar.

o        Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengkhatamkan Al Qur’an pada siang bulan Ramadhan setiap harinya dan setelah melakukan shalat tarawih beliau mengkhatamkannya setiap 3 malam sekali.

o        Al-Qasim bin ‘Ali berkata menceritakan ayahnya Ibnu ‘Asakir (pengarang kitab Tarikh Dimasyqi): Beliau adalah seorang yang sangat rajin melakukan shalat berjama’ah dan rajin membaca Al-Qur’an, beliau mengkhatamkannya setiap Jum’at, dan mengkhatamkannya setiap hari pada bulan Ramadhan serta beri’tikaf di menara timur.

Faidah

Ibnu Rajab Al-Hanbali berkata: Bahwasanya larangan mengkhatamkan Al-Quran kurang dari tiga hari itu adalah apabila dilakukan secara terus menerus. Adapun pada waktu-waktu yang terdapat keutamaan padanya seperti bulan Ramadhan terutama pada malam-malam yang dicari/diburu padanya lailatul qadr atau pada tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti Makkah bagi siapa saja yang memasukinya selain penduduk negeri itu, maka disukainya untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an, dalam rangka memanfaatkan (keutamaan) waktu dan tempat tersebut. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan selainnya dari kalangan ulama’ . (Latha’iful Ma’arif).

Kedua : ‘Ulama Salaf dan shalat malam (tarawih).

Shalat tarawih ini merupakan kebiasaan orang-orang shalih, perniagaan kaum mu’minin, dan amalannya orang-orang yang meraih kemenangan. Pada waktu malam orang-orang yang beriman menyendiri dengan Rabbnya, menghadap kepada Penciptanya, mengadukan keadaan mereka seraya memohon kepada-Nya keutamaan-Nya. Jiwa-jiwa mereka berada di antara kedua tangan Pencitanya, beri’tikaf untuk bermunajat kepada Penciptanya. Mereka berupaya mendapat percikan cahaya dari ibadah tersebut, berharap dan bersimpuh diri atas adanya berbagai pemberian dan karunia (dari Rabbnya).

o        Al-Hasan Al-Bashri berkata : Aku tidak mendapati suatu ibadah pun yang lebih besar nilainya daripada shalat pada pertengahan malam.

o        Abu ‘Utsman An-Nahdi berkata: Aku bertamu kepada Abu Hurairah selama 7 hari, maka beliau, istri dan pembantunya membagi malam menjadi 3 bagian, yang satu shalat ini kemudian membangunkan yang lainnya.

o        Dahulu Syaddad bin Aus jika beranjak untuk beristirahat di ranjangnya, kondisinya bagaikan biji yang berada di atas penggorengan (yakni tidak tenang) kemudian berdoa : Ya Allah! Sesungguhnya Jahannam (terus mengancam)! Jangan Engkau biarkan aku tidur. Maka beliau pun bangun dan langsung menuju tempat shalatnya.

o        Dahulu Thawus melompat dari atas tempat tidurnya kemudian langsung bersuci dan menghadap qiblat (melakukan shalat) hingga datang waktu shubuh dan berkata : Mengingat Jahannam akan menghentikan tidurnya para ahli ibadah.

o        Dari As-Saib bin Yazid dia berkata: Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari radhiyallahu ‘anhuma mengimami manusia pada malam Ramadhan (dalam shalat tarawih). Kemudian sang imam membaca 200 ayat, hingga kami bersandar kepada tongkat-tongkat karena lamanya berdiri, tidaklah kami selesai dari shalat kecuali telah mendekati waktu shubuh. (HR. Al-Baihaqi).

o        Dari Malik bin ‘Abdillah bin Abi Bakr, dia bekata : Aku mendengar ayahku berkata: Dahulu kami selesai dari shalat malam pada bulan Ramadhan, kami pun bersegera mempersiapkan makan karena takut datangnya waktu shubuh. (HR. Malik dalam Al Muwaththa’).

o        Dari Dawud bin Al-Hushain, dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz, dia berkata: Para qari’ (para imam tarawih) dahulu membaca surat Al-Baqarah dalam delapan raka’at. Maka ketika para qari’ (para imam tarawih) membacanya dalam 12 raka’at, orang-orang melihat bahwa para imam tersebut telah meringankan bacaan untuk mereka. (HR. Al Baihaqi)

o        Nafi’ berkata: Dahulu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tinggal di rumahnya pada bulan Ramadhan. Ketika orang-orang telah pergi dari masjid, beliau mengambil sebuah wadah yang berisi air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak keluar dari masjid sampai tiba waktu shalat shubuh di masjid tersebut. (HR. Al Baihaqi)

o        Dari Nafi’ bin ‘Umar bin Abdillah, dia berkata: aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata: Dahulu aku pernah mengimami manusia pada bulan Ramadhan, aku membaca pada suatu raka’at surat Alhamdulillahi Fathir (surat Fathir) dan yang semisalnya. Tidak sampai kepadaku bahwa ada seorang pun yang merasa keberatan dengannya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

o        Dari ‘Imran bin Hudair, dia berkata: Dahulu Abu Mijlaz tinggal di sebuah perkampungan, pada bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

o        Dari Abdush Shamad, dia berkata: Abul Asyhab telah memberitakan kepadaku, dia berkata: Dahulu Abu Raja’ mengkhatamkan Al Qur’an ketika mengimami kami pada sholat malam bulan Ramadhan setiap sepuluh hari.

Sebab-sebab bathiniyah untuk seseorang bisa bangun malam ada empat perkara

Pertama: Selamatnya hati dari hasad terhadap kaum muslimin, selamatnya hati dari kebid’ahan dan sesuatu yang tidak bermanfaat dari perkara duniawi.

Kedua: Senantiasa hatinya terbiasa takut disertai dengan pendek angan-angan.

Ketiga: Mengetahui keutamaan shalat malam.

Keempat: Ini adalah faktor pendorong yang paling mulia, yaitu cinta karena Allah dan kuatnya iman bahwasanya dalam shalatnya tersebut tidaklah dia berucap dengan satu huruf pun melainkan dia sedang bermunajat kepada Rabbnya.

Ketiga : ‘Ulama Salaf dan sifat pemurah dan dermawan ketika menyambut bulan Ramadhan

1. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير، وكان أجود ما يكون في شهر رمضان، إنّ جبريل عليه السلام كان يلقاه في كل سنة في رمضان حتى ينسلخ فيعرض عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم القرآن، فإذا لقيه جبريل كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود بالخير من الريح المرسلة.


Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam memberikan kebaikan, dan sifat pemurah beliau yang paling besar adalah ketika Ramadhan. Sesungguhnya Jibril biasa berjumpa dengan beliau, dan Jibril ‘alaihis salam senantiasa menjumpai beliau setiap malam bulan Ramadhan sampai selesai (habis bulan Ramadhan), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan padanya Al Qur’an. Ketika berjumpa dengan Jibril’ alaihissalam, beliau sangat dermawan kepada kebaikan daripada angin yang berhembus. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits tersebut menunjukkan barakahnya beramal kebajikan dan sebagian amalan kebajikan itu akan membuka dan membantu untuk dikerjakannya bentuk amalan kebajikan yang lain. Tidakkah kamu tahu bahwa barakahnya puasa, perjumpaan (Nabi) dengan Jibril, dan dibacakannya Al-Qur’an kepadanya akan menambah kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah dan bershadaqah sampai-sampai digambarkan lebih cepat daripada angin yang berhembus.”

Az-Zain bin Al-Munayyir berkata: Yakni semua bentuk kebaikan beliau, baik tatkala dalam kondisi fakir dan butuh maupun dalam kondisi kaya dan berkecukupan merata lebih daripada meratanya air hujan menimpa bumi yang dihembuskan angin.

Ibnu Rajab berkata : Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: Yang paling dicintai bagi seseorang adalah semakin bertambah kedermawanannya pada bulan Ramadhan dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena kebutuhan manusia agar tercukupi keperluan-keperluan mereka, serta agar mereka tersibukkan dengan ibadah puasa dan shalat dari pekerjaan mereka.”

2- Adalah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berpuasa dan tidak berbuka kecuali bersama orang-orang miskin, namun jika keluarganya menghalangi mereka darinya, maka ia tidak makan pada malam itu. Jika ada seorang peminta datang kepada beliau dalam keadaan beliau sedang makan, beliau mengambil bagiannya dan memberikan kepada si peminta tersebut, beliau pun kembali dan keluarganya telah memakan apa yang tersisa di mangkuk tempat makanan. Maka beliau berpuasa pada pagi harinya dan tidak memakan sesuatu apapun.

3- Yunus bin Yazid berkata: Dahulu Al-Imam Ibnu Syihab rahimahullah jika memasuki bulan Ramadhan, beliau isi bulan tersebut dengan membaca Al-Quran dan memberi makan.

4- Adalah Hammad bin Abi Salamah rahimahullah memberi jamuan berbuka pada bulan Ramadhan kepada 500 orang dan setelah ‘idul fithri beliau memberi masing-masing mereka dengan 500 dirham.

Keempat : Sedikit makan

1.       Ibrahim bin Abi Ayyub berkata : Dahulu Muhammad bin ‘Amr Al-Ghazy pada bulan Ramadhan makan hanya dua kali.

2.       Abul ‘Abbas Hasyim bin Al-Qasim berkata : Dahulu aku pernah di sisi Al-Muhtadi (salah satu khalifah Bani ‘Abbas) pada sore hari di bulan Ramadhan, kemudian aku berdiri untuk pergi, maka dia (Al Muhtadi) berkata: duduklah. Maka aku pun duduk, kemudian dia mengimami shalat. Setelah itu dia meminta untuk dihidangkan makanan, maka dihidangkanlah kepada dia satu nampan yang di dalamnya terdapat roti dan tempat yang yang berisi garam, minyak, dan cuka. Kemudian dia mengundangku untuk makan, maka aku pun makan layaknya orang yang menunggu hidangan makanan yang lain. Dia berkata: bukankah besok engkau masih berpuasa? Aku katakan: tentu. Dia berkata: makanlah dan cukupkan makanmu karena tidak ada makanan yang lain selain apa yang kamu lihat ini.

Kelima : Menjaga lisan, sedikit bicara, menjaga diri dari dusta

1.       Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجةٌ في أن يدع طعامه وشرابه


Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang haram dan melakukan perbuatan haram, maka Allah tidak butuh kepada jerih payahnya meninggalkan makan dan minumnya. (HR. Al-Bukhari)

Al-Muhallab berkata: Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa hukum puasa itu adalah menahan diri dari perbuatan keji dan perkataan dusta sebagaimana dia menahan diri dari makan dan minum. Barangsiapa yang tidak menahan dirinya dari perkara-perkara tersebut, maka sungguh hal itu akan mengurangi nilai puasanya, menyebabkan murka Allah dan tidak diterimanya puasa dia.

2.       Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إذا أصبح أحدكم يوماً صائماً فلا يرفث ولا يجهل فإن امرؤٌ شاتمه أو قاتله فليقل: إني صائمٌ إني صائمٌ


Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian berpuasa, maka janganlah berbuat keji ataupun bertindak jahil, jika ada seseorang yang mencelanya atau memusuhinya, maka katakanlah: aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa. (HR. Muslim)

Al-Maziri berkata -menjelaskan kalimat ‘aku sedang berpuasa’-: mungkin juga yang dimaksud dengannya adalah dia mengajak bicara kepada dirinya sendiri dalam rangka memperingatkan dari perbuatan mencela ataupun bermusuhan.

3.       ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata :

ليس الصيام من الطعام والشراب وحده ولكنه من الكذب والباطل واللغو والحلف

Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan bathil, sia-sia, dan sumpah yang tidak ada gunanya. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

4.       Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :

إنّ الصيام ليس من الطعام والشراب ولكن من الكذب والباطل واللغو


Sesungguhnya puasa itu tidaklah sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan batil dan sia-sia. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

5.       Dari Thalq bin Qais, dia berkata: Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu berkata :

إذا صمت فتحفظ ما استطعت


Jika kamu berpuasa, maka jagalah dirimu semaksimal kemampuanmu.

Adalah Thalq ketika berpuasa, dia masuk rumahnya dan tidak pernah keluar kecuali untuk mengerjakan shalat. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

6.       Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Jika kamu berpuasa, maka jagalah pendengaran, penglihatan, dan lisanmu dari berdusta dan jagalah dirimu dari perbuatan dosa, jangan menyakiti pembantu, wajib atas kamu untuk bersikap tenang, (terlebih) pada saat kamu berpuasa, jangan kamu jadikan hari berbukamu (tidak puasa) dengan hari berpuasamu sama. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Ash-Shiyam Bab ‘Perkara yang diperintahkan kepada orang yang berpuasa berupa sedikit bicara dan menjaga diri dari berdusta’, II/422)

7.       Dan dari ‘Atha’, dia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Jika kamu berpuasa, maka janganlah bertindak jahil, dan jangan mencaci maki. Jika kamu diperlakukan jahil, maka katakanlah: aku sedang berpuasa. (HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf)

8.       Dan dari Mujahid, dia berkata: ada dua perangai yang barangsiapa menjaga diri darinya, puasanya akan selamat, yakni (1) ghibah, dan (2) berdusta. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

9.       Dan dari Abul ‘Aliyah, dia berkata: Puasa itu akan bernilai ibadah selama pelakunya tidak berbuat ghibah. (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Keadaan Salaf terkait dengan waktu

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata : Wahai anak Adam! Sesungguhnya kamu itu adalah seperti hari-hari, jika satu hari telah pergi, maka telah hilanglah sebagian dari dirimu.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata : Wahai anak Adam! Waktu siangmu adalah tamumu, maka berbuat baiklah kepadanya, karena sesungguhnya jika kamu berbuat baik kepadanya, dia akan pergi dengan memujimu, dan jika kamu bersikap jelek padanya, maka dia akan pergi dalam keadaan mencelamu, demikian juga waktu malammu.

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata : Dunia itu ada tiga hari: (1) Adapun kemarin, maka dia telah pergi dengan amalan-amalan yang kamu lakukan padanya, (2) adapun besok, mungkin saja kamu tidak akan menjumpainya lagi, (3) dan adapun hari ini, maka ini untukmu, maka beramallah pada saat itu juga.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Tidaklah aku menyesal terhadap sesuatu sebagaimana menyesalku ketika pada hari yang matahari telah tenggelam sementara umurku berkurang padahal amalanku tidak bertambah pada hari itu.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Menyia-nyiakan waktu itu lebih buruk daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu itu memutuskan kamu dari Allah dan negeri akhirat, sementara kematian itu memutuskan kamu dari dunia dan penghuninya.

As-Suri bin Al-Muflis rahimahullah berkata: Jika kamu merasa sedih karena hartamu berkurang, maka menangislah karena berkurangnya umurmu.

Penutup

Kita memohon kepada Allah agar menyampaikan kita kapada Ramadhan, dan agar Allah menerima amalan-amaln kita, puasa kita, shalat malam kita, dan mudah-mudahan Allah membebaskan kita dari An Nar. Allahumma Amin.

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

وصلى الله على نبينا محمد صلى الله عليه وسلم وعلى آله وأزواجه وصحبه ومن تبعهم باحسان الى يوم الدين

http://www.assalafy.org/mahad/?p=351#more-351