Friday, August 19, 2011

Penjelasan Mengenai Larangan Melakukan Perjalanan Jauh Untuk Ngalap Berkah dan Ziarah dari Kitab Aunul Ma'bud

Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah telah bersabda :
((لا تُشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد)) رواه البخاري ومسلم، وفي رواية عند مسلم ((لا تشدوا))
Artinya:” tidaklah  suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid” diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan Pada Riwayat lain “Janganlah kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar)”

Namun pemahaman hadits ini dipertentangkan oleh para Ulama. Kita memang harus memaklumi bahwa setiap ulama yang telah memenuhi syarat untuk Melakukan hal tersebut berhak untuk berfatwa dalam hal ini.
Sebelumnya saya tegaskan bahwa larangan ini berlaku untuk orang yang safar semata-mata dengan tujuan untuk Tabarruk dan atau ziarah, Adapun misalnya orang yang ingin menziarahi kubur nabi shallalahu alaiwi Wasallam, maka Pensyarah Sunan Abu Dawud memberi jalan keluar pada akhir tulisannya tentang syarah hadits ini dengan mengatakan:
“Ketahuilah bahwasanya ziarah kekubur nabi Shallallahu alaiwi Wasallam termasuk ketaatan yang paling mulia dan kesunnahan yang paling utama, Namun hendaknya seorang yang ingin bersafar untuk berniat menziarahi Masjid Nabawi baru kemudian mengunjungi Kubur Nabi shallallahu Alaihi Wasallam dan bershalawat kepadanya.
Ya Allah berilah kami anugrah untuk menziarahi masjid nabawi dan Kubur nabi Shallahu Alaihi Wasallam. Amin”

Anehnya, Ibnu Taimiyah kerap dipersalahkan sebagai Orang yang menyendiri dalam memahami hadits ini dan dianggap menyimpang bahkan dipenjarakan karena mentafsirkan hadits ini sesuai dengan hasil Ijtihadnya.
Tulisan ini  merupakan Salinan pendapat ulama yang mentafsirkan hadits ini tanpa sedikitpun menyebut nama Ibnu Taimiyah namun pendapatnya sama dengan beliau. Hal ini sengaja saya lakukan agar kaum Muslimin mengetahui bahwa keharaman melakukan Safar  untuk berziarah telah diharamkan oleh banyak Ulama selain Ibnu Taimiyah.

Kali ini saya akan menyalin syarah hadits ini dari Syarah Abu Dawud oleh Al Allamah Muhammad Syaroful haq Al Adzim Abadi.[1]

Al Khottobi berkata :
Hadits ini berlaku jika seorang menadzarkan untuk melakukan Sholat di mesjid tertentu, kalau ia ingin menunaikan Nadzar tersebut maka hendaklah ia menunaikannya, kalau tidak maka ia boleh sholat dimasjid lain. Berbeda dengan nadzar untuk Sholat disalah satu dari 3 masjid tersebut, penunaian Nadzar tersebut adalah kewajiban sesuai dengan yang ia Nadzarkan. Masjid-masjid tersebut dikhususkan karena merupakan msjid para nabi-sholawat dan Salam atas mereka- dan kita diperintahkan untuk mengikuti mereka.
Sebagian ahli ilmu berkata:
Tidak sah I’tikaf selain disalah satu dari tiga masjid tersebut. Itulah ta’wil hadits tersebut menurut mereka .
Al Qostholani Berkata:
“Bepergian ke selain tiga masjid diperselisihkan, Seperti ziarah ke tempat orang-orang Sholih, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati (kuburnya), tempat yang utama ngalap berkah disitu. Abu Muhammad al Juwaini berkata: “Diharamkan berdasarkan Dzohir Hadits.” Pendapat ini Disetujui oleh Qadhi Husein, Qadhi Iyadh dan Sejumlah Ulama. Namun menurut Imam Haramain dan Sebagian Ulama dari kalangan Syafiiyah, hal itu diperbolehkan. Sementara yang lain mengatakan bahwa larangan itu hanya khusus bagi yang bertujuan I’tikaf, seperti dipaparkan oleh Khotthobi. Tetapi saya (Al Qostholani,red) memandang pendapat ini tidak berlandaskan Dalil”.
Al Imam Malik meriwayatkan di dalam Muwattho dari Murtsid bin Abdullah bin Al Had dari Muhammad bin Ibrahim dari Al Harits At Taimi dari Abi Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah dia berkata: Aku menjumpai Bashrah bin Abi Bashrah Al Ghifari,
lalu dia dia berkata        : Dari mana engkau?
Maka aku menjawab    : “dari Bukit Thur”
Dia berkata                  : “ kalau saja aku menjumpaimu sebelum berangkat, niscaya engkau   tidak akan pergi, karena aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:” Tidak boleh bepergian kecuali ke tiga masjid.
Syaikh Agung Abdul Aziz  Ad Dahlawi menjelaskan hadits ini dalam komentarnya terhadap Sohih Bukhari: “yang dikecualikan (Mustasna minhu) yang dibuang pada hadits ini bisa sesuatu yang dekat maupun jauh. Seandainya yang dikecualikan adalah sesuatu yang dekat maka maksud haditsnya adalah: “Tidak boleh bersafar kemasjid-masjid selain tiga masjid”. Oleh karena itu hukum safar ke selain masjid didiamkan.
Seandainya yang dikecualikan adalah sesuatu yang jauh maka maksud haditsnya adalah:”Tidak boleh bersafar keman saja untuk Taqarraub kecuali menuju tiga masjid”. Berdasarkan maksud hadits ini maka safar keselain tiga masjid yang diagungkan tersebut terlarang sesuai dengan dzohir konteks hadits. Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat  abu Hurairah dari basrah Al Ghifari ketika ia kembali dari bukit Thur. Selengkapnya Riwayat ini terdapat dalam Muwattho.
Inilah pendapat yang kuat berdasarkan petunjuk dari hadits Bashrah tersebut.
Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi dalam Hujjatullah Al Balighah menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam- tidak diadakan perjalanan jauh (safar) keculai menuju 3 masjid, masjidil haram, masjidil Aqsha, dan masjidku ini-:
“Dahulu orang-orang Jahiliyah pergi ketempat-tempat tertentu yang diagungkan dengan persangkaan mereka sebagai ziarah dan tabarruk namun perbuatan tersebut mengandung penyimpangan dan kerusakan yang tidak samar, maka Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam menganggapnya rusak agar syiar-syiar yang tidak syar’I tidak bercampur dengan yang syar’i dan agar tidak menjadi peluang untuk penyembahan selain Allah.Yang benar menurut pendapat saya adalah bahwa kuburan, tempat ibadah para wali Allah, dan bukit Thur, semua itu sama  terlarangnya.

[1] Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud bab Ityanul Madinah

http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/03/19/aunul-ma%E2%80%99bud-larangan-melakukan-safar-untuk-ngalap-berkah-dan-ziarah/