Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Yang hanya kepadaNya segenap ibadah seharusnya dipersembahkan. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada teladan yang mulya, manusia terpilih, Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam.
Saudaraku kaum muslimin, semoga Allah senantiasa merahmati kita semua…
Di salah satu blog penentang Ahlussunnah, terdapat tulisan yang berjudul :
Tawassul / Istighatsah (4); Hadis-Hadis tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah dan Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah. Di dalam tulisan tersebut, penulis berusaha memaparkan hadits-hadits yang dianggapnya sebagai dalil bolehnya bertawassul dengan ‘kedudukan’ (jah) para Nabi dan orang – orang Sholeh baik yang masih hidup maupun sudah meninggal. Sesungguhnya hadits-hadits yang disampaikan oleh penulis blog tersebut berkisar pada hadits shahih yang dipahami salah (ditempatkan tidak pada tempatnya) ataupun hadits lemah yang tidak bisa digunakan sebagai hujjah. Pada bagian ini, InsyaAllah akan dipaparkan bantahan terhadap kesalahan pemahaman terhadap hadits-hadits yang shohih. Secara bertahap –biidznillah-, akan disingkap pula syubhat-syubhat lain terkait tawassul yaitu tentang hadits-hadits lemah dan palsu, maupun kisah-kisah dengan riwayat yang lemah dan dusta tentang tawassulnya para Salafus Sholih dengan orang yang sudah meninggal.
Mari kita simak kajian berikut ini untuk menyingkap syubhat-syubhat para penentang dakwah Ahlussunnah terkait hadits-hadits shohih tentang tawassul. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan hidayah kepada kita dan para pengelola blog penentang dakwah Ahlussunnah tersebut.
Syubhat ke-1: Hadits Utsman bin Hunaif
(Untuk selanjutnya, kutipan di antara tanda “[[ .........]]” adalah isi tulisan dari blog penentang Ahlussunnah)
Disebutkan dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah :
[[
Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji beberapa contoh hadis yang menjadi landasan legalitas tawassul/istighotsah. Dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal Jamaah akan dapat kita temui beberapa hadis yang menjelaskan tentang legalitas hal tawassul dan istighotsah terhadap Rasul dan para hamba Allah yang saleh. Sebagai contoh apa yang disebutkan dalam hadis-hadis di bawah ini:
1- Dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”. Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa tersebut:
اللهم إني أسئلك و أتوجه إليك بمحمد نبي الرحمة يا محمد إني قد توجهت بك إلي ربي في حاجتي هذه لتُقضي اللهم فشفعه فيٍَ
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang menghampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya untukku)
]]
Bantahan :
Hadits Utsman bin Hunaif (bukan ‘Hanif’, seperti yang disebutkan di blog penentang dakwah Ahlussunnah tsb) dijadikan dalil oleh mereka untuk melegalkan tawassul dengan ‘kedudukan’ (jah) Nabi atau orang sholih, baik masih hidup ataupun sudah meninggal. Kalau kita kaji dengan seksama hadits tersebut dengan penjelasan para Ulama’ Ahlusunnah, disertai rujukan perbuatan para Sahabat Nabi, maka sama sekali pendalilan tersebut tidak benar.
Sebelumnya, perlu kita simak secara lengkap hadits tersebut :
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي قَالَ إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ قَالَ فَادْعُهْ قَالَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
“ dari Utsman bin Hunaif bahwasanya seorang laki-laki yang lemah penglihatan/ buta mendatangi Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata : Doakanlah kepada Allah agar menyembuhkan aku. Nabi menyatakan : Jika engkau mau, aku akan mendoakan kepadamu, (atau) jika engkau mau (sebaiknya) bersabar, maka itu adalah lebih baik bagimu. Orang itu berkata : Doakanlah. Maka kemudian Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk berwudlu dan membaguskan wudlu’nya dan berdoa dengan doa ini : ‘ Ya Allah, sesungguhnya aku menghadapkan diri kepadaMu dengan NabiMu Muhammad Nabi (yang diutus sebagai) rahmat, sesungguhnya aku meminta syafaat denganmu (Nabi Muhammad) kepada Tuhanku dalam kebutuhanku ini agar dipenuhi untukku. Ya Allah, terimalah syafaatnya untukku” (diriwayatkan oleh atTirmidzi,anNasaa-i, Ibnu Majah, Ahmad, al-Haakim).
Rujukan penerjemahan hadits tersebut kami ambilkan dari kitab Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan atTirmidzi yang disusun oleh Syaikh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarokfury.
Saudaraku kaum muslimin....
Alhamdulillah, para Ulama’ Ahlussunnah telah banyak yang menjelaskan makna hadits ini. Semoga Allah merahmati mereka....
Hadits ini bukanlah dalil yang menunjukkan bolehnya bertawassul dengan kedudukan (jah) Nabi Muhammad atau orang sholih baik masih hidup, terlebih lagi sudah meninggal. Namun, hadits tersebut justru menunjukkan bolehnya seseorang bertawassul meminta agar seorang sholih yang masih hidup mendoakannya. Hadits ini juga menunjukkan disyariatkannya seseorang bertawassul dengan amal sholih yang dilakukannya sendiri.
Hal tersebut bisa dijelaskan dengan beberapa alasan berikut :
1. Orang tersebut datang langsung kepada Nabi minta didoakan. Sebagaimana ucapannya : : “Doakanlah kepada Allah agar menyembuhkan aku”.
2. Nabi Muhammad kemudian mendoakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut bahwa Nabi bersabda : Jika engkau mau, aku akan mendoakan kepadamu. Kemudian orang tersebut minta didoakan oleh Nabi dengan menyatakan : Doakanlah.
3. Orang tersebut diperintahkan oleh Nabi untuk berwudlu’, kemudian sholat 2 rokaat (sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Majah dan al-Haakim), kemudian berdoa. Dalam doanya itu ia meminta kepada Allah : “Ya Allah, terimalah syafaatnya (doanya) untukku”.
Dalam riwayat Ahmad dari jalur periwayatan : Rouh dari Syu’bah dari Abu Ja’far al-Madiini dari ‘Umaaroh bin Khuzaimah bin Tsabit terdapat lafadz :
وَتُشَفِّعُنِي فِيهِ وَتُشَفِّعُهُ فِيَّ
“…dan Engkau (Ya Allah) mengabulkan doaku untuknya (Nabi Muhammad) dan mengabulkan doanya (Nabi Muhammad) untukku” (Lihat Musnad Ahmad juz 35 halaman 110).
Demikian juga dalam riwayat al-Haakim disebutkan lafadz :
اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِي فِيْهِ
“ Ya Allah, kabulkanlah doa (syafaatnya) untukku dan kabulkanlah doaku untuknya” (Lihat Mustadrak juz 3 halaman 202).
Dalam 2 lafadz riwayat Ahmad dan al-Hakim tersebut nampak jelas bahwa untuk tercapainya keinginan sembuhnya laki-laki tersebut terdapat 2 hal penguat : doa Nabi terhadap laki-laki itu, kemudian sholat dan doa yang dilakukan oleh laki-laki tersebut. Dua hal itu dilakukan secara sinergis dan saling menguatkan. Terkumpullah padanya 2 tawassul masyru’ (sesuai syar’i) yang tidak dilarang maupun dituntunkan Nabi, yaitu meminta kepada orang sholih yang masih hidup untuk mendoakannya, dan tawassul dengan amal sholih yang dilakukan.
Jika timbul pertanyaan : ‘ Apakah tidak cukup doa Nabi saja?’ Bukankah doa Nabi mustajabah? Maka jawabannya : benar, tidak diragukan lagi, doa Nabi adalah mustajabah. Namun, dengan tingginya kemurnian tauhid Nabi kepada Allah, tawadlu’nya Nabi, serta kasih sayangnya pada ummat, Nabi membimbing agar seseorang yang ingin tercapai keinginannya tersebut juga mendukung doa Nabi dengan amal sholih. Contoh yang mirip dengan kondisi ini adalah yang terjadi pada Sahabat Rabi’ah bin Ka’ab yang setia membantu Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan dalam hadits :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَبِيعَةَ بْنَ كَعْبٍ الْأَسْلَمِيَّ قَالَ كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي سَلْ فَقُلْتُ أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ قَالَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ قُلْتُ هُوَ ذَاكَ قَالَ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“ dari Abu Salamah beliau berkata : ‘Saya mendengar Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslamy berkata : ‘Aku pernah menginap bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka aku membawakan untuk beliau air wudlu’ dan keperluan beliau. Maka Rasul bersabda kepadaku : ‘Mintalah’. Aku berkata : ‘ Aku meminta menjadi orang yang dekat denganmu di Jannah (surga). Nabi menyatakan : ‘apa lagi’. Aku mengatakan : itu saja. Nabi bersabda : Bantulah aku untuk dirimu dengan memperbanyak sujud (sholat)( diriwayatkan Muslim).
Dalam riwayat Ahmad dari jalur periwayatan Ya’qub dari ayahnya dari Ibnu Ishaq dari Muhammad bin ‘Amr bin Atho’ dari Nu’aim al-Mujmir disebutkan bahwa Rabi’ah bin Ka’ab ketika ditawari oleh Rasulullah, beliau meminta tangguh dulu untuk berpikir. Setelah berpikir, beliau memutuskan permintaan yang terkait dengan kehidupan akhirat. Rabi’ah bin Ka’ab menyatakan :
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَسْأَلُكَ أَنْ تَشْفَعَ لِي إِلَى رَبِّكَ فَيُعْتِقَنِي مِنْ النَّارِ
“Wahai Rasulullah, aku meminta kepadamu untuk memberi syafaat (berdoa) untukku kepada Tuhanku sehingga menyelamatkanku dari anNaar (neraka)”.
Kemudian, disebutkan juga dalam hadits tersebut :
فَصَمَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَوِيلًا ثُمَّ قَالَ لِي إِنِّي فَاعِلٌ فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ
بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“ maka Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam terdiam lama kemudian berkata kepadaku : ‘Aku akan melakukannya’, maka tolonglah aku terhadap dirimu dengan memperbanyak sujud (sholat) “ (Lihat Musnad Ahmad juz 33 halaman 351).
Dalam riwayat Ahmad tersebut nampak jelas bahwa Nabi mendoakannya, sekaligus meminta kepada Rabi’ah bin Ka’ab untuk menunjang terkabulnya doa itu dengan memperbanyak amal sholih yaitu sholat. Dari sini, terbantahlah anggapan bahwa hadits ‘Utsman bin Hunaif adalah dalil bolehnya bertawassul dengan ‘kedudukan’ (jah) orang sholih.
Jika timbul pertanyaan : bukankah dalam doa yang dibaca oleh orang yang buta/ lemah penglihatan itu terdapat lafadz :
وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ
“ dan aku menghadapkan diri kepadaMu (Ya Allah) dengan NabiMu Muhammad Nabi (yang diutus dengan membawa) rahmat”
yang menunjukkan bolehnya bertawassul dengan ‘kedudukan’(jah)/dzat Nabi, karena lafadz ‘dengan NabiMu’ ?
Maka jawabannya adalah : tidak. Lafadz tersebut tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan dzat/kedudukan Nabi. Hal ini disebabkan adanya bagian kata yang sebenarnya tersirat, tidak terlafadzkan, dan bisa diperkirakan. Atau dalam bahasa Arab disebut sebagai sesuatu yang mahdzuf. Sehingga sebenarnya jika kata yang tersirat tersebut juga diikutkan, maka lafadznya adalah sebagai berikut :
وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِِ (دُعَاءِ) نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ
“dan aku menghadapkan diri kepadaMu (Ya Allah) dengan <<doa>> NabiMu Muhammad Nabi (yang diutus dengan membawa) rahmat”.
Mengapa demikian? Karena banyak lafadz dalam al-Qur’an yang memiliki struktur seperti itu, dalam arti ada bagian kata yang tersirat dan tidak dilafadzkan, namun bisa diperkirakan. Sebagai contoh, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menyatakan :
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا وَإِنَّا لَصَادِقُونَ (يوسف:82)
Secara lafadz, jika diterjemahkan ayat tersebut berarti :
“Dan << tanyalah negeri >> yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”(Q.S Yusuf:82)
sebenarnya, ada bagian kata yang tersirat yang tidak terlafadzkan, yaitu ‘penduduk’. Sehingga, semestinya terjemahannya adalah :
“Dan << tanyalah penduduk negeri >> yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”
(Lihat Tafsir Zaadul Masiir karya Ibnul Jauzi tentang ayat ini).
Kalau ada pertanyaan : ‘mengapa bagian kata yang diperkirakan dalam hadits itu adalah : ‘doa’, bukan kata yang lain? Maka jawabannya adalah :
1. Karena adanya qoriinah (indikasi) kuat yang terlihat dalam lafadz hadits itu maupun pada lafadz dalam riwayat yang lain. Sudah dijelaskan di atas bahwa seorang laki-laki itu datang minta didoakan Nabi, kemudian Nabi memberi pilihan : didoakan atau bersabar. Selain itu, kalimat akhir dari doa itu, laki-laki tersebut menyatakan : ‘Yaa Allah terimalah syafaatnya (doanya) untukku’. Hal ini semakin dikuatkan dengan riwayat Ahmad dan al-Hakim.
2. Struktur kalimat doa laki-laki yang mendatangi Nabi tersebut sama dengan struktur kalimat yang dibaca oleh Umar bin al-Khottob ketika bertawassul dengan doa Abbas paman Nabi. Sepintas secara lafadz orang akan mengira bahwa Umar bertawassul dengan dzat Nabi dan dzat Abbas, padahal tidaklah demikian. Umar bertawassul dengan doa Abbas, bukan dzat/ kedudukannya. InsyaAllah akan dikaji lebih lanjut pada bantahan terhadap syubhat yang ke-2.
Dari penjelasan tersebut terbantahlah sisi pendalilan hadits ini untuk membolehkan bertawassul dengan kedudukan (jah) Nabi ataupun orang sholih. Perlu dipahami, bahwa ketika kita mengingkari tawassul dengan kedudukan (jah) Nabi, tidaklah berarti bahwa kita mengingkari tingginya kedudukan Nabi di sisi Allah. Tidak diragukan lagi, dan keyakinan ini harus ada pada setiap muslim, bahwa Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Kedudukan dan keutamaan Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam lebih tinggi di sisi Allah dibandingkan Nabi Musa’ ‘alaihissalaam yang Allah nyatakan :
…وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا
“…Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah”(Q.S al-Ahzaab: 69).
Selain itu, terbantah pula sisi pendalilan dari tulisan di blog penentang Ahlussunnah tersebut yang menyatakan bolehnya bersumpah atas Nabi. Tertulis dalam blog tersebut :
[[
Dan juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah atas nama pribadi Nabi (بمحمد) adalah hal yang diperbolehkan (legal menurut syariat Islam)
]]
Perlu dipahami, bahwa tidak boleh bagi seorang muslim untuk bersumpah atas nama selain Allah. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“ Barangsiapa yang bersumpah, maka bersumpahlah atas nama Allah atau diam” (Muttafaqun ‘alaih).
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“ Barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah maka sungguh dia telah kafir atau syirik” (diriwayatkan oleh Abu Dawud, atTirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu Umar).
Penjelasan di atas juga merupakan bantahan terhadap anggapan atau tuduhan bahwa Ahlussunnah mengingkari orang yang meminta didoakan oleh orang sholih yang masih hidup. Terbukti secara dalil dari hadits Utsman bin Hunaif tersebut dan masih banyak lagi hadits shahih yang lain yang menunjukkan bahwa meminta kepada orang sholih yang masih hidup untuk didoakan adalah suatu hal yang diperbolehkan.
Syubhat ke-2: Hadits Umar bin al-Khottob bertawassul dengan doa Abbas
Di dalam blog penentang dakwah Ahlussunnah, pada tulisan yang berjudul :
Tawassul / Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah terdapat pernyataan :
[[
2- Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin Abdul Mutthalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:
للهم كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا و إنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا. قال: فيسقون”
(Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan). (Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadis ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)
Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Umar –sahabat Rasul- melakukan hal yang pernah diajarkan Rasul kepada para sahabat mulia beliau. Walaupun riwayat di atas menunjukkan bahwa Umar bin Khattab bertawassul kepada manusia yang masih hidup, akan tetapi hal itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas dapat menjadi bukti bahwa bertawassul kepada yang telah mati adalah ‘haram’ (entah karena alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada konsekuensi di situ
]]
Bantahan :
Sama dengan penjelasan terhadap hadits Utsman bin Hunaif di atas, sesungguhnya Umar bin al-Khottob tidaklah bertawassul dengan dzat/ kedudukan Nabi maupun Abbas. Coba kita simak ucapan ‘Umar bin al-Khottob tersebut :
اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“ Ya Allah, sesungguhnya kami dulu bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami sehingga kemudian Engkau turunkan hujan, dan sesungguhnya kami (kini) bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan”
Kalimat :
بِنَبِيِّنَا
“ dengan Nabi kami”
mengandung kata tersirat yang sebenarnya adalah ‘doa’, sehingga diartikan sebagai
بِ ( دُعَاءِ ) نَبِيِّناَ
“ dengan (doa) Nabi kami “
Mengapa demikian? Karena memang telah jelas bahwa dulunya para Sahabat bertawassul agar turun hujan dengan meminta kepada Nabi untuk berdoa, bukannya berdoa kepada Allah dengan menyebutkan jah atau dzat Nabi. Bukankah telah terdapat dalam hadits :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ جُمُعَةٍ مِنْ بَابٍ كَانَ نَحْوَ دَارِ الْقَضَاءِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَخْطُبُ فَاسْتَقْبَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمًا ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْأَمْوَالُ وَانْقَطَعْتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ يُغِيثُنَا فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“ dari Anas bin Malik bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid pada hari Jumat dari pintu arah Daarul Qodho’ sedangkan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam sedang berdiri berkhutbah, kemudian laki-laki itu menghadap Rasul dalam keadan berdiri kemudian berkata : Wahai Rasulullah telah binasa harta-harta dan telah terputus jalan-jalan. Doakanlah kepada Allah agar menurunkan hujan kepada kita. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya, kemudian berdoa : Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami” (Muttafaqun ‘alaih: disepakati oleh AlBukhari dan Muslim).
Tidaklah ternukil sedikitpun dalam hadits yang shohih ataupun hasan yang menunjukkan bahwa para Sahabat bertawassul dengan dzat Nabi, baik saat beliau masih hidup, terlebih lagi saat beliau sudah meninggal dunia.
Demikian juga, kalimat dalam ucapan Umar :
بِعَمِّ نَبِيِّنَا
“ dengan paman Nabi kami”
mengandung kata tersirat yang sebenarnya adalah ‘doa’, sehingga diartikan sebagai :
بِ ( دُعَاءِ ) عَمِّ نَبِيِّنَا
“dengan (doa) paman Nabi kami”
karena tidaklah disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa Umar sendiri yang kemudian berdoa dan bertawassul dengan menyebut dzat Abbas, tapi justru Abbas yang kemudian berdoa. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dengan menukil penjelasan az-Zubair bin Bakkar, bahwa Abbas kemudian berdoa :
اللَّهُمَّ إِنَّهُ لَمْ يَنْزِل بَلَاء إِلَّا بِذَنْبٍ ، وَلَمْ يُكْشَف إِلَّا بِتَوْبَةٍ ، وَقَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْم بِي إِلَيْك لِمَكَانِي مِنْ نَبِيّك ، وَهَذِهِ أَيْدِينَا إِلَيْك بِالذُّنُوبِ وَنَوَاصِينَا إِلَيْك بِالتَّوْبَةِ فَاسْقِنَا الْغَيْث
“ Ya Allah sesungguhnya tidaklah turun bala’ kecuali karena dosa, dan tidaklah disingkap (bala’ tersebut) kecuali dengan taubat. Dan sungguh kaum ini telah menghadapkan diri mereka kepadaMu denganku karena kedudukanku dari NabiMu, dan tangan-tangan kami itu (berlumur) dosa, sedangkan ubun-ubun kami menghadap (menuju) Engkau dengan taubat, maka turunkanlah hujan kepada kami” (Lihat Fathul Baari juz 3 halaman 443).
Perhatikanlah saudaraku kaum muslimin….
Umar tidaklah bertawassul kepada Nabi setelah beliau meninggal karena memang dengan ketinggian ilmunya, Umar tahu bahwa hal itu dilarang. Sehingga kemudian beliau bertawassul dengan doa Abbas yang masih hidup. Tidaklah ternukil sedikitpun dalam hadits yang shohih ataupun hasan bahwa para Sahabat pernah bertawassul dengan Nabi setelah Nabi meninggal.
Siapakah yang berani meragukan kecintaan dan pengagungan para Sahabat terhadap Nabi? Demikian besarnya pengagungan dan kecintaan tersebut, sampai – sampai para Sahabat merasa sangat tidak pantas jika mereka menjadi Imam sholat dalam keadaan Rasul menjadi makmum. Sungguh indah pelajaran yang bisa diambil dari hadits Muttafaqun ‘alaih dari Sahl bin Sa’ad as-Saa’idy ketika Rasulullah pergi ke Bani ‘Amr bin ‘Auf untuk mendamaikan perselisihan di sana. Pada saat sudah masuk waktu sholat dan Rasul belum datang, para Sahabat meminta Abu Bakar menjadi Imam. Abu Bakar pun maju menjadi Imam. Ketika Rasul datang dan masuk dalam shof, para Sahabat yang menjadi makmum memberi isyarat kepada Abu Bakar agar mundur dan memberikan peluang kepada Rasul untuk maju menjadi Imam. Ketika banyak Sahabat yang memberi isyarat dengan bunyi tepukan tangan, Abu Bakr menoleh dan beliau melihat Rasul ada pada shof. Rasul sebenarnya memerintahkan kepada Abu Bakr untuk tetap menjadi Imam, tapi Abu Bakar tidak mau. Beliau mundur, agar Rasul bisa maju menggantikannya sebagai Imam. Selepas sholat, Abu Bakr ditanya oleh Nabi : ‘Wahai Abu Bakar mengapa engkau tidak tetap saja di tempatmu (sebagai Imam) ketika aku perintahkan?’ Abu Bakar menjawab :
مَا كَانَ لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّيَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“ tidak sepantasnya bagi Ibnu Abi Quhaafah (Abu Bakr) untuk sholat di depan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam” ( faidah hadits ini disampaikan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albaany dalam kitab at-Tawassul Anwaa-‘uhu wa Ahkaamuhu).
Sehingga, terbantahlah persangkaan orang yang mengatakan : Sesungguhnya para Sahabat tidaklah bertawassul kepada Nabi setelah meninggalnya Nabi sekedar berpindah dari suatu hal yang utama menuju suatu hal yang boleh (tidak lebih utama). Bukankah tidak mengapa bagi Abu Bakr untuk menjadi Imam bagi Rasul karena beliau sendiri yang memerintahkan untuk tetap pada tempatnya? Tapi Abu Bakr merasa tidak pantas. Sebagaimana jika bertawassul kepada Nabi adalah disyariatkan meskipun beliau sudah meninggal, maka para Sahabat tidaklah akan berpindah menuju tawassul ke orang yang lain, karena demikian mulyanya kedudukan Nabi bagi para Sahabatnya.
Jika belum cukup contoh dari Umar (yang tidak bertawassul kepada orang yang meninggal namun meminta didoakan orang Sholih yang masih hidup), maka bagaimana dengan tawassulnya Sahabat Nabi Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada seorang Tabi’i Yazid bin al-Aswad al-Jurasyi agar mau berdoa memintakan turunnya hujan. Sebagaimana disebutkan riwayatnya dalam kitab Karomaatul Awliyaa’ karya Al-Laalikaa-i juz 1 halaman 191, juga disebutkan dalam Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya al-Hafidz AdzDzahaby juz 4 halaman 137 :
عن سليم بن عامر قال: خرج معاوية يستسقي، فلما قعد على المنبر، قال: أين يزيد بن الأسود ؟ فناداه الناس، فأقبل يتخطاهم. فأمره معاوية، فصعد المنبر، فقال معاوية: اللهم إنا نستشفع إليك بخيرنا وأفضلنا يزيد بن الاسود، يا يزيد، ارفع يديك إلى الله.فرفع يديه ورفع الناس فما كان بأوشك من أن ثارت سحابة كالترس، وهبت ريح، فسقينا حتى كاد الناس أن لا يبلغوا منازلهم
“ dari Sulaim bin ‘Amir beliau berkata : Mu’awiyah keluar untuk istisqa’, ketika telah naik ke atas mimbar beliau berkata : Mana Yazid bin al-Aswad ? Maka manusiapun memanggilnya, sehingga Yazid bin al-Aswad datang menghadap, maka Mu’awiyah memerintahkan kepadanya maka ia naik mimbar. Mu’awiyah berkata : Ya Allah sesungguhnya kami meminta syafaat kepadaMu dengan manusia yang terbaik dan paling utama di antara kami Yazid bin al-Aswad. Wahai Yazid, angkat tanganmu kepada Allah. Maka Yazid mengangkat tangannya (berdoa) dan manusiapun mengangkat tangannya (berdoa). Tidak berapa lama menjadi basahlah awan bagaikan at-tirs, dan angin bertiup kencang. Maka turunlah hujan kepada kami, sampai-sampai manusia hampir-hampir tidak bisa mencapai tempat tinggalnya”.
Lihatlah, bagaimana Sahabat Nabi Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidaklah bertawassul kepada Nabi yang sudah meninggal, tidak pula bertawassul kepada para Sahabat Nabi lain yang juga sudah banyak meninggal. Tapi justru beliau meminta Yazid bin al-Aswad seorang sholih yang masih hidup pada saat itu untuk berdoa.
Kalau kita menyebutkan contoh dari Sahabat Mu’awiyah ini, akan ada yang mencibir : ‘kok pakai contoh Mu’awiyah?’ Kemudian dia akan mencela dan mencemooh Sahabat Nabi Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Demikian jauhnya umat dari bimbingan Ulama’ Ahlussunnah sehingga demikian mudah kaum muslimin termakan syubhat kaum syiah yang menjelek-jelekkan para Sahabat Nabi, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Maka pada kesempatan kali ini sedikit kami akan uraikan beberapa dalil yang menunjukkan keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melarang kita mencerca para Sahabatnya :
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“ Janganlah kalian mencela Sahabatku, demi Allah yang jiwaku berada di tangannya, kalau seandainya kalian berinfaq emas sebesar Uhud, niscaya tidak akan bisa menyamai infaq satu mud mereka tidak juga setengahnya” (H.R Muslim dari Abu Hurairah)
وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ الرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَعَنَ اللهُ مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ
“ dari ‘Aisyah beliau berkata : Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Janganlah kalian mencela para sahabatku’. Allah melaknat orang yang mencela para sahabatku’ (diriwayatkan atThobaroony).
Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah salah seorang sekertaris Nabi, penulis wahyu. Dalil yang menunjukkan bahwa Mu’awiyah adalah penulis wahyu yang mendampingi Nabi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas bahwa Abu Sufyan meminta 3 hal kepada Nabi, di antaranya agar Nabi menjadikannya sebagai penulisnya dan Nabi menyanggupinya (Lihat Shahih Muslim pada Bab min Fadhaaili Abi Sufyan bin Harb radliyallahu ‘anhu’)
Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berdoa untuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan :
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا وَاهْدِ بِهِ
“Ya Allah jadikanlah ia sebagai pemberi petunjuk yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ia hidayah dengannya” (H.R atTirmidzi).
اللَّهُمَّ عَلِّمْ مُعَاوِيَةَ الْكِتَابَ وَالْحِسَابَ وَقِهِ الْعَذَابَ
“ Ya Allah ajarkanlah kepada Mu’awiyah al-Kitab, perhitungan, dan lindungilah ia dari adzab” (H.R Ahmad).
Demikianlah saudaraku kaum muslimin….
Penjelasan di atas menunjukkan 2 hadits shohih yang digunakan sebagai argumen untuk membolehkannya tawassul dengan jah orang yang sholih adalah tidak pada tempatnya. Justru hal itu merupakan bantahan terhadap mereka. Dalil-dalil tersebut diarahkan untuk membolehkan tawassul dengan orang-orang yang sudah meninggal dunia. Pada tulisan selanjutnya, InsyaAllah akan dijelaskan hadits-hadits lemah dan palsu yang mereka jadikan sandaran, dilanjutkan dengan bantahan terhadap kisah-kisah dengan riwayat yang lemah atau palsu bahwa para Salafus Sholih bertawassul dengan orang-orang yang meninggal dunia.
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua…..
Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk situs www.darussalaf.or.id.
http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1499