Begitu banyak pertanyaan tentang shalat hajat. Sebagian kaum muslimin menjadi bingung dengan shalat ini, apakah ia shalat yang disunnahkan atau tidak? Berikut saya akan tulis intisari dari penjelasan yang terdapat pada situs tanya jawab Islam www.islamqa.com:
Terdapat empat riwayat dalam masalah shalat hajat: dua riwayat adalah hadis maudhu (palsu); salah satunya disebutkan bahwa shalat hajat dilakukan dua belas rakaat, yang satunya lagi disebutkan dua rakaat. Riwayat yang ketiga adalah hadis yang lemah sekali (dhaif jiddan), dan riwayat yang keempat adalah hadis dhaif. Pada keduanya disebutkan shalat hajat dilakukan dua rakaat.
Hadis pertama:
Yaitu hadis yang diterima dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
( اثنتا عشرة ركعة تصليهن من ليل أو نهار وتتشهد بين كل ركعتين ، فإذا تشهدت من آخر صلاتك فأثنِ على الله ، وصلِّ على النبي صلى الله عليه وسلم ، واقرأ وأنت ساجد فاتحة الكتاب سبع مرات ، وقل : لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير عشر مرات ، ثم قل : اللهم إني أسألك بمعاقد العز من عرشك ومنتهى الرحمة من كتابك واسمك الأعظم وجدك الأعلى وكلماتك التامة ، ثم سل حاجتك ثم ارفع رأسك ، ثم سلِّم يميناً وشمالاً ولا تعلموها السفهاء فإنهم يدعون بها فيستجاب لهم )
Duabelas rakaat engkau shalat pada malam atau siang hari, engkau lakukan tasyahhud setiap dua rakaat. Ketika engkau tasyahhud pada akhir shalamu, maka memujilah kepada Allah dan shalawatlah kepada Nadi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bacalah dalam keadaan sujud surat Al Fatihah sebanyak tujuh kali, lalu ucapkanlah laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariika lahu, lahul mulmu wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syaiin qadiir (tidak ada yang berhad disembah kecuali Allah saja dan tidak ada sekutu baginya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian, dan Dia Mahamampu atas segala sesuatu) sebanyak sepuluh kali. Kemudian ucapkanlah Allahumma innii as`aluka bi maqaa’idil ‘izz min ‘arsyika wa muntahar rahmah min kitaabika was mikal a’dzam wa jaddikal ‘alaa wa kalimaatikat taamah)”
(Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan tempat-tempat duduk kemulian dari Arasy-Mu dan akhir rahmat dari kitab-Mu, nama-Mu yang paling agung, kesunguhan-Mu yang paling tinggi dan kalimat-kalimat-Mu yang sempurna) Kemudian mohonlah kebutuhanmu dan angkatlah kepalamu, lalu salamlah ke kanan dan ke kiri. Dan janganlah engkau mengajarkannya kepada orang-orang bodoh, karena jika mereka berdoa dengannya, maka doa mereka akan dikabulkan.”
(Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan tempat-tempat duduk kemulian dari Arasy-Mu dan akhir rahmat dari kitab-Mu, nama-Mu yang paling agung, kesunguhan-Mu yang paling tinggi dan kalimat-kalimat-Mu yang sempurna) Kemudian mohonlah kebutuhanmu dan angkatlah kepalamu, lalu salamlah ke kanan dan ke kiri. Dan janganlah engkau mengajarkannya kepada orang-orang bodoh, karena jika mereka berdoa dengannya, maka doa mereka akan dikabulkan.”
Diriwayatkan oleh IbnujlJauzi dalam “Al Madhu’aat” (2/63) dari jalur Amir bin Khaddas, dari Amr bin Harun Al Balakhy. Dan Ibnul jauzi menukil dari Ibnu Ma’ib bahwa ia memvonis dusta Amr Al Balakhy. Kemudian berkata, telah sah dari Nabi larangan untuk membaca Alquran dalam sujud. [Lihat: “Al Maudhuu’aat” (2/63) dan “Tartiib Al Maudhuu’aat”, Adz-Dzahaby (hal. 167)]
Pada lafadz doa “maqaa’idil ‘izz min ‘Arsyillah” (tempat-tempat duduk kemuliaan dari Arasy Allah) terdapat silang pendapat antara para ulama, tergantung kepada maksud dari lafadz yang tidak terdapat dalam syariat ini. Sebagian para ulama melarang berdoa dengan lafadz ini. Diantaranya Imam Abu Hanifah. Dengan alasan karena ia termasuk tawassul yang bid’ah. Sebagiannya membolehkan karena mereka memandang bahwa hal itu termasuk tawassul dengan sifat Allah azza wa jalla, bukan berarti mereka membolehkan tawasul dengan makhluk.
Syaikh Al Albany –rahimahullah- berkata:
“Saya katakan: akan tetapi atsar itu batil dan tidak sah. Diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam “Al Maudhuu’aat”, ia berkata, “Hadis ini maudhu, tidak diragukan lagi.”, disepakati oleh Az Zaila’iy dalam “Nashbu Ar Raayah” (273), maka tidak dapat dijadikan hujjah, walaupun ucapan “As1aluka bi maqaa’idil ‘izz min Arsyika” termasuk tawasul dengan sifat Allah azza wa jalla. Ia adalah tawasul yang disyariatkan dengan dalil-dalil yang lain, yang cukup daripada mengambil hadis maudhu ini.”
Syaikh Shaleh Al Fauzan -hafizdahullah- berkata:
“Pada hadis ini terdapat keanehan, yaitu berupa disyariatkannya membaca Al Fatihah pada bukan dalam keadaan berdiri, yaitu pada ruku atau sujud, dan mengulang-ulangnya. Begitu juga dalam masalah memohon dengan tempat-tempat duduk kemuliaan dari Arasy dan yang lainnya. Semuanya perkara yang aneh. Maka bagi yang bertanya hendaknya tidak mengamalkan hadis ini. Dalam hadis-hadis yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak bermasalah, padanya terdapat ibadah-ibadah, shalat-shalat dan ketaatan-ketaatan yang disunnah yang lebih baik dan sudah mencukupi insya Allah.” (Al Muntaqaa min Fatawa Syaikh Al Fauzan: 1/46)
Telah valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melarang untuk membaca Alquran ketika ruku atau sujud.
عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه قال : نهاني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أقرأ راكعاً أو ساجداً . رواه مسلم ( 480 )
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah melarangku untuk membaca (Alquran) ketika ruku atau ketika sujud.” (HR Muslim)
Hadis kedua:
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( جاءني جبريل عليه السلام بدعوات فقال : إذا نزل بك أمر من أمر دنياك فقدمهن ثم سل حاجتك : يا بديع السموات والأرض ، يا ذا الجلال والإكرام ، يا صريخ المستصرخين ، يا غياث المستغيثين ، يا كاشف السوء ، يا أرحم الراحمين ، يا مجيب دعوة المضطرين ، يا إله العالمين ، بك أنزل حاجتي وأنت أعلم بها فاقضها )
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhumaa, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jibril ‘alahis salam datang kepadaku dengan doa-doa, ia berkata, “Jika kamu mendapati perkara dari perkara duniamu, maka kedepankanlah ia kemudian mohonlah kebutuhanmu: Yaa badii’as samaati wal ardi, yaa dzal jallaali wal ikraam, yaa shariikhal mustashrikhiin, yaa ghayyaatsal mustaghiitsiin, yaa kaasyifas suu`, yaa arhamar rahimin, yaa mujiibas da’watil mudhtharriin, yaa ilaahal ‘aalamiin, bika anzilu haajati wa anta ‘alamu bihaa faqdhihaa. (Wahai Yang menciptakan langit-langit dan bumi wahai Dzat yang agung dan mulia, wahai Yang Maha menolong orang-orang yang meminta pertolongan, wahai Yang mampu menghapus segala keburukan, wahai Yang Maha pengasih, wahai Yang mengabulkan doa orang-orang yang dalam kesukaran, wahai Dzat yang berhak disembah oleh seluruh alam, kepada-Mu aku memohon kebutuhanku, dan Engkau lebih tahu tentangnya, maka takdirkanlah)”
Diriwayatkan oleh Al Ashbahany –sebagaimana dalam “At Targhiib wat Tarhiib” (1/275), disebutkan oleh Syaikh Al Albany –rahimahullah- dalam “Dha’iifut Targhiib” (419), dan “As Silsilah Al Dha’iifah” (5298) bahwa ia hadis madhuu`
Hadis ketiga:
عن عبد الله بن أبي أوفى قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” من كانت له إلى الله حاجة أو إلى أحد من بني آدم فليتوضأ فليحسن الوضوء ثم ليصل ركعتين ثم ليثن على الله وليصل على النبي صلى الله عليه وسلم ، ثم ليقل : لا إله إلا الله الحليم الكريم ، سبحان الله رب العرش العظيم ، الحمد لله رب العالمين ، أسألك موجبات رحمتك ، وعزائم مغفرتك ، والغنيمة من كل بر ، والسلامة من كل إثم ، لا تدع لي ذنبا إلا غفرته ، ولا هما إلا فرجته ، ولا حاجة هي لك رضا إلا قضيتها يا أرحم الراحمين )
Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memiliki kebutuhan kepada Allah, atau kepada manusia, maka hendaknya ia berwudhu dan memperbagus wudhunya. Kemudian ia shalat dua rakaat, lalu memuji Allah dan bersahalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengucapkan: laa ilaaha illallahul haliimul kariim, subhaanallahu rabbul ‘arsyil adziim, alhamdulillahi rabbil ‘aalamin, as`aluka muujibaati rahmatika, wa ‘azaaimi maghfiratika, wal ghaniimaha min kulli birrin, was salaamata min kulli itsmin, laa tada’ lii dzanban illaa ghafartah, wa laa hamman illa farajtah, wa laa haajatan hiya laka ridha, illaa qadhaitah yaa arhamar raahimiin. (Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah yang Maha lembut dan mulia, Maha suci Allah Rabb Arasy yang agung, segala puji bagi Allah rabb semesta alam, aku memohon kepada-Mu rahmat-Mu, ampunan-Mu, manfaat dari setiap kebaikan, keselamatan dari segala dosa, janganlah Engkau meninggalkan bagiku satu dosa pun melainkan Engkau mengampuninya, satu kesedihan pun melainkan Engkau melepaskannya, dan tidak kebutuhan yang Engkau ridhai melainkan Engkau mentakdirkannya wahai Yang Maha penyayang)”
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (479) dan Ibnu Majah (1384), At-Tirmidzi berkata, hadis ini gharib, dan dalam sanadnya ada kritikan. Al Albany menyebutkannya dalam “Dha’iifut targhiib” (416), dan berkata, “hadis ini lemah sekali (dhaif jiddan)
Hadis keempat:
عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( يا علي ، ألا أعلمك دعاء إذا أصابك غم أو هم تدعو به ربك فيستجاب لك بإذن الله ، ويفرج عنك ؟ توضأ وصل ركعتين واحمد الله وأثن عليه ، وصل على نبيك ، واستغفر لنفسك وللمؤمنين والمؤمنات ، ثم قل : اللهم أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون ، لا إله إلا الله العلي العظيم ، لا إله إلا الله الحليم الكريم ، سبحان الله رب السموات السبع ورب العرش العظيم ، الحمد لله رب العالمين ، اللهم كاشف الغم ، مفرج الهم ، مجيب دعوة المضطرين إذا دعوك ، رحمن الدنيا والآخرة ورحيمهما ، فارحمني في حاجتي هذه بقضائها ونجاحها رحمة تغنيني بها عن رحمة من سواك )
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Ali, tidakkah aku ajarkan kepadamu sebuh doa jika engkau ditimpa kesedihan dan gundah. Engkau berdoa dengannya kepada Rabbmu, maka akan dikabulkan bagimu dengan izin Allah, dan akan dihilangkan dari (kesedihan dan gundah)? Wudhulah lalu shalat dua rakaat, bertahmid kepada Allah dan memuji kepada-Nya. Kemudian bershalawatlah kepada Nabimu, lalu beristighfarlah untuk dirimu dan kaum mukminin laki-laki dan perempuan. Lalu engkau ucapkan: Allahumma anta tahkum baina ibaadika fiimaa kaahuu fiihi yakhtalifuun, laa ilaaha illallahul ‘aliyyil adziim, laa ilaaha illallallahul haliimul kariim, subhaanallahu rabbus samaawaaitis sab’i wa rabbul ‘arsyil adziim, ahlamdulillahi rabbil ‘aalamin, Allahumma kaasyifal ghammi, mufrijal hammi. Mujiiba da’watil mudhtharriin idzaa da’auka, rahmaanad dunya wa aakhirah, rahiimahumaa, farhamnii fii haajatii hadzihi bi qahdaaihaa, wa najaahihaa rahmatan tighniinii bihaa ‘an rahmati siwaaka. (Ya Allah Engkau maha pemutus setiap perkara antara hamba-hamba-Mu dalam perkara yang mereka perselisihkan, tidak ada ilaah melainkan Allah yang Maha tinggi dan agung, tidak ada ilaah melainkan Allah yang Maha lembut dan mulia, mahasuci Allah rabb langit-langit dan rabb Arasy yang mulia, segala puji bagi Allah rabb semesta alam, maka rahmatilah aku dalam kebutuhanku ini, dengan mentakdirkannya dan mensukseskannya, dengan rahmat yang mencukupiku dengan rahmat selain dari-Mu).”
Diriwayatkan oleh Al Ashbahany –sebagaimana dalam “At-targhiib wat Tarhiib” (1/275), didhaifkan oleh Al Albany rahimahullah dalam “Dha’if At Targiib” (417), ia berkata, sanadnya mudzlim (gelap), padanya ada rawi yang tidak dikenal. Lihat “As Silsilah Al dhaifah” (5287)
Kesimpulannya, tidak hadis yang shahih dalam shalat ini, maka tidak disyariatkan bagi seorang muslim untuk mengerjakannya. Dan cukup baginya sunnah yang shahih dari shalat-shalat, doa-doa dan dzikir-dzikir yang valid.
Adapun ada orang yang berkata bahwa ia mengerjakan shalat lalu kemudian terbukti bermanfaat, maka sesungguhnya syariat tidak ditetapkan dengan yang seperti ini.
As-Syaukani -rahimahullah- berkata:
Sunnah tidak ditetapkan dengan percobaan semata. Diterimanya sebuah doa tidak menunjukkan bahwa sebab diterimanya itu bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara sah. Terkadang Allah mengabulkan doa tanpa tawasul dengan sunnah, dan Dia adalah yang Maha mengasihi, dan terkadang pengkabulan itu adalah istidraj.” (Tuhfatudz Dzakirin: 140)
Syaikh Shaleh Al Fauzan –hafizdahullah- berkata:
Adapun perkataan seseorang bahwa ia mencobanya dan ternyata terbukti benar (dikabul doa) ini semua tidak menunjukkan shahihnya hadis. Maka kondisi seseorang mencoba sesuatu kemudian berhasil, ini tidak menunjukkan shahihnya riwayat dalam masalah tersebut. Karena terkadang hal itu terjadi secara kebetulan, secara takdir. Atau terjadi sebagai ujian bagi yang mengerjakannya. Maka, tercapainya sesuatu tidak menunjukkan shahihnya riwayat. (Al Muntaqaa min Fatawa Syaikh Al Fauzan)
Wallahu ‘alam
[Diterjemahkan oleh Abu Khaleed dari http://www.islamqa.com/ar/ref/70295]
http://sabilulilmi.wordpress.com/2011/08/18/shalat-hajat/#more-457