Beriman dan Beramal Shalih dengan Sebenarnya
Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As Sa’di
Sarana yang paling agung yang merupakan sarana pokok dan dasar bagi tergapainya hidup bahagia adalah beriman dan beramal shalih. Allah Azza Wa Jalla berfirman (yang artinya), "Barangsiapa yang melakukan amal shalih [1] baik pria maupun wanita, sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami karuniakan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka lakukan."(An Nahl:97)
Kepada orang yang memadukan antara iman dan amal shalih, Allah Ta’ala memberitahukan dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik di dunia dan pahala yang baik di dunia maupun di akhirat.
Sebabnya jelas, karena orang-orang yang beriman kepada Allah dengan iman yang benar lagi membuahkan amal shalih yang mampu memperbaiki hati, akhlak, urusan duniawi dan ukhrawi, mereka memiliki prinsip-prinsip mendasar dalam menyambut datangnya kesenangan dan kegembiraan, ataupun datangnya keguncangan, kegundahan dan kesedihan.
Mereka menyambut segala hal yang menyenangkan dan menggembirakan dengan menerima mensyukuri dan menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat. Jika mereka menggunakannya demikian niscaya hal itu akan melahirkan nilai-nilai agung dibalik kegembiraan karenanya, pendambaan kelanggengan dan keberkahannya, dan keberharapan pahala seperti pahala yang diperoleh oleh hamba yang bersyukur. Nilai-nilai itu dengan setumpuk buah dan keberkahannya justru mengungguli wujud kegembiraan-kegembiraan itu, yang itu pun bagian dari buahnya.
Mereka hadapi cobaan marabahaya, kegundahan, dan kesedihan dengan melawan apa yang mungkin dilawannya, menepis sedikit apa yang mungkin ditepis, dan bersabar terhadap apa yang harus terjadi tidak boleh tidak. Dengan demikian, dibalik cobaan-cobaan itu lahirlah nilai-nilai agung berupa sikap melawan yang penuh arti, pengalaman dan kekuatan serta kesabaran dan ketulusan untuk hanya berharap kepada Illahi. Dengan melekatnya nilai-nilai agung itu di hati, kecillah di mata mereka aneka cobaan berat. Sedang yang bersemayam di hati justru kesenangan cita-cita dan dambaan untuk menggapai karunia dan pahala dari Allah.
Rasulullah menggambarkan ini dalam hadits shahih, beliau bersabda (yang artinya), "Sungguh mengagumkan perihal mukmin. Semua yang dialaminya adalah baik. Jika ia mendapatkan hal yang menyenangkan ia bersyukur. Maka hal itu menjadi suatu kebaikan baginya. Jika ia tertimpa hal yang menyakitkan, ia bersabar. Maka hal itu menjadi suatu kebaikan baginya. Sifat itu tidak dimiliki oleh siapapun kecuali oleh seorang mukmin."[2]
Baginda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menerangkan bahwasanya keberuntungan, nilai kebaikan dan buah perilaku seorang mukmin berlipat ganda pada saat mengalami kesenangan ataupun cobaan. Oleh sebab itu, bisa jadi anda menjumpai dua orang yang sama-sama mengalami ujian berupa keberuntungan dan bencana. Namun, antara satu dan yang lain berbeda jauh dalam menghadapi ujian itu sesuai dengan kadar iman dan amal shalih yang ada pada diri masing-masing.
Orang yang beriman dan beramal shalih menghadapi keberuntungan dengan rasa syukur dan sikap perilaku yang membuktikan kesungguhan syukur itu, dan menghadapi bencana dengan bersabar dan sikap perilaku yang membuktikan kesungguhan kesabaran itu. Dengan demikian, hal itu dapat membuahkan di hatinya kesenangan, kegembiraan dan hilangnya kegundahan, kesedihan, kegelisahan, kesempitan dada dan kesengsaraan hidup. Selanjutnya, kehidupan bahagia akan benar-benar menjadi realita baginya di dunia ini.
Sedangkan yang lain menghadapi kesenangan hidup dengan kecongkakan, kesombongan dan sikap yang melampaui batas. Lalu melencenglah moralnya. Ia menyambut kesenangan hidup seperti halnya binatang yang menyambut kesenangan dengan serakah dan rakus. Seiring dengan itu, hatinya tidak tentram. Bahkan hatinya tercerai berai oleh berbagai hal. Hatinya tercerai berai oleh kekhawatirannya terhadap sirnanya segala kesenangannya banyaknya benturan-benturan yang pada umumnya muncul sebagai dampaknya. Hatinya tercerai berai tak menentu, karena memang hasrat jiwa tidak mau berhenti pada suatu batas. Bahkan terus gandrung pada keinginan-keinginan yang lain yang kadangkala dapat terwujud dan kadangkala tidak dapat terwujud. Andaikan -dibayangkan- dapat terwujud, ia tetap gelisah karena hal-hal tadi. Ia pun menyambut cobaan yang sulit dengan rasa gelisah, keluh kesah khawatir dan gusar. Tidak usah anda bertanya tentang dampak buruk dari itu semua, yang berupa kesengsaraan hidup, teridapnya penyakit jiwa maupun saraf dan rasa kekhawatiran bercampur ketakutan yang bisa jadi pada gilirannya akan menyeretnya pada kondisi yang paling buruk dan malapetaka yang paling mengerikan. Karena ia tidak mempunyai harapan pada pahala Illahi dan tidak memiliki kesabaran yang mampu melipurkan hatinya dan meringankan beban yang dirasakannya. Semuanya dapat dilihat melalui pengalaman.
Satu Gambaran: Jika anda mengamati dan menilan keadaan orang pada umumnya dengan barometer iman dan amal shaleh, maka anda akan melihat perbedaan jauh antara orang mukmin yang berbuat sesuai dengan tuntutan imannya dan yang tidak demikian. Hal itu karena Islam sangat menganjurkan Qonaah (menerima dengan penuh kerelaan) terhadap rezeki dari Allah dan terhadap ragam karunia dan kemurahan-Nya yang diberikan-Nya kepada hamba-Nya.
Orang mukmin, jika diuji dengan datangnya penyakin atau kefakiran atau semacamnya -yang setiap orang bisa menjadi sasaran cobaan itu-, maka dengan iman dan jiwa qonaah serta ridha terhadap apa yang diberikan Allah kepadanya, anda akan dapati ia berhati sejuh dan bermata ceria, tidak menuntut sesuatu yang tidak ditakdirkan untuknya. Di segi materi, ia memandang kepada yang lebih rendah, tidak memandang kepada yang lebih atas. Bisa jadi kegembiraan, kesenangan, dan ketentraman batinnya melebihi orang yang meraih semua keinginan duniawinya jika orang itu tidak dikarunai jiwa qonaah.
Kemudian anda dapati orang yang tidak berbuat sesuai dengan tuntutan iman, jika ia diuji dengan sedikit kefakiran saja, atau tidak diperolehnya keinginan-keinginan duniawinya, maka anda dapati ia sangat hacur dan sengsara.
Gambaran lain: Jika terjadi pada seseorang hal-hal yang menakutkan dan ia tertimpa malapetaka atau bencana, maka orang yang benar imannya akan anda dapati ia berhati teguh , berjiwa tentram lagi tegar menangani dan mennyetir sesuatu yang menimpanya dengan pikiran ucapan, dan tindakan yang dimampuinya. Ia kokohkan jiwanya untuk menghadapi bencana yang menimpanya itu. Sikap seperti ni adalah sikap yang mententramkan dan mengkukuhkan hati seseorang.
Sebaliknya orang yang tidak memiliki iman, jika terjadi peristiwa-peristiwa yang menakutkan, anda dapati ia guncang hatinya dalam menghadapinya, saraf-sarafnya tegang dan pikirannya tercerai berai. Rasa kekhwawatiran dan ketakutan merasuk di jiwanya. Rasa ketakutan dari ancaman luar dan seribu gejolak di dalam telah tertumpuk dan menyatu dalam dirinya, yang tidak mungkin digambarkan. Manusia semacam ini, jika tidak memiliki beberapa sarana terapi alami yang hal itu membutuhkan latihan banyak, maka ketahanan dirinya akan luluh dan saraf-sarafnya akan pun tegang. Itu semua karena ia tidak memiliki iman yang dapat membawanya untuk bersabar, terutama dalam situasi sulit dan kondisi yang menyedihkan lagi menguncangkan.
Orang baik dan orang jahat, orang mukmin dan orang kafir adalah sama di sisi keberanian yang diperoleh melalui upaya atau latihan dan di sisi naluri (instinct) yang berfungsi melipur dan menurunkan volume rasa takut. Akan tetapi, orang mukmin dengan kekuatan imannya, kesabarannya, kepasrahannya, dan kebersandarannya kepada Allah dan keberharapannya pada pahala-Nya, ia unggul dengan memiliki nilai-nilai lebih yang meningkatkan keberaniannya, meringankan tekanan rasa takutnya, dan membuatnya memandang kecil segala kesulitan yang dhadapinya. Allah berfirman (yang artinya), "Jika kamu menderita kesakitan, sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana apa yang kamu derita. Sedangkan kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan[3]" (QS Annisa:104)
Para mukminin dianugrahi ma’unah (pertolongan), ma’iyah (rasa kebersamaan), dan madad (bantuan) Allah yang khusus yang dapat menyirnakan segala ketakutan.
Allah berfirman (yang artinya), "Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama [4] orang-orang yang sabar" (QS Al Anfal:46)
Catatan Kaki (Penerjemah):
[1] Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil Adzim berkata: man amila shalihan; wa huwa al amalul mutabi’ li kitabillahi wa sunnati nabiyyihi sholalallahu ‘alaihi wasallam, maksudnya yaitu amal perbuatan yang mengikuti kitab Allah dan sunnah nabiNya Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
[2] Imam Ahmad bin Hanbal, al Fathur Rabbani lil Tartibi Musnadil Imam Ahmad ibni Hanbal Asy Syaibani, Kitab Al Qadar, Muslim, Shahih Muslim, Kitab Zuhd Wa Raqaiq.
[3] Penulis dalam kitab tafsirnya Taisirul Mannan menjelaskan yaitu keberuntungan dengan memperoleh pahala-Nya dan keselamatan dari siksa-Nya.
[4] Di dalam Taisirul Mannan, Penulis menjelaskan yakni: Allah bersama dengan orang-orang yang sabar dengan mengkaruniakan pertolongan, kemenangan, dan dukungannya.
Dinukil dari "Al Wasailul Mufidah lil hayatis Sa’idah"
Edisi Indonesia "Resep Hidup Bahagia"
Bab 1: "Beriman dan Beramal Shaleh dengan Sebenarnya", halaman 12-20
Direktorat Bidang Penerbitan dan Riset Ilmiah
Departemen Agama, wakaf, dakwah dan bimbingan Islam Arab Saudi
Edisi Indonesia "Resep Hidup Bahagia"
Bab 1: "Beriman dan Beramal Shaleh dengan Sebenarnya", halaman 12-20
Direktorat Bidang Penerbitan dan Riset Ilmiah
Departemen Agama, wakaf, dakwah dan bimbingan Islam Arab Saudi