Friday, February 18, 2011

.: ~ ♥ ♥ ♥ Kutemukan Cinta Dalam Manhaj Salaf ♥ ♥ ♥ ~ :.

.: ~ ♥ ♥ ♥ Kutemukan Cinta Dalam Manhaj Salaf ♥ ♥ ♥ ~ :.




إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له من يضلل فلا هاديله، وأشهد أن لا إلـه إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
Segala puji bagi Allah, kita memujinya, memohon pertolongan dan ampunan kepadaNya kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan-amalan kita, barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan Allah.

يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته، ولاتموتن إلاوأنتم مسلمون۝
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran : 102)

يأيهاالناس اتقواربكم الذى خلقكم من نفس وحدة وخلق منهازوجها وبث منهمارجالاكثيرا ونساءۚ واتقوا الله الذى تساءلون به والأرحامۚ إن الله كان عليكم رقيبا۝

“Wahai manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripadanya keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) NamaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silahturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisa’ :1)

يأيهاالذين ءامنوا اتقوا الله وقولوقولاسديدا۝ يصلح لكم أعملكم ويغفرلكم ذنوبكمۗ ومن يطع الله ورسوله، فقدفازفوزاعظيما۝
“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu sosa-dosamu dan barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzaab : 70-71)

Amma ba’du :
فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشرالأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة فيالنار.

“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu ditempatnya di Neraka.”

*Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah, yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Sahabatnya. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Sahabat Nabi Shallallahu ‘alahi wa Sallam . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097, 2118), an-Nasa-I (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214, VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini shahih.

Berawal dari beberapa tahun yang lalu. Dulu aku tidak tahu apa itu salaf ataupun salafi. Yang aku tahu bahwa aku beragama Islam dimana berusaha untuk mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabat tanpa jelas paham dari makna sebenarnya. Ya, banyak yang mengaku sebagai ahlus sunnah yang berusaha untuk memahami Islam dengan pemahaman salafush shalih tapi dalam praktiknya jauh dari para salafush shalih. Ya, itu pula yang dulu terjadi padaku. Yang aku tahu hanya mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa tahu apa itu bid’ah, khurafat, dan sebagainya.

Hingga akhirnya Allah pun memberikan hidayah-Nya padaku. Saat aku duduk di SMA kelas 2. Di saat aku bener-bener berusaha untuk menutup seluruh auratku dengan hijab yang langsung panjang dan lebar karena sebelumnya aku sudah membiasakan diri untuk berjilbab setiap hari Jumat karena peraturan sekolah mewajibkan memakai seragam Muslim, bahkan MRku sampai kaget dan terlihat rona bahagian di wajahnya. Perubahanku tentu sangat membuat ‘shock’ orang-orang disekitarku, untuk lebih detail tentang tanggapan orang-orang saat pertama kali aku memakai jilbab bisa dibaca artikelnya yang berjudul “Jilbab Pertamaku” >>>di sini<<<. Saat itu pulalah aku mulai rajin menambah pengetahuan Islamku dengan mengikuti mentoring ataupun halaqoh-halaqoh yang diadakan di sekolahku juga dari buku. Ya, dulu aku tidak tahu bahwa mentoring dan halaqoh yang kuikuti memiliki penyimpangan dalam segi pemikiran maupun pemahaman. Namun, dari mentoring itu sedikit demi sedikit aku mulai mengkaji Islam, memahami Islam. Dan aku mulai paham apa itu salaf dan salafi 1 tahun kemudian (kalau tidak salah ingat, hehe).

Perjalananku dalam menapaki manhaj salaf lumayan panjang. Bisa dikatakan bahwa dulu aku seorang petualang harakah. Ya, dulu di sekolahku ada 2 mentoring/liqo dimana yang satunya dipengang oleh P** dan satu lainnya dipegang oleh H**, aku pun tergabung dengan ROHIS. Sebelumnya aku sudah rajin ikut halaqoh P** awalnya karena diajak teman dan aku juga pengen belajar. Lalu aku pun ikut mentoring H** di sekolah karena kan diwajibkan dari sekolah. Saat itu hanya semata-mata ngikutin peraturan sekolah saja tapi aku pun ingin tahu, tambah ilmu gitu, hehe. Tapi pada akhirnya, yang dibahas apa? Politik melulu, ga pake tilawah Al-Qur’an dulu langsung ke materinya udah gitu yang dibahas politik atau ga nonton film pembantaian umat Muslim di dunia, dll. Kebayang kan gimana otakku saat itu ditambah aku jurusan IPA, kepala udah penuh rumus, hafalan kimia dan fisika eh ditambah dengerin politik, hoammm…ngantuk! ^__^ Tapi ya sudah, aku jalani dulu. Karena hobi membacaku itu, aku pun nyambung dengan apa yang disampaikan oleh mereka dimana teman-temanku yang lain udah ngantuk dengan mata 5 watt menyimak apa yang disampaikan MR H**.

Beberapa lama ikut mentoring H** (cuma beberapa bulan) dan melihat keantusianku (padahal mah cuma nanya-nanya doank :p ) eh aku ditawari masuk H** kalau mau, materi yang akan kuterima udah masuk dalam materi kader H**. Wahh, mataku langsung terbelalak dan rasa kantukku seketika menghilang. Kagetlah aku dan pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak mengambil tawaran MRku itu dan sekaligus memutuskan untuk tidak ikut lagi agenda apapun yang diadakan H**. Karena sebelumnya aku sudah dikasih pengertian oleh pamanku (dulu beliau seorang kader PKS) bahwa: Jangan pernah masuk atau ikut-ikutan H**, P**, dll. Soalnya kalau udah masuk susah keluar dan mereka menganggap kelompoknya yang paling benar. Tidak mau menerima apa kata orang lain, hanya menerima apa kata ustadz mereka. Begitu pesan beliau padaku. Aku akui H** cenderung lebih keras dibanding P** bahkan dulu aku, dan 2 orang sahabatku pernah debat dengan salah seorang teman kami hanya karena pengertian tentang JILBAB. Ya, H** menganggap bahwa jilbab itu adalah sejenis baju kurung (gamis) yang tidak berpotongan. Jika tidak pakai gamis maka bisa dikatakan dia tidak memakai jilbab. Dalil yang mereka gunakan adalah QS. Al-Ahzab: 59. Padahal ulama ahlus sunnah telah jelas memberikan syarah tentang hal ini.

Sebagaimana firman Allah ta’ala:
(وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ )(النور: من الآية31)
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke juyub (celah-celah pakaian) mereka.” (Qs. 24:31)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
يعني: المقانع يعمل لها صَنفات ضاربات على صدور النساء، لتواري ما تحتها من صدرها وترائبها؛ ليخالفن شعارَ نساء أهل الجاهلية، فإنهن لم يكن يفعلن ذلك، بل كانت المرأة تمر بين الرجال مسفحة بصدرها، لا يواريه شيء، وربما أظهرت عنقها وذوائب شعرها وأقرطة آذانها. …والخُمُر: جمع خِمار، وهو ما يُخَمر به، أي: يغطى به الرأس، وهي التي تسميها الناس المقانع

“Khimar, nama lainnya adalah Al-Maqani’, yaitu kain yang memiliki ujung-ujung yang dijulurkan ke dada wanita, untuk menutupi dada dan payudaranya, hal ini dilakukan untuk menyelisihi syi’ar wanita jahiliyyah karena mereka tidak melakukan yang demikian, bahkan wanita jahiliyyah dahulu melewati para lelaki dalam keadaan terbuka dadanya, tidak tertutupi sesuatu, terkadang memperlihatkan lehernya dan ikatan-ikatan rambutnya, dan anting-anting yang ada di telinganya. Dan khumur adalah jama’ dari khimar, artinya apa-apa yang digunakan untuk menutupi, maksudnya disini adalah yang digunakan untuk menutupi kepala, yang manusia menyebutnya Al-Maqani’ (Tafsir Ibnu Katsir 10/218, cet. Muassah Qurthubah)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Ahzab ayat 59,
يٰأَيُّهَا النَّبِىُّ قُل لِأَزوٰجِكَ وَبَناتِكَ وَنِساءِ المُؤمِنينَ يُدنينَ عَلَيهِنَّ مِن جَلٰبيبِهِنَّ ۚ ذٰلِكَ أَدنىٰ أَن يُعرَفنَ فَلا يُؤذَينَ ۗ وَكانَ اللَّهُ غَفورًا رَحيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu:
والجلباب هو: الرداء فوق الخمار

“Dan jilbab adalah pakaian di atas khimar.” (Tafsir Ibnu Katsir 11/252)

Berkata Al-Baghawy rahimahullahu:
وهو الملاءة التي تشتمل بها المرأة فوق الدرع والخمار.

“Jilbab nama lainnya adalah Al-Mula’ah dimana wanita menutupi dirinya dengannya, dipakai di atas Ad-Dir’ (gamis/baju panjang dalam/daster) dan Al-Khimar.” (Ma’alimut Tanzil 5/376, cet. Dar Ath-Thaibah)

Berkata Syeikhul Islam rahimahullahu:
و الجلابيب هي الملاحف التي تعم الرأس و البدن

“Dan jilbab nama lain dari milhafah, yang menutupi kepala dan badan.” (Syarhul ‘Umdah 2/270)

Berkata Abu Abdillah Al-Qurthuby rahimahullahu:
الجلابيب جمع جلباب، وهو ثوب أكبر من الخمار…والصحيح أنه الثوب الذي يستر جميع البدن. “الجلابيب

adalah jama’ جلباب, yaitu kain yang lebih besar dari khimar…dan yang benar bahwasanya jilbab adalah kain yang menutup seluruh badan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Quran 17/230, tahqiq Abdullah At-Turky)

Berkata Syeikh Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullahu:
فقد قال غير واحد من أهل العلم إن معنى : يدنين عليهن من جلابيبهن : أنهن يسترن بها جميع وجوههن
، ولا يظهر منهن شيء إلا عين واحدة تبصر بها ، وممن قال به ابن مسعود ، وابن عباس ، وعبيدة السلماني وغيرهم

“Beberapa ulama telah mengatakan bahwa makna ” يدنين عليهن من جلابيبهن” bahwasanya para wanita tersebut menutup dengan jilbab tersebut seluruh wajah mereka, dan tidak nampak sesuatupun darinya kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat, diantara yang mengatakan demikian Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Ubaidah As-Salmany dan lain-lain.” (Adhwa’ul Bayan 4/288) Oleh karena itu hendaknya penanya melengkapi busana muslimahnya dengan jilbab setelah mengenakan khimar.

Datang dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah:
والمشروع أن يكون الخمار ملاصقا لرأسها، ثم تلتحف فوقه بملحفة وهي الجلباب؛ لقول الله سبحانه: سورة الأحزاب الآية 59 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ الآية.

“Yang disyari’atkan adalah hendaknya khimar menempel di kepalanya, kemudian menutup di atasnya dengan milhafah, yaitu jilbab, karena firman Allah ta’alaa dalam surat Al-Ahzab ayat 59:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

(Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/176)


Berkata Syeikh Al-Albany rahimahullahu:
فالحق الذي يقتضِيه العمل بما في آيتي النّور والأحزاب ؛ أنّ المرأة يجب عليها إذا خرجت من دارها أنْ تختمر وتلبس الجلباب على الخمار؛ لأنّه كما قلنا : أسْتر لها وأبعد عن أنْ يصف حجم رأسها وأكتافها , وهذا أمر يطلبه الشّارع … واعلم أنّ هذا الجمع بين الخمار والجلباب من المرأة إذا خرجت قد أخلّ به جماهير النّساء المسلمات ؛ فإنّ الواقع منهنّ إمّا الجلباب وحده على رؤوسهن أو الخمار , وقد يكون غير سابغ في بعضهن… أفما آن للنّساء الصّالحات حيثما كنّ أنْ ينْتبهن من غفلتهن ويتّقين الله في أنفسهن ويضعن الجلابيب على خُمرهن

“Maka yang benar, sebagai pengamalan dari dua ayat, An-Nur dan Al-Ahzab, adalah bahwasanya wanita apabila keluar dari rumahnya wajib atasnya mengenakan khimar dan jilbab di atas khimar, karena yang demikian lebih menutup dan lebih tidak terlihat bentuk kepala dan pundaknya, dan ini yang diinginkan Pembuat syari’at…dan ketahuilah bahwa menggabungkan antara khimar dengan jilbab bagi wanita apabila keluar rumah telah dilalaikan oleh mayoritas wanita muslimah, karena yang terjadi adalah mereka mengenakan jilbab saja atau khimar saja, itu saja kadang tidak menutup seluruhnya… apakah belum waktunya wanita-wanita shalihah dimanapun mereka berada supaya sadar dari kelalaian mereka dan bertaqwa kepada Allah dalam diri-diri mereka, dan mengenakan jilbab di atas khimar-khimar mereka?” (Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah hal: 85-86)

Berkata Syeikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu:
حجابها باللباس، وهو يتكون من: الجلباب والخمار، …فيكون تعريف الحجاب باللباس هو:ستر المرأة جميع بدنها، ومنه الوجه والكفان والقدمان، وستر زينتها المكتسبة بما يمنع الأجانب عنها رؤية شيء من ذلك، ويكون هذا الحجاب بـ الجلباب والخمار

“Hijab wanita dengan pakaian terdiri dari jilbab dan khimar…maka definisi hijab dengan pakaian adalah seorang wanita menutupi seluruh badannya termasuk wajah, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki, dan menutupi perhiasan yang dia usahakan dengan apa-apa yang mencegah laki-laki asing melihat sebagian dari perhiasan-perhiasan tersebut, dan hijab ini terdiri dari jilbab dan khimar.” (Hirasatul Fadhilah 29-30) Sebagian ulama mengatakan bahwa jilbab tidak harus satu potong kain, akan tetapi diperbolehkan 2 potong dengan syarat bisa menutupi badan sesuai dengan yang disyari’atkan (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/178).

Yang wajib bagi wanita muslimah adalah menutup kepalanya, wajahnya dan seluruh badannya jika ada lelaki ajnabi (bukan mahrom, pent). Dan yang disyari’atkan adalah ia memakai khimar di kepalanya kemudian menutup di atasnya dengan milhafah yaitu jilbab, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” [QS al-Ahzab : 59]
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Sumber Fatwa : Fatawa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhust al-Ilmiyyah wal Ifta’ (Jilid 17/ halaman 176) nomor fatwa : 6720.

Di bawah ini merupakah fatwa Lajnah Da’imah tentang berapakah potongan pakaian wanita muslimah?

السؤال الخامس من الفتوى رقم ( 7791 )
س5: ما هي شروط الحجاب، أيجب أن يكون الجلباب قطعة واحدة أم يمكن أن يكون قطعتين، وإذا فعل هذا أيكون بدعة أم لا؟ أفيدونا.


Pertanyaan kelima pada fatwa no 7791
“Apa saja syarat hijab (pakaian muslimah)? Apakah jilbab (pakaian muslimah) itu wajib terdiri dari satu potong kain ataukah diperbolehkan jika terdiri dari dua potong kain? Jika pakaian muslimah tersebut terdiri dari dua potong kain apakah itu bid’ah ataukah tidak? Beri kami jawaban”.
ج5: الحجاب سواء كان قطعة أو قطعتين فليس في ذلك بأس إذا حصل به الستر المطلوب المشروع. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

Jawaban:
“Tidaklah mengapa seandainya hijab (pakaian muslimah) itu terdiri dari satu potong kain ataukah dua potong asal pakaian tersebut menutupi aurat dengan baik sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat”.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … الرئيس
عبد الله بن غديان … عبد العزيز بن عبد الله بن باز


Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua Lajnah Daimah dan Abdullah bin Ghadayan sebagai anggota. Fatwa Lajnah Daimah ini terdapat dalam buku Fatawa Lajnah Daimah tepatnya pada jilid 17 halaman 177.

Dari penjelasan yang panjang di atas maka Jilbab gamis dengan Jilbab (khimar yang panjang yang menutupi seluruh tubuh) adalah berbeda. Yang syar’I adalah memakai jubah, lalu mengenakan khimar (yang menutupi rambut, leher dan dada) lalu mengenakan jilbab di atas jubah dan khimar yang menutupi seluruh tubuh. Dan tidak mengapa memakai potongan atau gamis sebagaimana fatwa Lajnah Daimah di atas. Setelah dijelaskan kepada temanku yang anggota H**, dia tetap ngotot dan akhirnya keesokan harinya dia tidak pernah lagi menyapa kami, menjabat tangan kami, dan tersenyum saat bertatap muka di sekolah, padahal sebelumnya dia sangat ramah. Hingga beberapa hari/minggu kemudia (agak lupa, hehe) akhirnya dia pun kembali seperti biasa yang ramah pada kami. Semoga menjadi renungan bagi kita, untuk tidak mudah menjudge ini salah, itu benar. Karena WAJIB atas kita untuk BERILMU SEBELUM BERAMAL DAN BERUCAP.

Saat di P** memang secara kasat mata tidak ada yang membedakan karena dari aku mengenal murabbiyyahku, aku mengenal beliau adalah sosok yang paham, sering melakukan amalan sunnah dan netral. Baru aku tahu beliau seorang kader P** setelah aku halaqoh dengannya 1 tahun karena beliau tidak pernah menyebut dirinya seorang kader P** ataupun membawa-bawa atribut P**. Dan aku pun yang menanyakannya langsung apakah beliau seorang kader P**, bukan dari mulutnya yang mengatakannya langsung. Beliau hanya mengganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis saat aku bertanya seperti itu.
Ya, memang secara dzahir ikhwah mereka paham dan mengaku ahlus sunnah wal jamaah, tapi ikhwannya banyak yang isbal dll. Banyak perbedaan yang sangat tampak, yaitu dari segi pemahaman dan pemikiran. Mereka meyakini bahwa tauhid itu terbagi menjadi 4 (Rubbubiyyah, Uluhiyyah, Mulqiyyah/Hakimiyyah, dan Ashma Wa Shifat)
Penjelasan detail tentang Hakimiyyah, silakan klik link di bawah ini:

Padahal tauhid itu ada 3 (Rubbubiyyah, Uluhiyyah, dan Ashma Wa Shifat).

Mereka lebih mengutamakan tarbiyah dibanding tashfiyah, sedangkan salafush shalih melakukan tashfiyyah lalu tarbiyah. Karena tashfiyyah dan tarbiyah adalah kata kunci bagi kembalinya kemuliaan Islam, dengan cara penerapan ilmu yang bermanfaat, dan pengamalannya. Keduanya adalah perkara yang mulia, tidak mungkin kaum Muslimin dapat mencapai kejayaan dan kemuliaan kecuali dengan menerapkan metode tashfiyyah dan tarbiyah yang merupakan kewajiban besar yang amat penting.

Kewajiban yang pertama adalah TASHFIYAH => yang dimaksudkan dengan tashfiyah (pemurnian) adalah:

  • Pemurnian aqidah Islam dari sesuatu yang tidak kenal dan telah menyusup masuk ke dalamnya, seperti kesyirikan, pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah Ta’ala atau penakwilannya, penolakan hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan ‘aqidah, dsb.
  • Pemurnian ibadah dari berbagai macam bid’ah yang telah mengotori kesucian dan kesempurnaan agama Islam.
  • Pemurnian fiqih Islam dari segala bentuk ijtihad yang keliru dan menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta pembebasan akal dari pengaruh-pengaruh taqlid dan kegelapan sikap fanatisme (jumud).
  • Pemurnian kitab-kitab tafsir Al-Qur’an, fiqh, kitab-kitab yang berhubungan erat dengan raqaa’iq (kelembutan hati) dan kitab-kitab lainnya dari hadits-hadits lemah dan palsu, serta dongeng Israiliyyat dan kemungkaran lainnya.
Kewajiban yang kedua adalah TARBIYAH => pembinaan generasi Muslim, di atas Islam yang telah dibersihkan dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, dengan sebuah pembinaan secara Islami yang benar sejak usia dini tanpa terpengaruh oleh pendidikan ala barat yang kafir.

Tidak diragukan lagi bahwasanya upaya untuk mewujudkan kedua kewajiban ini, memerlukan dan menuntut kesungguhan yang memadai, saling bahu-membahu antara kaum Muslimin seluruhnya dengan penuh keikhlasan, baik secara kolektif maupun individual (perorfangan).

Sikap ini sangat diperlukan dari semua komponen masyarakat yang benar-benar berkepentingan untuk menegakkan sebuah masyarakat Islami yang menjadi idaman di setiap negeri yang telah rapuh pilar-pilarnya, semua pihak bekerja pada bidang dan spesialisasi masing-masing.

Maka, bagi para ulama yang mengetahui hukum-hukum Islam yang benar, harus sungguh-sungguh mencurahkan perhatian mereka, mengajak kaum Muslimin kepada pemahaman Islam yang benar, baik ‘aqidah maupun manhaj, serta memahamkannya kepada kaum Muslimin. Kemudian ditindaklanjuti dengan pembinaan mereka di atas pemahaman tersebut, seperti yang telah difirman Allah Ta’ala,

“Akan tetapi (dia berkata), ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.’” (QS. Ali Imran: 79)

Inilah jalan satu-satunya dalam pemecahan problematika umat yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)

Merupakan sebuah kesepakatan yang tidak ada perbedaan di antara kaum Muslimin tentang ayat tersbeut, bahwa makna firman Allah, “Jika kamu menolong (agama) Allah” adalah: “Jika kamu mengerjakan apa-apa yang diperintahkan-Nya, niscaya Allah Ta’ala akan menolong kamu dari musuh-musuhmu.”

Di anatara nash-nash yang mendukung makna ini dan sangat sesuai dengan realita saat ini, dimana dalam nash tersebut telah digambarkan ‘jenis penyakit’ dan sekaligus ‘cara terapinya’ secara bersamaan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
“Jika kalian telah berjual beli dengan system bai’ul ‘inah dan kalian telah memegang ekor-ekor sapi dan ridha dengan pekerjaan bertani serta meninggalkan jihad (di jalan Allah), niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kalian, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” [SHAHIH: HR. Abu Dawud (no.3462) dan al-Baihaqi dalam Sunannya (V/316), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no.11)].

Maka, penyakit yang melanda kaum Muslimin bukanlah karena kejahilannya terhadap suatu ilmu tertentu namun harus dikatakan bahwa semua disiplin ilmu yang bermanfaat bagi kaum Muslimin adalah wajib, sesuai dengan porsinya. Akan tetapi kehinaan dan kerendahan yang dijumpai mereka bukan karena kejahilan mereka tentang apa yang dinamakan fiqhul waqi’, namun penyebabnya adalah sikap mereka yang menggampangkan dan meremehkan pengamalan hukum-hukum agama, baik yang termaktub dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Jika kamu berjual beli dengan system bai’ul ‘inah,”* adalah sebuah isyarat dari beliau shallallahu alaihi wasallam yang menunjukkan salah satu jenis mu’amalah yang mengandung riba, dan memakai siasat (tipu daya) terhadap syari’at Allah Ta’ala.

• Bai’ul ‘Inah (jual beli ‘inah) yaitu menjual suatu barang kepada seseorang dengan cara menghutangkannya untuk jangka waktu tertentu dan barang tersebut diserahkan kepadanya, kemudian si penjual membelinya kembali dari pembeli secara kontan dengan harga yang lebih murah, sebelum menerima pembayaran dari si pembeli tersebut. Lihat ‘Aunul Ma’bud (IX/263, cet. Darul Fikr), Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/42).

Sabda beliau shallallahu alaihi wasallam, “Dan kalian telah mengambil (memegang) ekor-ekor sapi,” merupakan isyarat dari beliau shallallahu alaihi wasallam yang menunjukkan perhatian yang difokuskan kepada urusan-urusan duniawi, dan kecenderungan kepadanya, serta tidak adanya perhatian terhadap syari’at dan hukum-hukumnya. Seperti itu pula yang diisyaratkan oleh sabda beliau shallallahu alaihi wasallam, “Dan kamu telah ridha dengan pekerjaan bertani.”

Sabda beliau shallallahu alaihi wasallam: “Kamu telah meninggalkan jihad,” sebagai buah dari sikap ingin hidup kekal di dunia ini, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah: 38)

Dan sabda beliau shallallahu alaihi wasallam, “Niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai kamu, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian, hingga kalian kembali kepada agama kalian.”
Mengisyaratkan secara jelas bahwasanya ‘agama’ yang merupakan kewajiban kita untuk kembali kepada-Nya, adalah agama yang disebutkan oleh Allah Ta’ala pada beberapa ayat yang mulia seperti:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Ma’idah: 3)

[Disadur dari Kutaib Sual wa Jawab Haula Fiqhil Waqi’ lil ‘Allamah al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani (hal. 48-54), cet. I, Daar al-Jalalain, 1412 H, Tashfiyah wat Tarbiyah oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid dan “Biografi Syaikh al-Albani, Mujjahid dan Ahli Hadits Abad Ini” (hal. 138-143) oleh Mubarak Ba Mu’allim, Penerbit Pustaka Imam asy-Syafi’i-th. 2003 M.]

Aku bahkan sempat tergabung dalam underbow P** (LDK dan KAMMI). Namun kegiatannya hanya sekadar liqo dimana yang menjadi guru/pembimbingnya adalah kakak kelas yang lebih tua dan kurikulum materinya berdasarkan buku-buku kalangan sendiri (IM) yang bahkan kakak kelas saja tidak paham tauhid (pembagian tauhid), bahasa arab, dll. Setiap kali menjawab pertanyaan selalu berdasarkan apa yang mereka tahu tidak pernah menukil perkataan salafush shalih ataupun syarah dari ulama-ulama ahlus sunnah tentang sebuah ayat, dll. Semuanya diatur seperti keakhwatan tarbiyah, politik/partai, bahkan pernikahan dan ta’aruf pun diatur sesuai dengan prinsip-prinsip Ikhwanul Muslimin/P**. Saking aku tidak tahu/masih awam jadi aku ikut aja, tapi jujur aku akui jauh dalam hatiku ada seakan rasa tertekan dan rasa yang seakan berteriak ‘Bukan ini, Cha. Bukan ini yang kamu inginkan.’ Ya, bahkan meskipun aku tercatat sebagai kader inti LDK, dimana kegiatannya itu bersifat sirriyah dan hanya beberapa orang dari seluruh kader LDK saja yang bisa menjadi anggota kader inti itupun dipilih oleh kakak senior hingga akhirnya aku aktif ikut kegiatan-kegiatan di kampus. Bahkan aku sampai ikut acara boikot dan acara aksi kemanusiaan untuk rakyat Palestina dimana di dalamnya terdapat penyimpangan seperti ikhtilat, tabbaruj kaum kuffar karena aksi/demonstrasi bukanlah berasal dari Islam, aku banyak ikut agenda partai. Untuk selengkapnya, silakan klik link di bawah ini:

Ada pergolakan batin dalam diriku atas apa yang kulakukan selama ini di IM, bahkan sindrom ‘takut lawan jenis’ ku pun kambuh ketika berhadapan dengan ‘ikhwan’ gara-gara dalam agenda banyak sekali yang mengharuskan adanya koordinasi ikhwan-akhwat. Aku sering gemetaran, keringat dingin, jantung berdebar, rasanya sesak. Hingga aku pun tak pernah mau dekat-dekat dengan makhluk bernama ‘ikhwan’. Aku pun menceritakan pada temanku untuk mencari solusinya, ya rata-rata mereka menyarankanku untuk tidak banyak terlibat interaksi antara ikhwan-akhwat bahkan ada yang menyarankanku untuk segera menikah. Jujur aku akui yang ada saat itu hanyalah modal semangat ya hanya semangat. Miris memang ketika suatu semangat yang menggebu-gebu tidak diikuti dengan ilmu syar’I yang benar, tidak diikuti dengan amal yang benar sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Rugi waktu, rugi pikiran, rugi pikiran… Itulah yang membuatku semakin membulatkan tekad untuk segera keluar dari barisan jamaah IM.

Bahkan saat aku memutuskan untuk mengenakan cadar gara-gara sering diganggu di jalan & ‘ikhwan’ selalu menatap wajahku, aku malu dan risih. Teman-teman akhwat di IM yang satu angkatan di kampus denganku sudah tahu niatku dari awal bahkan suatu hari aku ingin bercadar. Bahkan sebelum aku merealisasikannya aku sibuk mencari tahu ilmunya dulu karena yang aku tahu cadar itu ada yang hukumnya wajib, sunnah dan tidak wajib sama sekali. Bahkan mereka ikut membantuku mencari kitab-kitab yang khusus membahas permasalahan cadar di perpustakaan utama kampus. Sampai ‘ngubek-ngubek’ di antara tumpukan kitab-kitab arab gundul, hehe… Ya, teman-temanku ‘netral’ dan sangat mendukung aku bercadar. Akhirnya aku pun mengambil pendapat yang mewajibkan cadar karena mudharat yang ditimbulkan jika aku tidak memakai cadar akan lebih besar jika aku memakai cadar. Waktu itu, aku masih setengah-setengah pakai cadar. Di lingkungan rumah pakai, tapi ke kampus di lepas. Aku ingin tahu dulu tanggapan orang-orang dan perlakuan apa yang akan aku terima (sambil memantapkan hati dan menguatkan mental). Hal ini berlangsung selama seminggu, hingga akhirnya aku pun langsung memakai cadar kemana pun aku pergi. Cacian, hinaan ataupun celetukan-celetukan kecil sudah cukup membuatku ‘kenyang’ aku hanya bersikap masa bodoh saja, karena percuma klo dengerin apa kata orang mah ga ada habis-habisnya. Tergantung pada kita, mau ikutin orang atau ikutin perintah Allah dan Rasul-Nya?

Lalu aku pun mengemukakan pendapatku kepada murrabbiyahku dan kakak senior pembimbing liqo’ aku di kampus bahwa aku ingin keluar dari IM, apalagi mereka sudah tahu kalau aku pun ikut kajian salaf di luar kegiatan liqo’ mereka. Hal ini tentu membuat marah teman-temanku dan murabbiyyahku. Bahkan MRku mengataiku kalau aku ini bunglon, gara-gara sebelumnya ikut mentoring H**. Bahkan menuduhku mengenakan penampilan baru (cadar) supaya ikut salafi. Ya, mereka mengganggap salafi itu harakah, padahal BUKAN! Subhanallah, tidak itu sama sekali tidak benar! Aku memakai cadar karena dari awal aku sudah yakin akan mengenakannya kelak dan Allah yang memberikan ketetapan hati padaku agar aku bisa memakainya sampai sekarang meski apapun kata orang tentang cadar. Bahkan, salah satu kakak seniorku mengatakan bahwa cadar itu bukan sunnah, subhanallah! Beginikah perlakuan mereka kepada saudari mereka yang dulu begitu baik, yang dulu begitu perhatian hanya karena ingin keluar dari IM? Kemanakah ukhuwah yang mereka agung-agungkan itu? Ya, pada akhirnya aku hanya diam, tidak membalas ucapan-ucapan mereka karena aku tidak ingin berbicara dalam keadaan emosi. Aku diam menahan emosi atas semua tuduhan mereka. Mereka tetap berusaha membujukku agar tidak keluar dari IM. Hingga akhirnya, aku pun semakin yakin dengan keputusanku dan akhirnya aku pun keluar dari IM setelah 3 tahun berada di dalamnya.

Lepas dari IM, tidak serta merta membuatku langsung menapaki manhaj salaf. Karena saat itu aku sempat ‘tergiur’ dengan Jamaah Tabligh (JT) secara dzahir mereka sama dengan ikhwah salaf, mereka pun mengamalkan sunnah (tidak isbal, berjenggot dan akhwatnya bercadar). Aku pun sempet ragu, hingga pada akhirnya Allah memberikan petunjuk-Nya agar aku tidak perlu masuk JT. Ya, dari kegiatan khuruj mereka, maulid, sholawat-sholawat yang tidak ada sumbernya yang shahih, aku pun akhirnya tahu bahwa mereka adalah thoreqot sufi. Aku yang tadinya nyaris ikut ceramah mereka pun akhirnya tidak jadi.

Selanjutnya, kembali aku ‘tersangkut’ pada sebuah gerakan sururiyah. Secara dzahir sama banget dengan ikhwah salaf, ikhwannya berjenggot, celananya cingkrang, dan akhwatnya bercadar juga memakai jubah dan jilbab gelap-gelap. Mereka punya radio sendiri juga, Fa*** FM dan saat itu aku masih belum tahu dan bingung bertanya kepada siapa jadwal kajian salaf di Bogor. Makanya aku sempat ‘nyangkut’ di gerakan sururi ini. Bahkan mereka jelas-jelas menamakan bahwa mereka adalah harakah, namanya H***I. Mungkin kalau di luar pulau Jawa sama dengan W*. Cukup sekali ikut kajiannya membuatku ‘jera’ datang lagi, walhamdulillah. Karena jelas ada DPCnya, ada ketuanya, sama aja atuh ini mah dengan P** hanya saja beda dzahirnya meskipun kajiannya sama. Barulah aku tahu tentang gerakan ini bahwa memang ada penyimpangan di dalamnya. Karena mayoritas ulama ahlus sunnah tidak membolehkan bahkan ada yang membid’ahkan tanzhim ataupun harakah/organisasi karena memecah belah umat meskipun mereka berdalih hanya sebagai sarana. Lalu apa bedanya dengan hizbi dan harakiyyun? Setelah aku mencari tahu dari teman-teman aku pun tahu bahwa mereka ini hizbi berbaju salafi (pernah juga dibahas di salah satu blog ikhwan salafi bandung) dan dari radio-radionya mereka menjelek-jelekkan ulama ahlus sunnah dan asatidz ahlus sunnah, mereka membolehkan demonstrasi, menghalalkan musik/nasyid padahal sudah jelas dalil shahih yang MENGHARAMKAN MUSIK DAN NASYID. Untuk mengetahui secara detail tentang hukum nasyid, silakan klik link di bawah ini:


Tak perlu lama-lama, Allah pun memudahkanku untuk segera menemukan kajian salaf di Bogor. Ya, aku pun berkenalan dengan temannya teman yang tinggalnya di depan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal (MIAH) Bogor tempatku kajian salaf yang pematerinya adalah Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, seorang ust juga guru yang begitu semangat dalam menyampaikan materi kajian, juga begitu tegas dan disiplin. Bahkan saking disiplinnya sampai-sampai ga boleh bawa anak kecil lho ke kajian beliau. Beliau berpesan yang intinya, “Kasihan ikhwah-ikhwah yang datang jauh-jauh untuk menuntut ilmu tapi terganggu oleh anak-anak kecil.” Bahkan saking tegasnya beliau, saat suasana hening mendengar dan mencatat materi yang beliau sampaikan ada sebuah bunyi ringtone HP seorang ikhwan di bawah (jamaah ikhwan di bawah, sedangkan jamaah akhwat di atas) beliau langsung memotong materi yang disampaikan dan langsung menegur ikhwan tersebut, “Tolong HPnya dimatikan, ini kan sedang dijelaskan.” Lalu pernah juga saat beliau sedang menjelas materinya dan saat aku tengah asyik mencatat, aku dikagetkan dengan suara beliau yang begitu tegas dan keras. Saat ada seorang ikhwan yang melempar/member kertas kecil berisi pertanyaan ke meja beliau. Beliau berkata, “Antum tenang dulu, saya kan lagi menjelaskan. Nanti juga ada sesi tanya jawab.”

Masya Allah kagum aku melihat beliau. Maka bagiku, duduk di dalam majelis ilmu dimana di dalamnya dibahas ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah ala fahmi salaf adalah saat-saat yang paling menyenangkan dan paling manis dalam hidupku. Dimana kita semua mendengar dan mengkaji ilmu syar’I. Benar-benar tamasya ke taman surga. Maka, duduk di pojok belakang MIAH akhwat, muraja’ah, mendengar-mencatat kajian, dan berdiskusi dengan teman adalah saat-saat yang paling kunantikan dan kurindukan. Masya Allah, begitu nikmatnya menuntut ilmu syar’i. Ilmu yang dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman salafush shalih, yang dibangun di atas dalil shahih… ^__^

Nah, dari penjelasan yang panjang di atas dan perjalananku untuk sampai kepada Manhaj Salaf yang penuh dengan perjuangan ini, maka
untuk lebih detail tentang aqidah, ahlus sunnah wal jamaah, dan salaf, silakan klik link di bawah ini:
Tamasya ke Taman Surga yuk ^^
Apakah yang dimaksud dengan taman surga itu?

Dari Anas bin Malik radhiyallohu ‘anhu bahwa Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melewati taman-taman surga maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya, “Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, “Halaqoh-halaqoh dzikir.” (HR. at-Tirmidzi dan lain-lain)

Yang dimaksud dengan halaqoh dzikir yang merupakan taman-taman surga, yaitu sekelompok orang yang berdzikr di suatu tempat dengan dzikir dan tatacara yang diajarkan Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam atau berkumpul untuk mebaca dan mempelajari al-Quran atau berkumpul untuk mempelajari ilmu agama. Majelis zhikir (ilmu)adalah riyadhul min riyadhul jannah (taman dari taman-taman surga), tapi bukan majelis dzikir yang penuh dengan kebid'ahan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 'Tidaklah duduk suatu kaum yang berzhikir kepada Allah melainkan para malaikat mengelilingi mereka serta ketenangan turun atas mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka di tengah-tengah malaikat yang ada di sisi-Nya." (HR. Muslim)

Said bin Zubair mengatakan: Semua yang melakukan ketaatan kepada Allah, karena Allah, maka dia orang yang berdzikir kepada Allah (al adzkar 7).

Abu Hazzan ‘Atha` pernah ditanya: ”Apakah Majelis Dzikir itu?” Beliau menjawab:
مَجْلِسُ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَكَيْفَ تُصَلِّي وَكَيْفَ تَصُوْمُ وَكَيْفَ تَنْكِحُ وَكَيْفَ تَطْلُقُ وَتَبِيْعُ وَتَشْتَرِي
“Yaitu majelis tentang halal dan haram. Majelis yang mengajari bagaimana kamu shalat, puasa, menikah, talak, dan bagaimana kamu berjual-beli.” (Al Hilyah 3/313).

Dari penukilan perkataan ‘Ulama salaf ini jelas bagi kita bahwa yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang di dalamnya disebutkan padanya “majalis adz-dzikr” atau “hilaqudz dzikr” adalah majelis ilmu yang di dalamnya dipelajari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, jauh dari berbagai macam campuran bid’ah-bid’ah yang tidak pernah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Diantara yang menguatkan hal ini adalah beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kalian tidak mengetahuinya.” (QS An-Nahl: 43)
Para ahli tafsir menafsirkan “ahli dzikir” dengan makna “Para ‘Ulama”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/571-572)

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
مَنْ اَغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ اْلأُولَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الثَّانِيَةَ فَكَأَنَمَا قَرَّبَ بَقْرَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْثَّالِثَةَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً, وَمَنْ رَاحَ فِي الْسَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً, فَإِذَا خَرَجَ اْلإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَسْتَمِعُوْنَ الْذِّكْرَ
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at kemudian berangkat di waktu pertama, maka seakan-akan dia berkurban seekor onta, dan barangsiapa yang berangkat di saat kedua maka seakan-akan dia berkurban seekor kerbau, dan barangsiapa yang berangkat di waktu ketiga maka seakan- akan dia berkurban seekor domba bertanduk, dan barangsiapa yang berangkat pada waktu keempat maka seakan-akan dia berkurban seekor ayam, dan barangsiapa yang datang pada waktu kelima maka seakan-akan dia berkurban seekor telor. Maka apabila imam telah keluar maka hadirlah para malaikat mendengarkan dzikir.”
Yang dimaksudkan dengan dzikir di dalam hadits ini adalah khutbah dan nasehat. (Lihat kitab Al-I’lam bifawaid Umdatil Ahkam, Ibnul Mulaqqin: 4/173)

Ini semua menunjukkan bahwa makna “majalis adz dzikr” lebih lebih luas dari makna dzikir secara lisan, namun mencakup berbagai macam jenis amalan ketaatan seperti menuntut ilmu, belajar dan mengajar, memberi nasehat, yang jauh dari berbagai bentuk bid’ah dan kesesatan. Sedangkan “majalis adz dzikir” yang dinisbahkan kepada model dan cara berdzikirnya Arifin Ilham, lebih pantas dinamakan sebagai “majelis makr (yang menipu daya kaum muslimin)” dan bukan majelis dzikr. Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari kesesatan.

Awal-awal menapaki manhaj salaf sebagai seorang penuntut ilmu yang masih terus belajar, sama seperti sebagian ikhwah yang awalnya aku tidak mau tersenyum pada teman-temanku yang di IM, H**, H***I, JT, juga NU. Maklum, masih awal-awal semangat begitu berkobar sampai-sampai “itu ga boleh tau kan bid’ah”, pengen tertawa rasanya ingat masa-masa itu, hehe… Alhamdulillah setelah sering kajian, baca buku, dengar ceramah kajian salaf maupun kajian di Rodja 756 AM, aku pun mulai bersikap lembut, tersenyum juga berjabat tangan seraya mengucap salam kepada teman-temanku itu. Bukankah telah jelas hak seorang muslim terhadap sesama Muslim, sebagaimana hadits di bawah ini:

“Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Hak seorang muslim terhadap muslim (lain) ada 6 (yaitu), jika kamu bertamu berilah salam kepadanya, jika kamu diundang maka penuhilah undangannya, jika dia meminta nasihat kepadamu maka berikanlah nasihat. Dan jika dia bersin dan mengucapkan Alhamdulillah, maka balaslah (dengan Yarhamukallah), jika dia sakit maka jenguklah, dan jika dia meninggal maka antarkan jenazahnya.” Diriwayatkan oleh Muslim.
[SHAHIH: Diriwayatkan oleh Muslim (2162) dalam as-Salaam, Tirmidzi (2737) dalam al-Adab, Nasa’i. (1938). Tirmidzi berkata, ‘Hadits hasan shahih dan kalimat, “Lilmu’min ‘Ala al-Mu’min Sitta” adalah riwayatnya. Dishahihkan oleh al-Albani, lihat ash-Shahihah (832).]

Untuk mengetahui lebih detail dan jelas tentang hak seorang muslim terhadap muslim lainnya, dapat membaca di artikelku yang berjudul, “Saudariku, Jangan Engkau Lupakan Hakku, Hakmu, dan Hak Sesama Muslim” >>>di sini<<<
Abul Qa’qa’ mengatakan
و من هنا ينبغي للمرء أن يبحث له عن زميل صالح, و خل جاد ناصح, بحيث يكونان متلازمين في أغلب الأوقات, و يحث كل منهما صاحبه على الطلب و التحصيل, و يشد كل منهما من أزر الآخر و يسد كل منهما الآخر إن أخطأ, و يعينه و يحفزه إن أصاب و وفق, و يغيب كل منهما للآخر ما حفظه من العلم, و يقرآن سوياً, و يراجعان سويا, و يبحثان المسائل, و يحققا سويا

“Seseorang harus mencari kawan yang shalih, rajin dan suka menasehati, agar (ia) selalu bisa bersamanya pada sebagian besar waktunya, saling memotivasi dalam belajar dan saling menguatkan semangat sesamanya, mengingatkannya bila ia salah, dan mendukungnya bila ia benar dan mengevaluasi apa yang telah ia hafal, baca, diskusikan, dan kaji tentang sebuah permasalahan dengan selalu bersama-sama." [كيف تتحمس لطلب العلم الشرعي/Kaifa Tatahammas Li Thalabil ‘Ilmi Asy-Syar’i/. محمد بن صالح بن إسحاق الصيعري / Muhammad ibn Shalih ibn Ishaq Ash-Shi’ri /. 1419 H. فهرسة مكتبة الملك فهد الوطنية أثناء النشر /Fahrasah Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah Ats-naa`a An-Nasyr.]

Silakan baca artikelku yang berjudul "Untukmu Sahabat" >>>di sini<<<

Dari penjelasan dan perjalananku yang panjang dalam menapaki Manhaj Salaf yang haq ini, sampai 'nyangkut' disana-sini, walhamdulillah Allah memberikan hidayah-Nya kepada hingga aku bisa mengenal dakwah salaf... Masya Allah inilah nikmat yang paling besar dan paling membahagiakan dalam hidupku. Tak bisa dibayangkan bagaimana jika Allah tidak memberikan hidayah-Nya kepadaku... Baru kusadari, bahwa:
Yang PALING MAHAL adalah HIDAYAH
Yang PALING BERAT adalah IKHLASH dan ISTIQOMAH


Maraji’:

  • Kitab Bulughul Maram edisi terjemahan karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Penerbit Pustaka As-Sunnah.
  • Kitab Mulia dengan Manhaj Salaf karya Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor.
  • ‎Buku “Bid’ah ‘Amaliyah Dzikir Taubat, Bantahan terhadap ‘Arifin Ilham Al Banjari”, Penulis: Al Ustadz Abu Karimah ‘Askari bin Jamal Al Bugisi, Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i, Yaman.Diterbitkan dalam buku berjudul “Bid’ahnya Dzikir Berjama’ah Bantahan Ilmiah Terhadap M. Arifin Ilham Dan Para Pendukungnya” oleh penerbit Darus Salaf Darus Salaf Press.
  • Artikel Ust. Aris Munandar

Wallahu a'lam...

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.


Selesai pada 8 Ramadhan 1431 H/18 Agustus 2010
di Bogor, menjelang maghrib
~Ummu Zahratin Nisa Lathifah~

Sumber:http://catatanharianku-mystory.blogspot.com/2010/08/kutemukan-cinta-dalam-manhaj-salaf.html