Thursday, February 17, 2011

Kaidah Dasar Memahami Fikih Muamalah Maliyah

Kaidah Dasar Memahami Fikih Muamalah Maliyah

undefined
Mukadimah
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan pertolongan kepada-Nya, kita berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kita dan kejelekan amalan kita. Barangsiapa yang Allah berikan hidayah kepadanya maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang dapat memberinya hidayah.
Aku bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah tanpa sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah. Semoga salawat dan salam yang banyak selalu dilimpahkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Amma Ba’du.
Fikih Islam telah mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya. Para ulama mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul syariat dan kaidah-kaidahnya. Selanjutnya, mereka menjelaskan hukum-hukum permasalahan tersebut, kemudian membukukannya dan mengamalkannya. Bahkan sebagian ahli fikih telah membahas permasalahan yang belum terjadi di zamannya dan ternyata dapat dimanfaatkan pada masa-masa setelah mereka, ketika lemahnya negara islam dan kaum muslimin dalam seluruh urusannya, termasuk juga masalah fikih seperti di zaman kiwari ini.
Berangkat dari sini, sudah menjadi kewajiban setiap muslim yang akan menjalani amalan untuk memiliki dan mengenal hukum-hukum syariat Islam yang berkaitan dengan amalan tersebut. Kita semua tidak dapat lepas dari pengelolaan dan penggunaan harta dalam kehidupan sehari-hari. Pertukaran barang, uang, dan jasa menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan ini.
Di samping itu, menuntut ilmu syar’i merupakan satu ibadah besar bila disertai niat yang ikhlas dan pengamalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَبْتَغِي فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضَاءً لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانُ فِي الْمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa yang berjalan menempuh satu perjalanan mencari ilmu, niscaya Alah akan membukakan jalan menuju surga baginya. Sungguh, malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena ridha pada penuntut ilmu, dan seorang alim (yang berilmu) akan dimintai ampunan oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan-ikan di air. Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang sempurna.” (Hr. Tirmidzi)
Fikih Islam merupakan satu medan ilmu syar’i yang terpenting dan menjadi buah seluruh ilmu syariat, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnul Jauzi,
“Dalil terbesar tentang keutamaan sesuatu adalah melihat kepada hasilnya. Barangsiapa yang meneliti hasil fikih maka akan mengetahui bahwa ilmu fikih adalah ilmu yang terpenting.”
Fikih memiiliki kedudukan yang mulia. Para ulama pun bersemangat dalam mempelajari fikih dan membukukan permasalahan-permasalahannya, hingga akhirnya mereka meletakkan dasar dan kaidah dalam semua bidang ilmu fikih, khususnya fikih muamalah yang demikian luasnya. Dengan bekal tersebut, kaidah dasar yang ditulis dan dibakukan para ulama ini kita dapat mengetahui dan memahami banyak sekali permasalahan yang bersinggungan langsung dan tidak langsung dalam kehidupan kita. Penulis memohon petunjuk dan bantuan dari Allah dan berharap dapat memberikan manfaat serta faidah untuk diri penulis sendiri khususnya dan para ikhwan yang membaca dan mendengarkan kajian ini. Berdasarkan hal itu, maka penulis menuliskan delapan kaidah dasar dalam fikih ekonomi Islam.
Mudah-mudahan harapan tersebut dapat dikabulkan Allah dan terwujud dalam bentuk yang nyata.
Wabillahit Taufik.
Urgensi Mengenal Fikih Muamalah Maliyah
Muamalah maliyah adalah medan hidup yang sudah tersentuh oleh tangan-tangan manusia sejak zaman klasik, bahkan zaman purbakala. Setiap orang membutuhkan harta yang ada di tangan orang lain. Hal ini membuat manusia berusaha membuat beragam cara pertukaran, bermula dengan kebiasaan melakukan tukar menukar barang yang disebut barter, berkembang menjadi sebuah sistem jual-beli yang kompleks dan multidimensional. Perkembangan itu terjadi karena semua pihak yang terlibat berasal dari latar belakang yang berbeda, dengan karakter dan pola pemikiran yang bermacam-macam, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang tidak sama. Baik itu pihak pembeli atau penyewa, penjual atau pemberi sewa, yang berutang dan berpiutang, pemberi hadiah atau yang diberi, saksi, sekretaris atau juru tulis, hingga calo atau broker. Semuanya menjadi majemuk dari berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang sosial dan pendidikan yang variatif. Selain itu, transaksi muamalah maliyah juga semakin berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Sarana atau media dan fasilitator dalam melakukan transaksi juga kian hari kian canggih. Sementara komoditi yang diikat dalam satu transaksi juga semakin bercorak-ragam, mengikuti kebutuhan umat manusia yang semakin konsumtif dan semakin terikat tuntutan zaman yang juga kian berkembang.
Oleh sebab itu, urgensi muamalah maliyah yang sangat erat dengan perekonomian Islam ini akan tampak bila kita melihat salah satu bagiannya, yaitu dunia bisnis perniagaan dan khususnya level menengah ke atas. Seorang yang memasuki dunia perbisnisan ini membutuhkan kepekaan yang tinggi, feeling yang kuat dan keterampilan yang matang serta pengetahuan yang komplit terhadap berbagai epistimologi terkait, seperti ilmu manajemen, akuntansi, perdagangan, bahkan perbankan dan sejenisnya. Atau berbagai ilmu yang secara tidak langsung juga dibutuhkan dalam dunia perniagaan modern, seperti komunikasi, informatika, operasi komputer, dan lain-lain. Itu dalam standar kebutuhan businessman (orang yang berwirausaha) secara umum.
Bagi seorang muslim, dibutuhkan syarat dan prasyarat yang lebih banyak untuk menjadi wirausahawan dan pengelola modal yang berhasil, karena seorang muslim selalu terikat-–selain dengan kode etik ilmu perdagangan secara umum–dengan aturan dan syariat Islam dengan hukum-hukumnya yang komprehensif. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang muslim memasuki dunia bisnis dengan pengetahuan kosong terhadap ajaran syariat, dalam soal jual-beli misalnya. Yang demikian itu merupakan sasaran empuk ambisi setan pada diri manusia untuk menjerumuskan seorang muslim dalam kehinaan.
Demikian pentingnya permasalahan ini, sehingga kita semua harus bersabar dan meluangkan waktu mempelajari dasar-dasar muamalah maliyah dan berbagai jenisnya. Mudah-mudahan dengan izin dan taufik dari Allah ‘Azza wa Jalla kita dapat mengenal dan mengetahui hukum-hukum yang ada seputar aktivitas muamalah maliyah tersebut melalui kaidah dasar yang telah ditetapkan para ulama.
Untuk itulah diperlukan pengetahuan dasar tentang definisi muamalah maliyah.
Definisi Muamalah
Kata “muamalah” dalam etimologi bahasa Arab diambil dari kata (العمل) yang merupakan kata umum untuk semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. Kata “muamalah” dengan wazan (مُفَاعَلَة) dari kata (عامل) yang bermakna bergaul (التَّعَامُل).
Adapun dalam terminologi ahli fikih dan ulama syariat, kata “muamalah” digunakan untuk sesuatu di luar ibadah, sehingga “muamalah” membahas hak-hak makhluk dan “ibadah” membahas hak-hak Allah. Namun, mereka berselisih dalam apa saja yang masuk dalam kategori muamalah tersebut dalam dua pendapat:
  1. Muamalah adalah pertukaran harta dan yang berhubungan dengannya, seperti al-bai’ (jual-beli), as-salam, al-ijaarah (sewa-menyewa), syarikat (perkongsian), ar-rahn (gadai), al-kafaalah, al-wakalah (perwakilan), dan sejenisnya. Inilah Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah.
  2. Muamalah mencakup semua hal yang berhubungan kepada maslahat manusia dengan selainnya, seperti perpindahan hak pemilikan dengan pembayaran atau tidak (gratis) dan dengan transaksi pembebasan budak, kemanfaatan, dan hubungan pasutri. Dengan demikian, muamalah mencakup fikih pernikahan, peradilan, amanah, dan warisan. Inilah mazhab al-Hanafiyah dan pendapat asy-Syathibi dari mazhab al-Malikiyah.
Oleh karena itu sebagian ahli fikih membagi fikih menjadi empat kategori:
a. Fikih Ibadah
b. Fikih Muamalah
c. Fikih Ankihat (nikah)
d. Hukum-hukum kriminal dan peradilan.
Yang menjadi topik pembahasan kita adalah “fikih muamalah” tentang pertukaran harta benda.
Pengertian Harta (Maal)
Setelah jelas bahwa pembahasan kita hanya membahas muamalah maliyah (harta), maka perlu kita perlu mengetahui pengertian al-maal dalam syariat Islam.
Yang dimaksud dengan harta (al-maal) dalam pengertian syariat adalah:
هُوَ كُلُّ عَيْنٍ مُبَاحَةُ النَّفْعِ بِلاَ حَاجَةٍ
“Semua benda yang diperbolehkan kemanfaatannya bukan karena hajat.”
Termasuk dalam definisi ini: emas, perak, gandum, kurma, garam, mobil, bejana, rumah, dan lain-lainnya.
Yang dimaksud dengan kata (مباحة النفع) adalah benda tersebut memiliki manfaat, sehingga benda yang tidak memiliki manfaat tidak termasuk dalam definisi ini. Benda yang diharamkan pemanfaatannya, seperti alat-alat musik, juga tidak termasuk dalam definisi ini.
Adapun maksud pernyataan (بلا حاجة) adalah kebolehannya bukan disebabkan kebutuhan dan darurat, sehingga mengeluarkan semua yang dibolehkan karena kebutuhan dan darurat, seperti bangkai yang diperbolehkan karena darurat atau kulit bangkai yang diperbolehkan pemanfaatannya karena kebutuhan. Demikian juga, anjing pemburu diperbolehkan karena hajat (kebutuhan) .
Para ulama pun memakai kata harta benda (المال) untuk tiga hal, yaitu:
• Barang dagangan (الأعيان العروض), seperti mobil, rumah, bahan makanan, pakaian, dan selainnya.
• Jasa pemanfaatan (المنافع), seperti pemanfaatan menempati rumah, pemanfaatan jual-beli di satu toko, dan lain-lainnya.
• Benda (العين) yang dimaksudkan adalah emas dan perak dan yang menggantikan keduanya dari uang kertas.
Walaupun sebagiannya memandang ini termasuk dalam barang dagangan. Sebagian ulama memasukkan mata uang termasuk dalam al-arudh.
Ruang Lingkup Pembahasan
Yang diinginkan dalam pembahasan kita di sini adalah muamalah maliyah yang mencakup dua hal, yaitu:
1. Ahkam al-mu’awadhah (أحكام المعاوضات), yaitu muamalah yang digunakan untuk maksud adanya imbalan berupa keuntungan, usaha dan perdagangan, serta lainnya. Di dalamnya tercakup: jual-beli (البيع), sewa menyewa (الإجارة), hak pilih (الخيارات), syarikat (الشركات), dan transaksi yang berhubungan dengannya.
2. Ahkam at-tabaru’at (أحكام التبرعات), yaitu muamalah yang bertujuan untuk berbuat baik dan memudahkan orang lain, seperti hadiah (الهبة), pemberian (العطية), Wakaf (الوقف), pembebasan budak (العتق) dan Wasiyat (الوصايا) serta yang lainnya.
Dengan demikian, ruang lingkup pembahasan ini meliputi permasalahan: jual-beli (البيع), sewa menyewa (الإجارة), hak pilih (الخيارات), syarikat (الشركات), utang piutang (القرض), gadai (الرهن), jaminan (الضمان), al-hawalah (الحوالة), perjanjian damai (الصلح), masalah kebangkrutan (التفليس), perlombaan (السبق), ‘ariyah (العارية), al-ghashb (الغصب), asy-syuf’ah (الشفعة), al-ju’alah (الجعالة), laqathah (اللقطة), al-luqaith (اللقيط), wakaf (الوقف), pemberian/hadiah (الهبة), pemberian ketika sakit menjelang kematian (العطية), wakaf (الوقف), dan wasiat (الوصايا).
Namun, sebelum membahas permasalahan muamalah maliyah ini, pengenalan kaidah-kaidah dasar muamalah maliyah sangat perlu dilakukan agar permasalahannya lebih jelas dan mudah.
Kaidah-kaidah Dasar dalam Muamalah Maliyah
Syekh Shalih bin Abdil ‘Aziz Alu Syekh (Menteri Urusan Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan Islam Negara Arab Saudi) pernah memberikan petunjuk bahwa seseorang yang ingin meneliti dan membahas permasalahan-permasalahan kiwari dan perkara nawazil, di antaranya fikih Muamalah Maliyah, harus memahami hal-hal berikut ini:
1. Memahami pendapat para ulama yang mereka sampaikan dalam kitab-kitab fikih dengan tepat hingga dapat membedakan gambaran permasalahan dengan benar.
2. Mengetahui nash-nash yang menyampaikan masalah tersebut. Baik dalam qimar, maisir, gharar, riba, dan yang lainnya dari kejadian dan masalah yang beraneka ragam.
3. Mengetahui bahasa Arab yang menjadi dasar istilah syar’i dalam mengungkapkan masalah-masalah tersebut.
4. Mengetahui istilah–yang oleh ahli fikih disebut dengan–al jam’i wat tafriq, yaitu kaidah yang menyatukan banyak permasalahan dan perbedaan-perbadaan antara masalah-masalah tersebut.
5. Memiliki dan menguasai ilmu maqashid syari’ah.
Karenanya, sudah seharusnyalah seorang thalib ilmu (pelajar) menguasai dengan baik pokok-pokok dan kaidah satu permasalahan. Pengenalan terhadap kaidah-kaidah tersebut akan sangat memudahkan seseorang untuk menguasai fikih, sehingga dengan satu kaidah seseorang dapat menjawab dan menguasai banyak permasalahan.
Contohnya:
Kaidah “بَابُ الْعِبَادَاتِ الأَصْلُ فِيْهِ الْحَظَرُ وَالتَّوْقِيْفُ” (Masalah ibadah pada asalnya adalah dilarang dan bersandar kepada nash syariat).
Mengenal kaidah-kaidah seperti ini dapat memberikan banyak faidah, di antaranya:
1. Mencapai derajat tinggi dalam fikih, karena kaidah-kaidah ini dapat memudahkan seseorang mengenal masalah yang beraneka ragam dengan satu atau dua kaidah.
Oleh karena itu, Syekh as-Sa’di rahimahullahu menyatakan,
فَاحْرِصْ عَلَى فَهْمِكَ لِلْقَـوَاعِــدِ جَــامِـعَـةِ الْمَـسَائِـلِ الشَّوَارِدِ
Semangatlah kemu dalam memahami kaidah-kaidah
Yang menyatukan masalah-masalah yang beragam
2. Berada pada kaidah tersebut dan tidak melampauinya hingga ada dalil yang mengeluarkannya.
3. Mengetahui bahwa yang dituntut menyampaikan dalil adalah orang yang mengeluarkan dari asal kaidah tersebut.
4. Orang yang komitmen dengan kaidah akan mendapatkan ketenangan ketika memaparkan furu’ (cabang) fikih dalam bab-babnya dan dapat mencapai tingkatan tertinggi dalam ilmu. Syekh as-Sa’di rahimahullahu menyatakan:
فَتَرْتَقِي فِي الْعِلْمِ خَـْيـرَ مُرْتَقَـى وَتَـقْـتَـفِيْ سُبـُلَ الَّذِيْ قَدْ وُفِّقَا
Lalu mencapai tingkatan tertinggi dalam ilmu
Dan mengikuti jalan yang mendapatkan taufik.
Oleh karena itu, marilah kita memotivasi diri kita masing-masing untuk memperhatikan kaidah dan ketentuan fikih dengan dalil-dalilnya, kemudian mengenal (hasil) yang keluar darinya berdasarkan dalil.
Untuk mempelajari dan menelaah muamalah maliyah diperlukan pengetahuan yang cukup seputar kaidah dasar (الضوابط ) dalam muamalah, di antaranya:
===============
1. Asal dalam Muamalah Adalah Halal
(الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ)
Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahkan Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan bahwa sebagian ulama menyampaikan ijma’ (kesepakatan) dalam hal ini. Namun, hikayat ijma’ ini tidak benar karena mazhab azh-Zhahiriyah menyelisihinya (tidak menyetujui kaidah ini).
Pengertian Kaidah
Pengertian kaidah ini adalah “kaidah dalam semua akad yang terjadi antara dua pihak adalah halal dan mubah secara umum”. Sehingga semua bentuk muamalah yang belum ada atau telah ada terdahulu, pada asalnya boleh, kecuali ada dalil yang shahih dan jelas melarangnya, sehingga keluar dari asalnya dengan dalil dan diberi hukum lain di luar hukum asal.
Adapun bila tidak ada dalil yang melarangnya, maka ia berlaku sesuai asal, yaitu boleh dan mubah.
Dasar Kaidah
Dalil kaidah dasar ini adalah:
1. Ayat-ayat yang menunjukkan perintah menunaikan akad transaksi dan perjanjian, seperti Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Qs. al-Maidah: 1)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (Qs. al-Isra`: 34)
Kedua ayat ini berisi perintah menunaikan transaksi dan muamalah secara mutlak, baik bentuk dan lafalnya ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau belum ada. Oleh karen itu, hal ini menunjukkan bahwa asal dalam muamalah adalah halal.
2. Ayat-ayat yang menunjukkan pambatasan hal-hal terlarang pada perbuatan dan sifat tertentu, seperti firman Allah ‘Azza wa Jalla,
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi–karena sesungguhnya semua itu kotor–atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ “ (Qs. al-An’am: 145)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُواْ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan–kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka–dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, serta janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.’ Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami-(nya).” (Qs. al-An’am: 151)
Serta firman-Nya ‘Azza wa Jalla,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji (baik yang tampak atau yang tersembunyi), perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al-A’raf: 33)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah membatasi hal-hal terlarang pada jenis dan sifat tertentu saja, sedangkan yang tidak diketahui ada pengharamannya, maka diberlakukan hukum halal, karena tidak boleh ada hukum untuk para mukallaf tanpa dasar dalil.
3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisa`: 29)
Dalam ayat ini, Allah tidak memberikan syarat dalam perdagangan kecuali saling suka (taradhi). Ayat ini menunjukkan bahwa asal dalam muamalah adalah halal.
4. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (Qs. al-An’am: 119)
5. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ الله عَافِيَتَهُ { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا }
“Semua yang Allah halalkan dalam al-Quran maka ia halal, yang diharamkan maka ia haram, dan yang didiamkan maka itu tidak ada hukumnya (boleh). Terimalah dari Allah kemudahan-Nya. (Allah berfirman), ‘Rabbmu tidak pernah lupa.’ ” (Hr. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya: 2/137/12; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 2256)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hukum sesuatu yang tidak diharamkan dan dihalalkan dengan kata “afwun” (dimaafkan atau boleh). Ini menunjukkan bahwa asal sesuatu dalam muamalah adalah halal.
6. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ جُرْماًَ مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لمَ ْيُحْرَمْ فَحُرِمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ ” متفق عليه
“Sungguh, orang yang paling besar kejahatannya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan dengan sebab pertanyaannya.’ (Muttafaqun ‘alaihi)
7. Ditinjau secara dalil aqli (akal) dengan tiga hal:
a. Akad transaksi termasuk perbuatan dan aktivitas yang sudah menjadi adat kebiasaan. Manusia sudah biasa melakukannya dalam mendapatkan kebutuhan dunia mereka, maka asal hukumnya adalah boleh dan tidak dilarang. Sehingga dijadikan dasar sampai ada dalil yang mengharamkannya.
b. Syariat tidak mengharamkan jenis akad kecuali hanya beberapa saja, maka tidak adanya dalil pengharaman menunjukkan ketidak-haramannya.
c. Dalam keabsahan akad transaksi, tidak disyaratkan adanya izin khusus dari syariat. Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Kaum muslimin apabila melakukan transaksi tertentu dan belum mengetahui keharaman dan kehalalannya, maka seluruh ahli fikih–yang aku ketahui–menghukumi keabsahannya, apabila mereka tidak meyakini keharamannya. Walaupun transaktor (orang yang bertransaksi –ed) tersebut belum mengetahui penghalalannya–baik dengan ijtihad atau taklid–, dan juga tidak ada seorang pun yang menyatakan bahwa akad transaksi tidaklah sah kecuali untuk orang yang meyakini bahwa syariat menghalalkannya. Seandainya izin khusus syariat menjadi syarat keabsahan transaksi, maka transaksinya tidak sah, kecuali setelah adanya izin kebolehannya.”
====================
2. Asal Dalam Syarat-Syarat yang Ditetapkan dalam Muamalah Adalah Halal
(الأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ)
Inilah pendapat yang diambil oleh jumhur ulama.
Pengertian Kaidah
Semua syarat yang diajukan salah satu transaktor, baik syarat tersebut merupakan tuntutan transaksi (akad), syarat untuk kemaslahatan akad (transaksi), atau syarat sifat atau syarat manfaat pada asalnya adalah boleh.
الأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
Kaidah ini termasuk kaidah penting dalam fikih muamalah, karena berhubungan dengan syarat yang memberikan manfaat kepada kedua transaktor atau salah satunya.
Yang juga dimaksud dengan syarat yang ditetapkan dalam akad (الشروط في العقد) adalah syarat yang ditetapkan salah satu transaktor yang memiliki manfaat dalam transaksi tersebut.
Syarat-syarat ini tidak lepas dari tiga keadaan, yaitu:
1. Syarat-syarat yang ditetapkan syariat kebolehannya. Ini diperbolehkan.
2. Syarat-syarat yang ditetapkan syariat larangannya. Ini jelas dilarang.
3. Syarat-syarat yang didiamkan oleh syariat. Ini kembali ke hokum asalnya.
Kapan Syarat Tersebut Ditetapkan?
Syarat itu ditetapkan sebelum akad, ketika dua transaktor tersebut menyepakati syarat tersebut. Contohnya, penjual mensyaratkan pemanfaatan barang dagangannya beberapa waktu tertentu atau pembeli mensyaratkan pembayaran ditunda (utang). Dapat pula dilakukan ketika transaksi dan di masa waktu khiyaar.
Contohnya, seorang menyatakan dalam ijabnya, “Aku jual mobil ini dengan syarat aku gunakan dahulu selama sehari atau dua hari.”
Contoh syarat dalam zaman (masa berlakunya) khiyar (khiyar majelis dan khiyar syarat) adalah seseorang menjual mobilnya, kemudian sebelum berpisah–di majelis tersebut–sang penjual mensyaratkan untuk memanfaatkannya selama sehari atau dua hari. Demikian juga di zaman khiyar syarat, diperbolehkan mengajukan syarat. Contohnya, seorang menjual mobil dan mengatakan, “Saya memiliki hak khiyar selama tiga hari.” Kemudian, di masa tersebut ia mengajukan syarat lagi untuk menggunakan kendaraan tersebut selama sepekan.
Ini semua sah apabila terjadi kesepakatan antara dua transaktor tersebut.
Tentang permasalahan khiyaar akan dibahas dalam pembahasan khusus mendatang, insya Allah.
Dengan demikian, asal dalam syarat-syarat ini adalah halal dan mubah. Dengan demikian, diperbolehkan bagi para transaktor untuk memberikan syarat sesukanya, kecuali bila ada dalil yang melarang syarat tersebut. Apabila dalil larangan tersebut ada, maka ia keluar dari hukum asalnya. Ini semua dalam rangka mempermudah orang bermuamalah dan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka.
Syarat yang Shahih
Sebagian ulama membagi syarat yang shahih (syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya, serta memiliki maslahat untuk akad tersebut) dalam muamalah menjadi tiga, yaitu:
1. Syarat termasuk tuntutan akad transaksi (شروط من مقتضى العقد), seperti pembayaran kontan dengan penyerahan barang.
2. Syarat termasuk kemaslahatan akad (شروط من مصلحة العقد), seperti syarat tempo, gadai, atau syarat bentuk barang.
3. Syarat memanfaatkan barang yang diperdagangkan (شروط انفاع المبيع في المعلوم), seperti syarat mengantarkan pulang dengan kendaraan yang dijual atau syarat menggunakan rumah yang dijual dalam waktu tertentu oleh penjual.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pada asalnya, syarat dalam muamalah adalah halal dan boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya.
Dasar Kaidah
Kaidah ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Qs. al-Maidah: 1)
Juga firman Allah ‘Azza wa Jalla ,
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra`: 34)
Perintah menunaikan akad (transaksi) mengandung perintah menunaikan asal dan sifatnya, dan di antara sifatnya adalah syarat-syarat dalam transaksi tersebut.
Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ
“Kaum muslimin bersama syarat-syaratnya.” (Hr. al-Bukhari)
==============
3. Asal Setiap Muamalah Adalah Adil dan Larangan Berbuat Zalim serta Memperhatikan Kemaslahatan Kedua Belah Pihak dan Menghilangkan Kemudharatan.
(الأَصْلُ هُوَ الْعَدْلُ فِيْ كُلِّ الْمُعَامَلاَتِ وَ مَنْعُ الظُّلْمِ وَمُرَاعَاةُ مَصْلَحَةِ الطَّرَفَيْنِ وَرَفْعُ الضَّرَرِ عَنْهُمَا)
Pengertian Kaidah
Kaidah ini berlaku pada muamalah dan selainnya, bahkan juga dalam masalah i’tikad. Pada asalnya, dalam seluruh akad transaksi harus adil, dan demikianlah yang diajarkan syariat Islam.
Sudah menjadi kesepakatan semua syariat Allah untuk mewajibkan keadilan dan mengharamkan kezaliman dalam segala sesuatu dan kepada segala sesuatu. Allah mengutus para Rasul-Nya dengan membawa kitab-kitab suci dan neraca keadilan, agar manusia menegakkan keadilan pada hak-hak Allah dan makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, serta telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. al-Hadid: 25)
Untuk menegaskan perintah adil dan pengharaman kezaliman Allah, pertama adalah Allah mengharamkannya atas diri-Nya, kemudian Allah menjadikannya terlarang di antara para makhluk-Nya, sebagaimana tertuang dalam hadits qudsi yang berbunyi,
أَنَّ اللَّه تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا
“Sungguh, Allah telah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, sungguh aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan menjadikannya terlarang di antara kalian, maka janganlah saling menzalimi!’ “ (Hr. Muslim)
Jelaslah, kezaliman terlarang dalam semua keadaan, dan keadilan adalah wajib dalam semua keadaan, sehingga dilarang berbuat zalim kepada orang lain, baik muslim atau kafir.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Semua kebaikan masuk dalam keadilan dan semua kejelekan masuk dalam kezaliman. Oleh karena itu, keadilan adalah perkara wajib dalam setiap sesuatu dan atas setiap orang, dan kezaliman dilarang pada setiap sesuatu dan atas setiap orang, sehingga dilarang menzalimi seorang pun–baik muslim, kafir, atau zalim–, bahkan boleh atau wajib berbuat adil terhadap kezaliman juga.”
Beliau pun menyatakan, “Semua yang Allah larang kembali kepada kezaliman dan semua yang diperintahkan kembali kepada keadilan.”
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Maidah: 8)
Hal ini karena kezaliman adalah sumber kerusakan dan keadilan adalah sumber kesuksesan yang menjadi tonggak kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat, sehingga manusia sangat membutuhkannya dalam segala kondisi. Ketika perniagaan dan muamalah adalah pintu yang besar bagi kezaliman manusia dan pintu untuk memakan harta orang lain dengan batil, maka larangan zalim dan pengharamannya termasuk maqashid syariah terpenting dalam muamalah. Kewajiban berbuat adil dan larangan berbuat zalim menjadi kaidah terpenting dalam muamalah.
Dasar Kaidah
Banyak nash (dalil) al-Quran dan as-Sunnah yang memerintahkan berbuat adil dan melarang berbuat zalim, di antaranya adalah:
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) untuk menetapkan dengan adil apabila menetapkan hukum di antara manusia.” (Qs. an-Nisa`: 58)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antaramu dengan jalan yang batil. Janganlah pula kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 188)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Jangan pula kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisa`: 29)
Ayat-ayat di atas berisi perintah merealisasikan dan menegakkan keadilan di antara manusia, karena seluruh larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala kembali kepada kezaliman. Adapun hadits-hadits larangan dan pengharaman kezaliman dalam muamalah sangat banyak, di antaranya:
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ
“Sesungguhnya, darah, harta, dan kehormatan kalian diharamkan di antara kalian seperti keharaman hari kalian ini, bulan kalian ini, di negeri kalian ini.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بِمَا يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيْهِ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Dengan alasan apa salah seorang kalian mengambil harta saudaranya tanpa hak?” (Hr. Muslim)
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Atas setiap muslim terhadap muslim yang lainnya diharamkan darah, harta, dan kehormatannya.” (Hr. Muslim)
Di antara dalil kewajiban berbuat adil dan larangan zalim adalah ijma’ (kesepakatan) ulama tentang pengharaman mengambil harta orang lain dengan zalim dan permusuhan.
Melalui hal ini, telah jelaslah bahwa keadilan dan larangan zalim adalah pokok wajib dalam muamalah, karena hanya dengannya muamalah manusia akan baik dan langgeng.
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Wajib mengadili manusia dalam permasalahan harta dengan adil sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti pembagian warisan kepada ahli waris sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah. Demikian juga dalam muamalah, berupa jual-beli, sewa-menyewa, wakalah, syarikat, pemberian, dan sejenisnya dari muamalah yang berhubungan dengan akad transaksi dan serah terima, maka bersikap adil dalam masalah tersebut adalah tonggak alam semesta yang menjadi dasar baiknya dunia dan akhirat.”
Di antara bentuk sikap adil dalam muamalah ada yang sudah jelas, semua orang mengetahuinya dengan akal mereka, seperti kewajiban membayar bagi pembeli, kewajiban penjual menyerahkan barang kepada pembeli, pengharaman mengurangi timbangan dan takaran, kewajiban jujur dan menjelaskan keadaan barangnya, pengharaman dusta, khianat dan bohong, balasan utang adalah penunaiannya (pada temponya), serta pujian.
Ada juga yang tidak jelas dan dijelaskan syariat kita-–ahli islam–, karena seluruh muamalah yang dilarang oleh al-Quran dan as-Sunnah kembali kepada realisasi keadilan dan larangan berbuat zalim.”
Oleh karena itu, syariat melarang riba karena berisi kezaliman dan ketidakadilan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. al-Baqarah: 275)
Demikian juga, Allah melarang perjudian, karena termasuk memakan harta orang lain dengan batil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Maidah: 90)
Bahkan, seluruh muamalah yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karena di dalamnya terdapat kezaliman dan untuk merealisasikan keadilan. Demikian juga, syariat memperhatikan kemaslahatan kedua pihak transaktor dengan mensyariatkan beberapa aturan, seperti khiyar majelis (hak pilih di majelis), ini disyariatkan untuk mewujudkan keadilan dan memperhatikan kemaslahatan dua pihak transaktor. Dasar aturan ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
“Apabila dua orang berjual-beli, maka setiap orang memiliki hak pilih selama belum berpisah dan keduanya bersepakat, atau (bila) salah satunya memberikan pilihan kepada yang lainnya lalu terjadi jual-beli atas hal itu, maka wajib terjadi jual-beli. (Dan) bila telah berpisah setelah akad jual-beli dan tidak ada yang menggagalkannya, maka wajib jual-belinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Syariat menetapkan khiyar majelis dalam jual-beli untuk hikmah dan maslahat kedua transaktor, serta untuk mendapatkan kesempurnaan ridha yang Allah syariatkan dalam firman-Nya Azza wa Jalla,
عن تراضٍ منكم
Akad transaksi terkadang ada dengan mendadak tanpa diteliti secara seksama dalam nilainya. Oleh karena itu, keindahan syariat islam yang sempurna menjadikan akad berjangka waktu untuk kedua transaktor mencermati dan meneliti setiap orang mengetahui keadaan secara utuh.
Di Antara Aplikasi Larangan Zalim dalam Muamalah:
1. Al-ghisy (penipuan).
2. An-najasy. An-najasy didefinisikan sebagai tambahan pada harga satu barang dagangan dari orang yang tidak ingin membelinya agar orang lain terjebak padanya. Seseorang yang tidak ingin membeli barang, datang dan meninggikan harga barang agar pembeli mengikutinya, lalu menyangka bahwa ia tidak meninggikan harta barang tersebut kecuali memang pantas, sehingga ia terpedaya dengannya. Jual-beli ini diharamkan karena berisi kezaliman. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar yang berbunyi,
أَنَّ النَّبي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ₎₎ نَهَى عَنْ النَّجَش
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang an-najasy.” (Hr. al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan para ulama sepakat mengharamkannya.
3. Jual-beli atas jual-beli saudaranya (بيع الرجل على بيع أخيه وشراؤه على شرائه) yang dilarang dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Tas’ir (price-fixing), yaitu Intervensi otoritas dalam pengendalian dan pematokan harga (price-fixing). Hal ini dengan memaksa transaksi jual-beli dengan harga tertentu dan tidak boleh dilanggar.
Pada asalnya, muamalah ini dilarang dengan kesepakatan ahli fikih yang berdasarkan pada dalil-dalil dibawah ini:
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qs. An-Nisa’: 29)
Tas’ir ini tidak dapat mewujudkan taradhi (saling ridha).
Dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadits dari Anas bin Malik yang berbunyi,
غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
“Harga-harga barang mahal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, patoklah harga untuk kami! Lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allahlah pematok harga yang menyempitkan dan melapangkan serta Maha Pemberi Rezeki, dan sungguh aku berharap menjumpai Rabbku dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutkan dengan sebab kezaliman dalam darah dan harta.’ “ (Hr. Abu Daud)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan price-fixing karena berisi kezaliman.
Demikianlah, hukum asal price-fixing adalah haram, namun para ulama mengecualikannya dalam beberapa keadaan, di antaranya:
a. Kebutuhan manusia terhadap barang tersebut.
b. Adanya ihtikaar (penimbunan) oleh produsen atau pedagang.
c. Penjualan terbatas milik sekelompok orang saja.
Bahkan, ada juga tas’ir yang diwajibkan karena ketiga hal di atas.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Sesungguhnya, apabila waliyul umur (pemerintah/pihak otoritas) memaksa para pengusaha industri (ahli ash-shina’at) untuk memenuhi kebutuhan manusia (rakyat) berupa hasil produksi, seperti alat pertanian, alat jahit, dan alat bangunan, maka pihak otoritas harus menentukan gaji umum/harga umum, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi pengguna (konsumen) untuk mengurangi biaya produksi, dan tidak memberikan kesempatan kepada pihak pabrik dari tuntutan lebih banyak dari hal itu, pada keadaan ia harus menjadi pembuatnya. Ini termasuk tas’ir yang wajib. Demikian juga, apabila manusia (orang-orang) membutuhkan orang yang membuatkan (memproduksi) alat-alat jihad (berupa senjata, jembatan untuk perang, dan selainnya) untuk mereka, maka para pekerja tersebut diberikan upah pekerja pada umumnya. Tidak memberikan kesempatan para konsumen untuk menzalimi mereka dan para pekerja dari tuntutan melebihi hak mereka dengan sebab kebutuhan orang atas mereka. Ini termasuk tas’ir dalam pekerjaan.
Beliau juga menyatakan, “Al-muhtakir (penimbun barang) yang menjadi sandaran dalam penjualan kebutuhan orang banyak berupa bahan makanan, lalu menimbun barang tersebut dan ingin menaikkan harganya telah menzalimi para pembeli/konsumen (dengan melakukan hal tersebut). Oleh karena itu, pihak otoritas memaksa mereka untuk menjual barang yang dimilikinya dengan harga umum ketika orang banyak memiliki kebutuhan yang sangat mendesak terhadap barang tersebut.
Lebih lanjut, Syekhul Islam menyatakan, “Terlebih lagi bila orang-orang berkomitmen untuk tidak menjual bahan makanan atau selainnya kecuali kepada individu tertentu saja, tidak menjual barang kecuali kepada mereka saja, kemudian mereka ini menjualnya secara monopoli, sehingga bila ada selain mereka menjualnya maka dilarang, secara zalim karena kedudukan yang diambil dari penjual atau lainnya. Oleh sebab itu, dalam kondisi ini tas’ir (price-fixing) wajib dilakukan pada mereka, yaitu mereka tidak boleh menjual barang-barang tersebut kecuali dengan harga umum yang ditentukan dan (mereka pun) tidak membeli harta manusia kecuali dengan harga umum. Hal ini wajib tanpa ada kebimbangan sama sekali pada para ulama apabila orang lain dilarang menjual jenis tersebut atau membelinya. Seandainya mereka diperbolehkan menjual sesuka hati mereka, maka dalam hal tersebut terdapat kezaliman dari dua sisi:
a. Kezaliman kepada para penjual (yang diinginkan oleh individu yang hendak memonopoli tadi agar menjual barangnya).
b. Kezaliman terhadap pembeli (yang akan membeli barang dari individu yang hendak memonopoli).
Demikian contoh aplikasi kaidah larangan zalim dalam muamalah.
===============
4. Larangan al-Gharar
(مَنْعُ الْغَرَرِ)
Definisi al-Gharar
Kata ”al-gharar“ dalam bahasa Arab adalah isim mashdar dari kata (غرر) yang berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (al-khathr) , serta menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan.
Adapun dalam terminologi syariat, pendapat para ulama dalam hal ini hampir sama. Di antaranya adalah:
1. Imam as-Sahkhasi rahimahullahu menyatakan, “Al-Gharar adalah yang terselubung (tidak jelas) hasilnya”.
2. Imam asy-Syairazi rahimahullahu menyatakan, ” Al-Gharar adalah yang terselubung dan tidak jelas hasilnya”
3. Abu Ya’la rahimahullahu mendefinisikannya dengan sesuatu yang berada antara dua perkara yang tidak jelas hasilnya.
4. Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Al-Gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (Majhul al-‘Aqibah)”.
5. Sedangkan menurut Syekh as-Sa’di rahimahullahu, Al-Gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan). Hal ini masuk dalam perjudian.
Dari sini dapat diambil pengertian bahwa “jual-beli al-gharar adalah semua jual-beli yang mengandung ketidakjelasan atau pertaruhan atau perjudian; atau semua yang tidak diketahui hasilnya atau tidak diketahui hakikat dan ukurannya.”
Ketentuan Dasar Al-Gharar yang Dilarang dalam Muamalah
Kaidah ini merupakan kaidah yang telah disepakati para ulama dalam muamalah.
Mengenal kaidah Al-Gharar sangat penting dalam muamalah, karena banyak permasalahan muamalah yang bersumber dari ketidakjelasan dan ada unsur taruhan di dalamnya. Oleh karena itu Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan, “Adapun larangan jual-beli al-Gharar, maka ia merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu, Imam Muslim rahimahullahu mengedepankannya. Dalam hal ini tercakup permasalahan yang sangat banyak, tidak terhitung.”
Demikianlah, al-Gharar menjadi salah satu pokok syariat dalam masalah muamalah baik jual-beli ataupun seluruh hukum-hukum mu’awadhah (barter).
Kaidah ini didasari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah dan jual-beli al-gharar.” (Hr. Muslim)
Banyak permasalahan yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya larangan jual-beli habalatul habalah (بيع حبلة الحبلة ), al-malaaqih (بيع الملاقيح), al-mudhamin (بيع المضامين), jual-beli buah-buahan sebelum tampak kepastian buahnya (بيع الثمار قبل بدو صلاحها), jual-beli mulamasah (بيع الملامسة), jual-beli munabadzah (بيع المنابذة), dan sejenisnya dari jual-beli yang terdapat gharar di dalamnya, yang tidak jelas hasilnya berkisar antara untung dan ‘buntung’, baik gharar-nya terdapat pada akad transaksi, pembayaran, atau tempo pembayaran.
Di antara hal yang harus diperhatikan dalam mengenal al-gharar yang terlarang adalah tidak boleh memahami larangan syariat Islam terhadap al-gharar secara mutlak yang telah ditunjukkan oleh lafal larangan tersebut. Namun, harus melihat dan meneliti maksud syariat dalam larangan tersebut, karena hal tersebut dapat menutup pintu keleluasaan jual-beli dan itu tentunya bukan tujuan syariat, sebab hampir semua bentuk muamalah tidak lepas dari al-gharar.
Oleh karena itu, para ulama memberikan syarat bagi al-gharar yang terlarang sebagai berikut:
1. Gharar-nya besar dan dominan pada akad transaksi(أَنْ يَكُوْنَ الْغَرَرُ كَثِيْراًَ غَالِباًَ عَلَى الْعَقْدِ)
Dengan demikian, gharar yang sepele (sedikit) diperbolehkan dan tidak merusak keabsahan akad. Ini perkara yang telah disepakati para ulama, sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (2/155) dan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (9/258). Para ulama memberikan contoh dengan masuk ke kamar mandi umum untuk mandi dengan membayar. Ini mengandung gharar, karena orang berbeda dalam penggunaan air dan lamanya tinggal di dalam. Demikian juga, persewaan (rental) mobil untuk sehari atau dua hari, karena orang berbeda-beda dalam penggunaannya dan cara pemakaiannya. Ini semua mengandung gharar, namun dimaafkan syariat, karena gharar-nya tidak besar.
2. Kebutuhan umum tidak membutuhkannya (أَلاَ تَدْعُو الْحَاجَةُ إِلَى هَذَا الْغَرَرِ حَاجَةً عَامَةً)
Kebutuhan umum (الْحَاجَةُ الْعَامَةُ) dapat disejajarkan dengan darurat.
Al-Juwaini rahimahullahu menyatakan,
الحَاجَةُ فِيْ حَقِّ النَّاسِ كَافَةً تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةَ
“Kebutuhan pada hak manusia secara umum disejajarkan dengan darurat). Batasannya adalah semua hal yang seandainya tidak dilakukan orang, maka mereka akan merugi pada saat itu atau di kemudian hari.”
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan,
وَالشَّارِعُ لاَ يُحَرِّمُ مَا يَحْتَاجُ النَّاسُ إِلَيْهِ مِنَ الْبَيْعِ لأَجْلِ نَوْعٍ مِنَ الْغَرَرِ بَلْ يُبِيْحُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ النَّاسُ مِنْ ذَلِكَ.
“Syariat tidak mengharamkan jual-beli yang dibutuhkan manusia hanya karena ada sejenis gharar. Bahkan. Syariat memperbolehkan semua hal yang dibutuhkan manusia dari hal itu.”
Kaidah yang disampaikan para ulama ini, harus terwujudkan kebutuhan tersebut secara pasti dan tidak ada solusi syar’i lainnya. Apabila kebutuhan ini telah menjadi kebutuhan umum, maka disejajarkan dengan darurat.
Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan hingga tampak kepastiannya menjadi buah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kemudahan menjual buah dari pohon kurma setelah tampak menjadi buah, lalu dibiarkan hingga sempurna kematangannya, walaupun sebagiannya belum ada. Hal ini menunjukkan kebolehan gharar karena hajat umum . Dengan demikian diambil kesimpulan dari hadits ini, bahwa apabila telah tampak menjadi buah seperti berwarna merah pada al-busr (kurma muda) atau menguning, maka jual-belinya sah, padahal sebagian dari buah-buah tersebut belum ada. Ini jelas gharar. Meskipun demikian, syariat memperbolehkannya karena kebutuhan umum.
3. Mungkin menghindarinya tanpa susah payah (أن يمكن التحرز من الغرر بلا حرج ولا مشقة)
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (9/258) dan Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad (5/820) menukilkan adanya ijma’ bahwa gharar yang tidak mungkin dihindari, kecuali dengan susah payah, maka diperbolehkan.
Para ulama mencontohkannya dengan pondasi rumah serta bangunan, dan isi kandungan hewan yang hamil. Seseorang membeli rumah dalam keadaan tidak mengetahui keadaan pondasi dan tiang-tiangnya, serta bagaimana proses finishing pembangunannya. Juga isi kandungan hewan yang hamil, apakah kandungannya jantan atau betina, berbilang atau hanya seekor, dan apakah hidup atau mati. Ini jelas gharar, namun diperbolehkan karena hal seperti ini tidak dapat diketahui jelas. Seandainya dipaksa mengetahuinya tentulah harus dengan sangat susah payah.
Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Pada asalnya, jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini, dan maksudnya adalah yang mengandung unsur gharar yang jelas dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih dan jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Semua ini diperbolehkan menurut ijma’. Demikian juga, para ulama menukilkan ijma’ tentang kebolehan barang-barang yang mengandung gharar yang sepele, di antaranya umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah….”
Ibnul Qayyim rahimahullahu pun menyatakan, “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Apabila sepele (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka keberadaan gharar tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual-beli, karena gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi rumah, isi perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin dapat lepas darinya. Demikian juga, gharar yang ada dalam hammam (pemandian umum) dan minuman dari bejana dan sejenisnya adalah gharar yang sepele. Karenanya, keduanya tidak mencegah jual-beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.”
4. Gharar yang dilarang hanya pada akad mu’awadhah (أن يكون الغرر المنهي عنه في عقود المعاوضات)
Inilah pendapat imam Malik rahimahullahu dan dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Adapun kewajiban larangan ghoror pada akad tabarru’at (التبرعات) seperti shadaqah, hibah, dan sejenisnya masih diperdebatkan dalam dua pendapat, setelah mereka (para ulama –ed) sepakat tentang tidak adanya larangan gharar pada al-washiyat.
a. Diperbolehkan adanya gharar dalam akad tabarru’at,
Inilah pendapat mazhab Malikiyah, serta dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim . Mereka berdalil dengan hadits Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya yang berbunyi,
فَقَامَ رَجُلٌ فِي يَدِهِ كُبَّةٌ مِنْ شَعْرٍ فَقَالَ أَخَذْتُ هَذِهِ لِأُصْلِحَ بِهَا بَرْذَعَةً لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا مَا كَانَ لِي وَلِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَهُوَ لَكَ
“Maka ada seseorang yang membawa sekumpulan bulu rambut (seperti wig) berdiri di tangannya, lalu berkata, ‘Aku mengambil ini untuk memperbaiki pelana kudaku’. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun yang menjadi hakku dan bani Abdil Muthalib, maka itu untukmu.” (Hr. Abu Dawud dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 5/36–37)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan bagiannya dan bagian Bani Abdil Muthallib dari benda tersebut, dan tentunya ukurannya tidak jelas. Dengan demikian gharar tersebut tidak berlaku pada akad tabarru’at.
Pendapat ini dikuatkan dengan “kaidah asal dalam muamalah adalah sah”, baik dalam akad mu’awadhah ataupun tabaru’at. Asal hukum ini tidak berubah dengan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari gharar dalam hadits Abu Hurairah terdahulu, karena itu menyangkut akad muawadhah saja. Apalagi perbedaan antara akad mu’awadhah dengan tabarru’at telah jelas. Akad mu’awadhah dilakukan oleh seseorang yang ingin melakukan usaha dan perniagaan, sehingga disyaratkan pengetahuan dan kejelasan yang tidak disyaratkan dalam akad tabarru’at. Hal ini terjadi, karena akad tabarru’at yang dilakukan oleh seseorang, tidaklah untuk usaha, namun untuk berbuat baik dan menolong orang lain.
b. Gharar berlaku juga pada akad tabarru’at; inilah pendapat mayoritas ulama.
Namun yang rajih adalah pendapat yang pertama.
Berdasarkan hal ini, maka muncullah banyak masalah yang disampaikan ulama, di antaranya:
Pemberian majhul. Bentuk gambarannya adalah, seorang menghadiahkan sebuah mobil yang belum diketahui jenis, merek dan bentuknya, atau memberi sesuatu yang ada di kantongnya. Ia berkata, “Saya hadiahkan uang yang ada di kantong saya kepadamu.” Pertanyaannya, apakah ini akad transaksi yang shahih atau tidak? Yang rajih adalah akad pemberian ini sah, sebab tidak disyaratkan hadiahnya harus jelas.
Demikian juga, seandainya ia menghadiahkan sesuatu miliknya yang telah dicuri atau dirampok, maka hukumnya sah. Juga, menghadiahkan barang-barang yang hilang atau budak yang kabur.
Dengan demikian jelas, bahwa permasalahan akad tabarru’at lebih luas dari permasalahan akad mu’awadhah.
5. Gharar terdapat pada asal, bukan sampingan (taabi’)
Gharar yang ikut kepada asal adalah gharar yang dimaafkan, karena terdapat kaidah bahwa sesuatu itu diperbolehkan apabila terikutkan dengan sesuatu yang lain, sedangkan dia menjadi tidak boleh bila ia terpisahkan darinya (hanya berdiri sendiri).
(يُغْتَفَرُ فِيْ شَيْئٍ إِذَا كَانَ تَابِعًا مَالاَ يُغْتَفَرُ إِذَا كَانَ أَصلاًَ)
Dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
مَنْ اِبْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ وَمَنْ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
“Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkannya, dan barangsiapa yang membeli hamba (budak -ed) dan hamba (budak –ed) itu memiliki harta, maka hartanya milik pihak yang menjualnya, kecuali pembeli budak tersebut mensyaratkannya (mensyaratkan untuk juga memiliki harta si budaj setelah dia membeli budak tersebut -ed).“ (Hr. al-Bukhari)
Dalam hadits ini pembeli diperbolehkan mengambil hasil talqih tersebut, apabila talqih tersebut ada setelah pembeli mensyaratkannya.
Padahal, hasilnya (buahnya) belum ada atau belum dapat dipastikan keberadaannya.
(بَيْعُ الثِّمَارِ قَبْلََ بُدُوِ صَلاَحِهَا)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam menjelaskan dasar kaidah ini menyatakan, “Nabi memperbolehkan bila seorang menjual pohon kurma yang telah dikawinkan (talqih) untuk pembeli yang mensyaratkan (untuk juga mengambil) buahnya. Sehingga, ia telah membeli buah sebelum waktu baiknya. Namun, itu diperbolehkan karena (buahnya) terikut, bukan asal. Sehingga jelaslah, gharar yang kecil diperbolehkan apabila terikutkan (dengan sesuatu yang lain), yang (ini tentu) tidak boleh bila selain dari keadaan ini.”
Demikianlah beberapa kaidah dalam gharar yang dilarang syariat.
Aplikasi Kaidah al-Gharar
Di antara contoh muamalah yang memiliki gharar yang terlarang adalah:
1. Jual-beli al-hashah (بيع الحصاة)
Larangannya berdasar pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhua dalam Shahih Muslim yang berbunyi,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Dari Abu Hurairah-–semoga Allah meridhainya–, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah dan jual-beli gharar.”
Para ulama rahimahumullah memberikan contoh jual-beli ini:
Seseorang memberi batu kepada temannya dan menyatakan, “Lemparlah batu ini pada tanahku! Sejauh mana lemparan batu tersebut dari tanah, maka tanah tersebut menjadi milikmu, dengan pembayaran sekian dirham darimu.” Apabila lemparannya kuat, maka pembeli beruntung dan penjual merugi. Bila lemparannya lemah, maka sebaliknya (si pembeli rugi dan si penjual yang untung).
2. Jual-beli mulamasah dan munabadzah (الملامسة والمنابذة)
Jual-beli mulamasah dan munabadzah adalah jual-beli yang dilarang pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihain (kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) yang berbunyi,
أن النبي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَة
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli mulamasah dan munabadzah.”
Jual-beli mulamasah adalah jual-beli dengan bentuk seorang menyatakan kepada temannya, “Pakaian apa pun yang sudah kamu pegang, maka ia milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.” Oleh karena itu, bila ia memegang pakaian yang mahal, maka ia beruntung dan bila ia memegang pakaian yang murahan, maka ia merugi.
Adapun jual-beli munabadzah terjadi dengan menyatakan, “Ambil batu ini, lalu lemparkan kepada pakaian-pakaian tersebut! Pakaian yang terkena lemparan tersebut akan menjadi milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.”
3. Jual-beli calon anak dari janin yang dikandung (بيع حبل الحبلة)
Larangannya terdapat dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَل الحَبَلة
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli calon anak dari janin yang dikandung.”
Jual-beli habalul habalah yang merupakan menjual hasil produksi yang masih belum jelas termasuk jual-beli yang populer di masa jahiliyah. Mereka terbiasa menjual anak hewan yang masih dalam kandungan binatang yang bunting, dan menyerahkannya secara tertunda. Maka Islam melarangnya. Letak unsur gharar dalam jual-beli habalul habalah ini jelas sekali. Kalau tujuannya adalah menjual janin yang masih dalam perut induk unta, maka janin itu jelas belum jelas keberadaannya. Pembelinya berada dalam posisi yang mengkhawatirkan, karena ia bisa memperoleh barang yang dia beli, dan bisa juga tidak.
Kalau yang menjadi tujuannya adalah menjual dengan pembayaran di muka hingga lahirnya anak unta tersebut, unsur penjualan “kucing dalam karung”-nya pun amat jelas, karena sama saja menjual sesuatu dengan masa pembayaran yang tidak diketahui. Di dalam jual-beli ini tidak diketahui secara pasti, kapan unta tersebut akan lahir.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang jual-beli habalul habalah, yakni sejenis jual-beli yang biasa dilakukan masyarakat jahiliyah. Pada jual beli tersebut, seseorang membeli seekor unta hingga melahirkan anak unta, kemudian anak dalam kandungan unta tersebut juga lahir pula (secara berantai).
4. Jual-beli buah sebelum tampak kepantasannya untuk layak dikonsumsi ( بَيْعُ الثِّمَارِ قَبْلََ بُدُوِ صَلاَحِهَا)
Jual-beli ini terlarang dalam hadits yang berbunyi,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan hingga tampak kepastiannya menjadi buah (layak dikonsumsi).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hal tersebut disebabkan adanya kemungkinan rusak dan gagalnya hasil panen buah tersebut sebelum pembeli dapat memanfaatkannya.
5. Asuransi
Asuransi (ta’min) adalah satu transaksi yang tidak pernah ada di zaman dahulu. Asuransi didefinisikan sebagai sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang usaha, perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Ahli fikih kontemporer bersilang pendapat dalam permasalahan ini. Ada yang memperbolehkan, dan ini sedikit jumlahnya. Mereka menyatakan bahwa yang dikeluarkan seseorang itu kecil sekali dibandingkan dengan yang akan didapatkannya, dan itu berarti al-gharar yang kecil. Namun bila dilihat pada jumlah orang yang ikut serta, dan keuntungan yang didapat perusahaan perasuransian, gharar yang terdapat dalam transaksi ini jelas besar sekali. Demikianlah, para ahli fikih melihat sesuatu itu bukan kepada seorang individu manusia saja, namun kepada perlindungan seluruh manusia, karena keberadaan syariat adalah untuk menjaga harta manusia. Oleh karena itu, Lajnah Daimah lil uhuts al-‘Ilmiyah wal-Ifta (Komite Tetap dalam Riset Ilmiyah dan Fatwa Negara Saudi Arabia) dalam ketetapan no. 55 tanggal 4/4/1397 H menetapkan ketidakbolehan asuransi seperti ini, karena termasuk akad pertukaran harta yang mengandung gharar besar dan termasuk jenis al-qimar (perjudian).
Hikmah Larangan Gharar
Hikmah dilarangnya jual-beli kamuflatif atau yang mengandung unsur “menjual kucing dalam karung” adalah karena jual-beli tersebut mengakibatkan seseorang memakan harta orang lain dengan cara haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal itu dalam sabda beliau tentang larangan menjual buah-buahan yang belum layak dikonsumsi atau belum tumbuh,
“Tidakkah kalian berpikir, kalau Allah tidak mengijinkan buah itu untuk tumbuh, dengan alasan apa si penjual memakan harta pembelinya?”
Jenis-jenis Gharar
Bila ditinjau pada terjadinya jual-beli, gharar terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual-beli habal al-habalah (jual-beli tahunan), yakni menjual buah-buahan dalam transaksi selama sekian tahun. Buah-buahan tersebut belum ada, atau menjual buah yang belum tumbuh sempurna (belum layak dikonsumsi).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual-beli dengan sistem kontrak tahunan, yakni membeli (hasil) pohon selama beberapa tahun, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ وَالْمُعَاوَمَةِ وَالْمُخَابَرَةِ قَالَ أَحَدُهُمَا بَيْعُ السِّنِينَ هِيَ الْمُعَاوَمَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli muhaqalah, muzabanah, mu’awamah, dan mukhabarah. Salah seorang dari keduanya menyatakan, ‘Jual-beli dengan sistem kontrak tahunan adalah mu’awamah.’ ” (Hr. Muslim)
Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan,
كَانَ النَّاسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَبَايَعُونَ الثِّمَارَ فَإِذَا جَدَّ النَّاسُ وَحَضَرَ تَقَاضِيهِمْ قَالَ الْمُبْتَاعُ إِنَّهُ أَصَابَ الثَّمَرَ الدُّمَانُ أَصَابَهُ مُرَاضٌ أَصَابَهُ قُشَامٌ عَاهَاتٌ يَحْتَجُّونَ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا كَثُرَتْ عِنْدَهُ الْخُصُومَةُ فِي ذَلِكَ فَإِمَّا لَا فَلَا تَتَبَايَعُوا حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُ الثَّمَرِ
“Masyarakat di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan jual-beli buah-buahan. Kalau datang masa panen dan datang para pembeli yang telah membayar buah-buahan itu, para petani berkata, ‘Tanaman kami terkena diman , terkena penyakit, terkena qusyam , dan berbagai hama lain.’ Maka, ketika mendengar berbagai polemik yang terjadi dalam hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bila tidak, jangan kalian menjualnya sebelum buah-buahan itu layak dikonsumsi (tampak kepantasannya).
Demikianlah, dengan melarang jual-beli ini, Islam memutus kemungkinan terjadinya kerusakan dan pertikaian. Dengan cara itu pula, Islam memutuskan berbagai faktor yang dapat menjerumuskan umat ini ke dalam kebencian dan permusuhan dalam kasus jual-beli tersebut.
2. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul)
- Mutlak, seperti pernyataan seseorang, “Saya jual barang ini dengan harga seribu rupiah”, padahal barangnya tidak diketahui secara jelas; atau
- Jenisnya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual mobilku kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas; atau
- Tidak jelas ukurannya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual kepadamu tanah seharga lima puluh juta,” namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Kesimpulannya:
Bisa jadi, objek penjualan itu tidak diketahui secara mutlak, seperti bila seorang penjual mengatakan, “Saya jual sebuah mobil kepada Anda.” Bisa juga, sesuatu yang tidak diketahui namun tertentu jenis atau ukurannya, seperti yang dikatakan seorang penjual, “Saya jual seluruh isi rumah saya kepada Anda,” atau, “Saya jual kepada Anda seluruh buku-buku perpustakaan saya,” dan sejenisnya.
Atau bisa juga sesuatu yang tidak diketahui macam dan kriterianya, namun jenis dan ukurannya diketahui, seperti yang dikatakan seorang penjual, “Saya jual kepada Anda pakaian yang ada dalam buntelan kainku,” atau, “Saya jual kepada Anda budak milik saya.”
3. Jual-beli barang yang tidak mampu diserahterimakan
Seperti jual-beli budak yang kabur atau jual-beli mobil yang dicuri. Ketidakjelasan ini juga terjadi pada harga, barang, dan pada akad jual-belinya. Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi pada jumlahnya, seperti segenggam dinar. Sedangkan, ketidakjelasan pada barang– seperti dijelaskan di atas–dan ketidakjelasan pada akad, seperti menjual dengan harga sepuluh rupiah bila kontan dan dua puluh rupiah bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Seperti juga jual-beli unta yang sudah hilang, ikan yang ada dalam air, dan burung yang terbang di langit. Bentuk penjualan ini ada yang dipastikan haram dan ada juga yang masih diperdebatkan. Di antara yang masih diperdebatkan adalah menjual barang jualan sebelum berada di tangan.
Syekh as-Sa’di rahimahullahu menyatakan, “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli ma’dum, seperti habal al-habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidakjelasan–baik mutlak pada barangnya atau jenisnya atau sifatnya–.”
Gharar yang Diperbolehkan
Menurut hukumnya, jual-beli yang mengandung unsur gharar ada tiga macam, yaitu:
1. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).
2. Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya (dari pondasi rumah tersebut) tidak diketahui.
Hal ini diperbolehkan karena kebutuhan dan tidak mungkin lepas darinya. Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Pada asalnya, jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini, dan maksudnya adalah yang mengandung unsur gharar yang jelas dan mungkin dilepas darinya.
Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung–dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih dan jantan atau betina, apakah lahir sempurna atau cacat–, termasuk juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Seluruh hal tersebut diperbolehkan menurut ijma’.
Demikian juga, para ulama menukilkan ijma’ tentang kebolehan barang-barang yang mengandung gharar yang sepele, di antaranya: umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah….
Ibnul Qayyim rahimahullahu pun menyatakan, “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Apabila sepele (sedikit) atau tidak mungkin dipisahkan darinya, maka gharar tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual-beli, karena gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin dapat lepas darinya. Demikian juga, gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya adalah gharar yang sepele. Dengan demikian, keduanya tidak mencegah jual-beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak yang mungkin dapat dilepas darinya.”
Dalam kitab lainnya, beliau menyatakan, “Terkadang sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat menuntutnya, seperti ketidaktahuan akan mutu pondasi rumah, serta membeli kambing hamil dan masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.”
Dari sini dapat disimpulkan bahwa gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang sepele atau gharar-nya tidak sepele, namun jika gharar tersebut dilepaskan maka akan terjadi kesulitan. Oleh karena itu, Imam Nawawi rahimahullahu menjelaskan kebolehan jual-beli yang mengandung gharar, apabila ada hajat untuk melanggar gharar dan jika gharar tersebut tidak dilakukan maka akan timbul kesulitan, atau gharar-nya sepele.
3. Yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua.
Misalnya: menjual sesuatu yang diinginkan tetapi masih terpendam di dalam tanah (seperti: wortel, kacang tanah, bawang, dan lain-lainnya). Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun para ulama masih berbeda pendapat dalam menghukuminya. Perbedaan mereka ini terjadi karena sebagian dari mereka, di antaranya Imam Malik rahimahullahu, memandang bahwa gharar-nya sepele atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga ulama-ulama tersebut memperbolehkan gharar semacam ini. Adapun sebagian ulama yang lainnya, di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah, memandang bahwa gharar-nya besar dan memungkinkan untuk dilepas darinya, sehingga para ulama ini mengharamkan gharar tersebut.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahullahu merajihkan pendapat yang memperbolehkan gharar dalam hal ini.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahuh menyatakan, “Adapun Imam Malik, maka mazhabnya adalah mazhab terbaik dalam permasalahan ini. Menurut mazhab Imam Malik, hal-hal ini, semua hal yang dibutuhkan, atau hal-hal yang mengandung sedikit gharar, boleh diperjual-belikan… hingga (mazhab Imam Malik pun) memperbolehkan jual-beli benda-benda yang tidak tampak di permukaan tanah seperti wortel, lobak dan sebagainya.’
Sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, tidak memiliki dua perkara tersebut, karena gharar-nya sepele (kecil) dan tidak mungkin dilepas darinya.”
Dengan demikian, jelaslah, tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Hal ini membuat kita harus lebih mengenal kembali pandangan para ulama seputar permasalahan ini, dengan memahami kaidah-kaidah dasar yang telah dijelaskan.
============
5. Larangan Riba
Diharamkannya riba berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’ para ulama. Bahkan, bisa dikatakan bahwa keharamannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam ini. Di antara dalil dari Kitabullah tentang keharaman riba, yaitu:
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ275 يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ 276 إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ 277 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ 278 فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ 279
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya hasil riba yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya. orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, akan mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. al-Baqarah: 275–279)
Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam al-Quran al-Karim.
Al-Quran telah membicarakan riba dalam empat tempat terpisah. Salah satunya adalah ayat Makkiyyah, sementara tiga lainnya adalah ayat-ayat Madaniyyah.
Dalam surat ar-Rum, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan sesuatu yang kamu berikan, berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Qs. ar-Rum: 39)
Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba, karena kala itu riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Al-Madinah. Ini untuk mempersiapkan jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum keharaman riba yang terlanjur membudaya kala itu.
Dalam surat an-Nisa`, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ اللّهِ كَثِيراً 160 وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُواْ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيماً 161
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya. Dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan siksa yang pedih untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu.” (Qs. an-Nisa`: 160–161)
Ayat di atas menjelaskan keharaman riba bagi orang-orang Yahudi. Ini merupakan pendahuluan yang amat gambling. Setelah itu, barulah kemudian riba diharamkan bagi kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota Madinah sebelum orang-orang Yahudi menjelaskannya.
Dalam surat Ali Imran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Ali Imran: 130)
Setelah surat Ali Imran: 140 tersebut turun, barulah kemudian turun beberapa ayat pada akhir surat al-Baqarah—sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya–.
Dalil-dalil dari As-Sunnah yang Mengharamkan Riba
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya, “Apakah tujuh hal itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh wanita suci yang sudah menikah berzina karena kelengahan mereka.”
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kami pun berangkat, sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah. Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Di tengah sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya. Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga lelaki itu terpaksa kembali ke dalam sungai darah. Demikianlah seterusnya, setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia terpaksa kembali lagi seperti semula. Aku bertanya, ‘Apa ini?’ Salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab, ‘Yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba.’
Ijma’ yang Mengharamkan Riba
Seluruh kaum muslimin telah bersepakat bahwa asal dari riba adalah diharamkan, terutama riba pinjaman atau utang. Bahkan, mereka telah berkonsensus dalam hal itu pada setiap masa dan tempat. Para ulama ahli fikih seluruh mazhab telah menukil ijma’ tersebut. Memang, ada perbedaan pendapat tentang sebagian bentuk aplikasinya, apakah termasuk riba atau tidak dari segi praktisnya, namun perbedaan pendapat ini tidak bertentangan dengan asal ijma’ yang telah diputuskan dalam persoalan itu.
Ijma’ tentang pengharamannya dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijma’, hlm. 103 ; Ibnu Rusyd dalam al-Muqaddimah wal Mumahadah: 2/8, al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir: 5/74, an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzab: 9/391, dan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al fatawa: 29/419.
Balasan Pemakan Riba
Imam al-Sarkhosi menyampaikan 5 balasan dan hukuman bagi pemakan riba dalam ayat-ayat ini (surat al-Baqarah: 275–279), yaitu:
1. Kesurupan, seperti dalam firman Allah Ta’ala,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya hasil riba yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah: 275)
2. Dihapus (berkahnya), seperti dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا
“Allah memusnahkan riba….” (Qs. al-Baqarah: 276)
3. Kufur, bagi yang menghalalkannya. Hal tersebut dijelaskan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. al-Baqarah: 276)
4. Kekal di neraka. Hal ini terdapat dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“… Orang yang kembali (mengambil riba) adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah: 275)
5. Allah Ta’ala memerangi pemakan riba. Sebagaimana dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ 278 فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ 279
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. al-Baqarah: 278–279)
Definisi Riba
1. Pengertian Secara Bahasa
Kata “riba” berasal dari bahasa Arab, yang artinya “tambahan atau pertumbuhan”. Sebagaimana yang termaktub dalam al-Quran, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
فَعَصَوْا رَسُولَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba.” (Qs. al-Haqqah: 10)
Yang dimaksud adalah siksa yang bertambah terus.
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَإِذَا أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاء اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
“… Kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah….” (Qs. al-Hajj: 5)
2. Makna Secara Istilah
Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, di antaranya: tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.
Yang dimaksud dengan “tambahan” secara definitif adalah:
a. Tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komiditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.
Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, adalah riba yang diharamkan.
b. Tambahan dalam utang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga utang.
c. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah-terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada serah-terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan ulama lain memberikan definisi:
تَفَاضُلٌ فِيْ مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ الْقَبْضُ
Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang mengandung serah-terima.
Ada juga yang menyatakan:
الزِّيَادَةُ أَوِ التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ
Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu.
Sedangkan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mendefinisikannya dengan:
الزِّيَادَةُ فِيْ بَيْعِ شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا
Tambahan dalam jual-beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syariat .
Jenis Riba
Para ulama membagi riba mejadi dua, yaitu:
1. Riba jahiliyah atau riba al-qard (utang), yaitu pertambahan dalam utang, sebagai imbalan tempo pembayaran (ta’khir), baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran. Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya hasil riba yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah: 275)
Riba inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu “إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا”. Riba ini juga yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
وَ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ وَ أَوَّلُ رِبَا أَضَعُهُ رِبَأ العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ
“Riba jahiliyah dihapus, dan awal riba yang dihapus adalah riba al-Abbas bin Abdil Muthalib, maka sekarang seluruhnya dihapus.” (Hr. Muslim)
Demikianlah, Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berutang tanpa imbalan.
Beberapa Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyah
Pada masa jahiliyah, riba memiliki beberapa bentuk aplikatif, di antaranya adalah:
Bentuk pertama: riba pinjaman
Yakni, yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyah: “Tangguhkanlah utangku, aku akan menambahnya.”
Misalnya, seseorang memiliki utang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya, ia berkata, “Tangguhkanlah utangku, aku akan memberikan tambahan.” Maksudnya: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah utang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan utang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang diutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi, dan kambing, akan dibayar dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.
Qatadah menyatakan, “Sesungguhnya, bentuk riba di masa jahiliyah adalah sebagai berikut: Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berutang itu tidak mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya.”
Atha’ menuturkan, “Dahulu, Tsaqif pernah berutang uang kepada Bani al-Mughirah pada masa jahiliyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata, ‘Kami akan tambahkan jumlah utang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan pembayarannya.’ Maka turunlah firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Qs. Ali Imran: 130)”
Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan dalam I’lamul Muwaqqi’in, “Adapun riba yang jelas adalah riba nasi`ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa jahiliyah, seperti: menangguhkan pembayaran utang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga utang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham.”
Imam Ahmad rahimahullahu pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab, “Ada orang yang memberi utang kepada seseorang, lalu ia berkata, “Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan lagi?” Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya.”
Bentuk kedua: pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya.
Utang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.
Al-Jashash menyatakan, “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda bersama bunganya, jumlahnya sesuai dengan jumlah utang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.” Di lain kesempatan, beliau menjelaskan, “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka, Allah menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya.”
Bentuk ketiga: pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar per bulan (kredit bulanan)
Fakhruddin ar-Razi menyatakan, “Riba nasi`ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyah. Yakni, bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyah.”
Ibnu Hajar al-Haitsami menyatakan, “Riba nasi`ah adalah riba yang populer di masa jahiliyah. Biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berutang, sementara jumlah piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia utangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.”
2. Riba jual-beli. Yaitu riba yang terdapat pada penjualan komoditi riba fadhal. Komoditi riba fadhal yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut.
Demikianlah. Dan riba jual-beli ini terbagi dua, yaitu riba fadhal dan riba nasi`ah.
1. Riba Fadhl
Kata fadhl dalam bahasa Arab bermakna “tambahan”, sedangkan dalam terminologi ulama, maknanya adalah:
الزيادة في أحد الربويين المتحدي الجنس الحالين
“Tambahan pada salah satu dari dua barang ribawi yang sama jenis secara kontan. ”
Ada pula yang mendefinisikan dengan: kelebihan pada salah satu dari dua komoditi yang ditukar dalam penjualan komoditi riba fadhl, atau tambahan pada salah satu alat pertukaran (komoditi) ribawi yang sama jenisnya.
ربا الفضل: أن يزيد في شيء، أن يزيد في مبادلة مال ربوي بجنسه، أن يزيد في مبادلة مال ربوي بجنسه
Seperti: menukar 20 gram emas dengan 23 gram emas, sebab kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, maka harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Demikian juga, dengan segala kelebihan yang disertakan dalam jual-beli komoditi riba fadhl.
Riba fadhl ini dilarang dalam syariat Islam dengan dasar:
a. Dalam hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, serta garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
b. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan lainnya dengan perbedaan berat. Janganlah pula menjual sesuatu yang tidak ada (di tempat transaksi) dengan sesuatu yang ada (di tempat transaksi).” (Hr. al-Bukhari)
Sedangkan dalam Shahih Muslim berbunyi,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَي الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ
Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, serta garam dengan garam harus sama beratnya, dan harus diserahterimakan secara langsung. Barangsiapa yang menambah atau minta tambahan maka dia telah berbuat riba, yang mengambil dan memberi riba itu hukumnya sama saja.”
c. Hadits al-Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhuma keduanya berkata,
نَهَي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا
“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melarang jual-beli perak dengan emas secara tempo (utang).” (Hr. al-Bukhari)
Telah diriwayatkan banyak hadits dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam persoalan ini. Sebagian di antaranya disebutkan oleh as-Subki dalam Takmiltul Majmu‘, yaitu sejumlah 22 hadits dalam sebuah pasal tersendiri tentang riba fadhal. Ada yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ada juga yang hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun, ada juga yang ada di luar Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ada yang derajat haditsnya shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.
Hikmah Pengharaman Riba Fadhl
Hikmah pengharaman riba fadhl tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zahir, jual-beli ini tidak mengandung manipulasi. Merupakan satu hal yang logis dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang buruk.
Kalau satu sha’ kurma bagus dibeli dengan dua sha’ kurma jelek,–secara logika–tidak ada hal yang salah. Lalu, di mana letak hikmah dari pengharaman tersebut?
Sebelum kita berupaya mencari hikmah tersebut melalui bebagai tulisan para ulama dalam persoalan ini, tidak lupa kita menyebutkan dasar fundamental yang bersifat permanen, yang tidak boleh kita lupakan dalam persoalan yang sudah rumit ini, yakni bahwa seorang muslim harus mengikuti perintah Allah Ta’ala, baik ia sudah mengetahui hikmah perintah itu maupun belum. Cukup bagi dirinya mengetahui bahwa perintah ini memang berasal dari Allah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui, yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang segala firman-Nya pasti benar dan penuh keadilan.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. an-Nisa`: 65)
Setelah pendahuluan ini, barulah kita tegaskan:
Kemungkinan penjelasan hikmah yang paling jelas tentang keharaman riba fadhl ini adalah sebagai upaya menutup jalan menuju perbuatan haram, karena riba fadhl ini seringkali menggiring kepada riba nasi`ah. Bahkan, juga bisa menimbulkan bibit-bibit berkembangnya budaya riba di tengah masyarakat, karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan mendorongnya untuk menjualnya dengan pembayaran tertunda suatu saat kelak, bersama bunganya.
Itulah yang disyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا شَيْئًا غَائِبًا مِنْهَا بِنَاجِزٍ فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرَّمَاءَ
“Janganlah kalian menukar emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali hanya boleh dilakukan bila sama ukuran/beratnya. Jangan kalian pisahkan salah satu di antaranya, dan jangan kalian menjual sesuatu yang belum ada dengan sesuatu yang sudah ada, karena aku khawatir kalian melakukan rama`.”
Rama` yaitu riba. Jika Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual-beli komoditi riba fadhl secara langsung–padahal kelebihan itu karena kualitas, kriteria, bentuk, dan sejenisnya– maka lebih layak dan lebih masuk akal lagi bila Allah melarang kelebihan yang tidak ada imbalannya, tapi hanya semata-mata penangguhan waktu.
Komoditi Ribawi
Para ulama sepakat bahwa riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits Nabi, yaitu: emas, perak, kurma, asy-sya’ir (gandum), al-burr (gandum merah), dan garam. Oleh karena itu, emas tidak boleh ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan berat yang sama dan transaksi berlangsung secara kontan (cash) di majelis akad transaksi.
Namun, mereka berselisih pendapat, apakah di sana ada illat (sebab pelarangan) yang menjadikannya menjadi komoditi ribawi atau tidak ada? Terdapat dua pendapat:
Pertama: Riba hanya berlaku pada enam komoditi tersebut dan tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan hukum pada keenam komoditi tersebut kepada selainnya. Inilah pendapat Mazhab az-Zahiriyah.
Kedua: Ada illat yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi, sehingga dapat dianalogikan kepada selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih.
Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syariat secara umum tidak mungkin membedakan antara hal-hal yang serupa.
Mayoritas ahli fikih menyetarakan keenam komoditi itu dengan segala komoditi yang sama fungsinya (illat-nya). Namun kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan illat ribawi pada komoditi tersebut.
a. Mazhab Hanafiyah memandang bahwa illat-nya adalah jenis dan ukuran, yaitu takaran dan timbangan. Ini juga riwayat yang masyhur dalam Mazhab Hambali. Mereka memandang bahwa illat pada emas dan perak adalah timbangan dan illat pada empat komoditi ribawi lainnya adalah takaran. Sehingga seluruh yang ditimbang dan ditakar adalah komoditi ribawi. Riba tidak ada pada komoditi yang tidak ditimbang dan ditakar. Dengan ini, menukar satu buah jeruk dengan dua buah jeruk diperbolehkan.
b. Mazhab Malikiyah memandang bahwa illat dalam emas dan perak adalah nilainya (ats-tsamniyah), sedangkan dalam bahan makanan, illat-nya adalah makanan pokok yang dapat disimpan (muddakhar), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat disimpan dalam waktu yang lama.
c. Mazhab Syafi’iyah memandang bahwa illat pada emas dan perak adalah jenis barang berharga dan pada selainnya adalah makanan, yaitu yang sengaja dijadikan makanan manusia secara umum. Ini juga merupakan riwayat kedua dalam Mazhab Hambali.
d. Riwayat lain dalam Mazhab Hambali adalah bahwa illat selain emas dan perak adalah jenis makanan yang ditakar atau ditimbang.
Akan tetapi, terdapat pembahasan yang tidak termasuk dalam perbedaan pendapat tersebut, yakni bahwa illat ribawi yang jelas dari pengharaman emas dan perak adalah pada nilai tukarnya. Apapun yang memiliki nilai tukar, seperti emas dan perak, maka alasan fungsional sebagai riba fadhl juga terdapat padanya. Oleh sebab itu, berbagai jenis mata uang modern disetarakan dengan emas dan perak, sehingga semua hukum riba fadhal diberlakukan pada uang-uang tersebut.
Adapun illat ribawi pada komoditi lainnya, maka–dalam permasalah ini–pendapat kalangan Malikiyyah adalah yang paling tepat. Itu adalah pendapat yang paling unggul dalam persoalan ini, yakni: pada keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan. Setiap komoditi yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk komoditi riba fadhl, segala hukum yang berkaitan dengannya dapat berlaku. Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Orang yang mengamati empat komoditi tersebut, pasti akan mendapatkan dua kriteria ini padanya.
Kedua: Sesungguhnya tujuan dari diharamkannya riba adalah memelihara harta manusia dan menghilangkan unsur penipuan dalam jual-beli mereka. Dengan demikian, itu harus dibatasi dengan hal-hal yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan pokok yang bisa disimpan, karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan tulang punggung kehidupan.
Inilah pendapat yang dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ketika menjelaskan pendapat para ulama seputar illat ribawi pada enam komoditi tersebut. Beliau menyatakan, “Inilah pendapat yang paling rajih dibandingkan pendapat yang lain.”
Dengan demikian, menjual komoditi ribawi ini tidak lepas dari dua keadaan:
1. Kedua barang yang dibarter berasal dari satu jenis, seperti kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam, jagung dengan jagung. Untuk itu, diberlakukan dua syarat:
a. Sama dalam kuantitas. Inilah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
مَثَلاً بِمِثْلِ سَوَاءً بِسَوَاءٍ
b. Pembayaran cash (kontan) di majelis akad. Ini ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
يداً بِيَدٍ
Ini berlaku juga pada jual-beli emas dan perak dengan sejenisnya, sebagaimana ditunjukkan hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, yang berbunyi,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, serta garam dengan garam, harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Inilah yang dimaksud dengan kaidah:
إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض
2. Apabila komoditi ribawi yang ditukar berlainan jenis, maka tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Berbeda jenis namun sama dalam ilaat ribawinya, seperti kurma dengan gandum atau garam dengan gandum (keduanya berbeda jenis namun satu illat-nya), yaitu makanan pokok dan ditakar; emas dengan perak (keduanya berbeda jenis, namun ilaat-nya satu, yaitu bernilai tukar [ats-tsamniyah]). Pembayaran pada jual-beli komoditi tersebut wajib dilakukan secara cash (kontan) di majelis akad, dan dalam transaksinya tidak disyaratkan kesamaan kuantitas. Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallammenyatakan,
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Dengan demikian, bila berbeda jenisnya, namun illat ribawinya sama, maka hanya diwajibkan pembayaran cash dalam majelis akad. Inilah yang dikenal dalam kaidah riba fadhl:
وبغير جنسه وجب التقابض فقط
Kedua: Berbeda komoditi ribawi yang ditukar dalam jenis dan illat-nya, seperti emas dengan gandum, atau beras dengan perak. Apabila berbeda jenis dan illat-nya, maka tidak diwajibkan kesamaan kuantitas dan pembayaran tunai (cash). Inilah yang dimaksud dengan kaidah:
وإذا اختلفت العلل لم يجب شيء
Perlu diketahui:
a. Dalam syariat, mata uang setiap negara dianggap sebagai satu jenis tersendiri. Oleh karena itu, mata uang rupiah adalah satu jenis, riyal adalah satu jenis, dan dollar pun satu jenis tersendiri. Dengan demikian, bila mata uang Riyal ditukar dengan Rupiah, maka pertukaran tersebut termasuk jual-beli (pertukaran) komoditi ribawi yang berlainan jenis, namun satu illat-nya. Hukum jual-beli tersebut adalah boleh, dengan syarat berlangsungnya pembayaran kontan (cash) di majelis akad. Demikian juga, membeli emas dengan mata uang rupiah. Karenanya, emas tidak boleh dibeli dengan mata uang rupiah secara tempo (utang), karena itu termasuk riba.
Sebagian ahli fikih menyatakan,
واللحم أجناس باختلاف أصوله
Pengertiannya: daging hewan tertentu itu satu jenis tersendiri, seperti daging kambing adalah satu jenis dan daging sapi jenis lainnya. Mereka memasukkan daging sebagai komoditi ribawi, sehingga berlakulah kaidah-kaidah riba fadhl padanya. Kemungkinannya, daging dianggap sebagai makanan pokok yang dapat disimpan. Dalilnya adalah perbuatan para sahabat yang menyimpan daging kurban hingga berhari-hari.
b. Emas yang telah dibentuk menjadi perhiasan–yang tentunya turun kadar emasnya menjadi 22 karat atau 21 karat–, atau lainnya dengan emas atau mata uang. Muamalah ini pun masuk dalam kategori riba fadhl yang diwajibkan padanya kesamaan kuantitas dan pembayaran tunai. Lajnah Da`imah lil Buhuts al-ISlamiyah wal Ifta (Komisi Tetap Penelitian Islam dan Fatwa Saudi Arabia) berfatwa dalam masalah ini (no. 4518),
“Emas tidak boleh dijual dengan emas, begitupula antara perak dengan perak, kecuali sama kuantitasnya dan harus tunai, baik kedua komoditi tersebut berupa emas yang telah dibentuk perhiasan atau berupa emas asli (an-nuqud) atau salah satunya telah dibentuk (al-mushagh) dan yang lain emas asli. Juga, walaupun kedua komoditi tersebut berupa mata uang kertas (wariq al-bankanut) atau salah satunya mata uang kertas dan lainnya emas bentukan (al-mushagh) atau emas asli.“
Ditandatangani oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz (ketua), Abdurrazzaq Afifi (wakil), Abdullah bin Ghadayan dan Abdullah bin Qu’ud (anggota).
2. Riba Nasi`ah ( ربا النسيئة)
Definisi Riba Nasi`ah
Nasi`ah, dalam etimologi bahasa Arab, bermakna “pengakhiran”. Adapun dalam pengertian etimologi ahli fikih, nasi`ah adalah pengakhiran serah terima pada salah satu komoditi ribawi–yang satu illat-nya pada riba fadhl (تأخير القبض في أحد الربويين المتحدين في علة ربا الفضل)–atau penerimaan salah satu dari barang yang dibarter atau dijual secara tertunda dalam jual-beli komoditi riba fadhl. Kalau salah satu komoditi riba fadhl dijual dengan barang riba fadhl lain, seperti emas dijual dengan perak atau sebaliknya, atau satu mata uang dijual dengan mata uang lain, diperbolehkan adanya ketidaksamaan, namun tetap diharamkan penangguhan penyerahannya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Nash-nash pengharaman riba mencakup semua jenis riba yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, jelaslah keberadaan riba dalam muamalah menjadi sebab pengharamannya dan larangannya secara syar’i. Namun, menghukumi banyak keadaan sebagai muamalah ribawi atau bukan, memerlukan penelitian dan kehati-hatian. Ibnu katsir rahimahullahu memberikan peringatan dalam hal ini,
“Bab (pembahasan) Riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.”
=================
6. Semua Muamalah yang Berisi al-Maisir (Perjudian) Adalah Terlarang
Definisi Perjudian
Kata ( الميسر) dalam etimologi bahasa Arab adalah kata mashdar mimi dari kata (يسر) seperti kata (الموعد) dari (وعد).
Kata ini digunakan untuk pengertian:
a. Kemudahan, karena mendapatkan harta dengan mudah.
b. Merasa cukup (kecukupan), apabila diambil dari kata (اليسار), karena ia mencukupkan dengan hal itu.
c. Kewajiban. Orang Arab menyatakan: (يسر لي الشيء) apabila wajib.
d. Menyembelih.
Kesimpulannya, kata al-maisir (perjudian) dari sisi bahasa mencakup dua hal:
1. Ia adalah usaha mendapatkan harta tanpa susah payah.
2. Ia adalah cara mendapatkan harta dan sebab menjadi kaya (berkecukupan).
Sedangkan dalam terminologi ulama, ada beberapa ungkapan:
Yaitu, semua muamalah yang dilakukan manusia dalam keadaan tidak jelas akan beruntung atau merugi sekali (spekulatif). Kalau begitu, al-maisir (perjudian) mencakup semua muamalah yang terjadi dengan ketidakjelasan apakah untung atau buntung. Sehingga, ketentuan dasar al-maisir (perjudian) adalah semua muamalah yang membuat orang yang melakukannya berada dalam ketidakjelasan antara untung dan rugi, yang bersumber dari al-gharar serta spekulasinya, dan hal itu menjadi sebab terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia.
Perbedaannya dengan perniagaan adalah, dalam perniagaan, pihak transaktor akan mendapatkan barang, sedangkan al-maisir (perjudian) terdapat ketidakjelasan, apakah hartanya hilang dengan pengganti, hilang begitu saja, atau hilang hartanya dan muncul kebencian.
Kalau begitu, setiap muamalah yang berkisar pada ketidakjelasan, apakah untung atau buntung (rugi) dinamakan al-maisir (perjudian). Apabila berbentuk harta, maka dinamakan al-qimar.
Untuk memperjelas permasalahan, mungkin dapat diberikan contoh gambaran sebagai berikut:
“Seorang ingin membeli barang untuk dijual”. Barang tersebut dibeli untuk mendapatkan keuntungan, lalu ia membelinya dan mendapatkan barang tersebut. Di sini ada spekulasi, apakah ia akan untung atau tidak? Namun, spekulasi ini tidak dilarang dalam syariat, sebab semua orang yang membeli barang untuk mendapatkan keuntungan pasti menjumpai spekulasi (mendapatkan untung ataukah tidak).
Oleh karena itu, para ahli fikih menyatakan, “Syariat Islam tidak meniadakan dan mengharamkan semua jenis spekulasi. Bahkan, tidak ada muamalah maliyah tanpa ada unsur spekulasinya, sebab spekulasi bermacam-macam jenisnya. Spekulasi dalam perniagaan tidak diharamkan karena pembeli mendapatkan barang.“
Sedangkan dalam bentuk perjudian ada ketidakjelasan, apakah ia untung atau bunting, atau mendapatkan barang tersebut atau tidak mendapatkannya sama sekali.
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Tidak ada dalam dalil-dalil syariat yang mengharuskan pengharaman semua spekulasi. Bahkan, sudah dimaklumi, bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan semua spekulasi dan semua yang berada dalam ketidakjelasan antara untung, rugi, atau balik modal.”
Beliau juga berkata, “Demikian juga, setiap orang yang membeli barang dengan berharap mendapatkan keuntungan dan takut rugi, tergolong pada spekulasi yang diperbolehkan di dalam al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’.”
Al-maisir (perjudian) merupakan satu amalan yang ada pada zaman jahiliyah dalam beberapa bentuk aplikasi:
a. Melakukan al-maisir (perjudian) dan al-qimar dalam perlombaan dan rihan (taruhan).
b. Melakukan al-maisir (perjudian) dalam muamalah.
Oleh karena itu, Sa’id bin Al Musayyib rahimahullahu menyatakan,
كَانَ مِنْ مَيْسِرِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ بَيْعُ الْحَيَوَانِ فِي اللَّحْمِ وَبِالشَّاةِ وَالشَّاتَيْنِ
“Di antara perjudian ahli jahiliyah adalah menjual hewan hidup dengan daging serta dengan satu dan dua kambing.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’)
Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dan al-Qimaar
Para ulama berselisih dalam masalah ini dalam dua pendapat:
1. Al-maisir (perjudian) dan al-qimar adalah sinonim.
2. Keduanya tidak sinonim. Perbedaannya adalah:
- Al-qimar adalah saling mengalahkan dan spekulatif pada harta.
- Al-maisir (perjudian) mencakup semua jenis mukhatharah (spekulasi), baik dalam pertukaran (mu’awadhah) atau bukan. Terkadang, ada pertukaran harta dan terkadang tidak ada. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullahu-–mengikuti pendapat
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah–, menyatakan,
اَلسَّلَفُ كَانُوْا يُعَبِّرُوْنَ بِالَمَيْسِرِ عَنْ كُلِّ مَا فِيْهِ مُخَاطَرَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَلَمْ يَشْتَرِطُوا الْمَالَ فِي الْمَيْسِرِ
Para salaf dahulu, mengungkapkan semua yang ada mukhatharah (spekulasi) yang diharamkan dengan ungkapan al-maisir (perjudian), dan mereka tidak mensyaratkan adanya harta dalam al-maisir (perjudian).
Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dengan al-Gharar
Definisi al-gharar dan al-maisir (perjudian) tampak sekali hampir sama. Oleh karena itu, para ulama menyebut keduanya adalah sinonim atau salah satunya bagian dari yang lain. Namun kesamaan ini tidak berarti sama dalam pengertian keduanya. Hal itu karena sebagian jenis al-gharar tidak dapat dinamakan al-maisir (judi). Karenanya, kata al-maisir (الميسر) lebih khusus dari kata al-gharar (الغرر). Dengan demikian, setiap al-maisir adalah al-gharar, dan tidak semua al-gharar adalah al-maisir. Sebuah muamalah yang mengandung gharar terkadang tidak mengandung unsur judi.
Dr. adh-Dharir menyatakan, “Contohnya adalah: muamalah yang berhubungan dengan ketidakjelasan pondasi tembok atau buah yang belum jadi. Ini semua termasuk al-gharar, namun bukan al-maisir.”
Jenis al-Maisir
Al-Maisir terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Maisir al-Lahwu, yaitu yang tidak dilakukan dengan harta. Contohnya, bermain dadu, catur, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagian salaf menjadikan semua hal yang melalaikan dari shalat dan zikir sebagai al-maisir.
2. Al-qimar.
Pengharaman al-Maisir (Perjudian)
Al-maisir (perjudian) terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’.
Dalam al-Quran, terdapat firman Allah subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Ma’idah: 90)
Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih al-Bukhari,
مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ : تَعَال أُقَامِرُكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
“Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku bertaruh denganmu.’ maka hendaklah dia bersedekah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ajakan bertaruh–baik dalam pertaruhan atau muamalah–sebagai sebab membayar kafarat dengan sedekah, Ini menunjukkan keharaman pertaruhan. Demikian juga, sudah ada ijma’ tentang keharamannya.
Orang yang menelaah kaidah-kaidah syariat, pasti akan mengetahui secara pasti tentang pengharaman perjudian ini dalam segala keadaannya.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Apabila anda menelaah keadaan al-mughalabat (perlombaan dengan taruhan harta), dalam hal ini anda pasti melihatnya seperti khamr (miras): sedikitnya menyeret kepada banyaknya, dan banyaknya menghalanginya dari semua hal dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta menjerumuskan ke dalam perbuatan yang dbenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Seandainya tidak ada satu pun nash syariat yang mengharamkannya, tentulah ushul syariat, kaidahnya, kandungan hikmah dan maslahat, serta kaidah, (akan) menyamakan dua hal yang serupa menuntut pengharaman dan pelarangannya.“
Ketika syariat Islam tegak di atas keadilan dalam semua hukum-hukum dan ajarannya, maka ia melarang semua muamalah yang berisi perjudian. Ketentuan tersebut terbatas pada semua muamalah yang membuat orang yang melakukannya berada dalam ketidakjelasan, antara untung dan rugi yang bersumber dari gharar dan spekulasinya, dan hal itu menjadi sebab terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Semua muamalah yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada kalanya masuk dalam riba dan adakalanya masuk dalam al-maisir (perjudian).”
Sedangkan Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Sesungguhnya, mayoritas muamalah yang dilarang dalam al-Quran dan Sunnah kembali pada realisasi keadilan dan larangan berbuat zalim–baik yang kecil atau pun besar–, seperti: memakan harta orang lain dengan batil, dan sejenisnya dari riba dan al-maisir (perjudian).”
Oleh sebab itu, syariat melarang jual-beli gharar dan jual-beli yang berisi perjudian, karena di dalamnya terdapat unsur memakan harta dengan batil. Selain itu, kedua jenis jual-beli tersebut menjadi faktor penyebab terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia.
=================
7. Muamalah Dibangun di Atas Kejujuran dan Amanah
(المُعَامَلاَتُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الصَّدْقِ وَ الأَمَانَةِ)
Definisi ash-Shidq (Kejujuran) dan Amanah
Kata (الصَّدْقِ) dalam etimologi bahasa Arab menunjukkan pada pengertian kekuatan pada sesuatu, baik berupa perkataan atau selainnya, yaitu kesamaan hukum atas realitasnya. Kata ini adalah anonim kata (الكَذِب). Sedangkan kata (الأَمَانَةِ) merupakan anonim dari kata (الخِيَانَة), yang memiliki pengertian: ketenangan hati, tasdiq, dan wafa’ (penunaian secara total).
Kata “jujur”, dalam istilah (terminologi) muamalah, adalah pernyataan transaktor yang sesuai dan tidak menyelisihi realitasnya. Sedangkan amanah adalah penyempurnaan akad transaksi dan penunaiannya, serta tidak menyelisihinya
Dalil Kaidah Ini
Kaidah ini telah ditetapkan oleh al-Quran, Sunnah, dan ijma’. Allah telah mewajibkan pada hamba-Nya untuk berbuat jujur dan amanah dalam seluruh perkara, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (Qa. at-Taubah: 119)
Juga, firman-Nya ‘Azza wa Jalla,
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya, Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya.” (Qs. an-Nisa`: 58)
Ketika maksud dari muamalah adalah mendapatkan usaha dan keuntungan, sehingga terkadang membawa manusia untuk berdusta dan berkhianat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat jujur, amanah, dan menjelaskan perkaranya dengan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
فَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلاَ تَبْخَسُواْ النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“… Maka, sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya. Jangan pula kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman.” (Qs. al-A’raf: 85)
Juga, firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“… Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya).” (Qs. al-Baqarah: 283)
Demikian juga, perintah menunaikan akad-akad transaksi, seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Qs. al-Maidah: 1)
Kesemua ayat-ayat ini menunjukkan bahwa dasar muamalah adalah kejujuran dan amanah.
Sedangkan, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan hal ini banyak sekali, di antaranya adalah hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jual-beli itu dengan khiyar (hak pilih) selama belum berpisah–atau (beliau) menyatakan, ‘hingga keduanya berpisah.’ Apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan barangnya), maka berkah akan diberikan dalam jual-belinya, dan jika keduanya menyembunyikan (aib) dan berdusta maka berkah dihapus dalam jual-belinya.“ (Hr. al-Bukhari dan Muslim)
Demikian juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan ancaman berat bagi orang yang berdusta dalam muamalahnya, dalam sabdanya,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara dan tidak dilihat oleh Allah di hari kiamat, serta yang tidak disucikan dan yang mendapat adzab yang pedih. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar bertanya, ‘Mereka telah rugi dan menyesal. Siapakah mereka wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang berpakaian melebihi mata kaki (al-musbil), orang yang mengungkit pemberiannya (al-mannan), dan orang yang menutupi barang dagangannya dengan sumpah dan dusta.’ ” (Hr. Muslim)
Tidak cukup dengan itu saja, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarang kebohongan dalam muamalah, sebagaimana beliau menegur pedagang yang menutupi aib barang dagangannya dengan menyatakan,
مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
“Apa ini wahai pedagang makanan?” Pedagang itu menjawab, “Terkena hujan, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa tidak kamu taruh makanan tersebut di atas agar orang melihatnya? Barangsiapa yang berbuat bohong maka (dia) bukan (bagian) dariku.” (Hr. Muslim)
Hadits ini, mencakup semua jenis muamalah, baik berupa jual-beli, sewa-menyewa, syarikat, dan yang lainnya.
Kaidah dasar dalam kewajiban jujur dan amanah dalam muamalah disampaikan oleh Imam al-Ghazali rahimahullahu dalam pernyataan beliau,
ألا يُحِبُّ لِأَخِيْهِ إِلاَّ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ فَكُلُّ مَا عومل بِهِ شقَّ عَلَيْهِ وثقل عَلَى قَلْبِهِ فَلاَ يُعَامِلُ بِهِ أَخَاهُ
“Menginginkan untuk saudaranya seperti yang ia inginkan untuk dirinya, sehingga semua muamalah yang membuatnya susah dan menyusahkan hatinya, janganlah dilakukan untuk saudaranya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna keimanan seorang mukmin hingga ia mencintai untuk saudaranya segala sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Perinciannya disampaikan al-Ghazali dalam pernyataan beliau,
“Adapun perinciannya, ada dalam empat hal, yaitu:
1. Tidak memuji barang dagangannya dengan berlebihan (tidak memuji dengan mengungkapkan keunggulan yang tidak terdapat pada barang dagangannya).
2. Jangan menyembunyikan aibnya dan sifat-sifat jeleknya, sedikit pun.
3. Jangan menyembunyikan berat dan ukurannya, sedikit pun.
4. Jangan menyembunyikan harganya, yang seandainya orang yang ia muamalahi mengetahuinya tentulah ia tidak akan mau (membelinya).”
Demikianlah, kewajiban jujur dan amanah dalam muamalah, sehingga imam Ahmad rahimahullahu melarang berdiplomasi dalam jual-beli, karena berisi tadlis (penyembunyian aib) dan tidak menjelaskan keadaan barangnya dengan seharusnya. Hal ini tidaklah khusus hanya dalam jual-beli saja, bahkan bersifat umum dalam semua muamalah.
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Semua yang wajib dijelaskan, maka diharamkan untuk dilakukan diplomasi atasnya, karena itu adalah penyembunyian (hakikat) dan tadlis (penyembunyian aib).”
================
8. Kaidah Saddu Adz Dzari’ah dan Pembatalan Al Hielah
(سَدُّ الذَّرَائِعِ وَ إِبْطَالُ الْحِيَلِ)
Definisi “Saddu adz-Dzari’ah” (سد الذرائع)
Kata (السد) dalam etimologi bahasa Arab, bermakna: menutupi kekurangan, menyumbat lubang, dan menahan sesuatu. Sedangkan, kata (الذرائع) adalah bentuk plural dari kata (ذريعة), yang berarti wasilah (sarana).
Dalam terminologi, para ulama mengungkapkannya dengan beberapa ungkapan yang hampir serupa:
Ibnul ‘Arabi rahimahullahu menyatakan, “Semua amalan yang tampaknya diperbolehkan, namun dapat mengantar kepada perkara yang dilarang.”
Ibnu an-Najjar rahimahullahu menyatakan, “Semua yang tampak (zahir-nya) mubah, namun mengantarkan kepada perkara yang diharamkan.”
Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, “Ia adalah masalah yang tampak (zahir-nya) mubah dan menjadi sarana kepada perbuatan terlarang.”
Kalau demikian, maka pengertian “saddu adz-dzari’ah” adalah:
(منع الوسائل التي ظاهرها مباح والتي يتوصل بها إلى محرم حسمًا لمادة الفساد و دفعًا لها)
“Melarang sarana-sarana, yang zahir-nya mubah dan dapat menjadi sarana kepada keharaman, untuk mencegah kerusakan dan menolaknya.”
Pembagian Kaidah Saddu adz-Dzara`i
Adz-dzara`i dalam tinjauan pernyataan para ulama, terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Ijma’ menyatakan wajib untuk mencegahnya dan itu terjadi pada perbuatan yang menjadi sarana kerusakan dalam perkara agama dan dunia, karena perbuatan tersebut memang menjadi sarana kerusakan secara pasti. Contohnya, larangan minum minuman memabukkan, karena dia adalah sarana yang mengantar kepada keadaan mabuk yang merusak akal. Demikian juga, zina terlarang karena dia menjadi sarana ketidakjelasan dan kerusakan nasab.
2. Ijma’ menyatakan itu sebagai dzari’ah namun tidak wajib dicegah. Seperti, menanam anggur adalah perbuatan yang tidak wajib dicegah, walaupun mungkin ada orang yang membeli dan memiliki serta memerasnya untuk dijadikan khamr. Demikian juga, berdempetan dalam membuat rumah yang dapat menjadi sarana berbuat zina.
3. Yang masih diperselisihkan para ulama, yaitu sarana mubah yang mengantar kepada keharaman secara mayoritas atau dominan.
Dalam masalah ini, pendapat para ulama dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
a. Harus dicegah (diberlakukan kaidah saddu adz-dzari’ah). Inilah pendapat Mazhab Malikiyah dan Hanabilah.
b. Tidak memberlakukan kaidah ini. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hanafiyah. Namun, mereka pun tetap memberlakukan kaidah ini dalam realitas dan aplikasinya pada ijtihad-ijtihad mereka, tetapi dimasukkan dalam kaidah lainnya.
Yang rajih adalah pendapat pertama. Inilah yang dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau, “Apabila dzari’ah-dzari’ah ini mengantar kepada kerusakan (mafsadat) secara pasti (yakin) atau dominant, maka syariat mengharamkannya secara mutlak.
Juga, Ibnul Qayyim rahimahullahu merajihkannya, hingga beliau menjelaskan sembilan puluh sembilan dalil kewajiban saddu adz-dzari’ah, apabila mengantar kepada keharaman. Kemudian, beliau menyatakan, “Bab Saddu adz-Dzara`i adalah salah satu pokok penting taklif, karena taklif adalah perintah dan larangan. Perintah itu ada dua jenis: pertama, yang dimaksudkan (menjadi tujuan); kedua, yang menjadi wasilah kepada kerusakan (mafsadah). Oleh karena itu, saddu adz-dzari’ah menjadi salah satu pokok penting agama.”
Ketentuan Dasar Mengamalkan Kaidah Ini (ضَوَابِطُ فِيْ إِعْمَالِ قَاعِدَة سَدِّ الذَّرَائِع)
Saddu adz-dzara’i merupakan salah satu kaidah penting dalam agama, sehingga para ulama memberikan ketentuan dasar dalam mengamalkan kaidah ini. Ketentuannya adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan yang diperbolehkan tersebut menjadi sarana kerusakan atau kerusakan secara dominan.
(أَنْ يَكُوْنَ الْفِعْلُ الْمَأْذُوْنُ فِيْهِ مُؤَدِّياً إِلَى الْفَسَادِ أَوْ إِلىَ مَفْسَدَةٍ غَالِبَةً)
“Apabila perbuatan tersebut menjadi sarana kerusakan dalam keadaan kadang-kadang dan tidak dominan, maka perbuatan tersebut tidak dilarang dan dia tetap pada hukum asalnya, tidak dibutuhkan untuk mencari dalil kebolehannya.”
2. Mafsadah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut harus sama atau lebih besar dari maslahatnya.
(أَنْ تَكُوْنَ الْمَفْسَدَةُ النَّاتِجَةُ عَنْ الفِعْلِ الْمَأْذُوْنِ مُسَاوِيَةً لِمَصْلَحَتِهِ أَوْ أَكْثَرَ)
“Apabila maslahat melakukan perbuatan tersebut lebih besar dari mafsadat yang timbul, maka tidak dilarang, sebab keberadaan syariat adalah untuk mendapatkan maslahat dan memperbanyaknya, serta menghilangkan atau mengurangi mafsadat.
Dari sinilah terdapat larangan mencaci-maki sesembahan orang kafir musyrik di hadapan mereka, dalam firman Allah,
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nantinya mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas, tanpa pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka segala sesuatu yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. al-An’am: 108)
Padahal, ada kemaslahatannya. Itu karena mencacinya menjadi sebab timbulnya mafsadat yang lebih besar dari maslahat tersebut, yaitu mencaci maki Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan dasar ini, terdapat tiga kategori, antara lain:
a. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut sejajar dan sama dengan maslahatnya, maka kaidah saddu adz-dzara`I berlaku.
b. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut lebih besar dari maslahat yang timbul dari mencegahnya, maka kaidah ini berlaku.
c. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut lebih sedikit dari maslahatnya, maka kaidah ini tidak berlaku.
3. Dalam mengamalkan kaidah ini, tidak disyaratkan adanya tujuan mukallaf berbuat kerusakan, bahkan cukup dengan banyaknya tujuan itu secara adat, sebab niat, atau tujuan tersebut pada umumnya tidak dapat dibuat baku, karena masalah batin yang sulit dijadikan pedoman.
4. Semua yang dilarang dalam rangka saddu adz-dzara`I menjadi diperbolehkan apabila terdapat kebutuhan. Contohnya, melihat wanita yang bukan mahram (an-nazhar) bagi orang yang akan melamar wanita tersebut. Juga, dokter yang melihat lawan jenisnya. Dikarenakan oleh adanya hajat (kebutuhan), maka kedua hal ini diperbolehkan apabila aman dari mafsadat.
Berbicara tentang saddu adz-dzara`i tidak lepas dari pembicaraan tentang pembatalan semua bentuk al-hilah (tipu muslihat dalam pembenaran yang dilarang). Pembatalan al-hilah adalah bagian dari saddu adz-dzari’ah, karena pengertian al-hilah adalah mengamalkan satu amalan yang tampaknya diperbolehkan, untuk membatalkan satu hukum syar’I dan mengubahnya secara zahir kepada hukum lainnya, atau tujuan menggugurkan kewajiban dan menghalalkan keharaman dengan perbuatan yang tidak dimaksudkan kepada keharaman dan tidak disyariatkan untuknya.
Ibnu Taimiyah menjelaskan hubungan antara kaidah saddu adz-dzari’ah dengan ibthalul hiyal (pembatalan al-hilah), dengan menyatakan, “Kemudian, dzari’ah ini ada yang mengantarkan kepada hal-hal yang terlarang, tanpa niat dari pelakunya, dan ada juga yang kebolehannya mengantarkan kepada sarana menuju keharaman. Bagian yang kedua ini menyerupai al-hilah. Terkadang (dia) disertai al-hilah dan terkadang tidak, sebagaimana terkadang al-hilah menggunakan dzari’ah (sarana) dan terkadang menggunakan sebab-sebab yang hukum asalnya mubah dan bukan dzari’ah.
Dengan demikian, ada tiga klasifikasi:
1. Ia adalah dzari’ah yang digunakan untuk al-hilah, seperti menyatukan antara jual-beli dengan utang.
2. Ia adalah dzari’ah, namun tidak digunakan untuk al-hilah, seperti: mencela berhala, karena dia menjadi sarana (dzari’ah) mencela Allah; mencela orangtua orang lain yang menjadi sarana orang tersebut untuk mencela orang tuanya, walaupun tidak menjadi tujuan seorang mukmin.
3. Yang digunakan al-hilah dari hal-hal yang asalnya mubah, seperti menjual nishab di pertengahan tahun agar lepas dari zakat; meninggikan harga untuk menggugurkan asy-syuf’ah.
Ibnul Qayyim menyatakan, “Apabila anda menelaah syariat, tentulah anda mendapati bahwa syariat membawa kaidah saddu adz-dzari’ah yang mengantar pada keharaman. Itu kebalikan pembahasan pembatalan semua bentuk al-hilah yang mengantar kepadanya. Al-hilah adalah sarana dan pintu menuju keharaman, dan saddu adz-dzari’ah adalah lawannya. Kerananya, antara keduanya ada kontradiksi yang besar. Syariat mengharamkan dzara’i (sarana) walaupun sarana tersebut bukanlah tujuan yang dimaksudkan keharamannya karena dzara’I tersebut mengantar kepada keharaman. Lalu, bagaimana bila keharaman tersebut sebagai tujuan?
Jenis-jenis al-Hilah
Ada dua cara dalam pembagian al-hilah, menurut para ulama: pembagian versi Ibnu Taimiyah dan muridnya (Ibnul Qayyim), serta pembagian versi asy-Syathibi.
Pembagian al-Hilah versi Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah membagi al-hilah menjadi beberapa bagian, di antaranya:
Cara tersembunyi yang dipakai untuk memperoleh perkara terlarang. Hal ini tidak diperbolehkan, dengan kesepakatan kaum muslimin, seperti: tipu muslihat untuk bunuh diri, mengambil harta orang lain, merusak hubungan antara dua orang, tipu muslihat setan dalam menyesatkan manusia, dan lain-lain.
Demikianlah, delapan kaidah dasar yang penting dalam memahami fikih muamalah maliyah, yang diringkas dari keterangan para ulama dan didasarkan kepada al-Quran dan as-Sunnah. Mudah-mudahan, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada kita kepahaman dalam masalah agama ini dan menjadikan tulisan ini sebagai amalan shalih penulisnya. Tidak lupa penulis memohon kepada pembaca makalah ini untuk mendoakannya dan keluarganya dengan kebaikan dan ampunan Allah ‘Azza wa Jalla.
Wabillahit taufik.
Selesai ditulis menjelang zuhur, hari Rabu tanggal 1 Rabi’ ats-Tsani 1431 H/17 Maret 2010 M.
Di Ponpes Abdullah bin Abbas, Kliwonan, Masaran, Sragen.
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
=======
Referensi:
1. Al Hawafiz Al Tijariyah At Taswiqiyyah Wa Ahkamuha Fil Fiqh Al Islami, Syekh Kholid bin Abdillah Al Mushlih, cetakan pertama tahun 1420 H Dar Ibnul Jauzi.
2. Muamalah Al Maliyah Al Mu’ashorah,–diambil dari pelajaran Syekh Khalid bin ‘Ali Al Musyaiqih, dalam Daurah Al Ilmiyah di Masjid Ar Rajihi di kota Buraidah tahun 1424 H –-yang ditranskrip.
3. Syarhul Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Syekh Ibnu Utsaimin, tahqiq DR. Khalid Al Musyaiqih dan Sulaimin Abu Khail, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasatu Aasaam.
4. Al Majmu’ Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan Muhammad Najieb Al Muthi’I, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al Turats Al ‘Arabi, Beirut.
5. Bahjah Qulub Al Abrar Wa Qurratu ‘Uyuuni Al Akhyaar Fi Syarhi Jawaami’ Al Akhbaar, Abdurrahman bin Naashir Al Sa’di, tahqiq Asyraf Abdul Maqshud, cetakan kedua tahun 1992 M, Dar Al jail.
6. Al Waajiz Fi Fiqhu Sunnah Wa Kitab Al ‘Aziz, Abdul’adzim badawi, cetakan pertama tahun 1416 H, Dar Ibnu Rajab.
7. Mukhtashar Al Fatawa Al Mishriyah, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdulmajid Sulaim, Dar AL Kutub Al Ilmiyah.
8. Al Fiqhu Al Muyassar –bag. Fiqih Muamalah- karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al Thayar, Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Alimusaa. Cetakan pertama tahun 1425 H.
9. Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit Hajr.
10. Al Syarh Al Mumti’ ’Ala Zaad Al Mustaqni’ karya Ibnu Utsaimin tahqiq.
11. Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad Al Thayaar, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasah Al Jurais, Riyaadh, KSA.
12. Al Ribaa Wa Muamalah Al Mashrafiyah Fi Nazhari Al Syariat Al Islamiyah, Dr. Umar bin Abdilaziz Al Mutrik, Muraja’ah Syekh Bakar bin Abdillah Abu Zaid, cetakan ketiga tahun 1418H, Dar Al ‘Ashimah, Riyadh KSA.
13. Taisir Al Fiqh Al Jaami’ Liikhtiyaaraat Al Fiqhiyah Lisyekhul Islam Ibnu Taimiyah, Dr. Ahmad Muwaafie, cetakan kedua tahun 1416 H, Dar Ibnul Jauzi, KSA.
14. Fatawa lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, disusun Ahmad Al Duwaisy, cetakan pertama tahun 1419 H, Dar Al ‘Ashimah, KSA.
15. Majmu’ Fatawa Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.
16. Al Fatawa Al Kubra.
17. Maqaashid Al Syari’ah Al Islamiyah Wa ‘Alaqatuha Bil Adillah Al Syar’iyah. Dr. Muhammad bin Sa’ad Alyubi, cetakan pertama tahun 1418H, Darl Hijrah, KSA.
18. Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlussunnah Wal Jama’ah, Dr. Muhammad bin Husein bin Hasan Al Jizaani, cetakan kedua tahun 1419H, Dar Ibnul Jauzi, KSA.
19. Al Muwafaqaat Fi Ushul Al Syariat, Abu Ishaaq Al Syathibi, Tahqiq Abdullah Darraaz, Darul Kutub Al Ilmiyah, Baerut.
20. Irwa’ Al Ghalil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil karya Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun 1405 H. Al maktab Islami, Beirut.
21. Kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya Prof. Dr. Abdullah Al Mushlih dan Prof. Dr. Shalah Al Shawi yang diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Abu Umar Basyir dengan judul Fiqh Ekonomi Keuangan Islam, penerbit Darul Haq, Jakarta.
22. Mausu’ah Al Qadhaayaa Al Fiqhiyah Al Mu’asharah wa Al Iqtishad Al Islami, Prof. Dr. Ali Ahmad As-Salusi, cetakan ke 7, tahun 2002 M, Maktabah Daar al-Qur`aan.
23. Syarhu Shahih Muslim, An Nawawi, dan lain-lain.