Perdebatan Antara Pecandu Musik dan Nyanyian Dengan Ahli Al-Qur’an
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. AI-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar Al-Hambali, pimpinan Ma’had Al-Jauziyah, dalam lanjutan jawabannya terhadap pertanyaan yang berkenaan dengan hukum mendengar nyanyian, pada tahun 740 H yang telah dijawab oleh para alim ulama dari keempat madzhab, semoga Allah meridhai mereka semua.
PERDEBATAN ANTARA PECANDU MUSIK DAN NYANYIAN DENGAN AHLI AL-QUR’AN
Dialog yang berisi perdebatan antara para pecandu musik dan nyanyian dengan ahli Al-Qur’an, masing-masing pihak membawakan dalil bagi pendapatnya.
Kedua pihak sepakat untuk berhukum kepada orang yang mendahulukan akal dan agamanya daripada hawa nafsu. Kebenaran yang diturunkan Allah kepada RasulNya lebih disukai daripada selainnya. Orang tersebut duduk ibarat hakim dihadapan kedua terdakwa. Ia melihat keduanya dengan pAndangan penuh nasehat bagi dirinya sendiri dan bagi kedua belah pihak yang saling mengajukan argumentasi. la buang jauh-jauh semangat jahiliyah dan fanatik golongan yang batil. Dan menunjukkan loyalitas kepada orang-orang yang taat kepada Allah dan RasulNya serta hamba-hamba yang beriman. Allah berfirman:
وَمَا كَانُواْ أَوْلِيَاءهُ إِنْ أَوْلِيَآؤُهُ إِلاَّ الْمُتَّقُونَ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya? Orang-orang yang berhak menguasai(nya), hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. “ (Al-Anfal: 34)
BANTAHAN ATAS ORANG-ORANG YANG BERARGUMENTASI DENGAN AYAT 18 DARI SURAT AZ-ZUMAR
Pecandu musik dan nyanyian berkata: “Allah telah memerintahkan RasulNya supaya memberi kabar gembira kepada orang-orang yang mendengarkan ucapan dan mengikuti yang terbaik darinya.” Allah berfirman:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُوْلَئِكَ هُمْ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Az-Zumar: 18)
Kata ‘perkataan‘ dalam ayat di atas berlaku umum. Bentuk pengambilan dalilnya adalah bahwasanya Allah memuji orang-orang yang me-ngikuti yang baik di antara perkataan itu[170] Hal itu mencakup seluruh bentuk perkataan, termasuk di dalamnya lagu dan nyanyian.
Ahli Al-Qur’an berkata: “Seharusnya Anda menghormati Kalamullah dan memuliakannya. Pantaskah Allah menurunkan firmanNya untuk mendukung nyanyian para biduan dan biduanita serta orang-orang yang meratap-ratap itu? Pantaskah Kalamullah diturunkan untuk mendukung jampi-jampi zina dan penumbuh subur kemunafikan serta pendorong kepada perbuatan menyimpang dan hawa nafsu itu? Cukup sebagai bukti rusaknya argumen di atas bahwa tidak ada seorangpun sebelum Anda dari kalangan imam ahli tafsir dari berbagai tingkatan yang berargumen seperti itu.
Bukti lain kebatilan argumen di atas adalah penegasan bahwa Kalamullah yang tidak dimasuki kebatilan dari depan maupun dari belakang tidak mungkin memberikan pengertian batil seperti itu dari beberapa sisi:
Pertama: Allah tidak pernah memerintahkan bahkan tidak membolehkan mendengar seluruh perkataan, hingga dikatakan bahwa kata ‘perkataan‘ dalam ayat di atas berlaku umum. Sudah pasti beberapa bentuk perkataan ada yang haram didengar dan ada yang makruh, Allah berfirman:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)
Allah memerintahkan supaya berpaling dari perkataan seperti itu. Dan melarang duduk bersama orang-orang yang melakukannya. Dalam ayat lain Allah berfirman, artinya:
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (An-Nisa’: 140)
Allah menyamakan antara orang yang mendengarkan perkataan tersebut dengan orang yang mengucapkannya. Lalu bagaimana mungkin Allah memuji orang yang mendengarkan setiap perkataan?
Dalam sebuah ayat Allah berfirman, artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidda berguna.” (Al-Mukminun: 1-3)
Dalam menyebut karakter hamba-hambaNya yang teristimewa Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al-Furqan: 72)
Yaitu mereka memuliakan diri mereka dengan tidak mendengarkannya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa ia memalingkan diri ketika mendengar suara permainan. Rasulullah pernah berkata tentang Ibnu Masud :
“Ibnu Mas’ud sungguh seorang yang mulia”[171]
Bagaimana dikatakan bahwa kata ‘perkataan’ di dalam ayat tersebut berlaku umum lalu mengklaim bahwa Allah memuji orang yang mendengarkan setiap perkataan padahal Allah telah memuji orang-orang yang berpaling dari permainan dan meninggalkannya secara terhormat! Bukankah Allah telah berfirman, artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (Al-Isra’: 36)
Allah mengabarkan bahwa Dia akan memintai pertanggung jawaban kepada setiap hamba atas pendengaran, penglihatan dan hatinya. Dan melarangnya mengatakan -mengikuti- sesuatu yang tiada diketahuinya.
Bilamana telah kita ketahui bahwa pendengaran, penglihatan, ucapan dan kata hati terbagi dua, ada yang diperintahkan dan ada yang dilarang, dan bahwasanya setiap hamba akan dimintai pertanggung jawaban atas semua itu, maka bagaimana mungkin dikatakan bahwa seorang hamba dipuji karena telah mendengar setiap perkataan di panggung dunia fana ini?
Sama halnya dengan perkataan: “Seorang hamba dipuji karena telah melihat setiap pemandangan yang ada di alam dunia ini, lalu berdalil dengan firman Allah, artinya:
“Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi’..” (Yunus: 101)
Dan dengan firman Allah :
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, “ (Al-A’raf: 185)
Oleh sebab itu setan masuk menyelusup atas kebanyakan ahli ibadah dari dua celah tersebut. Sebab melalui kelonggaran mereka melihat hal-hal yang terlarang untuk dilihat dan mendengar perkataan dan suara yang terlarang untuk didengar setan berpeluang menghiasi kebatilan yang dilarang itu menjadi sebuah ketaatan, sarana taqarrub dan ketaatan. Ini merupakan tipu daya iblis yang sangat halus terhadap mat manusia yang telah disebutkan sebelumnya. Yaitu ucapannya: ‘Aku memiliki tipu daya yang sangat halus bagi kalian, yaitu mendengar nyanyian dan berkumpul bersama anak-anak kecil.’
Kedua: Maksud kata `perkataan’ dalam ayat di atas, yang kalian angkat sebagai hujjah adalah Al-Qur’an, sama seperti kata `perkataan’ dalam firman Allah:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami)?” (Al-Mukminun: 68)
Dan firman Allah :
“Dan sesungguhnya telah Kami turunkan berturut-turut perkataan ini (Al-Qur’an) kepada mereka” (Al-Qashash: 51)
Perkataan yang telah diberikan kabar gembira bagi yang mendengarnya dan mencari yang terbaik di antaranya adalah AI-Qur’an yang telah dianjurkan untuk ditadabburi. Dan firman Allah saling menafsirkan satu sama lainnya.
Ketiga: Kata `perkataan’ dalam ayat di atas berlaku khusus, yaitu perkataan yang diperintahkan untuk ditadabburi dan dikabarkan akan diturunkan berturut-turut. Yaitu Al-Qur’an Al-Karim, seperti halnya kata ‘Al-Kitab’ dalam ayat-ayat di atas dan kata `Ar-Rasul’ dalam ayat berikut ini:
“Berkatalah Rasul: Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan AI-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan”. (Al-Furqan: 30)
Dan dalam firman Allah :
“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).” (An-Nur: 63)
Dan firman Allah :
“Taatilah Allah dan taatilah Rasul” (Al-Maidah: 92)
Teramat mustahil mengartikan kata `Al-Kitab’ dan `Ar-Rasul’ tersebut secara umum untuk setiap rasul dan kitab!
Keempat: Kalaulah sekiranya kita artikan kata `perkataan’ di dalam ayat di atas berlaku secara umum, maka hanya berlaku umum bagi perkataan yang diturunkan Allah, perkataan yang dipuji olehNya dan perkataan yang diperintahkan untuk diikuti, didengar, ditadabburi dan dipahami.
Kata `perkataan’ tersebut berlaku untuk semua perkataan semacam itu. Yaitu umum untuk perkataan yang telah dikenal dan dimaksudkan dari ayat di atas.
Kelima: Rangkaian kalimat dalam surat tersebut dari awal sampai akhir berbicara tentang AI-Qur’an.
Allah berfirman:
“Kitab (Al-Qur ‘an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” (Az-Zumar: 1-3)
Allah menyebutkan di awal surat tentang KitabNya, agamaNya, Al-Kalimut Thayyib dan amal shalih, menyebutkan bahwa sebaik-baik perkataan adalah KitabNya, dan sebaik-baik amalan adalah mengikhlaskan dien ini bagiNya semata. Kemudian Allah menyebutkan kembali dua hal tersebut:
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah,” (Az-Zumar: 17)
Ini berkaitan dengan mengikhlaskan dien ini bagi Allah semata. Kemudian mengatakan:
“Bagi mereka berita gembira, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya” (Az-Zumar: 17-18)
Ayat ini bercerita tentang KitabNya, mencakup penyebutan tentang kitabNya dan dien-Nya sebagaimana telah disinggung di awal surat. Lalu manakah bagian yang menyinggung tentang perkataan para biduan dan biduanita itu? Kemudian Allah berfirman:
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 22-23)
Allah memuji para hamba yang menyimak dan menghayati perkataan yang diturunkanNya. Allah tidak memuji sembarang perkataan dan tidak pula memuji orang yang mendengarnya. Bahkan ayat di atas secara tegas memuji orang-orang yang berdzikir mengingat Allah dan mendengarkan perkataanNya, kedua hal itu Allah sebutkan dalam ayat berikut ini:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)” (Al-Hadid: 16)
Dan dalam firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya)” (Al-Anfal: 2)
Allah telah menyebutkan dan menjelaskan di dalam Al-Qur’an beberapa perumpamaan dan hujjah agar menjadi peringatan dan nasehat agar kita pahami dan kita tadabburi. Dan Allah telah memerintahkan kita supaya mendengarkannya dan mengikutinya. Menganjurkan supaya mentadabburinya serta memberi kabar gembira bagi yang mendengarkannya dan mengikuti yang terbaik di antaranya. Allah menyebutkan bahwa Dia menurunkannya secara berurutan supaya dapat menjadi bahan peringatan.[172] Allah juga menyebutkan bahwa barangsiapa yang tidak mau men-tadabburi-nya maka ia termasuk orang-orang yang terkunci hatinya[173] Lalu manakah ayat yang menyinggung nyanyian para biduan dan bidua-nita tersebut!?
Kemudian Allah menyebutkan kembali tentang Al-Qur’an dalam firmanNya:
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (Az-Zumar: 33)
Imam Al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya menukil dari Imam Mujahid berkenaan dengan firman Allah: `kebenaran’ yaitu Al-Qur’an, dan firman Allah: ‘membenarkannya’ yaitu orang-orang mukmin yang datang pada hari Kiamat lalu berkata: “Kitab yang diturunkan kepadaku ini telah kuamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya.”[174]
Allah telah memuji Al-Qur’an sebagai kebenaran dan juga orang-orang yang membenarkannya. Kemudian setelah itu menyebutkan lawan keduanya, yaitu dusta dan orang yang mendustakan kebenaran. Keduanya merupakan jenis perkataan yang terkutuk, yakni dusta dan orang yang mendustakan kebenaran. Lalu bagaimana mungkin orang yang mendengarkannya terpuji dan pantas diberi pujian?
Tidak syak lagi, bid’ah-bid’ah qauliyah dan sama’iyah yang menyelisihi hidayah dan kebenaran yang diturunkan Allah dan RasulNya tidak terlepas dari dua unsure : unsur bohong terhadap Allah dan unsur mendustakan kebenaran. Bahkan secara jelas menyokong hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran, baik dalam bentuk sama’ (yang didengar) atau lainnya pasti mengandung kedua unsur batil tersebut.
Keenam: Sesungguhnya Allah menyebutkan:
“Katakanlah: `Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Se-sungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepadaNya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (Az-Zumar: 53-55)
Itulah perkataan terbaik yang diperintahkan untuk diikuti, dan itulah yang terbaik yang telah diberikan kabar gembira bagi yang mengikutinya yang tersebut di awal surat, dan itulah yang terbaik yang disebutkan dalam dua tempat di dalam surat ini. Seperti juga perintah Allah kepada Musa
“Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya,. ” (Al-A’raf: 145)
Semua itu bila ditadabburi oleh setiap mukmin yang benar-benar jujur kepada diri sendiri akan mengetahui secara yakin bahwa Al-Kitab, perkataan dan pembicaraan yang diperintahkan untuk disimak, ditadabburi, dipahami dan diikuti yang terbaik di antaranya. Itulah Kalamullah Yang Maha Agung yang tidak ada kebatilan dari depan maupun dari belakang yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Pujian bagi yang mendengar setiap perkataan tidaklah layak dinisbatkan kepada orang yang berakal, apalagi dinisbatkan kepada Rabbul `alamin penguasa langit dan bumi.
Ketujuh: Di dalam AI-Qur’an Allah hanya memuji orang-orang yang menyimak Al-Qur’an dan memuji penyimakan seperti ini. Serta mencela siapa saja yang berpaling darinya dan menggolongkan mereka sebgai orang kafir dan jahil, orang yang bisu dan tuli yang tidak dapat memahami. Allah berfirman:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur ‘an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (Al-A’raf: 204)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal.” (Al-Anfal: 2)
Allah juga berkata tentang hamba-hamba yang dicurahkan nikmat atas mereka:
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Maryam: 58)
Dan Allah berfirman, artinya:
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebahkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri.) “ (Al-Maidah: 83)
Allah juga berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur ‘an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, “ (Al-Isra’: 107)
Allah telah mencela orang-orang yang berpaling darinya dalam firmanNya berikut ini, artinya:
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apapun. Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka mernalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (Al-Anfal: 22-23)
Dalam ayat lain Allah berfirman, artinya:
“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (Al-Baqarah: 171)
Dan Allah juga berfirman:
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orangorang yang tuli dan buta. “ (Al-Furqan: 73)
Ayat-ayat senada sangat banyak tercantum di dalam Al-Qur’an dan Kalamullah (firman Allah) saling menjelaskan satu sama lainnya.
Kedelapan: Perkara yang sudah dimaklumi di dalam Al-Qur’an adalah kecaman bagi pendengar nyanyian, seperti dalam firman Allah berikut ini:
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)?” (An-Najm: 59-61)
Beberapa ulama salaf[175] menegaskan bahwa kata samiduun di dalam ayat tersebut maksudnya adalah nyanyian. Orang Arab berkata: “Samida lanaa” artinya: “Dia bernyanyi untuk kita.”
Allah telah mengecam orang-orang yang berpaling dari Al-Qur’an dan membiasakan diri mendengar nyanyian. Sebagimana keadaan kaum Sama’atiyah (orang-orang yang gandrung mendengar nyanyian) yang lebih mengedepankan mendengar siulan dan tepukan daripada mendengar Al-Qur’an. Orang-orang yang gandrung mendengar lagu dan nyanyian sama seperti orang-orang yang melalaikan shalat dan mengikuti syahwat. Berkaitan dengan firman Allah:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna” (Luqman: 6)
Para ulama salaf mengatakan bahwa maksudnya adalah nyanyian.
Kesembilan: Kalian wahai pecandu musik dan nyanyian yang berargumentasi dengan ayat di atas, kalian sendiri tidak dapat menyimak kata-kata sajak dan mantsur, bahkan kalian adalah orang-orang yang paling membenci sesuatu yang tidak kalian sukai itu, berupa kata-kata sajak dan mantsur. Bahkan sangat memusuhinya. Kebencian kalian terha-dap perkataan yang tidak kalian sukai itu lebih berat daripada kebencian orang yang mengganggu kalian saat mendengar siulan dan tepukan itu. Lalu mengapa kalian tidak menyertakan perkataan-perkataan yang bertentangan dengan hawa nafsu kalian dan juga menyertakan perkataan yang telah dipuji oleh Allah bagi yang mendengarkannya dan mengikuti yang terbaik diantaranya? Sudah barang tentu perkataan tersebut lebih baik daripada lirik lagu para biduan dan biduanita dan lebih bermanfaat bagi hati di dunia dan di akhirat! Akan tetapi kesalahan perkataan terse-but menurut kalian hanyalah karena ketidak cocokannya dengan hawa nafsu dan bid’ah yang kalian ada-adakan itu!
Jika kata ‘perkataan’ di dalam ayat tersebut berlaku umum maka dengan konsekuensi di atas argumentasi kalian telah tertolak (karena terbukti kalian tidak mengikuti seluruh perkataan yang termasuk di dalamnya perkataan Allah -pent), jika berlaku khusus maka argumentasi kalian itu lebih tertolak lagi! Jadi jelaslah kebatilan argumentasi kalian tersebut dari jalur manapun, wa billahi taufiq.
Kesepuluh: Allah telah berfirman:
“Bagi mereka berita gembira, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. “ (Az-Zumar: 17-18)
Allah telah memuji mereka karena mendengar perkataan dan mengi-kuti yang paling baik di antaranya. Sebagaimana dimaklumi bahwa banyak dari perkataan, bahkan dapat dikatakan mayoritas perkataan, tidak ada baiknya apalagi yang terbaik, bahkan pada umumnya perkataan itu banyak menjerumuskan pengucapnya ke dalam Neraka.[176]
Perkataan yang dicela oleh Allah ‘ di dalam Al-Qur’an sangat banyak sekali, misalnya perkataan keji[177], perkataan batil[178], perkataan yang tidak di dasari ilmu[179], dusta dan kebohongan[180], ghibah[181] (menggunjing), memberi julukan negatif[182], membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul[183], menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridhai Allah[184], mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan suara hati nurani[185], mengatakan apa yang tidak dilakukan[186], perka-taan sia-sia[187], perkataan yang tidak didukung hujjah yang nyata[188], perkataan yang mengandung rekomendasi negatif[189], perkataan yang mengandung unsur pertolongan untuk berbuat dosa dan pelanggaran[190]. Dan masih banyak lagi perkataan-perkataan yang mendatangkan kemurkaan dan kemarahan Allah. Seluruhnya termasuk perkataan yang tidak layak, tidak ada kebaikannya apalagi yang terbaik!
Klaim bahwa kata ‘perkataan’ dalam ayat tersebut berlaku umum kecuali perkataan yang diturunkan Allah kepada RasulNya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan kebatilan yang nyata.
Kesebelas: Allah telah mengaitkan hidayah dengan mengikuti yang terbaik dari perkataan tersebut, Allah berfirman:
“Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (Az-Zumar: 17-18)
Sebagaimana dimaklumi bahwa hidayah hanya dapat diraih oleh orang yang mengikuti Al-Qur’an. Dialah orang yang diberi hidayah oleh Allah, lalu manakah hidayah pada lirik lagu para penyanyi itu?
Kesimpulannya kebatilan dari perkataan yang kalian bawakan dengan mencuplik ayat Al-Qur’an sangatlah jelas, Al-Qur’an terlepas dari perkataan kalian tersebut. Tidaklah layak membawakan ayat Al-Qur’an kepada perkataan seperti itu yang sudah diketahui kebatilannya oleh orang yang hatinya hidup dan diterangi cahaya. Tetapi barangsiapa yang tidak diberi oleh Allah cahaya hidayah maka tidak ada cahaya hidayah lain baginya.
Sumber : Disalin dari Buku “Noktah Hitam Senandung Setan” Karya Imam Ibnul Qayyim, Halaman 175-191
[170] Lihat Risalah Al-Qusyeiriyah (637), disebutkan disitu: “Bahwa Allah memuji mereka karena telah mengikuti yang terbaik.”
[171] HR. Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (XIX/32), dengan lafal: “Sungguh Ibnu Mas’ud akan menjadi orang yang mulia”. Dihwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (III/330) melalui dua jalur dari Ibrahim bin Maisarah bahwa Abdullah bin Masud melewati sebuah permainan dan beliau tidak berhenti (jalan terus). Rasulullah berkata: “Ibnu Mas’ud sungguh seorang yang mulia”
[172] Yaitu firman Allah: “Dan sesungguhnya telah Kami turunkan berturut-turut perkataan ini (Al-Qur’an) kepada mereka agar mereka mendapat pelajaran” (Al-Qashash: 51)
[173] Yaitu firman Allah: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)
[174] Fathul Bari (VIII/547, dalam kitab Tafsir 39)
[175] Lihat pada halaman terdahulu tentang atsar ini, di antara alim ulama yang menyatakan hal itu adalah Mujahid, ‘Ikrimah dan Sufyan Ats-Tsauri mereka mengartikan kata as-samuud dengan nyanyian. Sebab kaum musyrikin di kota Mekah apabila mendengar Al-Qur’an mereka melawannya dengan bernyanyi dan bermain. Di antara alim ulama yang berpendapat seperti itu adalah Said bin Jubeir, Ibrahim An-Nakha’i, AI-Hasan Al-Bashri dan Qatadah.
Ada beberapa arti bagi kata As-Samuud ini dalam bahasa Arab, di antaranya adalah al-birthamah (kemarahan yang memuncak), asy-syumuukh (mengangkat kepala atau menengadahkannya), disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa apabila orang-orang Kafir melewati Rasulullah mereka mengangkat kepala sebagaimana lagaknya orang yang sombong. Di antara artinya juga ialah: at-tahayyur (sombong dan angkuh), yaitu menolak kebenaran serta menghina orang-orang yang benar, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits. Di antaranya juga: al-lahwu (senda gurau), al-ghaflah (kelengahan), al-I’radh (berpaling), al-istikbar (sombong), al-la’ab (bermain), sibuk bermain, bersenda gurau dan menuruti tuntutan hawa nafsu atau ha!-hal yang tidak membawa faidah bagi pelakunya. Di antara artinya juga ialah: as-sahwu (kelalaian) dan al-ghaba‘ (kebodohan).
Nyanyian merangkum seluruh makna di atas atau paling sedikit mayoritasnya. Tidak ada perbedaan antara makna tersebut dengan nyanyian. Berkaitan dengan makna as-Samuud, lihat: Lisanul ‘Arab karangan Ibnu Manzhur, Qamus Muhith, Tafsir Ath-Thabari (27/48), Zadul Maisir (VI/86), Tafsir Ibnu Katsir (IV/261), Tafsir AI-Qurthubi (IX/6293), Fathul Qadir (V/118-119), Kasyful Astar (hadits no. 2264), Dzammul Malaahi karangan Ibnu Abid Dunya (hal 39), Nuzhatus Sama’ (ha1 29-30), Ar-Radd ‘ala man Yuhibbus Sama’ (hal 34-35) dan lain-lain,
Berkaitan dengan keterangan bahwa nyanyian merangkum seluruh makna di atas, lihat Ighatsatul Lahfan (I/200), Tahrim An-Nard wa Syathranj wa Malaahi (hal 381).
[176] Berdasarkan sebuah hadits Nabi riwayat Mu’adz bin Jabal Rasulullah mengatakan: “Maukah kamu aku tunjukkan kendali seluruh perkara tersebut?” “Tentu saja wahai Rasulullah?” Rasulullah memegang lisannya sembari berkata: “Jagalah” Saya katakan: “Wahai Nabiyullah apakah kami disiksa akibat perkataan kami?” Rasulullah bersabda: “Merugilah kamu wahai Mu’adz, bukankah manusia banyak yang tersungkur atas wajah mereka -atau atas hidung mereka- ke dalam api Neraka akibat perbuatan lisan mereka!?”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (V/231, 237), At-Tirmidzi dalam Jami’nya (2616) Ialu berkata: Hadits ini hasan shahih. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dalam Al-Kubra (414) dan Ibnu Majah (3973) dan dinyatakan shahih oleh AI-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah (II/359 no. 3209).
[177] Seperti dalam firman Allah: “Dan perumpamaan kalimat yang buruk Seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akamya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.”(Ibrahim: 76)
[178] Seperti dalam firman Allah: “Dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu;”(Ghafir: 5)
[179] Seperti dalam firman Allah: “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’ (AI-A’raf: 33)
[180] Seperti dalam firman Allah: “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayatNya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan” (Al-An’am: 21)
[181] Seperti dalam firman Allah: “Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain” (Al Hujurat: 12)
[182] Seperti dalam firman Allah: “Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-ge/ar yang buruk’ (AI-Hujurat: 11)
[183] Seperti dalam firman Allah: “Hai Orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul” (AI-Mujadilah: 9)
[184] Seperti Dalam firman Allah: “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridha” (An-Nisa’: 108)
[185] Seperti dalam firman Allah: “Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: ‘Kami telah beriman padahal hati mereka belum beriman” (Al-Maidah: 41)
[186] Seperti dalam firman Allah: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Ash-Shaf: 3)
[187] Seperti dalam firman Allah: “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-prang jahiI” (Al-Qashash: 55)
[188] Seperti dalam firman Allah: “Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (Yunus: 68)
[189] Seperti dalam firman Allah: “Dan barangsiapa yang memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) daripadanya.” (An-Nisa’: 85)
[190] Seperti dalam firman Allah: “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2). Dan masih banyak lagi ayat yang senada daiam masalah ini.