Pembunuhan dengan Sengaja
Telah dijelaskan pada beberapa edisi terdahulu, pembunuhan terbagi menjadi tiga jenis: sengaja, mirip dengan sengaja, dan tidak sengaja. Sebagai kelanjutannya, kami paparkan permasalahan “pembunuhan dengan sengaja” dalam rubrik fikih ini. [1]
Definisi Pembunuhan Dengan sengaja (Qatlu al-‘Amd)
Pembunuhan dengan sengaja, dalam bahasa Arab, disebut “qatlu al-‘amd”. Secara etimologi bahasa Arab, kata qatlu al-‘amd tersusun dari dua kata, yaitu al-qatlu dan al-‘amd. Kata “al-qatlu” artinya “perbuatan yang dapat menghilangkan jiwa”, [2] sedangkan kata “al-‘amd” artinya “sengaja dan berniat”. [3] Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja di sini adalah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh jiwa yang terlindungi darahnya, dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh. [4]
Rukun Pembunuhan Dengan Sengaja
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa pembunuhan dengan sengaja memiliki rukun dan syarat, di antaranya:
1. Korban terbunuh. Apabila seseorang sengaja membunuh korban dengan senjata yang bisa membunuh, seperti kapak atau sejenisnya, namun korbannya selamat dan dapat disembuhkan, maka ini tidak termasuk pembunuhan dengan sengaja. Korban terbunuh ini memiliki dua syarat:
a. Bani adam (manusia). Apabila korban yang terbunuh bukan manusia, tentulah tidak dikatakan pembunuhan dengan sengaja.
b. Terjaga darahnya (ma’shum ad-dam). Hal ini mencakup semua jiwa yang mendapatkan perlindungan negara Islam, seperti kaum muslimin, dzimi (ahli dzimah), orang kafir yang di bawah perjanjian (al-mu’ahad), dan orang kafir yang meminta perlindungan (al-musta’min). [5] Dengan demikian, seseorang dihukumi membunuh dengan sengaja, apabila ia mengetahui bahwa orang yang ia inginkan untuk terbunuh adalah manusia dan terlindungi jiwanya menurut syariat Islam.
b. Terjaga darahnya (ma’shum ad-dam). Hal ini mencakup semua jiwa yang mendapatkan perlindungan negara Islam, seperti kaum muslimin, dzimi (ahli dzimah), orang kafir yang di bawah perjanjian (al-mu’ahad), dan orang kafir yang meminta perlindungan (al-musta’min). [5] Dengan demikian, seseorang dihukumi membunuh dengan sengaja, apabila ia mengetahui bahwa orang yang ia inginkan untuk terbunuh adalah manusia dan terlindungi jiwanya menurut syariat Islam.
2. Kesengajaan membunuh korban atau keinginan dari pembunuh untuk membunuh korban. Hal ini mencakup dua keinginan, yaitu kesengajaan membunuh (qashdu al-jinayat) dan sengaja menjadikan pihak terbunuh sebagai korban (qashdu al-majni ‘alaih). Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Dua jenis kesengajaan ini harus terpenuhi.Sseandainya tidak ada niat untuk membunuh dengan menggerakkan senjata, lalu senjatanya terlempar (tidak sengaja) dan membunuh orang, maka hal ini tidak dikatakan membunuh dengan sengaja, karena si pelaku pembunuhan tidak berniat membunuh. Juga, seandainya ia sengaja menembak sesuatu dan ternyata yang ditembak itu adalah seorang manusia, maka ini pun bukan kesengajaan, karena si pelaku pembunuhan tidak sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya tersebut. [6]
3. Alat yang digunakan adalah alat yang bisa membunuh, baik senjata tajam atau yang lainnya. Ini termasuk rukun pembunuhan dengan sengaja yang terpenting. Hal ini karena syarat kesengajaan membunuh adalah perkara batin yang tidak mudah dibuktikan. Oleh karena itu, penetapan hukumnya dikembalikan kepada alat yang digunakan, karena itu merupakan perkara yang nyata.
Apabila rukun-rukun ini tidak ada salah satunya, maka pembunuhan tersebut tidak dihukumi sebagai pembunuhan yang disengaja.
Klasifikasi Pembunuhan Dengan Sengaja
Dari definisi pembunuhan dengan sengaja di atas, dapat disimpulkan bahwa pembunuhan dengan sengaja terbagi dalam dua jenis.
Jenis pertama, membunuh dirinya sendiri (bunuh diri).
Jiwa manusia bukanlah miliknya pribadi, namun masih milik penciptanya. Jiwa adalah amanah yang harus dijaga dan dipelihara. Oleh karena itu, membunuh diri sendiri atau merusaknya tanpa ada maslahat syar‘i adalah tindakan terlarang. Begitu juga, seseorang tidak boleh beraktifitas dengan anggota tubuhnya kecuali aktifitas yang mendatangkan kemanfaatan. Karena itulah, Allah menjadikan perbuatan bunuh diri termasuk dosa besar, sebab ada pelanggaran amanah serta sikap tidak ridha dengan ketetapan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Perbuatan ini dilarang dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama-suka di antara kamu. Serta, janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisa`: 29)
Demikian juga, bunuh diri dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
“Barangsiapa yang bunuh diri dengan terjun dari atas bukit, maka ia berada di neraka jahanam dalam keadaan terjun, dan itu kekal selamanya. Barangsiapa yang bunuh diri dengan menenggak racun dan mati dalam keadaan racunnya ada di tangannya, maka ia akan menenggaknya di neraka jahanam selama-lamanya. Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi, lalu besinya tersebut ada di tangannya, maka ia kan menusuk-nusuk perutnya dengan besi di neraka jahanam selama-lamanya.” (Hr. al-Bukhari, no. 5333)
Jenis kedua, membunuh orang lain.
Jenis kedua, membunuh orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tegas melarang membunuh jiwa manusia dengan sengaja, dan mengancam pelakunya dengan ancaman yang berat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam. Ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. an-Nisa`: 93)
Bentuk Pembunuhan yang Disengaja [7]
Pembunuhan dengan sengaja memiliki beragam bentuk yang ada dalam realita, di antaranya:
- Membunuh dengan senjata tajam (al-muhaddad), yaitu dengan cara melukai tubuh dengan senjata tajam, seperti pisau, senapan, tombak, lembing, dan jenis senjata tajam lainnya. Ini disepakati para ulama sebagai salah satu jenis pembunuhan dengan sengaja.
- Membunuh dengan senjata tumpul, atau senjata yang membunuh karena beratnya atau pengaruhnya di tubuh (al-mutsaqqal), seperti dengan cara memukulkan batu besar dan sejenisnya. Apabila batunya kecil, maka bukan termasuk pembunuhan dengan sengaja, kecuali bila dipukulkan kebagian anggota tubuh yang mematikan, atau dalam keadaan lemahnya korban seperti sakit, kecil, dan sejenisnya, atau memukulnya dengan berulang-ulang hingga mati. Termasuk juga pembunuhan dengan al-mutsaqqal adalah menimpakan tembok ke orang lain dan menabrakkan mobil ke tubuh korban.
- Melemparkan korban ke tempat berbahaya yang dapat membunuhnya, seperti melemparkannya ke dalam kandang singa atau dikurung bersama ular berbisa yang membunuhnya. Apabila sengaja melemparkannya ke tempat-tempat yang mematikan tersebut, maka ia telah sengaja membunuh korban dengan sesuatu yang umumnya bisa membunuh.
- Melempar korban ke dalam api atau air yang menenggelamkannya, dan si korban tidak mungkin selamat darinya.
- Mencekiknya dengan tali atau sejenisnya, atau membekap mulut dan hidungnya hingga mati dengan sebab itu.
- Memenjarakannya dan tidak memberi makan dan minum hingga si korban mati dengan sebab itu, dalam waktu yang umumnya orang akan mati kelaparan, serta si korban tidak bisa mencari makanan dan minuman.
- Membunuhnya dengan sihir (santet).
- Membunuhnya dengan racun. Ini memiliki beberapa bentuk, di antaranya:
a. Memberi racun dengan paksa hingga mati.
b. Mencampuri makanan dan minumannya dengan racun, lalu menyajikannya kepada korban, kemudian korban meminumnya dalam keadaan tidak tahu bahwa di dalamnya terkandung racun. - Membunuh korban secara tidak langsung. Hal ini dapat digambarkan dalam beberapa bentuk:
- a. Memberikan kesaksian yang membuat korban dibunuh, seperti berzina atau murtad, lalu korban itu dibunuh. Setelah terbunuh, saksi tersebut menarik kembali persaksiannya dan mengatakan bahwa ia sengaja melakukan persaksian dusta tersebut untuk membunuh korban.
b. Memaksanya untuk bunuh diri.
c. Menyuruh orang lain untuk membunuhnya.
Demikianlah beberapa jenis bentuk pembunuhan dengan sengaja yang disampaikan para ulama dari hasil penelitian mereka.
Akibat Pembunuhan Dengan Sengaja
Akibat Pembunuhan Dengan Sengaja
Pembunuhan dengan sengaja memiliki konsekuensi yang melibatkan tiga hak: hak Allah, hak wali korban, dan hak korban sendiri. Imam Ibnu al-Qayyim menjelaskan, “Yang benar adalah bahwa pembunuhan berhubungan dengan tiga hak: hal Allah, hak korban (al-maqtul), dan hak keluarga dan kerabat korban (auliya` al-maqtul). Apabila pembunuh telah menyerahkan diri dengan suka rela, dengan menyesalinya dan takut kepada Allah, serta bertobat dengan tobat nashuha, maka gugurlah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tobat tersebut, dan hak auliya` a1-maqtul gugur dengan ditunaikannya qisas secara sempurna, melalui perdamaian, atau pembunuh dimaafkan. Namun, masih tersisa hak korban. Karenanya, Allah yang akan menggantinya di hari kiamat dari hamba-Nya yang bertobat dan Allah akan memperbaiki hubungan keduanya.” [8]
Hal-hak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, hak Allah. Pembunuhan dengan sengaja berhubungan langsung dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena telah melanggar larangan Allah yang ada dalam firman-Nya,
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahanam. Ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, mengutukinya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qa. an-Nisa`: 93)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah mengancam keras pelaku pembunuhan dengan sengaja, sampai-sampai karena besarnya dosa pembunuhan ini, Allah tidak mensyariatkan adanya kafarat.
Sedangkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan besarnya dosa pembunuhan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ قَتْلِ مُسْلِمٍ
“Lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan pembunuhan terhadap seorang muslim.” (Hr. at-Tirmidzi dan an-Nasa`i; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 2438).
Larangan ini tidak hanya berlaku pada jiwa muslim, namun juga pada semua jiwa yang dilindungi dalam syariat Islam, sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
من قتل معاهداً لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاماً
“Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang memiliki perjanjian perlindungan (mu’ahad), maka dia tidak akan mencium wangi surga. Sungguh, wangi surga itu tercium sejauh jarak empat puluh tahun.” (Hr. al-Bukhari)
Bahkan, perkara ini menjadi perkara awal yang dihisab di antara manusia di hari kiamat, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أول ما يقضى بين الناس يوم القيامة في الدماء
”Perkara pertama yang akan diperhitungkan di antara manusia pada hari kiamat adalah permasalahan darah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bahkan, Allah menjadikan pembunuhan satu jiwa bagaikan membunuh seluruh manusia, dan menghidupkan satu jiwa bagaikan menghidupkan seluruh manusia, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً
“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia, seluruhnya. Juga, barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia, seluruhnya.” (Qs. al-Ma`idah: 32)
Hak ini tidak gugur kecuali dengan tobat yang benar dari pembunuh, dan tidak cukup hanya dengan menyerahkan diri kepada wali korban.
Kedua, hak korban. Hak ini tidak gugur, karena korban telah mati dan hilang, dan pembunuh telah dihukum. Korban akan meminta haknya di hari kiamat nanti dari pembunuhnya. Namun, apakah kebaikan pembunuh akan diambil (di akhirat), atau Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan keutamaan dan kemurahan-Nya yang akan menanggungnya? Yang benar, sebagaimana dirajihkan oleh Imam Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Utsaimin [9], adalah Allah yang akan menggantinya di hari kiamat dari hamba-Nya yang bertobat, dan Allah akan memperbaiki hubungan keduanya .
Ketiga, hak wali korban. Keluarga korban yang mencakup seluruh ahli warisnya memiliki hak atas pelaku pembunuhan, dengan diminta memilih tiga pilihan:
Pilihan pertama, qisas, yaitu dengan dilakukannya hukuman pancung kepada pelaku pembunuhan, yang hukuman ini dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini berdasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk melaksanakan qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….” (Qs. al-Baqarah: 178)
Dianjurkan bagi para ahli waris korban untuk mengampuni pelaku dari qisas, apabila pelaku tidak dikenal sebagai orang jelek, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf, dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu, dan merupakan suatu rahmat.” (Qs. al-Baqarah: 178)
Apabila seluruh ahli waris atau seseorang dari mereka memaafkan si pembunuh qisas maka gugurlah qisas bagi si pembunuh, dan si pembunuh wajib menunaikan pilihan kedua, yaitu diyat.
Pilihan kedua, membayar diyat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَمَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَلَ
“Barangsiapa yang menjadi wali korban pembunuhan, maka ia diberi dua pilihan: memilih diyat atau qisas.” (Hr. Muslim, no. 3371)
Pilihan ketiga, memberikan ampunan tanpa bayaran. Para ahli waris korban memiliki hak untuk mengampuni pelaku dengan tidak meminta qisas maupun diyat. Apabila sebagian ahli waris memberikan ampunan ini, maka gugurlah bagiannya dari diyat dan pelaku hanya membayar bagian diyat untuk ahli waris korban yang tidak memaafkannya. Hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ
“Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.” (Qs. al-Ma`idah: 45)
Demikianlah, sebagian hukum berkenaan dengan pembunuhan dengan sengaja, dan insya Allah akan dilanjutkan dengan pembunuhan yang mirip dengan sengaja dan pembunuhan tidak sengaja. Mudah-mudahan bermanfaat.
Referensi:
1. Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani, Subul as-Salam al-Mushilah ila Bulugh al-Maram, tahqiq Muhammad Shubhi Hasan Halaf, cetakan kedelapan, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA, 7: 231.
2. Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, cetakan pertama, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA, 14/5.
3. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Tashil al-Ilmam bi Fiqhi al-Ahadits Min Bulugh al-Maram, cetakan pertama, tahun 1427 H, tanpa penerbit, 5/117.
4. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqh, cetakan pertama, tahun 1423 H, Ri`asah Idarah al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta`, KSA, 2/461.
5. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah.
6. Tuhfat al-Labib fi Syarhi at-Taqrib.
7. Dan lain-lain.
2. Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin, asy-Syarhu al-Mumti’ ‘ala Zad al-Mustaqni’, cetakan pertama, tahun 1428 H, Dar Ibnu al-Jauzi, KSA, 14/5.
3. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Tashil al-Ilmam bi Fiqhi al-Ahadits Min Bulugh al-Maram, cetakan pertama, tahun 1427 H, tanpa penerbit, 5/117.
4. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqh, cetakan pertama, tahun 1423 H, Ri`asah Idarah al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta`, KSA, 2/461.
5. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah.
6. Tuhfat al-Labib fi Syarhi at-Taqrib.
7. Dan lain-lain.
[1] Lihat: Syarhu al-Mumti’, Syekh Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimin: 14/9.
[2] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah: 32/321.
[3] Ibid: 30/307.
[4] Lihat: Tuhfat al-Labib fi Syarhi at-Taqrib hlm. 374, dan al-Mulakhash al-Fiqh: 2/465.
[5] Mengenai al-musta’min dan sejenisnya bisa lihat dalam Majalah as-Sunnah, rubrik Mabhats.
[6] Syarhu al-Mumti’: 14/7.
[7] Diadaptasi dari al-Mulakhsh al-Fiqh: 2/464 dan Syarhu al-Mumti’: 14/7–17.
[8] Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’: 7/165.
[9] Asy-Syarhu al-Mumti’: 14/7.
[2] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah: 32/321.
[3] Ibid: 30/307.
[4] Lihat: Tuhfat al-Labib fi Syarhi at-Taqrib hlm. 374, dan al-Mulakhash al-Fiqh: 2/465.
[5] Mengenai al-musta’min dan sejenisnya bisa lihat dalam Majalah as-Sunnah, rubrik Mabhats.
[6] Syarhu al-Mumti’: 14/7.
[7] Diadaptasi dari al-Mulakhsh al-Fiqh: 2/464 dan Syarhu al-Mumti’: 14/7–17.
[8] Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’: 7/165.
[9] Asy-Syarhu al-Mumti’: 14/7.