Kepada Para Pecinta Nasyid, Tinjauan Syari’i Terhadap “Nasyid Islami”
MUQODDIMAH
Nasyid bulan lagi menjadi hal yang asing di kalangan kaum muslimin. Pada hari ini ia dianggap sebagai alternatif pengganti lagu dan musik yang didendangkan oleh para penyanyi umumnya. Bahkan bagi kalangan aktivis pergerakan Islam, nasyid dianggap termasuk sarana dakwah yang efektif.
Saat ini begitu menjamur berbagai grup nasyid yang dianggap memiliki prestise (nama baik) sebagaimana grup-grup musik yang lainnya. Masing-masing dari kelompok nasyid tersebut menggunakan bermacam variasi dalam menampilkan nasyidnya. Ada yang memakai iringan musik “mulut” (akapela, Red), ada yang disertai rebana saja, yang kadang disertai dengan tepukan tangan atau alat-alat tertentu, lalu dinyanyikan oleh orang yang bersuara merdu atau secara berkelompok. Ada pula yang menggunakan semua alat musik yang digunakan oleh para pelantun lagu-lagu yang jorok.
Diantara hal yang sangat memprihatinkan bahwa banyak dari anak-anak muda yang mulai sadar dari kelalaiannya dan memiliki ghiroh terhadap Islam justru menyibukkan diri dengan nasyid-nasyid tersebut serta menjauh dari ilmu dan al-Qur’an. Diantara sebabnya karena banyak dari “murobbi” mereka yang sangat menganjurkan mereka untuk mendengarkan nasyid bahkan ada yang menganggapnya sebagai ibadah.
Bila kita meruntut sejarah, kita tidak mengetahui dalam sejarah kaum muslimin cara berdakwah menggunakan sarana-sarana seperti ini, kecuali dari kelompok Shufiyyah yang dikenal gemar membuat bid’ah dan menganggap baik hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Dari sini, tampaknya bahwa apa yang diistilahkan dengan nasyid islami tidak lain adalah bid’ah yang telah dimunculkan oleh kaum Shufiyyah, lalu diberi label “islami” agar diterima oleh masyarakat yang tidak mengerti hakikat bid’ah ini. Seperti itulah halnya kebatilan-kebatilan lain yang disandarkan kepada Islam seperti musik islami, sandiwara islam, demokrasi islami, demonstrasi islami, atau label-label islami yang lainnya.
Untuk itu, sebagai nasihat bagi kaum muslimin, didalam bahasan kali ini akan kami paparkan tinjauan syar’i terhadap perkara yang disebut nasyid islami ini, dengan banyak mengambil faedah dari kitab al-Qoulul Mufid fi Hukmil Anasyid yang ditulis oleh ‘Ishom bin Abdul Mun’im al-Murri terbitan Maktabah al-Furqon Uni Emirat Arab cetakan 1421 H.
MENCUKUPKAN DIRI DENGAN AL-QUR’AN
Allah Ta’ala berfirman :
Katakanlah (hai Muhammad) : “Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadanya orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan.” (QS. Al-Anbiya’ [21] : 45)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata : “Seorang yang tuli tidak bisa mendengar sesuatu, karena pendengarannya sudah rusak dan tidak berfungsi. Syarat mendengarkan suara hendaknya ada tempat yang menerimanya. Demikian juga wahyu adalah sebab hidupnya hati dan roh serta memahami dari Allah. Akan tetapi, jika hati tidak bisa menerima untuk mendengarkan petunjuk, maka ia-sehubungan dengan petunjuk dan iman-kedudukannya seperti seorang yang tuli sehubungan dengan suara-suara.”[1]
Dan Allah Ta’ala berfirman :
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) sedang ia dibacakan kepada mereka ? sesungguhnya dalam (al-Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-Ankabut [29] : 51)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata : “Maka, seluruh hal itu mencukupi bagi orang yang hendak membenarkan al-haq, dan beramal atas mencari al-haq. Maka semoga Allah tidak mencukupkan orang yang al-Qur’an tidak mencukupinya dan semoga Allah tidak menyembuhkan orang yang al-furqon (al-Qur’an) tidak menyebuhkannya dan barang siapa yang mengambil petunjuk dengan al-Qur’an dan merasa cukup dengannya maka sesungguhnya ia (al-Qur’an) adalah rahmat dan kebaikan baginya. Karena itulah, Allah berfirman : ‘Sesungguhnya dalam (al-Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.’ yang demikian itu karena apa-apa yang didapati didalamnya adalah ilmu yang banyak, kebaikan yang melimpah, penyucian hati dan jiwa, pemurnian aqidah, penyempurnaan akhlak serta pembukaan-pembukaan ilahi dan rahasia-rahasia rabbani.” [2]
DIMAKRUHKANNYA SYAIR YANG MENGHALANGI MANUSIA DARI DZIKRULLAH, ILMU DAN AL-QUR’AN
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sungguh jika rongga dada kalian penuh dengan nanah maka lebih baik baginya daripada penuh dengan syair.” [3]
Hadist ini dibawakan oleh al-Imam Bukhari di dalam Shohih-nya dibawah Bab :
“Dibenci kalau yang dominan pada seseorang adalah syair hingga menghalanginya dari dzikrulloh, ilmu dan al-Qur’an.”
Al-Imam Abu Ubaid rahimahullah berkata :
“Akan tetapi, seginya menurutku bahwa penuh hatinya dengan syair hingga mendominasinya sehingga menyibukkannya dari al-Qur’an dan dari dzikrullah hingga itulah yang dominan padanya. Adapun jika al-Qur’an dan ilmu yang lebih dominan padanya maka bukanlah rongga dadanya penuh dengan syair.” [4]
AL-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
“Maksud berlebihannya ini didalam mencela syair yaitu bahwa orang-orang yang diajak bicara tentang hal itu mereka didalam puncak perhatian kepadanya dan menyibukkan diri dengannya maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghardik mereka dari hal itu agar menghadap kepada al-Qur’an dan kepada dzikrulloh Ta’ala dan beribadah kepadanya.” [5]
Maka lihatlah keadaan orang-orang yang rongga-rongga dada mereka terpenuhi nanah hingga memenuhi hati-hati dan lisan-lisan mereka. Mereka selalu menyenandungkan nasyid didalam keadaan tinggal dan sadar, didalam diam dan segal gerak-gerik mereka bukankah mereka lebih pantas untuk dihardik agar menghadap kepada Kitabulloh, ilmu, belajar dan dzikir-dzikir yang disyari’atkan Allah Ta’ala ?
KUNCI KEBAHAGIAAN DUNIA DAN AKHIRAT ADALAH DENGAN TADABBUR AL-QUR’AN
Allah Ta’ala berfirman :
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Shod [38] : 29).
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :
“Maka tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba didalam dunia dan akhiratnya dan yang lebih dekat kepada keselamatannya daripada tadabbur al-Qur’an, banyak menelaah dan memusatkan pikiran atas makna-makna ayat-ayatnya, karena sesungguhnya hal itu akan menampakkan kapada seorang hamba atas rambu-rambu kebaikan dan kejelekan secara keseluruhan, atas jalan-jalan keduanya, sebab-sebab keduanya, puncak-puncak keduanya, buah-buah keduanya, kesudahan ahli keduanya, dan diserahkan kepadanya kunci-kunci perbendaharaan kebahagiaan, ilmu-ilmu yang bermanfaat dan diteguhkanlah landasan-landasan iman didalam hatinya.”[6]
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata : “Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada para sahabat dalam waktu yang lama, maka mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau mengisahkan kepada kami!’ Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat :
Alif, lam, ro. Ini adalah ayat-ayat Kitab (al-Qur’an) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf [12] : 1 -2).
Maka beliau bacakan kepada mereka dalam waktu yang lama, maka mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau mengatakan kepada kami !” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat :
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. (QS. Az-Zumar [39] : 23).”
Al-Imam Abu Ubaid al-Qosim bin Salam rahimahullah berkata : “Jika mereka menghendaki perkataan maka beliau menunjukkan kepad sebaik-baik perkataan, dan jika mereka menghendaki kisah-kisah maka beliau tunjukkan kepada kisah yang terbaik yaitu al-Qur’an.” [7]
MENGGIRING HATI KEPADA ALLAH DENGAN MENDENGARKAN HAL-HAL YANG SYAR’I
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata : “Sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada para hamba-Nya agar mendengarkan apa-apa yang menguatkan hati mereka, memberikan energi kepadanya dan menambah keimanan, maka kadang hal itu adalah wajib atas mereka seperti mendengarkan al-Qur’an, dzikir, dan nasihat pada hari Jumat di dalam khutbah dan sholat, dan seperti mendengarkan al-Qur’an di dalam sholat-sholat yang jahr dari sholat-sholat yang wajib.
Dan kadang hal itu adalah disunnahkan tanpa diwajibkan seperti majelis-majelis dzikir (ilmu) yang disunnahkan. Maka mendengarkan itu semua akan menggiring hati seorang mukmin kepada sampainya kepada Rabbnya, menggiringnya dan membuat dia rindu untuk dekat kepada-Nya, dan sungguh Allah telah memuji orang-orang yang beriman dengan adanya pertambahan keadaan-keadaan mereka dengan mendengarkan ini dan mencela orang yang tidak mendapati apa yang mereka dapatkan, maka Allah Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya). (QS. Al-Anfal [8] : 2)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pun pemimpin. (QS. az-Zumar 1391: 22-23).”[8]
FATWA-FATWA ULAMA TENTANG NASYID
1. Fatwa Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani
Syikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah ditanya: “Banyak beredar di kalangan pemuda muslim kaset-kaset nasyid yang mereka sebut dengan nasyid-nasyid islamiyyah. Bagaimana sebenarnya permasalahan ini ?”
Beliau menjawab: “Jika nasyid ini tidak disertai alat-alat musik, maka saya katakan pada dasarnya tidak mengapa, dengan syarat nasyid tersebut terlepas dari segala bentuk pelanggaran syari’at, seperti meminta pertolongan kepada selain Alloh Ta’ala, bertawassul kepada makhluk, demikian pula tidak boleh dijadikan kebiasaan, karena akan memalingkan generasi muslim dari membaca, mempelajari, dan merenungi Kitab Allah Ta’ala yang sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shohih, di antaranya beliau bersabda : ‘Barang siapa yang tidak membaca al-Qur’an dengan membaguskan suaranya, maka dia bukan dari golongan kami.’ Bacalah al-Qur’an dan baguskanlah suaramu dengannya sebelum datang beberapa kaum yang tergesa-gesa mendapat balasan (upah bacaan), dan tidak sabar menanti untuk mendapatkan (pahalanya di akhirat kelak), maka bacalah al-Qur’an dengan membaguskan suara(mu) dengannya.
Lagipula, barang siapa yang mengamati perihal para sahabat dia tidak akan mendapatkan adanya nasyid-nasyid dalam kehidupan mereka, karena mereka adalah generasi yang sungguh-sungguh dan bukan generasi (yang mencari) hiburan.”[9]
2. Fatwa Syaikh al-Allamah Muhammad bin Sholih al-Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah ditanya : “Bolehkah kaum laki-laki melantunkan nasyid-nasyid bersama-sama? Bolehkah nasyid diiringi dengan pukulan rebana? Dan apakah nasyid diperbolehkan pada selain hari raya dan pesta kegembiraan?”
Beliau menjawab: “Nasyid islami (hakikatnya) adalah nasyid bid’ah, serupa dengan apa yang dibuat-buat oleh orang-orang sufi. Oleh karena itu, selayaknya (kita) berpaling dari nasyid itu dan menggantinya dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Kecuali dalam saat-saat peperangan, agar memberikan motivasi keberanian dan berjihad di jalan Allah , maka hal ini adalah baik. Dan jika berkumpul dengan (tabuhan) rebana, maka hal itu lebih jauh lagi dari kebenaran.” [10]
3. Fatwa Syaikh al-Allamah Sholih bin Fauzan al-Fauzan
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidhahullah ditanya : “Wahai Syaikh, banyak dibicarakan tentang nasyid islami. Ada yang berfatwa membolehkannya. Ada juga yang mengatakan bahwa ia sebagai pengganti kaset nyanyian. Bagaimana menurut pandangan Anda?”
Beliau menjawab: “Penamaan ini tidak benar. Ia adalah nama yang baru. Tidak ada penamaan nasyid-nasyid islami dalam kitab para ulama salaf serta ahlul ilmi yang pendapat mereka diperhitungkan. Dan sudah menjadi maklum bahwa kaum sufi-lah yang menjadikan nasyid-nasyid itu sebagai agama mereka dan inilah yang mereka sebut sama’ (nyanyian).
Pada masa kita ini, ketika banyak muncul kelompok dan golongan, maka masing-masing kelompok memiliki nasyid yang mendorong semangat yang kadang mereka namakan nasyid-nasyid islami. Penamaan ini adalah tidak benar dan tidak boleh mengambil nasyid-nasyid serta mengedarkannya di kalangan manusia. Wabillahit taufiq.” [11]
4. Fatwa Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbad
Beliau hafidhahullah berkata: “Hendaknya seorang manusia menyibukkan waktunya dengan apa-apa yang membawa kebaikan dan manfaat di dunia dan di akhirat. Hendaknya dia menyibukkan diri dengan dzikrullah, membaca al-Qur’an, membaca kitab-kitab yang bermanfaat, dan demikian juga menelaah kepada syair yang bagus yang menun jukkan kepada akhlak-akhlak yang mulia dan adab-adab yang baik.
Adapun nasyid-nasyid yang muncul diakhir-akhir ini yang berkumpul sebuah kelompok bersenandung secara paduan suara dengan irama tertentu dan kemudian direkam dan disebarluaskan, dan banyak dari manusia yang menyibukkan diri dengannya, maka sesungguhnya ini tidak pantas seseorang menyibukkan diri dengannya dan memperhatikannya.”[12]
SYUBHAT-SYUBHAT DAN JAWABAN-JAWABAN
Syubhat Pertama: Orang yang menyebarluaskan nasyid ini kadang berdalih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah diperdengarkan di sisi beliau syair-syair dan beliau menikmatinya serta menetapkan. (boleh)nya.
Jawaban :
Syaikh Sholih al-Fauzan hafidhahullah menjawab syubhat ini dengan mengatakan: “Bahwa syair-syair yang diperdengarkan di sisi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukanlah dilantunkan dengan paduan suara semacam nyanyian-nyanyian, dan tidak pula dinamakan nasyid-nasyid islami, namun ia hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan.
Para sahabat melantunkannya secara sendirian lantaran makna yang dikandungnya.
Mereka melantunkan sebagian syair ketika melakukan pekerjaan yang melelahkan, seperti membangun (masjid), berjalan di waktu malam saat safar (jihad). Maka perbuatan mereka ini menunjukkan atas bolehnya semacam lantunan (syair) ini dalam keadaan khusus (seperti) ini, bukannya dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu pendidikan dan dakwah! Sebagaimana hal ini merupakan kenyataan di zaman sekarang, yang mana para santri di-talqin (dilatih menghafal) nasyid-nasyid ini, lalu dikatakan sebagai nasyid-nasyid Islam. Ini merupakan perbuatan bid’ah dalam agama. Sedang ia merupakan agama kaum sufi ahli bid’ah. Mereka adalah orang-orang yang dikenal menjadikan nasyid-nasyid sebagai bagian agama.
Maka wajib memperhatikan makar-makar ini. Karena pada awalnya kejelekan itu sedikit lalu berkembang lambat laun menjadi banyak, ketika tidak diberantas pada saat kemunculannya.”[13]
Syubhat Kedua: Mereka mengatakan: “Sesungguhnya banyak para pemuda yang dahulunya hidupnya bergelimang dengan kemaksiatan dan mendengarkan musik, di saat mereka mendengarkan nasyid maka mereka menjadi bertaubat dan kembali kepada Allah Ta’ala.
Jawaban: Untuk menjawab syubhat ini kita serahkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang beliau telah ditanya dengan pertanyaan yang mirip dengan ini. Beliau ditanya tentang sekelompok orang yang bergabung untuk melakukan berbagai dosa besar seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, minum khomer, dan yang lainnya. Kemudian seorang syaikh yang dikenal memiliki kebaikan dan mengikuti as-Sunnah ingin mencegah mereka dari hal tersebut. Namun tidak memungkinkan baginya melakukan hal itu kecuali dengan cara membuat sebuah sama’ (nasyid) untuk mereka, di mana mereka berkumpul padanya dengan niat ini. Sama’ ini menggunakan rebana tanpa alat gemerincing, dan nyanyian seorang penyanyi dengan syair-syair yang diperbolehkan tanpa menggunakan seruling.
Tatkala cara ini dilakukan, di antara kelompok tersebut ada yang bertaubat. Dan orang yang sebelumnya tidak sholat, suka mencuri, dan tidak berzakat menjadi berhati-hati dari syubhat dan mengerjakan kewajiban, serta menjauhi perkara yang diharamkan. Maka apakah dibolehkan nasyid yang dibuat syaikh ini dengan cara tersebut, karena memberi dampak kemaslahatan? Dalam keadaan tidak memungkinkan mendakwahi mereka kecuali dengan cara ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab dengan panjang lebar. Di antara yang beliau katakan: “Sesungguhnya syaikh tersebut ingin membuat kelompok yang hendak melakukan berbagai dosa besar itu bertaubat, namun tidak memungkinkan baginya hal itu kecuali dengan cara yang disebutkan, berupa metode yang bid’ah. Ini menunjukkan bahwa syaikh tersebut jahil (tidak tabu) tentang metode-metode syar’i yang menyebabkan para pelaku maksiat bertaubat, atau tidak mampu melakukannya. Karena, sesungguhnya Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan tabi’in mendakwahi orang yang lebih buruk dari mereka yang disebutkan ini, dari kalangan orang-orang kafir, fasik, dan pelaku maksiat, dengan cara-cara yang syar’i. Allah Ta’ala telah berikan kecukupan kepada mereka dengan cara itu dari berbagai cara-cara bid’ah.
Tidak boleh dikatakan bahwa tidak ada cara syar’i yang Allah Ta’ala utus Nabi-Nya dengannya, yang dapat menjadikan para pelaku maksiat bertaubat. Sebab, telah diketahui secara pasti dan penukilan yang mutawatir bahwa orang-orang—tidak ada yang mampu menghitung jumlahnya kecuali Allah Ta’ala yang telah bertaubat dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan. Tidak disebutkan padanya berkumpul dengan cara bid’ah sebagaimana yang dilakukan. Bahkan, orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshor serta yang mengikuti mereka dengan kebaikan—dan mereka adalah para wali Allah yang bertaqwa dari kalangan umat ini—telah bertaubat kepada Allah Ta’ala dengan cara-cara yang syar’i.”[14]
PENUTUP
Inilah yang bisa kami sampaikan di dalam bahasan ini. Akhirnya, semoga Allah selalu melapangkan hati-hati kita untuk menerima kebenaran, menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menyatukan segala urusan kita, memudahkan kesulitan yang ada pada kita dan memberikan taufiq kepada kita untuk tact kepada-Nya, beribadah dengan benar kepada-Nya dan selalu mengingat-Nya serta menyatukan kalimat muslimin kepada yang dicintai dan diridhai-Nya.
Wallahu A’lam bishshawab.
Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com
Sumber: Majalah AL FURQON no. 107, edisi 04, thn ke-10, 1431.H /2010.M
[1] Tafsir as-Sa’di hlm. 524 Mu’assasah ar-Risalah cet. Pertama 1420 H
[2] Tafsir as-Sa’di hlm. 633 Mu’assasah ar-Risalah cet. Pertama 1420 H
[3] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shohih-nya 8/45 – Darusy Syi’b Kairo cet. Pertama 1407 H
[4] Fathul Bari 10/549 – Darul Ma’rifah 1379 H
[5] Fathul Bari 10/550 – Darul Ma’rifah Beirut 1379 H
[6] Madarijus Salikin 1/451
[7] Fadho’ilul Qur’an 1/53
[8] Nuzhotul Asma’ fi Mas’alatis Sama’ hlm. 80-81 — Daru. Thoyyibah Riyadh 1407 H
[9] al-Asholah, 17 hlm. 70-71
[10] Fatawa Syaikh Muhammad al-Utsaimin, dihimpun oleh Asyrof Abdul Maqshud, hlm. 134
[11] Majalah ad-Dakwah Vol.1632, Tanggal 7-11-1416 H
[12] Dari buletin Fatawa Ulama Sunnah fi Ma Yusamma Bil Anasyid Islamiyyah diterbitkan oleh Maktabah al-Furqon Uni Emirat Arab
[13] al-Khuthobul Minbariyah 3/184-185
[14] Majmu’ Fatawa 11/624-625
http://abangdani.wordpress.com/2010/11/22/kepada-para-pecinta-nasyid/#more-4622