Tuesday, February 15, 2011

Musik Dan Nyanyian Termasuk Kenikmatan Surga

Musik Dan Nyanyian Termasuk Kenikmatan Surga


noktahhitamsenandungsetan
Noktah Hitam Senandung Setan
ARGUMENTASI PAPA PECANDU MUSIK DAN NYANYIAN BAHWA KEDUANYA TERMASUK KENIKMATAN SURGA! DAN BANTAHAN TERHADAP ARGUMENTASI TERSEBUT
Pecandu musik dan nyanyian itu berargumentasi dengan firman Allah :
“Dan pada hari terjadinya Kiamat, di hari itu mereka (manusia) bergolong-golongan. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, maka mereka di dalam taman (Surga) bergembira.” (Ar-Ruum: 14-15)
Di dalam kitab Tafsir disebutkan bahwa maksud kalimat ‘tuhbaruun’ adalah mendengar nyanyian.[191] Sekiranya nyanyian itu haram niscaya tidak akan menjadi kenikmatan Surga yang utama.[192]
Ahli Al-Qur’an menjawab: “Seandainya kalian berpegang kepada ayat tersebut untuk membenarkan pendapat kalian itu niscaya akan tersamar dan dapat diterima oleh orang yang tidak memiliki bashirah dan ilmu. Namun Allah berkehendak menyingkap kedok kalian dan membungkam mulut kalian.
Tidak syak lagi bahwa sebagian Salaf[193] menafsirkan kata ‘al-habrah’ di dalam ayat tersebut dengan mendengarkan nyanyian merdu bidadari Surga. Bahwasanya bidadari-bidadari Surga akan bernyanyi dengan suara yang belum pernah terdengar suara semerdu itu oleh para makhluk. Mereka berdendang: “Kami adalah bidadari yang kekal tidak akan mati. Kami adalah bidadari yang selalu bergembira dan tidak akan murung. Kami adalah bidadari yang selalu ridha dan tidak akan marah. Beruntunglah orang yang mendapatkan kami dan kami menjadi miliknya.”[194]
Abu Nu’aim[195] menyebutkan dalam kitab Shifatul Jannah sebuah riwayat dari Sa’id bin Abi Maryam dari Muhammad bin Ja’far bin Abi Katsir dari Zaid bin Aslam[196] dari Ibnu Umar ia berkata: “Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya para bidadari-bidadari yang merupakan istri penduduk Surga akan bernyanyi untuk suami mereka dengan suara yang sangat merdu yang belum pernah terdengar oleh seorangpun sebelumnya. Di antara nyanyian yang mereka senandungkan adalah: `Kami adalah bidadari-bidadari yang balk-balk lagi cantikcantik, kami adalah para istri hamba-hamba yang mulia, yang melihat[197] dengan pandangan yang menyejukkan.’
Di antara nyanyian mereka adalah:
‘Kami adalah bidadari yang kekal tidak akan mati,
kami adalah bidadari yang terpelihara tidak pernah takut,
kami adalah bidadari yang selalu menyertai tidak akan pergi.’[198]
Sa’id bin Abu Maryam tersendiri dalam periwayatan hadits ini.
Diriwayatkan juga dari jalur Al-Walid bin Abi Tsaur dari Sa’ad Ath-Thaa’i dari Abdurrahman bin Saabith dari Ibnu Abi Aufa[199] ia berkata: Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya bidadari-bidadari Surga berkumpul sekali setiap pekan. Mereka bernyanyi dengan suara yang merdu yang belum pernah didengar oleh siapapun sebelumnya suara semerdu itu. Mereka menyenandungkan: “Kami adalah bidadari yang kekal tidak akan fana, kami adalah bidadari yang selalu gembira tidak akan murung, kami adalah bidadari yang selalu ridha tidak akan marah, kami adalah bidadari yang selalu menyertai tidak akan pergi,[200] beruntunglah orang yang mendapatkan kami dan kami menjadi miliknya. “[201]
Diriwayatkan dari jalur lbnu Abi Fudeik dari Ibnu Abi Dzi’b dari ‘Aun Ibnu AI-Khaththab dari seorang putra Anas dari Anas bin Malik ia berkata: “Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya bidadari-bidadari Surga akan bernyanyi di Surga: `Kami adalah bidadari-bidadari yang cantik jelita, diciptakan untuk suami-suami yang mulia.’”[202]
Diriwayatkan dari jalur Yazid bin Waqid dari seorang lelaki dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat sebuah pohon yang pangkalnya terbuat dari emas dan tangkainya dari permata Zabarjad dan Lu’lu’. Bila dihembus angin akan mengeluarkan suara yang sangat merdu yang belum pernah di dengar oleh seorangpun suara yang lebih menyedapkan telinga daripadanya.“[203]
Diriwayatkan dari jalur Khalid bin Ma’dan dari Abu Umamah dari Rasulullah beliau bersabda:
“Apabila seorang hamba masuk ke dalam Surga maka akan duduk di dekat kepala dan dua kakinya dua bidadari yang akan bernyanyi untuknya dengan suara yang paling merdu yang pernah didengar oleh bangsa jin dan manusia, namun bukan suara seruling setan.“[204]
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari jalur Ahmad bin Munei’ dari Abu Mu’awiyah dari Abdurrahman bin Ishaq dari An-Nu’man bin Sa’ad dari Ali ia berkata: Rasulullah bersabda:
“Di dalam Surga terdapat sebuah tempat berkumpul para bidadari yang bernyanyi dengan suara merdu yang belum pernah didengar oleh makhluk suara semerdu itu. Mereka menyenandungkan: ‘Kami adalah bidadari yang kekal tidak akan binasa, kami adalah bidadari yang selalu bergembira tidak pernah bermuram durja, kami adalah bidadari yang selalu ridha tidak pernah marah, beruntunglah orang yang memiliki kami dan kami menjadi miliknya.”
At-Tirmidzi berkata: ‘hadits gharib’[205]
Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani[206] dari hadits Sulaiman bin Abi Karimah dari Hisyam bin Hassan dari Al-Hasan dari Ummu Salamah[207] ia berkata: ‘Saya bertanya kepada Rasulullah manakah yang lebih utama, wanita dunia atau bidadari Surga? Be]iau menjawab: “Wanita dunia lebih utama daripada bidadari Surga, sebagaimana keutamaan bagian Iuar baju daripada bagian dalamnya[208]. Saya berkata: “Ya Rasulullah, mengapa demikian?” Rasulullah menjawab:
“Karena shalat, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah akan menghiasi wajah mereka dengan cahaya, tubuh mereka dengan sutera, kulit mereka putih mulus, pakaian mereka berwarna hijau, perhiasan mereka kuning mengkilap. wadah dupa mereka terbuat dari permata dan sisir mereka terbuat dari emas. Mereka akan bernvanyi: “Kami adalah bidadari yang kekal tidak akan mati, kami adalah bidadari yang selalu riang gembira tidak akan bersedih, kami adalah bidadari yang selalu menyertai tidak akan beranjak, kami adalah bidadari yang selalu ridha tidak akan marah. Beruntunglah orang yang memiliki kami dan kami menjadi miliknya.”[209]
Dikatakan kepada kalian: Haruskah sesuatu yang dijadikan oleh Allah sebagai nikmat di Surga bagi para hamba-hambaNya di Akhirat menjadi mubah hukumnya bagi kalian di dunia?
Jika kalian katakan tidak harus, berarti batallah argumentasi kalian tadi. Jika kalian katakan harus! Maka kami katakan kepada kalian bahwa Allah memberi nikmat kepada penduduk Surga di Akhirat berupa pakaian sutera dan gelang-gelang emas, maka konsekuensi ucapan kalian tadi adalah hal tersebut boleh kalian pakai di dunia, padahal itu bertentangan dengan dienul Islam dan perintah Allah. Demikian pula Allah memberi mereka nikmat berupa khamar, maka menurut konsekuensi ucapan kalian khamar juga boleh diminum di dunia. Demikian pula di Surga nanti para penghuninya akan makan dan minum dengan menggunakan piring dan gelas dari emas dan perak. Dan Rasulullah juga telah menyatakan:
“Piring-piring emas itu bagi mereka (orang kafir) di dunia, dan bagi kita nanti di Akhirat.”[210]
Menurut konsekuensi ucapan kalian: “Sebagaimana piring emas itu bagi kaum muslimin di Akhirat, maka boleh juga digunakan di dunia. Padahal Rasulullah telah bersabda:
“Barangsiapa meminum khamar di dunia maka ia tidak akan meminumnya di Akhirat”[211] Dan Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa memakai pakaian sutera di dunia maka ia tidak akan memakainya di Akhirat.”[212]
Berkaitan dengan piring emas dan perak, Rasulullah bersabda:
“Piring piring emas itu bagi mereka (orang kafir) di dunia, dan bagi kita nanti di Akhirat. “
Rasulullah mengabarkan bahwa barangsiapa memakai barang-barang tersebut di dunia. berupa makanan, minuman, pakaian dan lain-lain maka ia tidak akan memakainya di Akhirat. la tidak diperkenankan memakainya sementara penghuni Surga Iainnya dibolehkan, bila ia masuk Surga. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim[213] dari ayahnya (Abu Hatim)[214] dari Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizaami dari Hasan bin Ali bin Hasan Al-Barrad dari Humeid AI-Kharrath dari Muhammad bin Ka’ab ia berkata: “Barangsiapa yang telah meminumnya di dunia maka ia tidak akan meminumnya lagi di Akhirat.” Saya katakan: “Bagaimana bila ia bertaubat lalu Allah memasukkannya ke dalam Surga? Bukankah Allah telah mengatakan:
“Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. “ (Fushshilat: 31)
Abu Hatim berkata: “Allah menjadikan mereka lupa terhadapnya. Atau sabda Rasul itu merupakan ancaman baginya bahwa ia tidak masuk Surga. Sebab barang-barang tersebut hanya dipakai oleh penghuni Surga. Barangsiapa tidak memperolehnya di Akhirat berarti ia bukan termasuk penghuni Surga.”
ltulah dua bentuk penafsiran bagi hadits-hadits tersebut dari ulama Salaf.[215]
Bila dikatakan: “Nyanyian yang menyedapkan yang telah dijanjikan di Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang menjauhkan pendengaran-nya dari nyanyian-nyanyian di dunia, sebagaimana hal-hal lainnya seperti pakaian sutera, khamar, penggunaan peralatan dari emas dan perak, tentunya lebih tepat dan benar daripada perkataan kalian bahwa hal-hal itu dibolehkan di dunia karena penghuni Surga boleh menggunakannya.”
Dalil-dalil yang kami bawakan tadi cukup jelas menyatakan hal itu. Di antaranya adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abid Dunya dari Daud bin Amru Adh-Dhabbi dari Abdullah bin Al-Mubarak dari Malik bin Anas dari Muhammad bin Al-Munkadiri, ia berkata: Pada Hari Kiamat nanti seorang penyeru akan berseru: “Manakah orang-orang yang di dunia dahulu menjauhkan diri dari permainan dan nyanyian setan? Tempatkanlah mereka di taman misk (kesturi). Kemudian Allah berkata kepada para Malaikat: “Perdengarkanlah kepada mereka pujian dan sanjunganKu, kabarkanlah kepada mereka bahwa tiada lagi ketakutan dan kesedihan atas mereka.”
Penukilan atsar ini telah disebutkan sebelumnya dari Mujahid sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Baththah.
Dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa seorang lelaki penghuni Surga akan menikahi tujuh puluh dua orang gadis. Abu Nu’aim menyebutkannya dalam kitab Shifatul Jannah dari Khalid bin Ma’dan dari Abu Umamah dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:
“Bilamana seorang hamba masuk Surga maka ia pasti akan dinikahkan dengan tujuh puluh dua orang gadis. Dua dari bidadari Surga dan tujuh puluh[216] bagiannya dari wanita dunia, setiap istri pasti memiliki farji yang terus merangsang dan ia (laki-laki itu) memiliki zakar yang tidak pernah lemah.”[217]
Beliau juga menyebutkan sebuah riwayat dari Al-Hajjaj[218] dari Qatadah[219] dari Anas secara marfu’:
“Seorang mukmin akan memiliki tujuh puluh tiga istri.”
Kami bertanya: “Apakah ia memiliki kekuatan untuk melayaninya wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda:
“la akan diberi kekuatan seratus lelaki.”[220]
Dalam hadits lain disebutkan:
“Sesungguhnya salah seorang dari mereka sanggup memecahkan dan melayani seratus perawan dalam sehari.”[221]
Atsar-atsar ini tidak sating bertentangan satu sama lain. Karena perbedaan jumlah nikmat yang diterima bergantung kepada nilai pahala yang dimiliki. Konsekuensi perkataan orang-orang yang berargumentasi bolehnya nyanyian di dunia karena hal itu dibolehkan bagi penghuni Surga di Akhirat, maka seharusnya mereka juga membolehkan kaum lelaki menikahi wanita sebanyak bilangan tersebut!?
Sumber : Buku “Noktah Hitam Senandung Setan” Penerit Darul Haq Halaman 191-200, Terjemahan dari Kitab “Kasyful Ghitha” Karya Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah-.
Catatan Kaki :

[191] Tafsir Al-Mawardi (III/259), Tafsir Al-Kasysyaf (I1I/471) dan Fathul Qadir (IV1218).

[192] Risalah Qusyeiriyah (637).
[193] Diantaranya adalah Imam Waki’, lihat Tafsir Al-Kasysyaf (III/471) dan Yahya bin Abi Katsir, lihat TafsirAl-Mawardi (III/259).
[194] Ini merupakan bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XXIII/367-870) dari hadits Ummul Mukminin Ummu Salamah. AI-Haitsami berkata dalam Majmauz Zawaid (VII/119): “Di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Sulaiman bin Abi Kadmah, dia dinyatakan dhaif oleh Abu Hatim dan Ibnu Adi, dicantumkan juga oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (IV/292-293) dan tidak mengomentarinya.
[195] Beliau adalah Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah bin Ahmad bin Ishaq bin AI-Mihraani Al-Ashbahaani seorang imam hafizh tsiqah dan Syaikhul Islam, lihat biografinya dalam Tadzkiratul Huffazh(III/1092), Siyar A’lamun Nubala’ (XVII/453), Thabaqat Asy-Syafi’iyah karangan As-Subki (IV/18) dan Syadzaratudz Dzahab (III/245).
[196] Beliau adalah Zaid bin Aslam AI’Adawi Maula Umar, Abu Abdillah atau Abu Usamah Al-Madani, seorang tsiqah alim, banyak meriwayatkan hadits mursal, wafat pada tahun 136 H. Lihat Taqrib At- Tahdzib (I/272).
[197] Dalam naskah cetakan tertulis ‘yanzhuruuna’ (mereka melihat). Dikoreksi dari kitab Shifatul Jannah dan Mu’jamush Shaghir karangan Ath-Thabrani dan Majmauz Zawaid serta dari Shahih Jami’ Ash-Shaghir.
[198] Shifatul Jannah (no. 322, 430), hadits Ini dikeluarkan juga oleh Ath-Thabrani dalam Mujamul Aushath dan Ash-Shaghir (no.721), Al-Haitsami berkata dalam Majmauz Zawaid(X/419): “Perawinya adalah perawi kitab Shahih.” Dinyatakan shahih juga oleh AI-Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir (11148-1557).
[199] Beliau adalah Abdullah bin Abi Aufa, nama dari Abu Aufa (ayahnya) adalah ‘Alqamah bin Khalid bin Al-Harits AI-Aslami. Wafat pada tahun 87 H. Dialah sahabat yang terakhir wafat di Kufah. Lihat Taqrib At-Tahdzib (I/402).
[200] Yaitu ‘kami tidak beranjak’ asaI kata zha’inah artinya adalah kendaraan yang dipakai oleh kaum wanita untuk bersafar, lalu istilah Itu digunakan untuk para istri, karena mereka akan mengikuti suami ke mana saja pergi.
[201] Lihat Shifatul Jannah (378), bagian awal hadits ini dikeluarkan oleh AI-Baihaqi dalam kitab Al-Ba’ts wan Nusyur (414).
[202] Shifatul Jannah (432) dari dua jalur riwayat. Yang pertama dengan lafaz penulis di atas, yang kedua dengan lafal ‘yataghannaina’ sebagai ganti lafal ‘yughannina’ pada riwayat di atas, dan kata khubbina (disimpan) sebagai ganti kata khuliqna (diciptakan). Diriwayatkan juga oleh AI-Bukhari dalam Tarikh AI-Kabir (VI1/16), AI-Baihaqi dalam Al-ba’ts wan Nusyur (420) dengan lafal: yataghannaina dan hubbibnaa, Dalam Mujamma’ Az-Zawaaid (X/419), Al-Haitsami menisbatkannya kepada Ath-Thabrani dalam Al-Ausath lalu ia berkata: “Perawinya tsiqat.” Dan telah dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Jami’ ‘Ash -Shaghir (II/ 58-1598).
[203] Diriwayatkan dalam kitab Shifatul Jannah (433).
[204] Diriwayatkan dalam kitab Shifatui Jannah (434) melalui dua jalur riwayat, pada riwayat kedua ditambahkan: “Akan tetapi berupa tasbih dan tahmid bagi Allah.” Diriwayatkan juga oleh AI-Baihaqi dalam AI-Ba’ts wan Nusyur (421), dengan tambahan: “Akan tetapi berupa tahmid dan taqdis kepada Allah.” Dalam Majmauz Zawaid (X/418), Ai-Haitsami menisbatkannya kepada Ath-Thabrani, lalu berkata: “Di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang belum saya ketahui identitasnya.”
[205] HR. At-Tirmidzi dalam Jami’nya (2564). Dicantumkan juga oleh At-Tibrizi dalam Misykatul Mashaabih (5649), Al-Albani berkata: ‘Didhaifkan oleh At-Tirmidzi dengan ucapannya: ‘hadits gharib’, dan benar katanya itu. Didhaifkan juga oleh Al-Albani dalam Silsilah Hadits Dhaif (1982) dan dalam Dhaif Jami’ Ash-Shaghir (II/165-1896).
[206] Ath-Thabrani nama lengkapnya adalah Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub AI-Lakhmi Ath-Thabrani Abul Qasim, tidak ada yang menampik keluasan beliau dalam periwayatan hadits-hadits Nabi, beliaulah salah seorang ulama yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits dengan sanad-sanad yang berkualitas. Beliau hidup selama seratus tahun (260-360 H) ia sudah meriwayatkan hadits sejak berusia tiga belas tahun. Lihat biografinya dalam Siyar A’lamun Nubala’ (XVI/119) Wafayatul A’yan (I1/407), An-Nujumuz Zaahirah (IV/59).
[207] Beliau adalah Ummu Salamah Ummul Mukminin, nama beliau Hindun, lihat Taqrib At-Tahdzib (11/622).
[208] Sabda Nabi: Az-Zhiharah ‘ala Al-Bithaanah, Zhiharah artinya bagian Iuar baju yang tidak melekat ke badan. Bithanah adalah bagian dalam baju yang bersentuhan langsung dengan badan.
[209] Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani, didalamnya terdapat perawi bernama Sulaiman bin Abi Karimah, ia dinyatakan dhaif oleh Abu Hatim dan Ibnu ‘Adi, lihat Mujamma’ Az-Zawaaid karangan Al-Haitsami (VII/119).
[210] Bagian dari hadits dengan lafal: “Sesungguhnya piring-piring itu bagi mereka di dunia dan bagi kita di Akhirat.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari hadits Hudzaifah (5426, 5632, 5633, 5831 dan 5837), Muslim dalam Shahih nya (2067/404), Abu Daud (3723), At-Tirmidzi dalam Jami’nya (1878), ia berkata: Hadits ini hasan shahih.” An-Nasaa’i dalam Sunan-nya (5301) dan Ibnu Majah (3414).
[211] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Ibnu Umar, (2003), di akhir hadits ditambahkan: ‘Kecuali ia bertaubat’, diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah (3373) dengan lafal Muslim di atas dan pada hadits no. (3374) dari hadits Abu Hurairah. tanpa tambahan tersebut.
[212] Diriwayatkan oleh AI-Bukhari dalam Shahih-nya (5834) dari hadits Umar bin Al-Khaththab, dan Muslim dalam Shahih-nya (2073) dari hadits Anas dan pada hadits no. 2074 dari hadits Abu Umamah, diriwayatkan juga oleh An-Nasaai dalam Sunannya (5305) dan Ibnu Majah juga dalam Sunan-nya (3588) dari hadits Umar .
[213] Beliau adalah Abdurrahman bin Abi Hatim Muhammad bin Idris Ar-Raazi, seorang hafizh dan anak seorang hafizh. Beliau termasuk ulama yang membawakan riwayat-riwayat yang berkualitas dan pengetahuan yang dalam di bidang ilmu hadits. Lihat Siyar A’lamun Nubala’ (XIII/263), Thabaqat Asy-Syafi’iyyah karangan As-Subki (III/324) dan Syadzaraatudz Dzahab (11/307).
[214] Beliau adalah Muhammad bin ldris bin AI-Mundzir AI-Hanzhaii Abu Hatim Ar-Raazi, salah seorang huffazh, wafat pada tahun 277 H. Lihat Siyar A’lamun Nubala’ (XII1/247), Tarikh Baghdad (11/73) dan Syadzaratudz Dzahab (11/171).
[215] Syarah Muslim karangan Imam An-Nawawi (XII11184), mungkin lebih bagus bila menempatkan sabda Nabi ‘tidak meminumnya di Akhirat’ bagi orang yang belum bertaubat darinya. Berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan secara shahih oleh Muslim dan Ibnu Majah: “kecuali ia bertaubat” Demikian pula makna yang serupa dengan itu diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam riwayat-riwayat lain. Dalam sebuah riwayat Muslim (2003) dari hadits Ibnu Umar berbunyi: “Setiap yang memabukkan itu khamar dan setiap yang memabukkan itu haram. Barangsiapa meminum khamar di dunia lalu mati dalam keadaan kecanduan dengannya dan belum bertaubat maka ia tidak akan meminumnya di Akhirat.”
Diriwayatkan juga oleh Abu Daud dalam Sunan-nya dengan lafal “Barangsiapa mati sedang la meminum khamar dan kecanduan dengannya… “ (3679), At-Tirmidzi tanpa lafal ‘belum bertaubat’ (1861), ia berkata: “Hadits Ibnu Umar hadits hasan shahih.” Dan An-Nasaa’i dalam Sunannya, (5673), disebutkan di dalamnya ‘sementara ia belum bertaubat darinya’ dan pada hadits no. (5674) tanpa lafal tersebut. Dari uraian di atas jelaslah bahwa boleh tidaknya ia meminum khamar di akhirat tergantung apakah ia bertaubat atau terus kecanduan minum khamar sampai mati. Demikian pula riwayat Muslim lainnya yang berbunyi: ‘Diharamkan atasnya diAkhirat’ dan riwayat-riwayat lain yang senada dibawakan kepada penafsiran di atas. Wallahu a’lam.
[216] Dalam cetakan tertulls ‘sab’iina’, muhaqqiq cetakan terdahulu mengatakan bahwa pada naskah asli tidak tersebut dan saya tambahkan disini dari kitab Shifatul Jannah. Dalam kitab Shifatul Jannah memang tertulis ‘sab’iina’ (dalam kondisi manshub) dan itu keliru sebab sebelumnya disebut tsintaani (dalam kondisi marfu), yang benar adalah athaf mengikuti mathu-nya, sebagaimana kami tetapkan di atas. Mungkin juga keduanya manshub, sebagai badal dari kata “tsintaini wa sab’iina” sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam riwayat  Ibnu Majah.
[217] Shifatul Jannah (hal., 139) no. 370, Hadits ini diriwayatkan juga oleh lbnu Majah dalam Sunan-nya 4327), dalam Az-Zawaaid Al-Busheiri berkata: Sanadnya perlu ditinjau kembali, Khalid bin Yazid bin Abdurrahman bin Abi Malik dinyatakan tsiqah oleh Al-’Ijli dan Ahmad bin Shalih Al-Mishri, dan dinyatakan Dha’if  oleh Ahmad, Yahya bin Ma’in, Abu Daud, An-Nasaa’i, Ibnul Jarud, As-Saaji, Al ‘Uqaili dan lainnya. Lihat Mishbahuz Zujaajah (II/360 no.1551), Al-Albani berkata: Dha’if jiddan. Lihat Dha’if sunan Ibnu Majah (hat. 355-356), Dhaif Jami ‘Ash-Shaghir dan beliau cantumkan dalam Silsilah Hadits Dha’if (4473).
[218] Beliau adalah Hajjaj bin Hajjaj AI-Bahili AI-Mishri Al-Ahwal, seorang perawi tsiqah, lihat Tahdzibul Kamal (I/232) dan Siyar A’lamun NubaIa’ (VI/151).
[219] Beliau adalah Qatadah bin Di’amah bin Qatadah As-Saduusi Abul Kaththab Al-Bashri, seorang tsiqah. Lihat Siyar A’lamun Nubala’ (V/269), Wafayaatul A’yan (IV/85), Syadzaraatudz Dzahab (3/153), dan Anas di dalam sanad tersebut adalah Anas bin Malik, seorang sahabat yang masyhur.
[220] Shifatul Jannah (140 no. 272).
[221] Shifatul Jannah (141 no. 273) dari hadits Abu Hurairah

http://abangdani.wordpress.com/2009/11/04/musik-dan-nyanyian-termasuk-kenikmatan-surga/#more-612